MAKALAH
ULUMUL QUR’AN-
Tentang
PENULISAN DAN KODIFIKASI AL-QURAN
Disusun oleh :
Dosen pembimbing :
Drs. Syamsir,MA
H. Erizl Ilyas,MA
JURUSAN ILMU
PERPUSTAKAAN (D)
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
INSTTUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
merupakan pedoman hidup bagi segenap manusia yang mengakui kebenarannya. Nabi
Muhammad Saw sebagai nabi terakhir yang dibekali dengan wahyu dalam bentuk
al-Qur`an, menyampaikan dan menyebarluaskan al-Qur`an kepada
sahabat-sahabatnya, terus kepada generasi-generasi selanjutnya sampai kemapa
umat dalam konteks kekinian.
Sejak
al-Qur`an diturunkan, sampai saat ini kita dapati dalam cetakan-cetakan yang
sangat teratur dan sistematis, begitu juga dengan penulisannya dalam ukururan
besar dan kecil, tentu tidak terjadi dengan proses yang sederhana. Namun
sebelumnya membutuhkan kerja keras para sahabat dan generasi selanjutnya,
sehingga lahirlah al-Qur`an dalam bentuk mushaf seperti sekarang ini. Di
samping itu berbagai cabang ilmu, yang masing-masing memiliki karakteristik
yang berbeda satu sama lainnya, muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan
dengan sejarah al-Qur`an secara umum.
Seiring
dengan perjalanan waktu dalam kondisi sekarang, sebagai pemerhati dan peduli
terhadap eksistensi al-Qur`an, sepatutnya memahami esensi al-Qur`an dan ilmu
yang berkaitan. Untuk itulah penulis dalam makalah ini mencoba membahas tentang
al-Qur`an, yang secara spesifik menguraikan tentang konsepsi ‘ulumul Qur`an, sejarah turun al-Qur`an dan
pemeliharaannya. Dengan menelaah berbagai referensi refresentatif diharapkan
memberikan pemahaman dan esensi dari tema yang dibahas, sehingga memberi nilai
kebermanfaatan bagi semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kuttab Al-Wahyi
Kedatangan wahyu merupakan
sesuatu yang dirindukan oleh Nabi. Oleh karena itu, ketika wahyu dating, Nabi
langsung menghafal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang pertama
yang menghafal al-Quran. Tindakan Nabi ini kemudian ditiru oleh para
sahabatnya. Imam al-Bukhori mencatat tujuh orang sahabat yang dikenal sebagai
penghafal al-Quran, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal (mwla Abu
Hudzafah), Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin
al-Salkan, dan Abu al-Darda’. Riwayat al-Bukhori tentang jumlah tersebut
tidaklah menutup kemungkinan adanya sahabat lain yang juga menhafal al-Qursn.
Abu Syuhbah menyebut beberapa penghafal dari kalang perempuan, yaitu ‘A’isyah,
Hafshah, Ummu Shalah, dan Ummu Waraqah.
Kuttab al-wahy (para penulis wahyu), diantaranya adalah Khalifah yang empat (Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali)[1], Zayd
bin Abi Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’awiyah bin Abi Sufyin, Hanzhalah bin
al-Rabi’, Zubayr bin al-Awwan,’Amir bin Fuhayrah, ‘Abdullah bin al-Arqam,
Mughirah bin Syu’bah, ‘Abdullah bin Rawahah, Khalid bin al-Walid, Tsabit bin
Qays, dan lain-lain.
Pada
tahapan awal dalam pemeliharaan al-Qur`an dilakukan dengan hafadhahu(menghafalnya dalam hati) oleh
para jumma’ul Qur`an, yakni huffadhul Qur`an (para pengahfalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkannya dalam
hati. Rasulullah Saw amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan
wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya.[2] Tidak ketinggalan dengan sahabat-sahabatnya yang selalu menerima
pemberitaan wahyu dari Nabi Saw. Mereka juga menghafalnya, dan terkenalnya
tujuh huffadh al-Qur`an terkenal yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari melalui tiga jalur
periwayatan. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil, Muadz bin
Jabal. Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda`.
Rasulullah
mengangkat para penulis al-Qur`an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali,
Mua’awiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zait bin Tsabit. Bila ayat turun, ia
memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkannya dimana tempat ayat
tersebut dalam surat. Sebagian dari mereka juga menulisnya atas inisiatif
sendiri dengan menggunakan media pelepah korma, lempengan batu, papan titpis,
kulit dan daun kayu, palana, dan potongan tulang belulang binatang.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan barulah
ayat-ayat itu dibukukan dengan menyalin lembaran-lembaran pertama pada masa Abu
Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap
pada satu huruf, yang dikenal kemudian dengan Mushaf Utsmani. Penyalinan mushaf
berkembang terus-menerus dari masa ke masa hingga ke wilayah Nusantara. Sejak
abad ke-XVI sampai dengan abad ke-XIX Mushaf Nusantara banyak kita temui, unsur
kreativitas lokal sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak
iluminasi yang sangat beragam dan sangat khas. Kreativitas dan gairah penulisan
seni mushaf tumbuh kembali pada akhir abad IXX dimulai dari Mushaf Istiqlal
(1991-1995) dalam rangkaian peringatan emas 50 tahun Indonesia. Dilanjutkan penulisan
mushaf pesantren; Mushaf Wonosobo (1995), Mushaf Sundawi (1997), Mushaf Hj.
Fathimah Soeharto (2000), Mushaf Jakarta (2002), Mushaf Kalimantan Barat
(2003), dan Mushaf Banten (2010) dll.
Beberapa
karakter proses pemeliharaan al-Qur`an dan hasil yang diperoleh pada masa Nabi
dalam bentuk pencatatan dan pembukuan, antara lain:
1)
Penulisan
al-Qur`an dilakukan ketika wahyu turun.
2)
Penyusunan
urutan ayat-ayat dalam surat-surat sesuai petunjuk Nabi
3)
Ayat-ayat
tertulis secara terpisah pada kepingan-kepingan, tulang, pelepah kurma,
batu-batu, dan sebagainya.[3]
4)
Al-Qur`an
tidak dalam bentuk mushaf
5)
Tidak
adanya tanda baca dan simbol-simbol lainnya.
B.
Periode penulisan al-Qur’an
1.
Tahapan Pencatatan di
Zaman Nabi Muhammad Saw.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa
awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tempat
diturunkannya Al-Qur'an-tergolong ke dalam bangsa yang buta aksara, tidak
pandai membaca dan menulis. Kalaupun ada yang
bisa baca dan tulis, itu hanya beberapa
orang saja yang dapat dihitung dengan jari tangan. Bahkan Nabi Muhammad Saw.
sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca
dan menulis. Kebutaaaksaraan bangsa arab dank e-ummi-an Nabi Muhammad Saw.,
tegas-tegas diakui al-Qur’an dalam ayat di bawah ini:[4]
uqèd
Ï%©!$#
y]yèt/
Îû
z`¿ÍhÏiBW{$#
Zwqßu
öNåk÷]ÏiB
(#qè=÷Ft
öNÍkön=tã
¾ÏmÏG»t#uä
öNÍkÏj.tãur
ãNßgßJÏk=yèãur
|=»tGÅ3ø9$#
spyJõ3Ïtø:$#ur
bÎ)ur
(#qçR%x.
`ÏB
ã@ö6s%
Å"s9
9@»n=|Ê
&ûüÎ7B
ÇËÈ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Dari ayat
di atas, dapatlah dipahami bahwa Nabi Muhammad Saw. paling sedikit di masa-masa
awal kenabiannya adalah Nabi/Rasul yang ummi, yang tidak pernah membaca dan
menulis suatu kitab apa pun. Dan bangsa Arab yang pertama kali menerima
AI-Qur'an pada umumnya juga adalah bangsa yang ummi, tidak mampu membaca dan
menulis kecuali segelintir saja dari mereka. Dan karenanya, mudah
dimengerti jika surat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw: ialah surat Iqra' wa al-Qalam (surat perintah membaca dan
menulis) yang lebih populer dengan nama surat Al-‘Alaq [96].
Kekuatan daya hafal
bangsa Arab -dalam hal ini para sahabat-benar-benar dimanfaatkan secara optimal
oleh Nabi dengan memerintahkan mereka supaya menghafal setiap kali ayat
Al-Qur'an diturunkan. Sementara yang pandai menulis, yang dari waktu ke waktu
jumlahnya semakin bertambah banyak oleh Nabi
diperintahkan atau minimal dibolehkan mencatat Al-Qur'an setiap kali beliau
menerima ayat-ayat Al-Qur'an.
Sehubungan dengan
itu, maka tercatatlah para hafizh dan hafizhah (pria dan wanita
penghafal Al-Qur'an), di samping para katib (pencatat/penulis) Al-Qur'an
yang sangat andal. Bahkan tidak jarang dari kalangan mereka ada yang di samping
penulis Al-Qur'an, juga sekaligus sebagai penghafal. Atau, dengan kalimat lain,
menjadi katib dan sekaligus sebagai hafizh, yang jumlahnya mencapai puluhan
orang.
Sejarah memang mencatat bahwa dari sekian
banyak penulis resmi ayatayat Al-Qur'an yang diterima Rasul, dan kemudian
disampaikan kepada para sahabatnya, Zaid Ibn Tsabit-lah yang paling profesional
dan paling andal melakukannya. Dengan sangat cermat
dan teliti, Zaid dan kawan-kawan selalu mencatat ayat-ayat Al-Qur'an dan
menempatkan serta mengurutkannya teksteks surat Al-Qur'an itu sesuai dengan
petunjuk Nabi Muhammad Saw.
2.
Tahap Penghimpunan di
Zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq
Penghimpunan Al-Qur'an ke dalam satu mushhaf,
baru dilakukan di zaman khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (11-13 H/632-634 M),
tepatnya setelah terjadi peperangan Yamamah (12 H/633 M). Dalam peperangan Yamamah ini, konon terbunuh sekitar 70-an orang syuhada, yang hafal Al-Qur'an dengan amat baiknya. Padahal, sebelum
peristiwa yang mengenaskan itu terjadi, telah pula meninggal 70 qurra' lainnya
pada peperangan di sekitar Sumur Ma'unah, yang terletak di dekat kota Madinah.
Menyaksikan dua peristiwa tragis yang
merenggut banyak korban dari kalangan qari dan hafizh itu, di samping mereka
yang meninggal dunia karena sebab-sebab lain, Umar Ibn al-Khaththab, salah
seorang sahabat paling senior yang jauh pandangannya ke masa depan dan terkenal
sangat tajam analisisnya, segera mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar
menghimpun Al-Qur'an. Sungguh pun pada mulanya Abu Bakar merasa keberatan untuk
mengabulkan usulan Umar, dengan alasan-antara lain-karena Nabi tidak pernah
melakukan hal seperti itu dan tidak pernah pula memerintahkannya yang
menyebabkan Abu Bakar tidak memiliki keberanian moral untuk melakukannya;
namun, atas desakan kuat Umar Ibn al-Khaththab dengan dalil demi kemaslahatan
umat dan pelestarian Al-Qur'an itu sendiri, maka Abu Bakar pun-setelah beberapa
kali melakukan shalat istikharah lebih dulu-menerima saran Umar berikut
argumentasinya di atas.
Panitia penghimpunan yang semuanya hafal dan
penulis Al-Qur'an termasyhur itu dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu
kurang dari satu tahun-yakni sesudah peristiwa peperangan Yamamah (12 H/633-M)
dan sebelum wafat Abu Bakar (13 H/634 M)-tanpa mengalami hambatan yang berarti.
Satu-satunya gangguan teknis-jika boleh
dikatakan demikian-ialah riwayat yang menyebutkan bahwa Zaid dan kawan-kawan
panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari surat Al-Taubah
(9); padahal, semua panitia yakin bahwa kedua ayat itu adalah Al-Qur'an.
Setelah Zaid bekerja keras dan mengumumkannya kepada khalayak ramai,
diperolehlah catatan kedua ayat tersebut dari sahabat lainnya yang bernama Abu
Khuzaimah alAnshari. Setelah disumpah dan
diperiksa keaslian tulisannnya, maka Zaid pun atas kesepakatan semua panitia,
menerima catatan Abu Khuzaimah tersebut.
Himpunan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid Ibn
Tsabit kemudian dipegang Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq hingga akhir hayatnya. Dan ketika kekhalifahan dipegang Umar Ibn al-Khaththab, himpunan
Al-Qur'an pun beralih ke tangan Umar. Ketika Umar meninggal, dan kekhalifahan
dijabat Utsman Ibn Affan, untuk sementara waktu himpunan Al-Qur'an tersebut
dirawat oleh Hafshah binti Umar karena dua alasan; pertama, Hafshah seorang
hafizhah, dan kedua, dia juga salah seorang istri Nabi di samping
sebagai anak seorang Khalifah. Untuk kepentingan penggandaan di zaman Utsman,
seperti akan diurai, mushhaf dari tangan Hafshah binti Umar itulah yang
kemudian diambil alih.
3.
Tahap Penggandaan di
Zaman Khalifah Utsman Ibn Affan
Dalam perjalanan selanjutnya, ketika jabatan
Khalifah dipegang Utsman Ibn Affan dan Islam tersiar secara luas sampai ke Syam
(Syiria), Irak dan lain-lain, ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak
diinginkan kaum muslimin. Singkatnya, ketika Utsman mengerahkan bala tentara
Islam ke wilayah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan,
tiba-tiba Hudzaifah Ibn al-Yaman menghadap Khalifah Utsman dengan maksud
memberi tahu Khalifah bahwa di kalangan kaum muslimin di beberapa daerah
terdapat perselisihan pendapat mengenai tilawah (bacaan) Al-Qur'an.
Hudzaifah mengusulkan kepada Utsman supaya
perselisihan itu segera dipadamkan dengan cara menyalin dan memperbanyak
Al-Qur'an yang telah dihimpun di masa Abu Bakar untuk kemudian dikirimkan ke
beberapa daerah kekuasaan kaum muslimin. Dengan demikian, diharapkan agar
perselisihan dalam soal tilawah Al-Qur'an itu tidak berlarut-larut seperti yang dialami orang-orang Yahudi dan Nasrani
dalam mempersengketakan kitab sucinya masing-masing sehingga kemudian
melahirkan teks-teks kitab suci yang berlainan satu dengan yang lain.
4.
Tahap Pencetakan
Al-Qur'an
Pemeliharaan
Al-Qur'an terus dilakukan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia
tulis-menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan. Akan halnya buku-buku
dan media cetak lainnya, Al-Qur'an pun untuk pertama kali dicetak di kota
Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M.
Sejak pencetakan yang
pertama itu, pencetakan Al-Qur'an terus-menerus mengalami kemajuan yang sangat
berarti. Hampir atau bahkan tidak ada satu pun negara Islam atau yang
berpenduduk mayoritas bahkan yang minoritas sekalipun yang tidak memiliki
percetakan ayat tepatnya yang tidak mencetak Al-Qur'an termasuk Indonesia.
Lebih dari itu,
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, lebih-lebih yang
menyatakan diri sebagai negara Islam, telah memiliki panitia khusus yang bertugas
mentashhih setiap percetakan Al-Qur'an. Di Indonesia, misalnya telah
memiliki kepanitiaan tersebut sejak hampir setengah abad yang lalu.
Untuk menjaga
kemurnian Al-Qur'an yang diterbitkan di Indonesia ataupun yang didatangkan dari
luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Agama telah membentuk
suatu panitia yang bertugas untuk memeriksa dan mentashhih Al-Qur'an
yang akan dicetak dan yang akan diedarkan, yang dinamai "Lajnah Pentashhih
Mushhaf Al-Qur'an", yang ditetapkan dengan penetapan Menteri Agama No.37
Tahun 1957, yang telah diperbarui dengan Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun
1980. Untuk melaksanakan tugas Lajnah tersebut diangkatlah anggota Lajnah
dengan suatu Keputusan Menteri Agama yang diperbarui setiap tahun atau
set"" ap kali diperlukan.
5.
Pengajaran Al-Qur'an
di Berbagai Dunia Islam
Seiring dengan
kemajuan dunia cetak-mencetak Al-Qur'an, upaya pemeliharaan kesucian dan
kemuliaan Al-Qur'an melalui sistem hafalan tetap dipertahankan hingga kini.
Hampir tidak ada negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas bahkan
minoritas sekalipun yang tidak mengupayakan lembaga pendidikan yang secara
khusus membina dan mendidik para pelajarnya untuk menghafal Al-Qur'an.
Di Makkah, dan kota-kota lain dalam jazirah
Arab umumnya, baik dengan maktab maupun madrasah serta darul ulum dan
lain-lain, pelajaran Al-Qur'an termasuk penghafalan di dalamnya diajarkan
sedemikian rupa. Demikian pula di Madinah di antaranya Madrasah Tahzhib li
Tahfizh Al-Qur'an al-Karim, yang didirikan pada masa Ibn Sa'ud dan diresmikan
pada tahun 1935. Madrasah ini tentu telah melahirkan sekian banyak
hafizh-hafizhah.
Di Mesir, sekolah-sekolah Awaliyah (setingkat
madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar) diwajibkan menghafal Al-Qur'an. kalau
mereka hendak menamatkan pelajaran di sekolah-sekolah awaliyah dan hendak
meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah Muslimin, maka hafalan mereka
tentang Al-Qur'an itu selalu.diuji, sehingga pelajar-pelajar lulusan sekolah
Muslimin telah hafal Al-Qur'an seluruhnya dengan baik. Untuk mengambil ijazah sekolah persiapan Darul Ulum, pelajar-peiajar
diuji dalam hafalan Al-Qur'an al-Karim. Di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di
Al-Azhar pun diwajibkan menghafal Al-Qur'an, begitu pula halnya di
negara-negara Arab yang lain, kegiatan menghafal Al-Qur'an itu dapat dilihat
dengan jelas.
Demikian juga di
sejumlah negara Islam yang lain semisal Pakistan, Siria, Iran, dan lain
sebagainya. Termasuk di Indonesia. Di negara yang umat muslimnya terbesar di
seluruh dunia ini, pelajaran Al-Qur'an termasuk penghafalannya mendapat
perhatian yang cukup serius dari kalangan muslimin sendiri maupun dari pemerintah Republik Indonesia. Keberadaan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (Institut PTIQ) dan Institut Ilmu
Al-Qur'an , keduanya di Jakarta,
mengisyaratkan antusiasme umat Islam Indonesia bagi penghafalan Al-Qur'an pada khususnya dan pembelajaran Al-Qur'an
pada umumnya. Demikian pula dengan sejumlah pondok pesantren yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia yang mengkhususkan dirinya
sebagai pondok pesantren
Al-Qur'an.
C.
Pembukuan
Al-Qur’an
Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda
berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus
untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan
lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri.
Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga
menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[5]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan
kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian
bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau
begitu”.[6] Pembukuan
Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat
Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat
yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk
Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi
memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan
timbul perbedaan bentukqira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa
kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi
sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman
kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif
sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang
dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan
meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni
membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok
dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan
dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna
meminjam Mushafyang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut,
lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya.
Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash
dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin,
kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung
pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ
اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ،
فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan
Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya
dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan
bahasa merek.[7]
Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati,
yang kemudian melahirkan satu Mushaf yang satu dan
dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke
daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan
bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf yang lainnya
dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an,
apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan
tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an
adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui
ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar
yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan
“urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”.
Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[8]
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat
Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada
banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib
urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang
tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[9] Pendapat
yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai
turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata,
sebagaimana dikutif dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan
Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda [10] yang
artinya “Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali
aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh
huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku
mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku
perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum
pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya
saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai
sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah
yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah
yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah,
Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak
seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw.
Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang
paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu
diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka
bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[11]
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks
Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan
untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman
inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kuttab al-wahy (para penulis wahyu), diantaranya adalah Khalifah yang empat (Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Zayd bin Abi Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’awiyah
bin Abi Sufyin, Hanzhalah bin al-Rabi’, Zubayr bin al-Awwan,’Amir bin Fuhayrah,
‘Abdullah bin al-Arqam, Mughirah bin Syu’bah, ‘Abdullah bin Rawahah, Khalid bin
al-Walid, Tsabit bin Qays, dan lain-lain.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa
awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tempat diturunkannya
Al-Qur'an-tergolong ke dalam bangsa yang buta aksara, tidak pandai membaca dan menulis
Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda
berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus
untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan
lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri.
Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga
menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.
B.
Saran
Makalah yang telah
pemakalah sajikan ini, semoga kita bisa memahami dan mengamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta :
Pustaka Firdaus,1985
al-Qaththan Syekh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006
Shihab M. Quraish, Sejarah dan ‘Uluml Qur`an, cet. iii, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Suma
Muhammad Amin, ulumul
Qur’an, Jakarta : Rajawali,2013
Departemen
Agama Republik Indonesia, Muqaddimah
Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002
Amal Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya
dan Agama, Yogyakarta. 2001
al-Qaththan Manna’ Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an Beirut: Mansyurat al-‘Asr
al-Hadits, t.th.
Umar Nasaruddin, Ulumul Qur’an mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an, Jakarta, Al-Gazali
Centre, Juli 2008
[1] Subhi As-Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1985) h. 75
[2] Syekh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006).h.150
[4] Muhammad
Amin Suma, ulumul Qur’an (Jakarta : Rajawali,2013) h.46-47
[5] Departemen
Agama Republik Indonesia, Muqaddimah
Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19
[6] Taufik
Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an, Cet. I;
Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h.132
[7] Manna’
al-Qaththan Mabahits
Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut:
Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.), h. 128.
[8] H.
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an
(mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an),Jakarta, Al-Gazali Centre,
Juli 2008. H. 152
[10] Syaikh
Manna’ Al-Qathnhan, Pengantar
Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta;
Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012. H. 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)