Selasa, 19 April 2016

ULUMUL QUR’AN- PENULISAN DAN KODIFIKASI AL-QURAN



MAKALAH
ULUMUL QUR’AN-
Tentang
PENULISAN DAN KODIFIKASI AL-QURAN


Disusun oleh :











Dosen pembimbing :
Drs. Syamsir,MA
H. Erizl Ilyas,MA




JURUSAN  ILMU PERPUSTAKAAN (D)
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
INSTTUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M


 
BAB I


PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup  bagi segenap manusia yang mengakui kebenarannya. Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir yang dibekali dengan wahyu dalam bentuk al-Qur`an, menyampaikan dan menyebarluaskan al-Qur`an kepada sahabat-sahabatnya, terus kepada generasi-generasi selanjutnya sampai kemapa umat dalam konteks kekinian.
Sejak al-Qur`an diturunkan, sampai saat ini kita dapati dalam cetakan-cetakan yang sangat teratur dan sistematis, begitu juga dengan penulisannya dalam ukururan besar dan kecil, tentu tidak terjadi dengan proses yang sederhana. Namun sebelumnya membutuhkan kerja keras para sahabat dan generasi selanjutnya, sehingga lahirlah al-Qur`an dalam bentuk mushaf seperti sekarang ini. Di samping itu berbagai cabang ilmu, yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sejarah al-Qur`an secara umum.

Seiring dengan perjalanan waktu dalam kondisi sekarang, sebagai pemerhati dan peduli terhadap eksistensi al-Qur`an, sepatutnya memahami esensi al-Qur`an dan ilmu yang berkaitan. Untuk itulah penulis dalam makalah ini mencoba membahas tentang al-Qur`an, yang secara spesifik menguraikan tentang konsepsi ‘ulumul Qur`an, sejarah turun al-Qur`an dan pemeliharaannya. Dengan menelaah berbagai referensi refresentatif diharapkan memberikan pemahaman dan esensi dari tema yang dibahas, sehingga memberi nilai kebermanfaatan bagi semua.        


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kuttab Al-Wahyi
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan oleh Nabi. Oleh karena itu, ketika wahyu dating, Nabi langsung menghafal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang pertama yang menghafal al-Quran. Tindakan Nabi ini kemudian ditiru oleh para sahabatnya. Imam al-Bukhori mencatat tujuh orang sahabat yang dikenal sebagai penghafal al-Quran, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal (mwla Abu Hudzafah), Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin al-Salkan, dan Abu al-Darda’. Riwayat al-Bukhori tentang jumlah tersebut tidaklah menutup kemungkinan adanya sahabat lain yang juga menhafal al-Qursn. Abu Syuhbah menyebut beberapa penghafal dari kalang perempuan, yaitu ‘A’isyah, Hafshah, Ummu Shalah, dan Ummu Waraqah.
Kuttab al-wahy (para penulis wahyu), diantaranya adalah Khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali)[1], Zayd bin Abi Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’awiyah bin Abi Sufyin, Hanzhalah bin al-Rabi’, Zubayr bin al-Awwan,’Amir bin Fuhayrah, ‘Abdullah bin al-Arqam, Mughirah bin Syu’bah, ‘Abdullah bin Rawahah, Khalid bin al-Walid, Tsabit bin Qays, dan lain-lain.
Pada tahapan awal dalam pemeliharaan al-Qur`an dilakukan dengan hafadhahu(menghafalnya dalam hati) oleh para jumma’ul Qur`an, yakni huffadhul Qur`an (para pengahfalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkannya dalam hati. Rasulullah Saw amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya.[2] Tidak ketinggalan dengan sahabat-sahabatnya yang selalu menerima pemberitaan wahyu dari Nabi Saw. Mereka juga menghafalnya, dan terkenalnya tujuh huffadh al-Qur`an terkenal yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari melalui tiga jalur periwayatan. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil, Muadz bin Jabal. Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda`.
Rasulullah mengangkat para penulis al-Qur`an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mua’awiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zait bin Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkannya dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Sebagian dari mereka juga menulisnya atas inisiatif sendiri dengan menggunakan media pelepah korma, lempengan batu, papan titpis, kulit dan daun kayu, palana, dan potongan tulang belulang binatang.
Pada masa Khalifah Utsman  bin Affan barulah ayat-ayat itu dibukukan dengan menyalin lembaran-lembaran pertama pada masa Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf, yang dikenal kemudian dengan Mushaf Utsmani. Penyalinan mushaf berkembang terus-menerus dari masa ke masa hingga ke wilayah Nusantara. Sejak abad ke-XVI sampai dengan abad ke-XIX Mushaf Nusantara banyak kita temui, unsur kreativitas lokal sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam dan sangat khas. Kreativitas dan gairah penulisan seni mushaf tumbuh kembali pada akhir abad IXX dimulai dari Mushaf Istiqlal (1991-1995) dalam rangkaian peringatan emas 50 tahun Indonesia. Dilanjutkan penulisan mushaf pesantren; Mushaf Wonosobo (1995), Mushaf Sundawi (1997), Mushaf Hj. Fathimah Soeharto (2000), Mushaf Jakarta (2002), Mushaf Kalimantan Barat (2003), dan Mushaf Banten (2010) dll.
Beberapa karakter proses pemeliharaan al-Qur`an dan hasil yang diperoleh pada masa Nabi dalam bentuk pencatatan dan pembukuan, antara lain:
1)      Penulisan al-Qur`an dilakukan ketika wahyu turun.
2)      Penyusunan urutan ayat-ayat dalam surat-surat sesuai petunjuk Nabi
3)      Ayat-ayat tertulis secara terpisah pada kepingan-kepingan, tulang, pelepah kurma, batu-batu, dan sebagainya.[3]
4)      Al-Qur`an tidak dalam bentuk mushaf
5)      Tidak adanya tanda baca dan simbol-simbol lainnya.

B.     Periode penulisan al-Qur’an
1.      Tahapan Pencatatan di Zaman Nabi Muhammad Saw.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur'an-tergolong ke dalam bangsa yang buta aksara, tidak pandai membaca dan menulis. Kalaupun ada yang bisa baca dan tulis, itu hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tangan. Bahkan Nabi Muhammad Saw. sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan menulis. Kebutaaaksaraan bangsa arab dank e-ummi-an Nabi Muhammad Saw., tegas-tegas diakui al-Qur’an dalam ayat di bawah ini:[4]
 uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ  

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Dari  ayat di atas, dapatlah dipahami bahwa Nabi Muhammad Saw. paling sedikit di masa-masa awal kenabiannya adalah Nabi/Rasul yang ummi, yang tidak pernah membaca dan menulis suatu kitab apa pun. Dan bangsa Arab yang pertama kali menerima AI-Qur'an pada umumnya juga adalah bangsa yang ummi, tidak mampu membaca dan menulis kecuali segelintir saja dari mereka. Dan karenanya, mudah dimengerti jika surat Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw: ialah surat Iqra' wa al-Qalam (surat perintah membaca dan menulis) yang lebih populer dengan nama surat Al-Alaq [96].
Kekuatan daya hafal bangsa Arab -dalam hal ini para sahabat-benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh Nabi dengan memerintahkan mereka supaya menghafal setiap kali ayat Al-Qur'an diturunkan. Sementara yang pandai menulis, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin bertambah banyak oleh Nabi diperintahkan atau minimal dibolehkan mencatat Al-Qur'an setiap kali beliau menerima ayat-ayat Al-Qur'an.
Sehubungan dengan itu, maka tercatatlah para hafizh dan hafizhah (pria dan wanita penghafal Al-Qur'an), di samping para katib (pencatat/penulis) Al-Qur'an yang sangat andal. Bahkan tidak jarang dari kalangan mereka ada yang di samping penulis Al-Qur'an, juga sekaligus sebagai penghafal. Atau, dengan kalimat lain, menjadi katib dan sekaligus sebagai hafizh, yang jumlahnya mencapai puluhan orang.
Sejarah memang mencatat bahwa dari sekian banyak penulis resmi ayat­ayat Al-Qur'an yang diterima Rasul, dan kemudian disampaikan kepada para sahabatnya, Zaid Ibn Tsabit-lah yang paling profesional dan paling andal melakukannya. Dengan sangat cermat dan teliti, Zaid dan kawan-kawan selalu mencatat ayat-ayat Al-Qur'an dan menempatkan serta mengurutkannya teks­teks surat Al-Qur'an itu sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad Saw.

2.      Tahap Penghimpunan di Zaman Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq
Penghimpunan Al-Qur'an ke dalam satu mushhaf, baru dilakukan di zaman khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (11-13 H/632-634 M), tepatnya setelah terjadi peperangan Yamamah (12 H/633 M). Dalam peperangan Yamamah ini, konon terbunuh sekitar 70-an orang syuhada, yang hafal Al-Qur'an dengan amat baiknya. Padahal, sebelum peristiwa yang mengenaskan itu terjadi, telah pula meninggal 70 qurra' lainnya pada peperangan di sekitar Sumur Ma'unah, yang terletak di dekat kota Madinah.
Menyaksikan dua peristiwa tragis yang merenggut banyak korban dari kalangan qari dan hafizh itu, di samping mereka yang meninggal dunia karena sebab-sebab lain, Umar Ibn al-Khaththab, salah seorang sahabat paling senior yang jauh pandangannya ke masa depan dan terkenal sangat tajam analisisnya, segera mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun Al-Qur'an. Sungguh pun pada mulanya Abu Bakar merasa keberatan untuk mengabulkan usulan Umar, dengan alasan-antara lain-karena Nabi tidak pernah melakukan hal seperti itu dan tidak pernah pula memerintahkannya yang menyebabkan Abu Bakar tidak memiliki keberanian moral untuk melakukannya; namun, atas desakan kuat Umar Ibn al-Khaththab dengan dalil demi kemaslahatan umat dan pelestarian Al-Qur'an itu sendiri, maka Abu Bakar pun-setelah beberapa kali melakukan shalat istikharah lebih dulu-menerima saran Umar berikut argumentasinya di atas.
Panitia penghimpunan yang semuanya hafal dan penulis Al-Qur'an termasyhur itu dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun-yakni sesudah peristiwa peperangan Yamamah (12 H/633-M) dan sebelum wafat Abu Bakar (13 H/634 M)-tanpa mengalami hambatan yang berarti.
Satu-satunya gangguan teknis-jika boleh dikatakan demikian-ialah riwayat yang menyebutkan bahwa Zaid dan kawan-kawan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari surat Al-Taubah (9); padahal, semua panitia yakin bahwa kedua ayat itu adalah Al-Qur'an. Setelah Zaid bekerja keras dan mengumumkannya kepada khalayak ramai, diperolehlah catatan kedua ayat tersebut dari sahabat lainnya yang bernama Abu Khuzaimah al­Anshari. Setelah disumpah dan diperiksa keaslian tulisannnya, maka Zaid pun atas kesepakatan semua panitia, menerima catatan Abu Khuzaimah tersebut.
Himpunan Al-Qur'an yang dilakukan Zaid Ibn Tsabit kemudian dipegang Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq hingga akhir hayatnya. Dan ketika kekhalifahan dipegang Umar Ibn al-Khaththab, himpunan Al-Qur'an pun beralih ke tangan Umar. Ketika Umar meninggal, dan kekhalifahan dijabat Utsman Ibn Affan, untuk sementara waktu himpunan Al-Qur'an tersebut dirawat oleh Hafshah binti Umar karena dua alasan; pertama, Hafshah seorang hafizhah, dan kedua, dia juga salah seorang istri Nabi di samping sebagai anak seorang Khalifah. Untuk kepentingan penggandaan di zaman Utsman, seperti akan diurai, mushhaf dari tangan Hafshah binti Umar itulah yang kemudian diambil alih.
3.      Tahap Penggandaan di Zaman Khalifah Utsman Ibn Affan
Dalam perjalanan selanjutnya, ketika jabatan Khalifah dipegang Utsman Ibn Affan dan Islam tersiar secara luas sampai ke Syam (Syiria), Irak dan lain-lain, ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diinginkan kaum muslimin. Singkatnya, ketika Utsman mengerahkan bala tentara Islam ke wilayah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan, tiba-tiba Hudzaifah Ibn al-Yaman menghadap Khalifah Utsman dengan maksud memberi tahu Khalifah bahwa di kalangan kaum muslimin di beberapa daerah terdapat perselisihan pendapat mengenai tilawah (bacaan) Al-Qur'an.
Hudzaifah mengusulkan kepada Utsman supaya perselisihan itu segera dipadamkan dengan cara menyalin dan memperbanyak Al-Qur'an yang telah dihimpun di masa Abu Bakar untuk kemudian dikirimkan ke beberapa daerah kekuasaan kaum muslimin. Dengan demikian, diharapkan agar perselisihan dalam soal tilawah Al-Qur'an itu tidak berlarut-larut seperti  yang dialami orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam mempersengketakan kitab sucinya masing-masing sehingga kemudian melahirkan teks-teks kitab suci yang berlainan satu dengan yang lain.
4.      Tahap Pencetakan Al-Qur'an
Pemeliharaan Al-Qur'an terus dilakukan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis-menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan. Akan halnya buku-buku dan media cetak lainnya, Al-Qur'an pun untuk pertama kali dicetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M.
Sejak pencetakan yang pertama itu, pencetakan Al-Qur'an terus-menerus mengalami kemajuan yang sangat berarti. Hampir atau bahkan tidak ada satu pun negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas bahkan yang minoritas sekalipun yang tidak memiliki percetakan ayat tepatnya yang tidak mencetak Al-Qur'an termasuk Indonesia.
Lebih dari itu, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, lebih-lebih yang menyatakan diri sebagai negara Islam, telah memiliki panitia khusus yang bertugas mentashhih setiap percetakan Al-Qur'an. Di Indonesia, misalnya telah memiliki kepanitiaan tersebut sejak hampir setengah abad yang lalu.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an yang diterbitkan di Indonesia ataupun yang didatangkan dari luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Agama telah membentuk suatu panitia yang bertugas untuk memeriksa dan mentashhih Al-Qur'an yang akan dicetak dan yang akan diedarkan, yang dinamai "Lajnah Pentashhih Mushhaf Al-Qur'an", yang ditetapkan dengan penetapan Menteri Agama No.37 Tahun 1957, yang telah diperbarui dengan Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1980. Untuk melaksanakan tugas Lajnah tersebut diangkatlah anggota Lajnah dengan suatu Keputusan Menteri Agama yang diperbarui setiap tahun atau set"" ap kali diperlukan.
5.      Pengajaran Al-Qur'an di Berbagai Dunia Islam
Seiring dengan kemajuan dunia cetak-mencetak Al-Qur'an, upaya pe­meliharaan kesucian dan kemuliaan Al-Qur'an melalui sistem hafalan tetap dipertahankan hingga kini. Hampir tidak ada negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas bahkan minoritas sekalipun yang tidak mengupayakan lembaga pendidikan yang secara khusus membina dan mendidik para pelajarnya untuk menghafal Al-Qur'an.
Di Makkah, dan kota-kota lain dalam jazirah Arab umumnya, baik dengan maktab maupun madrasah serta darul ulum dan lain-lain, pelajaran Al-Qur'an termasuk penghafalan di dalamnya diajarkan sedemikian rupa. Demikian pula di Madinah di antaranya Madrasah Tahzhib li Tahfizh Al-Qur'an al-Karim, yang didirikan pada masa Ibn Sa'ud dan diresmikan pada tahun 1935. Madrasah ini tentu telah melahirkan sekian banyak hafizh-hafizhah.
Di Mesir, sekolah-sekolah Awaliyah (setingkat madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar) diwajibkan menghafal Al-Qur'an. kalau mereka hendak me­namatkan pelajaran di sekolah-sekolah awaliyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah Muslimin, maka hafalan mereka tentang Al-Qur'an itu selalu.diuji, sehingga pelajar-pelajar lulusan sekolah Muslimin telah hafal Al-Qur'an seluruhnya dengan baik. Untuk mengambil ijazah sekolah persiapan Darul Ulum, pelajar-peiajar diuji dalam hafalan Al-Qur'an al-Karim. Di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di Al-Azhar pun diwajibkan menghafal Al-Qur'an, begitu pula halnya di negara-negara Arab yang lain, kegiatan menghafal Al-Qur'an itu dapat dilihat dengan jelas.
Demikian juga di sejumlah negara Islam yang lain semisal Pakistan, Siria, Iran, dan lain sebagainya. Termasuk di Indonesia. Di negara yang umat muslimnya terbesar di seluruh dunia ini, pelajaran Al-Qur'an termasuk penghafalannya mendapat perhatian yang cukup serius dari kalangan muslimin sendiri maupun dari pemerintah Republik Indonesia. Keberadaan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (Institut PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur'an , keduanya di Jakarta, mengisyaratkan antusiasme umat Islam Indonesia bagi penghafalan Al-Qur'an pada khususnya dan pembelajaran Al-Qur'an pada umumnya. Demikian pula dengan sejumlah pondok pesantren yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia yang mengkhususkan dirinya sebagai pondok pesantren Al-Qur'an.

C.     Pembukuan Al-Qur’an
Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[5]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[6] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentukqira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius  serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf  itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah. 
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushafyang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf  tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa merek.[7]

Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf  yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf  ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf  yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[8]
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[9] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif  dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda [10] yang artinya “Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[11]
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani. 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kuttab al-wahy (para penulis wahyu), diantaranya adalah Khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Zayd bin Abi Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’awiyah bin Abi Sufyin, Hanzhalah bin al-Rabi’, Zubayr bin al-Awwan,’Amir bin Fuhayrah, ‘Abdullah bin al-Arqam, Mughirah bin Syu’bah, ‘Abdullah bin Rawahah, Khalid bin al-Walid, Tsabit bin Qays, dan lain-lain.
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur'an-tergolong ke dalam bangsa yang buta aksara, tidak pandai membaca dan menulis
Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.
B.     Saran
Makalah yang telah pemakalah sajikan ini, semoga kita bisa memahami dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA


As-Shalih Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta : Pustaka Firdaus,1985

al-Qaththan Syekh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006

Shihab M. Quraish, Sejarah dan ‘Uluml Qur`an, cet. iii, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Suma Muhammad  Amin, ulumul Qur’an, Jakarta : Rajawali,2013

Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002

Amal Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001

al-Qaththan  Manna’ Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an  Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.

Umar Nasaruddin, Ulumul Qur’an  mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an, Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008



[1] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1985) h. 75
[2] Syekh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006).h.150

[3] M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Uluml Qur`an, cet. iii, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h.32
[4] Muhammad Amin Suma, ulumul Qur’an (Jakarta : Rajawali,2013) h.46-47
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19
[6] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h.132
[7] Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.), h. 128.
[8]  H. Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an),Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008. H. 152
[9] Ibid. h. 153
[10] Syaikh Manna’ Al-Qathnhan, Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012. H. 195
[11]  Ibid h. 196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog