MAKALAH
PERBANDINGAN MAZHAB USHUL FIQIH I
Tentang
KEHUJJAHAN AL-MASLAHA AL-MURSALAH ( ISTIHLAH)
OLEH :
IHSANUL ARIF BUDIMAN
1313020197
DOSEN PEMBIMBING
Dr. ZAINAL ANWAR,M.Ag
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Semua
ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah.
Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan maslahat
itu Allah menetapkan hukum syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat
itu yang mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.
Meskipun
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah tersebut, tetapi
perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam
hukum. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah mentepakan hukum bukan karena
terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi semata-mata karena iradat dan
qudrat-Nya. Tidak satupun yang mendesak, mendorong atau memaksa Allah
menetapkan hukum. Ia berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan
kemaslahatan, karena kasih sayang-Nya, maka ia menginginkan hamba-Nya selalu
berada dalam kemaslahatan.
Dari
penjelasan tersebut, tampak betapa pentingnya maslahat dalam kehidupan manusia.
Apalagi terkait dengan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk secara syar’i
baik dalam Alquran dan Hadis Nabi, maka dengan merujuk kepada kemaslahatan
manusia, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pertimbangan akal,
tapi tidak keluar atau berpaling dari tujuan syara’. Salah satu bentuk
ketetapan hukum yang membahas masalah tersebut disebut dengan maslahah
mursalah, yang selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Maslahah al-Mursalah
Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh
al-manfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah,seperti
halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u.[1]
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah.
maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut
imam al gazali (mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa
suatu kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan
dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya
dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa
nafsu.[2]
Sedangkan maslahah mursalah :
هو كل مصلحة لم ير د في الشرع نص على اعتبار
ها او بنو عها
“Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat
(AL-Qur’an dan sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”
Menurut istilah
ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I
dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak
terdapat dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.[3]
Suatu kaidah fiqhiyyah menyatakan bahwa “menolak
kerusakan/kemadharatan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan
kemashlahatan”.[4] Dari kaidah tersebut dapat ditarik benang merah bahwa muara dari
terbentuknya fiqh (hukum Islam) adalah maslahah. Secara etimologi, masalahah merupakan bentukan
dari kara shalaha, yashluhu, shulhan, shilahiyyatan, yang berarti faedah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan.[5]
Sedangkan
secara terminologi, maslahah diartikan sebagai
sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak
kerusakan/kemadharatan.[6] Namun pengertian tersebut bukanlah pengertian yang dimaksudkan
oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih
al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah dalam term mashalih
al-mursalah adalah al-muhafazhah ‘ala
maqasid al-syari’ah (memelihara /melindungi
maksud-maksud hukum syar’i).[7]
B.
Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama Tentang Kehujjahan Al-Maslaha
Al-Mursalah Dan Alasan Mereka Masing-Masing
Tidak dapat disangkal bahwa di kalangan mazhab ushul
memang terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah dan
kehujjahannya dalam hukum Islam baik yang menerima maupun menolak. Imam Malik
beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan
maslāhah mursālah sebagai metode ijtihad. Imam Muhammad Abu Zahra bahkan
menyebutkan bahwa Imam Malik dan pengikutnya merupakan mazhab yang mencanangkan
dan menyuarakan maslāhah mursālah sebagai dalil hukum dan hujjah syar’iyyah.[8] Maslāhah mursālah lah juga
digunakan dikalangan non Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut mereka
maslāhah mursālah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash,
bukan dari nash rinci seperti yang berlaku dalam qiyas.[9] Bahkan Imam Syatibi
mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslāhah mursālah itu bersifat qat’i,
sekalipun dalam penerapannya bersifat zhanni (relatif).[10]
Adapun pandangan ulama Hanafi terhadap maslāhah
mursālah terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Hamidi banyak ulama Hanafi
yang tidak mengamalkannya, namun menurut Ibnu Qudaimah, sebagian ulama Hanafi
menggunakan maslāhah mursālah, tampaknya pendapat ini lebih tepat karena
kedekatan metode ini dengan istihsān di kalangan ulama
Hanafiah.[11] Begitu
pula pada pandangan ulama Syafi’iyah ada perbedaan pendapat. Al-Amidi dan Ibnu
al-Hajib dalam kitabnya al-Bidākhsyi, mengatakan bahwa ulama
Syafi’iyah tidak menggunakan maslahah mursalah, karena Syafi’i sendiri tidak pernah
menyinggung metode ini dalam kitabnya al-Risālah. Namun ulama lain
seperti al-Ghazali menukilkan bahwa imam Syafi’i pernah menggunakan maslahah
mursalah dalam berhujjah. Akan tetapi, Imam Syafi’i memasukkannya dalam qiyas.[12]
Adapun kalangan ulama yang menolak penggunaan maslāhah
mursālah adalah al-Zahiriyah, Bahkan dikabarkan bahwa mazhab Zahiriyah
merupakan mazhab penentang utama atas kehujjahan maslāhah mursālah. ulama
Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qādhi
al-Baidhāqi juga menolak penggunaan maslāhah mursālah dalam
berijtihad.
Berikut ini akan dijelaskan perbedaan
pendapat antara kalangan mazhab ushul yang menerima dan yang menolak serta
argumentasi mereka masing-masing.
a.
Kelompok pertama mengatakan bahwa
maslāhah mursālah adalah merupakan salah satu dari sumber hukum dan sekaligus
hujjah syariah. Adapun argumentasi kelompok ini adalah:
1. Adanya taqrir (pengakuan)
Nabi atas penjelasan Mu’az bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi
bila tidak menemukan ayat Alquran dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah
kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau
suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk
mencari dukungan nash.
2. Adanya
amaliah praktek yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi tentang penggunaan
maslāhah mursālah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para
sahabat tanpa saling menyalahkan. Misalnya, para sahabat telah menghimpun
Alquran dalam satu mushaf, dan ini dilakukan karena khawatir Alquran bisa
hilang. Hal ini tidak ada pada masa Nabi dan tidak pula ada larangannya.
Pengumpulan Alquran dalam satu mushaf ini, semata-mata demi kemaslahatan. Dan
dalam prakteknya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah yang sama
sekali tidak ditemukan satu dalil pun yang melarang atau
menyuruhnya.Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah
sesuai dengan tujuan syara’, maka harus diamalkan sesuai dengan tujuan itu.
Jika mengenyampingkan berarti telah mengenyampingkan tujuan syariat dan hal itu
dianggap batal dan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, berpegang kepada
mashlahat adalah suatu kewajiban.[13]
3. Suatu
maslahat bila nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat
hukum (Syari’), maka menggunakan maslahat tersebut berarti telah memenuhi
tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus ynag mendukungnya.
Sebaiknya apabila tidak digunakan untuk menetapkan suatu kemaslahatan dalam
kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh syar’i.
Karena itu dalam menggunakan maslahah mursalah itu sendiri tidak keluar dari
prinsip-prinsip syara’.
4. Sesungguhnya
tujuan pensyariatan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak
timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia. Dan tidak dapat diragukan lagi
bahwa kemaslahatan itu terus berkembang dengan perkembangan zaman dan begitu
pula kemaslahatan itu akan terus berubah dengan perubahan situasi dan
lingkungan. Jika kemaslahatan itu tidak dicermati dan direspon dengan ketetapan
yang sesuai kecuali hanya terpaku kepada dalil, niscaya kemaslahatan itu akan
hilang dari kehidupan manusia.[14]
b.
Kelompok kedua berpendapat bahwa
maslāhah mursālah tidak dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
Adapun argumentasi mereka adalah:
1. Bila
suatu maslahat ada petunjuk syar’i yang membenarkannya, maka ia telah termasuk
bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya,
maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu yang
di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Alquran dan
sunnah Nabi.
2. Beramal
dengan maslahat yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan
membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan
menurut hawa nafsu. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan maslāhah mursālah
sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya.
3. Menggunakan
maslahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan
munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang mengakibatkan seseorang
teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum
dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4. Seandainya
dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang tidak mendapat dukungan dari nash,
maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan
berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga karena
berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak
akan ada kepastian hukum.
C.
Pendapat Terpilih Menurut Pemakalah
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dikalangan para
ulama dan argumennya masing-masing, ulama yang menerima dan menolak metode
maslāhah mursālah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip.
Kelompok yang menerima, ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan
menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula kelompok yang menolak
ternyata dasar penolakannya adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan
tergelincir pada kesalahan jika samapai menetapkan hukum dengan sekehendak hati
dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya kekhawatiran ini dapat dihindarkan,
umpanya telah ditemukan garis kesamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan
menggunakan maslāhah mursālah dalam berijtihad, sebagaimana Imam Syafi’i
sendiri melakukannya.
Oleh karena itu, maslāhah mursālah merupakan bagian
dari syariat yang tidak boleh dikesampingkan. Meskipun ia tidak disebutkan
dalam nash secara tekstual, tapi secara substansial ia
dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok
mereka. Oleh karena itu, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa maslāhah
mursālah merupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting dan
memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu
mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat. [15]
D.
Maslahah Mursalah di Zaman Kontenporer
Didalam
penerapan realita pemakalah akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU
No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban
tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun secara
harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang
melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat
manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan
tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh
karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash
tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
Demikian
juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang
batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur
secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan
oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan
16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan
raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.
Kemudian
dapat pamakalah inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundang-undangan
dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain
Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu
yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan
keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan
anak-anak mereka.
Selain
ketentuan-ketentuan hukum produk pemerintah, perlu dikemukakan keputusan-keputusan
hukum oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI,
sehingga akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pembinaan hukum di
Indonesia. Namun di sini pamakalah hanya akan mengemukakan secara global saja
tentang kasus-kasus tertentu yang keputusannya didasarkan atas pertimbangan
maslahah.
Sebagai
akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak
kasusu-kasus yang timbul yang tenth memerlukan status hukum, contoh seperti
program KB, bayi tabung, iminasi buatan pada hewan, pencangkokan organ tubuh,
donor darah, operasi plastik dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan
masalah ijtihadiyah karena tidak terdapat nash hukumnya dalam Al Quran dan As
Sunah. Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan
status hukum pars Ulama tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar
maslahahlah yang paling tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif
pemecahannya. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat antara tiga organisasi tersebut
ada sedikit perbedaan dalam cara beristimbat, seperti NU misalnya, dalam
menetapkan hukum biasanya hanya didasarkan pada kitab kuning dengan cara
memperluas pengertiannya di samping selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh
tertentu yang dalam hal ini madzhab Syafi’i . meskipun keputusan NU itu
dasarnya adalah kitab kuning, tapi kalau dikaji secara metodologis, jelas
banyak sekali keputusan-keputusan hukum yang sebenarnya didasarkan atas
pertimbangan maslahah atau maslahah mursalah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maslahah
mursalah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Secara etimologi
maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan mursalah adalah
terlepas. Menurut terminologi dari beberapa pengertian yang dikemuukan oleh
para ulama ushul dapat disimpulkan bahwa maslāhah mursālah adalah suatu
maslahat yang tidak ada petunjuk dari syar’i baik itu dalam Alquran dan Hadis,
apakah hal itu diperbolehkan atau dilarang. Tapi maslahat tersebut juga tidak
boleh keluar dari prinsip-prinsip syar,i.
Para
ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan kehujjahan maslāhah mursālah.
Kelompok yang banyak memakai metode istinbath ini adalah Imam Malik dan para
pengikutnya mazhab Maliki dan ulama Hanabilah. Mereka beralasan bahwa para
sahabat juga banyak menggunakan maslāhah mursālah dalam mengambil beberapa
keputusan, perkembangan zaman dengan berjalannya waktu banyak membutuhkan
solusi dalam berbagai persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam
nash. Sedangkan ulama yang menentang maslāhah mursālah antara lain mazhab
Zahiriyah, ulama Mu’tazilah dan ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa
maslāhah mursālah dapat disalah gunakan oleh orang karena mengikuti hawa nafsu
mereka dalam memutuskan suatu persoalan.
Syarat-syarat
maslahah dapat dijadikan suatu ketetapan hukum adalah Maslahatnya merupakan hal
yang benar, bukan hanya dugaan semata. Maslahat itu bersifat umum, tidak hanya
untuk kepentingan beberapa orang. Maslahat tidak boleh keluar dari
prinsip-prinsip syari’ah. Dan maslahat hanya digunakan dalam kondisi yang
memerlukan saja.
Objek
maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak pada
wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran
dan Hadis Nabi.
B. Saran
Dengan
adanya makalah yang pemakalah paparkan tadi mengenai al-Maslaha al-Mursalah
bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan kita dan dapat kita amalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazāli Abu Hamid, Al-Mustasyfā
fī ‘Ilm al-Ushūl , Beirut;
Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1993
Al-Ghazali, Al-Mustashfa
min al-‘Ilmi al-Ushul , Beirut: al-Resalah, 1997
Asy-Syāthibi Abu Ishak, Al-Muwafaqāt
fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid IV, Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh , Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997
Mubarok
Jaih, Kaidah Fiqhiyah , Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002
Munawir Ahmad Warson, Al-Munawir:
Kamus Arab Indonesia Surabaya: Pustaka Progressif,
2002
Nurdin Zurifah, M.Ag, ushul fiqih 1, Bengkulu : 2012
Romli SA, Muqāranah
Mazāhib fil Ushūl , Cet.I;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Sya’ban, Zaky al-Din Ushūl al-Fiqh al-Islāmi ,Mesir; Matba’ah Dār al-Ta’lif, 1965
Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Jakarta : Pustaka
Setia, 1999
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih Jilid 2, Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
[3] Rachmat syafe’i, Op.,cit.
Hlm.56
[5] Ahmad
Warson Munawir, Al-Munawir:
Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), hlm. 789.
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2 (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 334.
[9] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 121.
[10] Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah
Jilid IV(Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975), h. 207
[11] Ibid
[12] Abu Hamid al-Ghazāli, Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl (Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah,
1993),h.311
[13] Romli SA, Muqāranah Mazāhib fil Ushūl (Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), h. 168.
[14] Zaky al-Din Sya’ban, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi (Mesir; Matba’ah Dār al-Ta’lif, 1965),
h. 176.
[15]
Ibid., hlm. 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)