Selasa, 19 April 2016

KEHUJJAHAN AL-MASLAHA AL-MURSALAH ( ISTIHLAH)



MAKALAH
PERBANDINGAN MAZHAB USHUL FIQIH I
Tentang
KEHUJJAHAN AL-MASLAHA AL-MURSALAH ( ISTIHLAH)






OLEH :
IHSANUL ARIF BUDIMAN
1313020197


DOSEN PEMBIMBING
Dr. ZAINAL ANWAR,M.Ag



JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M

BAB I
PENDAHULUAN


Semua ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan maslahat itu Allah menetapkan hukum syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat itu yang mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah mentepakan hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi semata-mata karena iradat dan qudrat-Nya. Tidak satupun yang mendesak, mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan kemaslahatan, karena kasih sayang-Nya, maka ia menginginkan hamba-Nya selalu berada dalam kemaslahatan.
Dari penjelasan tersebut, tampak betapa pentingnya maslahat dalam kehidupan manusia. Apalagi terkait dengan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk secara syar’i baik dalam Alquran dan Hadis Nabi, maka dengan merujuk kepada kemaslahatan manusia, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pertimbangan akal, tapi tidak keluar atau berpaling dari tujuan syara’. Salah satu bentuk ketetapan hukum yang membahas masalah tersebut disebut dengan maslahah mursalah, yang selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian al-Maslahah al-Mursalah
Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah,seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al’naf’u.[1]
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. maslahah adalah manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Menurut imam al gazali (mazhab syafi’i) maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’, ia memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejala dengan tujuan syara’ sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya dengan tujuan-tujuan manusia. Alasanya, kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.[2]
Sedangkan maslahah mursalah :
هو كل مصلحة لم ير د في الشرع نص  على اعتبار ها او بنو عها
“Adalah setiap kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash syariat (AL-Qur’an dan sunnah ) dalam mengambil pengajaran pada wujud dan macam-macam”
            Menurut  istilah ahli ushul, masalah dapat diartikan kemaslahatan yang disyariatkan oleh syar’I dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan menyalahkannya.[3]
            Suatu kaidah fiqhiyyah menyatakan bahwa “menolak kerusakan/kemadharatan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan”.[4] Dari kaidah tersebut dapat ditarik benang merah bahwa muara dari terbentuknya fiqh (hukum Islam) adalah maslahah. Secara etimologi, masalahah merupakan bentukan dari kara shalaha, yashluhu, shulhan, shilahiyyatan, yang berarti faedah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan.[5]
Sedangkan secara terminologi, maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan.[6] Namun pengertian tersebut bukanlah pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah dalam term mashalih al-mursalah adalah al-muhafazhah ‘ala maqasid al-syari’ah (memelihara /melindungi maksud-maksud hukum syar’i).[7]

B.     Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama Tentang Kehujjahan Al-Maslaha Al-Mursalah Dan Alasan Mereka Masing-Masing
Tidak dapat disangkal bahwa di kalangan mazhab ushul memang terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam baik yang menerima maupun menolak. Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslāhah mursālah sebagai metode ijtihad. Imam Muhammad Abu Zahra bahkan menyebutkan bahwa Imam Malik dan pengikutnya merupakan mazhab yang mencanangkan dan menyuarakan maslāhah mursālah sebagai dalil hukum dan hujjah syar’iyyah.[8] Maslāhah mursālah lah juga digunakan dikalangan non Maliki antara lain ulama Hanabilah. Menurut mereka maslāhah mursālah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash rinci seperti yang berlaku dalam qiyas.[9] Bahkan Imam Syatibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslāhah mursālah itu bersifat qat’i, sekalipun dalam penerapannya bersifat zhanni (relatif).[10]
Adapun pandangan ulama Hanafi terhadap maslāhah mursālah terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Hamidi banyak ulama Hanafi yang tidak mengamalkannya, namun menurut Ibnu Qudaimah, sebagian ulama Hanafi menggunakan maslāhah mursālah, tampaknya pendapat ini lebih tepat karena kedekatan metode ini dengan istihsān di kalangan ulama Hanafiah.[11] Begitu pula pada pandangan ulama Syafi’iyah ada perbedaan pendapat. Al-Amidi dan Ibnu al-Hajib dalam kitabnya al-Bidākhsyi, mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah tidak menggunakan maslahah mursalah, karena Syafi’i sendiri tidak pernah menyinggung metode ini dalam kitabnya al-Risālah. Namun ulama lain seperti al-Ghazali menukilkan bahwa imam Syafi’i pernah menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah. Akan tetapi, Imam Syafi’i memasukkannya dalam qiyas.[12]
Adapun kalangan ulama yang menolak penggunaan maslāhah mursālah adalah al-Zahiriyah, Bahkan dikabarkan bahwa mazhab Zahiriyah merupakan mazhab penentang utama atas kehujjahan maslāhah mursālah. ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qādhi al-Baidhāqi juga menolak penggunaan maslāhah mursālah dalam berijtihad.
Berikut ini akan dijelaskan perbedaan pendapat antara kalangan mazhab ushul yang menerima dan yang menolak serta argumentasi mereka masing-masing.
a.       Kelompok pertama mengatakan bahwa maslāhah mursālah adalah merupakan salah satu dari sumber hukum dan sekaligus hujjah syariah. Adapun argumentasi kelompok ini adalah:
1.      Adanya taqrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Mu’az bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Alquran dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2.      Adanya amaliah praktek yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi tentang penggunaan maslāhah mursālah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Misalnya, para sahabat telah menghimpun Alquran dalam satu mushaf, dan ini dilakukan karena khawatir Alquran bisa hilang. Hal ini tidak ada pada masa Nabi dan tidak pula ada larangannya. Pengumpulan Alquran dalam satu mushaf ini, semata-mata demi kemaslahatan. Dan dalam prakteknya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah yang sama sekali tidak ditemukan satu dalil pun yang melarang atau menyuruhnya.Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan mashlahah mursalah sesuai dengan tujuan syara’, maka harus diamalkan sesuai dengan tujuan itu. Jika mengenyampingkan berarti telah mengenyampingkan tujuan syariat dan hal itu dianggap batal dan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, berpegang kepada mashlahat adalah suatu kewajiban.[13]
3.      Suatu maslahat bila nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (Syari’), maka menggunakan maslahat tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus ynag mendukungnya. Sebaiknya apabila tidak digunakan untuk menetapkan suatu kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh syar’i. Karena itu dalam menggunakan maslahah mursalah itu sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip syara’.
4.      Sesungguhnya tujuan pensyariatan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia. Dan tidak dapat diragukan lagi bahwa kemaslahatan itu terus berkembang dengan perkembangan zaman dan begitu pula kemaslahatan itu akan terus berubah dengan perubahan situasi dan lingkungan. Jika kemaslahatan itu tidak dicermati dan direspon dengan ketetapan yang sesuai kecuali hanya terpaku kepada dalil, niscaya kemaslahatan itu akan hilang dari kehidupan manusia.[14]
b.      Kelompok kedua berpendapat bahwa maslāhah mursālah tidak dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Adapun argumentasi mereka adalah:
1.      Bila suatu maslahat ada petunjuk syar’i yang membenarkannya, maka ia telah termasuk bagian dari qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Alquran dan sunnah Nabi.
2.      Beramal dengan maslahat yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menurut hawa nafsu. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan maslāhah mursālah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya.
3.      Menggunakan maslahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4.      Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum.

C.    Pendapat Terpilih Menurut Pemakalah
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan argumennya masing-masing, ulama yang menerima dan menolak metode maslāhah mursālah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima, ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan menetapkan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula kelompok yang menolak ternyata dasar penolakannya adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada kesalahan jika samapai menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpanya telah ditemukan garis kesamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan maslāhah mursālah dalam berijtihad, sebagaimana Imam Syafi’i sendiri melakukannya.
Oleh karena itu, maslāhah mursālah merupakan bagian dari syariat yang tidak boleh dikesampingkan. Meskipun ia tidak disebutkan dalam nash secara tekstual, tapi secara substansial ia dibutuhkan manusia, lebih-lebih yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa maslāhah mursālah merupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting dan memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat. [15]

D.    Maslahah Mursalah di Zaman Kontenporer
Didalam penerapan realita pemakalah akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
 Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.
 Kemudian dapat pamakalah inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundang­-undangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.
Selain ketentuan-ketentuan hukum produk pemerintah, perlu dikemukakan keputusan-keputusan hukum oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, sehingga akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pembinaan hukum di Indonesia. Namun di sini pamakalah hanya akan mengemukakan secara global saja tentang kasus-kasus tertentu yang keputusannya didasarkan atas pertimbangan maslahah.
Sebagai akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak kasusu-kasus yang timbul yang tenth memerlukan status hukum, contoh seperti program KB, bayi tabung, iminasi buatan pada hewan, pencangkokan organ tubuh, donor darah, operasi plastik dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak terdapat nash hukumnya dalam Al Quran dan As Sunah. Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan status hukum pars Ulama tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar maslahahlah yang paling tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif pemecahannya. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat antara tiga organisasi tersebut ada sedikit perbedaan dalam cara beristimbat, seperti NU misalnya, dalam menetapkan hukum biasanya hanya didasarkan pada kitab kuning dengan cara memperluas pengertiannya di samping selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh tertentu yang dalam hal ini madzhab Syafi’i . meskipun keputusan NU itu dasarnya adalah kitab kuning, tapi kalau dikaji secara metodologis, jelas banyak sekali keputusan-keputusan hukum yang sebenarnya didasarkan atas pertimbangan maslahah atau maslahah mursalah.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Secara etimologi maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan mursalah adalah terlepas. Menurut terminologi dari beberapa pengertian yang dikemuukan oleh para ulama ushul dapat disimpulkan bahwa maslāhah mursālah adalah suatu maslahat yang tidak ada petunjuk dari syar’i baik itu dalam Alquran dan Hadis, apakah hal itu diperbolehkan atau dilarang. Tapi maslahat tersebut juga tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syar,i.
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan kehujjahan maslāhah mursālah. Kelompok yang banyak memakai metode istinbath ini adalah Imam Malik dan para pengikutnya mazhab Maliki dan ulama Hanabilah. Mereka beralasan bahwa para sahabat juga banyak menggunakan maslāhah mursālah dalam mengambil beberapa keputusan, perkembangan zaman dengan berjalannya waktu banyak membutuhkan solusi dalam berbagai persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam nash. Sedangkan ulama yang menentang maslāhah mursālah antara lain mazhab Zahiriyah, ulama Mu’tazilah dan ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa maslāhah mursālah dapat disalah gunakan oleh orang karena mengikuti hawa nafsu mereka dalam memutuskan suatu persoalan.
Syarat-syarat maslahah dapat dijadikan suatu ketetapan hukum adalah Maslahatnya merupakan hal yang benar, bukan hanya dugaan semata. Maslahat itu bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan beberapa orang. Maslahat tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syari’ah. Dan maslahat hanya digunakan dalam kondisi yang memerlukan saja.
Objek maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak pada wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran dan Hadis Nabi.
B.     Saran
Dengan adanya makalah yang pemakalah paparkan tadi mengenai al-Maslaha al-Mursalah bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan kita dan dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Ghazāli Abu Hamid, Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl , Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1993

Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul , Beirut: al-Resalah, 1997
Asy-Syāthibi Abu Ishak, Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid IV, Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh , Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Mubarok Jaih, Kaidah Fiqhiyah , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Munawir Ahmad Warson, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Surabaya: Pustaka Progressif, 2002

Nurdin Zurifah, M.Ag, ushul fiqih 1, Bengkulu : 2012
Romli SA, Muqāranah Mazāhib fil Ushūl , Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Sya’ban, Zaky al-Din Ushūl al-Fiqh al-Islāmi ,Mesir; Matba’ah Dār al-Ta’lif, 1965
Syafe’I Rachmat, Ilmu Ushul fiqih, Jakarta : Pustaka Setia, 1999
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih Jilid 2, Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999




[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul fiqih, Jakarta : Pustaka Setia, 1999.  hlm :117
[2] Zurifah nurdin, M.Ag, ushul fiqih 1, Bengkulu : 2012. Hlm : 56
[3] Rachmat syafe’i, Op.,cit. Hlm.56
[4] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 104.
[5] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 789.
[6] Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997), Vol. I., hlm. 416.
[7] Ibid, hlm 417
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2 (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 334.
[9] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Cet.II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 121.
[10] Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-Muwafaqāt fī Ushūl asy-Syarī’ah Jilid IV(Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975), h. 207
[11]  Ibid
[12] Abu Hamid al-Ghazāli, Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl (Beirut; Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1993),h.311
[13] Romli SA, Muqāranah Mazāhib fil Ushūl (Cet.I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 168.
[14] Zaky al-Din Sya’ban, Ushūl al-Fiqh al-Islāmi (Mesir; Matba’ah Dār al-Ta’lif, 1965), h. 176.
[15] Ibid.,  hlm. 179

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog