Selasa, 19 April 2016

PERBANDINGAN MAZHAB USHUL FIQIH I-KONTROVERSI ULAMA TENTANG KEHUJJAHAN ISTIHSAN



MAKALAH
PERBANDINGAN MAZHAB USHUL FIQIH I

Tentang

KONTROVERSI ULAMA TENTANG KEHUJJAHAN ISTIHSAN








O l e h :
AHMAD ADAFI
1313020620



Dosen Pembimbing
Dr. Zainal Azwar,M.Ag






JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H/ 2016 M

BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanismeijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad danistinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan).
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan,  pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.[1] 
Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama:[2]
1.      Menurut al-Bazdawi:
اَلْعُدُوْلُ عَنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلِ أَقْوَى مِنْهُ.
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama.
2.      Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari:
أَنْ يَعْدِلَ الإِنْسَانُ عَنْ أَنْ يَحْكُمْ فِيْ اْلمَسْأَلَةِ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ فِيْ نَظَاءِرِهَا إِلَي خِلَافِهِ لِوَجْهِ أَقْوَى يَقْتَضِي اْلعُدُوْلَ عَنْ اْلأَوَّلِ.
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama.
3.      Menurut Imam Malik:
اَلْعَمَلُ بِأَقْوَى الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِ اْلأَخْذُ بِمِصْلَحَةِ جُزْ نِيَّةٍ فِيْ مُقَا بِلَةِ دَلِيْلٍ كُلَّيِّ.
Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum.
4.      Wahbah as-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu,
Pertama,
تَرْجِيْحُ قِيَاسٍ خَفِيِّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيِّ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ.
Lebih menggunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdsarkan alasan tertentu.
Kedua:
إِسْتِثْنَاءُ مَسْأَلَةِ جُزْ نِيَّةٍ مِنْ أَصْلٍ كُلِّيِّ أَوْ قَضِيَّةِ عَامِّةٍ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ خَا صِّ يَقْتَضِي ذَلِكَ.

5.      Abdul Wahab Khalaf [3]
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
 “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.

B.                 Bentuk-bentuk Perbedaan Pendapat Dikalangan Ushuliyyin Tentang Kehujjahan Istihsan
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
1.      Jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.[4] Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas.
Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس (kami memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya: “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”. Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskanpengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata  isthsan itu.
Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat  istihsan  yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi,  yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas.[5] Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih mengutamakan istihsan daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:
-        فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ....
”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)[6]
-         وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها.....
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
-         يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs. Albaqarah: 185)
-        ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
2.      Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i  merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد شرع “Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..” .
Oleh karena itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak  dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh syafi’i dapat diringkas dalam enam hal yaitu : [7]
1.      Syariah adalah nash dan kandungan nash dan kandungan nash ( acuan kepada nash) melalui qiyas. Bagaimana dengan istihsan ? apakah termasuk salah satu dari dua macam syariat itu atau berasa diluar itu. Jika memang termasuk kedalam salah satunya, maka tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi jika berada diluar ketentuan itu maka berarti Allah SWT meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya
2.      Banyak ayat-ayat al-qur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya , melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan kepada kita ketika terjadi pertentangan agar kembali kepada Kitabullah.
3.      Nabi Muhammad Saw tidak pernah memberi fatwah dengan menggunakan isthsan. Beliau tidak pernah berpendapat berdasarkan hawa nasfu . Jikalau ada seseorang memberi fatw dengan kedalaman perasaan fiqihnya atau dengan istihsan maka pasti yang pertama melakukannya adalah Muhammad. Akan tetapi ternyata ia tidak melakukannya. Atas dasar inilah kita wajib menghindari diri menggunakan istihsan tanpa adanya topangan dari nash.
4.      Nabi Muhammad tidak berkenan dengan para sahabat yag pergi kedaerah lain dan memberi fatwa dengan istihsan
5.      Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas tidak pula memiliki kriteria yang bisa dijadikan standar untuk embedakan antar yang haq dan yang bathil, sebagaimana halnya qiyas.
6.      Seandainya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid, sementara ia tidak berpegang pada nash atau mengacuh pada nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan akal semata niscaya istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang alkitab (al-Quran) dan sunnah.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab Hanafi  berbeda dari istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai  pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
3.       menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”[8]
C.                Pendapat Pemakalah
Menurut penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan dengan sebagian pengertian.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’.
B.     Saran
Makalah yang telah dipaparkan diatas tadi, pemakalah berharap apa yang dibaca baik itu penulis maupun pembaca semoga bisa berguna dalam kehidupan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Hudhuri Muhammad, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-fikr, 2004
Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993
Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua,  Jakarta : Kencana, 2010
Khalaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, cet. III
Zahrah Muhammad Abu, Ushul Fiqih,  Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995




 


[1] Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal. 200
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm 402
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah,1991), hal.79
[4] ibid. hal. 29
[5] Muhammad al-Hudhuri, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-fikr, 2004), hal. 334
[6] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, ( Jakarta : Kencana, 2010) h. 158
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) h. 412-415
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu), cet. III, hal. 319

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog