MAKALAH
PERBANDINGAN
MAZHAB USHUL FIQIH I
Tentang
KONTROVERSI ULAMA TENTANG KEHUJJAHAN ISTIHSAN
O l e h :
AHMAD ADAFI
1313020620
Dosen Pembimbing
Dr. Zainal
Azwar,M.Ag
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H/ 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Ushul
Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh
siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanismeijtihad dan istinbath hukum
dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath
tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah
satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian,
ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah
serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad danistinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri
–seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul
Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf)
di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian
ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha),
atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya
disebut sebagai Istihsan).
Dalam makalah ini,
penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah
al-Istihsan, pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang
terkait dengannya. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istihsan
Secara etimologi,
istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.[1]
Sedangkan menurut
istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama:[2]
1.
Menurut al-Bazdawi:
اَلْعُدُوْلُ عَنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ
أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلِ أَقْوَى مِنْهُ.
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih
kuat dari qiyas yang pertama.
2.
Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari:
أَنْ يَعْدِلَ الإِنْسَانُ عَنْ
أَنْ يَحْكُمْ فِيْ اْلمَسْأَلَةِ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ فِيْ نَظَاءِرِهَا
إِلَي خِلَافِهِ لِوَجْهِ أَقْوَى يَقْتَضِي اْلعُدُوْلَ عَنْ اْلأَوَّلِ.
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya
berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor
yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang
pertama.
3.
Menurut Imam Malik:
اَلْعَمَلُ بِأَقْوَى الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِ اْلأَخْذُ
بِمِصْلَحَةِ جُزْ نِيَّةٍ فِيْ مُقَا بِلَةِ دَلِيْلٍ كُلَّيِّ.
Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan prinsip
kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil
yang bersifat umum.
4.
Wahbah as-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu,
Pertama,
تَرْجِيْحُ قِيَاسٍ خَفِيِّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيِّ
بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ.
Lebih menggunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdsarkan alasan tertentu.
Kedua:
إِسْتِثْنَاءُ مَسْأَلَةِ جُزْ نِيَّةٍ مِنْ أَصْلٍ
كُلِّيِّ أَوْ قَضِيَّةِ عَامِّةٍ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ خَا صِّ يَقْتَضِي
ذَلِكَ.
5.
Abdul Wahab Khalaf [3]
هو عدول المجتهد عن قياس جلى الى
مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya
seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas
Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang
sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah
dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.
B.
Bentuk-bentuk Perbedaan Pendapat Dikalangan
Ushuliyyin Tentang Kehujjahan Istihsan
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi
istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
1.
Jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi,
dan sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil
syara’ yang menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan
oleh qiyas, atau umunya nash.[4] Terutama
Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki
dalil, serta meninggalkan qiyas.
Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu
Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس (kami memakai istihsan untuk hal ini, dan
meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab
dengan ungkapannya: “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan menerimanya apabila
ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”. Abu Hanifah banyak menetapkan
hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskanpengertian dan rumusan dari
istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan
hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang
baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang
ditunjukkan oleh kata isthsan itu.
Banyak fuqaha yang tidak
mengetahui hakikat istihsan yang dipraktekkan oleh Abu
Hanifah, dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah
kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada
mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka
para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan
istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah Imam
As-Syarkhasi, yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi
rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”.
Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu
tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat
istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi
lemah pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi
pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam
dua hal ini yang dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas.[5] Pengaruh
yang lebih kuat itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain
Hanabilah lebih mengutamakan istihsan daripada qiyas. Atau dengan perkataan
lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada
pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya
bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada
hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena
sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena
adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si
Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah
maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum),
dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang
meyakini istihsan sebagai dalil hukum adalah:
- فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ
أَحْسَنَهُ....
”Berilah kabar gembira kepada
hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)[6]
- وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها.....
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada
(perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
- يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs. Albaqarah: 185)
- ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka
ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
2.
Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’
dan menyatakan bahwa istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa
nafsu semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah
Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama
Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i merupakan ulama yang
sangat keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini
terlihat jelas dalam ungkapannya: من استحسن فقد شرع “Siapa
yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..” .
Oleh karena itu bagi
Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram
apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan
hadits. Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan:
“perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah
arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan
arah ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu
diikuti oleh Ulama dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan
adalah dalil yang rusak dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan
hukum.
Alasan-alasan yang
dikemukakan oleh syafi’i dapat diringkas dalam enam hal yaitu : [7]
1.
Syariah adalah nash dan kandungan nash dan kandungan nash ( acuan kepada
nash) melalui qiyas. Bagaimana dengan istihsan ? apakah termasuk salah satu
dari dua macam syariat itu atau berasa diluar itu. Jika memang termasuk kedalam
salah satunya, maka tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi jika berada diluar
ketentuan itu maka berarti Allah SWT meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan
hukumnya
2.
Banyak ayat-ayat al-qur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan
Rasul-Nya , melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan kepada kita ketika
terjadi pertentangan agar kembali kepada Kitabullah.
3.
Nabi Muhammad Saw tidak pernah memberi fatwah dengan menggunakan isthsan.
Beliau tidak pernah berpendapat berdasarkan hawa nasfu . Jikalau ada seseorang
memberi fatw dengan kedalaman perasaan fiqihnya atau dengan istihsan maka
pasti yang pertama melakukannya adalah Muhammad. Akan tetapi ternyata ia tidak melakukannya.
Atas dasar inilah kita wajib menghindari diri menggunakan istihsan tanpa adanya
topangan dari nash.
4.
Nabi Muhammad tidak berkenan dengan para sahabat yag pergi kedaerah lain
dan memberi fatwa dengan istihsan
5.
Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas tidak pula memiliki kriteria
yang bisa dijadikan standar untuk embedakan antar yang haq dan yang bathil,
sebagaimana halnya qiyas.
6.
Seandainya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid, sementara ia tidak
berpegang pada nash atau mengacuh pada nash, akan tetapi berpegang pada
kemampuan akal semata niscaya istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak
mempunyai pengetahuan tentang alkitab (al-Quran) dan sunnah.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua
pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas
bahwa istihsan menurut pendapat mazhab Hanafi berbeda dari istihsan
menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi istihsan
itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan
hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu
dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi
kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkn
istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi
haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan
tujuan Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan
kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
3.
menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil
hukum syara’, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia
menopang kepada dalil syara’ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas
yang ada atau beramal dengan urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang
oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil
syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat,
karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia
keluar dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum
lagi.”[8]
C.
Pendapat Pemakalah
Menurut
penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia
menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan
dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan
dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk
menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan
cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Ulama Hanafiyah: “Beralih
pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau
mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. Menurut Ulama
Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan
cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan
pada keringanan agama), karena adanya suatu hal yang bertentangan dengan
sebagian pengertian.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda
mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur,
bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat
sendiri hukum syara”. Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah
dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak
membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i
beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah
salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara
induktif (istiqro’i) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan
demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan
perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan
(maqosid) syara’.
B.
Saran
Makalah yang telah
dipaparkan diatas tadi, pemakalah berharap apa yang dibaca baik itu penulis
maupun pembaca semoga bisa berguna dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hudhuri Muhammad, Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-fikr,
2004
Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
jilid II. Th.1993
Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih
Satu dan Dua, Jakarta : Kencana,
2010
Khalaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah
Al-Dakwah al-Islamiyah,1991
Syarifuddin
Amir, Ushul Fiqh, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, cet. III
Zahrah Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)