Kamis, 10 Desember 2015

KODIFIKASI AL-QURAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas perintah dari Nabi dan tidak ada tenggang waktu antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka tidak demikian dengan hadits nabi. Jika al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak juga demikian dengan hadits nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Dalam kitab-kitab hadits terdapat larangan penulisan hadits.Dengan perbedaan sejarah perjalanan hadits dan sumber hukum utamaal-Qur’an. Maka kami, dalam makalah ini akan membahas sejarah dan perkembangan hadits dari zaman Rasulullah sampai pada zaman sahabat.
B.     Rumsan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan hadits pada masa Rasulullah?
2.      Bagaimana perkembangan hadits pada masa sahabat?
3.      Bagaimana hadits pada masa tabi’in?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah
Pada periode ini sejarah Hadits disebut masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Pada masa ini Hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’an dalam rangka menegakkan Syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.[1]
Para sahabat menerima hadits dari Rasul saw.ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsug yaitu mereka menerima sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.[2]
Para sahabat dalam menerima Hadits dari Nabi, berpegang pada kekuatan hafalannya, yakni menerimanyadengan jalan hafalan bukan dengan jalan menulis. Sahabat-sahabat Rasul yang dapat menulis hanya sedikit sekali. Sehingga para sahabat menghafal Hadits dan menyampaikannya kepada orang lain secara hafalan pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang didengarkannya dari Nabi. Masa Nabi adalah masa diturunkannya al-Qur’an dari Allah SWT dan masa diwirudkannya Hadits oleh Nabi saw. Untuk al-Qur’an, Nabi menyuruh para sahabat menghafal dan menulisnya. Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan untuk di hafal dan ditabligkan dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an.[3]
Para sahabat dan tabi’in yang mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut:
1.      Abdullah bin Amr bin Ash ra (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash ra adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad SAW. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka mengatakan, “Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi?Sedang beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah SAW. Maka, jawab Rasulullah SAW, “Tulislah!Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain hak.”(HR Abu Dawud) dan Abu Hurairah pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.”(Fathul Baari: 1/217)
Rasulullah SAW mengizinkan Abdllah bin Amr bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW.
2.      Jabir bin Abdullah al-Anshari ra (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah.” 
3.      Human bin Munabbih (131 H)
Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi’i yang muncul pada abad pertama.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabatyang banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapapenyebabnya. Mereka itu antara lain:
1.      Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sdbiqun Al-Awwaliin (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul SAW, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat
2.      Ummahdt Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan de­ngan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
3.      Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, se­perti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
5.      Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
Lantaran inilah masruq berkata,” saya banyak berada semajelis dengan para sahabat.Maka ada diantara mereka yang saya dapati ibarat kolam kecil, hanya mencukupi buat minum seorang, ada yang mencukupi buat dua orang dan ada yang tidak kering-kering airnya, walaupun terus menerus diminum oleh penduduk bumi ini.
Sebab penulisan Hadits tidak diselenggarkan secara resmi adalah:
1.      Agar tidak adanya kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak bercampur antara catatan al-Qur’an dan Hadits.
2.      Pencatatan al-Qur’an yang turunnya berangsur-angsur memerluhkan perhatian dan pengerahan tenaga penulis yang kontiyu, sedang sahabat yang pandai penukis sangat terbatas , maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur’an.
3.      Menyelenggarakan pemeliharaan Hadits dengan hafalan tanpa tulisan secara keseluruhan berarti memelihara hafalan di kalangan umat Islam atau bangsa Arab yang sudah kuat daya hafalnya.
4.      Penulisan Hadits dengan segala ucapan, amalan, muamalah secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus menyertai Nabi saw. dalam segala hal.[4]
Hadits dikalangan sahabat pada masa Nabi ada yang menyatakan Hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa dilarangnya penulisan sesuatu selain al-Qur’an, yakni Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudari:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي غَيْرَ اْلقُرْانِ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ اْلقُرْ انِ فَلْيُمْحَهُ (رواه مسلم)
“ Jangan kamu tulis sesuatu dariku, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka hndaklah dihapuskannya”.(Riwayat Muslim)

Berdasarkan Hadits ini beberapa sahabat berpendapat bahwa penulisan Hadits tidak diperbolehkan. Namun kebanyakan para sahabat dan tabi’in membolehkan menuliskan dengan berpegang pada hadits:
اَكْتُبُوْا لِاءَ بِى شَا ةَ (روه البحري)
“Tulislah olehmu untuk Abu Syah”.(Riwayat Bukhari)
Sabda Nabi yang diucapkan ketika Abu Syah meminta dituliskan pidato (Hadits) Nabi saw. di suatu peristiwa pembunuhan seorang Bani Laits oleh golongan Khuza’ah di tahun fathul makkah.
Pada masa Rasulullah, ada upaya-upaya pemeliharaan terhadap Hadits. Menurut Nuruddin ‘Itu di dukung oleh lima faktor, yakni:
1.      Kuatnya daya ingat dan hafalan sahabat.
2.      Minat yang demikian kuat dlam mempelajari ajaran Islam.
3.      Kedudukan hadits yang signifikan di dalam Islam sebagai bayanterhadap al-Qur’an.
4.      Penyampaian hadits oleh Nabi yang menjadikan para sahabat merasa mudah unuk menghafal.
5.      Penulisan-penulisan hadits oleh sahabat yang dapat dijadikan pedoman apabila mereka lupa.[5]
Periwayatan Hadits pada masa Nabi saw. diselenggarakan secara seksama dan berkembang pesat berkat perhatian yang penuh dari para sahabat seluruh umat Islam pada waktu itu, baik dari kalangan pria ataupun wanita. Dalam tarikh, wanita Anshar terkenal sangat aktif memohon pelajaran pada Nabi saw., mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk bertanya soal-soal agama. Begitu pula kedudukan para ummahat al-Mu’minin (istri-istri Nabi) demikian penting bagi pengembangan dan periwayatan Hadits, terutama terasa setelah wafatnya Nabi saw. Apalagi bahwa para istri beliau aktif dalam mendalami agama, seperti halnya Aisyah dan Ummu Salamah. Kepada beliaulah para sahabat sepeninggal Nabi menanyakan masalah hukum dan peraturan mengenai kehidupan rumah tangga.
Demikianlah Nabi saw. telah mewurudkan Hadistnya selengkap-lengkapnya sebagai interpretasi al-Qur’an, dan telah diterima oleh para sahabat dipelihara dalam hafalan, penulisan, dan amalan mereka.[6]
B.     Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits, adalah masa sahabat. Khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai tahun 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar.
Pengertian tentang sahabat atau batasan tentang sahabat menjadi perdebatan para ulama’.Ada yang memberikan batasan sempit, yakni sahabat yang secara khusus menjadi periwayat hadits.Adajuga yang mempunyai kecenderungan mengartikan sahabat sebagai seorang yang bergaul dengan Nabi Muhammad walaupun tidak meriwayatkan hadits.[7] Menurut Imam Syuhudi, kreteria seorang sahabat adalah sebagai berikut:
1.      Adanya khabar mutawatir, seperti halnya para Khulafar ar-Rasyidin.
2.      Adanya khabar masyhur, seperti Dlamah bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham.
3.      Diakui sahabat yang terkenal kesahabatannya, seperti Hammah ad-Dausi yang diakui oleh nabi Musa sl-Asy’ari.
4.      Adanya keterangan dari tabi’in yang tsiqah.
5.      Pengakuan sendiri dari orang yang adil.[8]
Konteks ini sangat representatif mengingat kualifikasi para sahahabat Nabi sendiri.Karena pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka pernyataan hadits belum berkembang. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).[9]
1.      Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada umumnya para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, bahkan disinyalir terdapat sahabat yang memilih diam dari pada menyampaikan hadits.Hal ini bisa jadi karena mereka khawatir salah atau keliru menyampaikan Hadits. Tindakan para sahabat ini bukan tanpa dasar atau acuan, mereka memang takut apa yang diwanti-wanti oleh Nabi. Imam al-Bukhari meriwayatkan, ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:”siapa yang sengaja berdustaata namaku, bersiap-siaplah mengambil tempat dineraka.”[12]
Tidak diragukan lagi, para tabi’in (generasi lanjut) menerima hadits dari para sahabat.demikian pula para sahabat saling menyampaikan hadits dengan ungguh-sungguh tanpa dusta atau rasa enggan.karena Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَ يْنِ لَنْتَضِّلُوْامَا تَمَسَّكُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنةَ نَبِيَّهِ (رواه ما لك)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadits)”.(HR. Malik)
2.      Periwayatan Hadits dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditunjukan oleh para sahabat dengan sikp kehati-hatiannya, tidak berarti hadist-hadist rasul tidak diriwayatkan.Dalam batas-batas tertentu hadits-hadits itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari baik dalam ibadah maupun muamalah.
a)      Periwayatan Lafzhi
Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadits melalui jalan ini.Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasul.menurut Ajjaj Al-Khathib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan denganmaknawi.Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, sehingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti.Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal(berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata “ barang siapa pernah mendengar Hadits dari Rasul SAW. Kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.
b)      Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW., boleh diriwayatkan secara maknawi. Periwayatan maknawi artinyaperiwayatan hadits yang matannya tidak sama persis dengan yang didengarkannya dari Rasul SAW., akan tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksut Rasul SAW. Tanpa ada perubahn sedikitpun.[10]
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika meriwayatkan hadits ada istilh-istilah tertentu yang digunakan untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul SAW., (Rasul SAW bersabda begini), atau nahwan, atau qala Rasul SAW. Qariban min hadza.
Periwatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya berbeda-beda meskipun maksut atau maknannya tetap sama.

C.    Hadits pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan dilakukan oleh para sahabat, mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Penyebaran hadits pada masa tabi’in ini dikenal dengan masa periwayatan hadits (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadits
2.      Para sahabat yan membina hadits di Madinah yaitu: Khulafa’ Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri. Dengan menghasilkan pembesar tabi’in seperti Sa’id ibn Al-Musyayyab,’Urwah ibn Zubair.
3.      Para sahabat yan membina hadits di Makkah yaitu: Mu’adz ibn jabal, ‘Atab ibn Asid, Harisvibn Hisyam, Utsman bin thalhah dan ‘Utbah ibn Al-Haris. Tabi’in yang muncul yaitu Mujtahid ibn jabar, Atha’ ibn Abi Rabah dan Ikrimah maula Ibn Abbas.
4.      Para sahabat yan membina hadits di Kuafa yaitu: Ali bin Abi Thalib, sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah Mas’ud. Tabi’in yang muncul yaitu Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i. said bin Zubair Asadi.dll
5.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini terjadi setelah perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Pengaruh langsung dan bersifat negatife ialah menculnya hadits-hadits palsu(maudhu’) untuk mendukung politiknya masing-masing.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan Hadits adalah masa atau periode-periode yang telah dilalui oleh Hadits semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.
Para sahabat menerima hadits dari Rasul saw. ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi,adakala tidak langsug yaitu mereka menerima sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
Pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka pernyataan hadits belum berkembang. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan(al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).

B.     Saran
Saran saya kepada pembaca lebih banyaklah membaca tentang sejarah hadits pada masa Nabi hingga masa sekarang ini.Agar bisa membedakan dan mengetahui perkembangan hadits dari masa ke masa.Disini kami hanya membahas hadits pada masa Nabi hingga masa sahabat.









DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Yogyakarta: PT. Djaya Piruse. 1980.
Soetari,Endang. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah.Bandung: CV. Mimbar Pustaka. 2008.
Subulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadit.Malang: UIN Maliki Press. 2010.
Suparto,Munzier.Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Suryadilaga Alfatih, dkk. Ulumul Hadits .Yogyakarta: Sukses Offset, 2010
Ismail M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits .Bandung: Angkasa, 1991




[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008),hal 30-32
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: PT. Djaya Piruse, 1989), hal 51-52
[3] Ibid., hal 53
[4] Endang Soetari, Op.,Chit., hal 36
[5] Umi Subulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), Hal 41
[6] Endang Soetari, Op.Chit,. hal 40
[7] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadits (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), hlm.49.
[8] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 30-31.
[9] Munzier Suparto, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 79.
[10] Munzier Suparto, op. cit., hlm. 83.

FASE USMAN BIN AFFAN dan ALI BIN ABI THALIB

A.  FASE USMAN BIN AFFAN dan ALI BIN ABI THALIB
1.      Perluasan Wilayah dan Perkembangan Angkatan Laut
Setelah Umar bin Khattab wafat pada tahun 644 M, usaha perluasan wilayah dilanjutkan oleh Ustman bin Affan. Pada masa khalifah Ustman bin Affan (644-656 M) pertama kali dibentuk angkatan laut untuk menyerang daerah kepulauan yang terletak di Laut Tengah. Pada masa Ustman bin Affan dibangun kapal-kapal perang, sehingga dapat menaklukan pulau Crypus pada tahun 28 H yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Pertempuran dilautan yang sangat dasyat dinamakan dengan Dzatis Sawari (pertempuran tiang kapal) terjadi antara panglima Abdullah Ibn Abi Sarah, Gubernur mesir dengan Kaisar Constantine dari Binzantium pada tahun 31 H. Pertempuran ini diikuti oleh 1000 buah kapal, 200 buah kapal kepunyaan islam dan 800 buah kapal kepunyaan Bizantium, perperangan ini dimenangkan oleh umat islam. ™[1]
Pada masa Ustman Bin Affan, negeri yang ditaklukan adalah negeri Barqah, Tripoli Barat, Armenia. Beberapa bagian Thabristan, Balkh, Kabul, dan daerah Turkistan, sehingga wilayah tersebut masuk dalam wilayah kekuasaan islam.

2.      Pendewanan dan Penetapan Mushaf Usmani
Umat islam pada masa pemerintahan Khalifah Ustman Bin Affan tinggal dalam wilayah yang luas dan terpencar-pencar, seperti di Mesir, Iraq, Hijaz, dan sebagainya. Penduduk masing-masing daerah tersebut kadang-kadang membaca ayat-ayat Al-qur’an menurut bacaan yang mereka pelajari dari tokoh-tokoh sahabat yang terkenal diwilayah mereka. Contoh siria, penduduk membaca al-qur’an menurut bacaan Ubay Bin Kaab, penduduk Koufah membaca Al-qur’an menurut bacaan Adullah Bin Mas’ud, dan penduduk wilayah lain membaca Al-qur’an menurut bacaan Abu Musa Al-Asyi’ari. Persoalan timbul karena tidak jarang terdapat perbedaan bacaan di antara mereka, bahkan perbedaan tersebut sering menimbulkan penyelisihan di kalangan umat islam.
Untuk mengatasi persoalan itu, khalifah Ustman Bin Affan membentuk sebuah tim yang bertugas untuk menyalin dan membukukan (kodifikasi) ayat-ayat Al-qur’an kedalam satu Mushaf resmi yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Mushaf hasil kerja dari tim kodifikasi Al-qur’an pada masa Khalifah Usman Bin Affan disebut dengan Mushaf Al-Imam atau Mushaf Utsmani. Yang sampai ketangan kita pada zaman sekarang ini.
3.      Kekacauan dan Konflik Politik
Masa Khalifah Umar bin Khattab berakhir tahun 23 H. Selanjutnya digantikan oleh Ustman bin Affan dari tahun 23-35 H. Dalam masa enam tahun pertama, segala sesuatu dapat berjalan dengan baik. Masa pertengahan kedua pemerintahan Ustman, dunia retak dan ditimpa perpecahan. Ini disebabkan oleh kebijaksanaan Ustman dalam mengganti para Gubernur yang diangkat Umar. Penggantinya lebih banyak dari kalangan Bani Umayyah, Ustman terlalu mengabulkan ambisi keluarganya sendiri untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa kebijaksanaan Khalifah Ustman Bin Affan dalam mengangkat para pejabat barunya dari kalangan keturunan Bani Umayyah, yang dikenal dengan politik “Nepotisme” yaitu:™[2]
a.       Khalifah Ustman Bin Affan memberhentikan Sa’ad bin Abi Waqas dari jabatan Gubernur Koufah dan kemudian jabatan tersebut dipegang oleh Walid bin Uqbah adalah saudara seibu dengan khalifah Ustman.
b.      Khalifah Ustman memberhentikan Abu Musa al-Asy’ari dari jabatan gubernur Basrah kemudian diganti dengan Abdullah bin Amir. Pejabat yang baru adalah putran pamannya.
c.       Khalifah Ustman memberhentikan Amru bin Ash dari jabatan gubernur Mesir dan digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah. Pejabat baru  adalah saudara sepesusuan Khalifah Ustman.
d.      Khalifah Ustman mengangkat Marwan bin Hakam sebagai sekretaris khalifah. Marwan merupakan tokoh Bani Umayyah yang sangat fanatik terhadap keturunan.
e.       Khalifah Ustman mengukuhkan jabatan Mu’awiyah bin Abu Sofyan sebagai gubernur Siria, bahkan wilayah kekuasaan diperluas keluar siria yakni Palestina.
f.       Khalifa Ustman sering membelanjakan uan kas  Bait al-Mal secara boros atau tanpa perhitungan apabila dipergunakan untuk kepentingan orang-orang yang berasal dari keturunan Bani Umayyah. Contohnya, seperlima (khumsum) dari hasil rampasan perang (ghanimah) atas wilayah Afrika Utara sebanyak 500.000 dinar, telah jatuh ketangan Marwan bin Hakam. Padahal semestinya uang tersebut dimasukan kedalam bait al-Mal. Akibatnya kebijaksanaan khalifah Ustman dalam bidang keuangan banyak kalangan Bani Umayyah yang kaya-kaya.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh khalifah Ustman bin Affan diatas merupakan penyimpangan dari politik dan kebijaksanaan pemerintahan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Disamping itu para pejabat baru yang diangkat oleh khalifah Ustman dinilai kurang memiliki kepribadian dan moral yang tidak disenangi masyarakat, seperti yang terlihat di bawah ini:
a.       Pada umumnya orang-orang yang di angkat oleh khalifa ustman bin affan tersebut orang-orang yang disebut dengan thulaqo, yaitu orang-orang yang di bebaskan dari tawanan perang. Mereka umumnya berasal dari keluarga-kelurga penghuni kota mekkah yang sampai saat-saat terakhir masih menunjukan sikap permusuhan dan perlawanan terhadap Nabi Muhammad SAW dan dakwah islamiyiah. Setelah mereka dimaamfaatkan oleh rasulullah Saw, kemudian merekapun masuk islam, seperti mu’awiyah bin Abi sofyan, walid bin uqabah, marwan bin Hakkam dan Abdullah bin saad bin abi sarah.
b.      Pada umumnya orang-orang yang di anggkat oleh khalifa Ustman bin Affan tersebut adalah orang-orang yang kurang pantas untuk jabatan, karena mereka tidak termasuk orang-orang yang berkesempatan untuk bersahabat dengan Rosulullah SAW. Dan tidak memproleh pendidikan sedemikian rupa dari beliau, sehingga jiwa dan cara berfikirnya kurang cocok dengan jiwa dan cara berfikir Rasulullah Saw. Contonnya: Marwan  bin Hakam. Ayahnya ( Hakam) adalah paman ustman bin Affan. Setelah penaklukan kota mekkah. Hakam masuk agam Islam dan kemudian datang Ke Madinah dan menetap di sana. Akan tetapi rasullah SAW. Pernah mengusirnya dari Madinah karena kesalahannya dan akhirnya dia tinggal di Taif. Ia baru kembali ke Madinah setelah Ustman Bin Affan menjadi Khalifah pada tahun 644 M.
c.       Di antara orang-orang yang di angkat oleh khalifah Ustaman Bin Affan tersebut ada yang tidak menunjukan ketaqwaan dan kebersihan jiwa. Contohnya Walid Bin Uqabah adalah seorang peminum Khamar. Di angkat menjadi gubernur kaufah yang menggantikan Saad Bin Abi Waqas.[3]
Pernah sahabat-sahabat terkemuka untuk member nasehat kepada ustman yang telah tua itu, supaya beristirahat atau mengundurkan diri, tetapi Ustam salah paham dan dijawabnya.” Kenapa aku akan menanggalkan pakaian yang telah di pakaikan tuhan kepadaku”. Permasalahan ini semakin dipicu oleh “propokator” Abdullah Ibnu Saba’ seorang yang menggku islam berasal dari orang yahudi. Ia dapat merangkul beberapa seperti Abu- Zar Al-Qifari, Ammar Ibnu Yasir dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Akibtnya, kebencian rakyat tak dapat di bandung dan muncullah pemberontakan di khaufah, Basrah dan Mesir. Para pemberontakan Dari Mesir Melakukan demonstrasi di Madinah.
Mereka menuntut  agar gubernur mesir diganti. Tuntutan para demostran tersebut dikabulkan oleh khalifa Ustman Bin Affan. Sewaktu mereka kembali ke mesir dapat di tangkap sepucuk surat dari seorang yang sedang dari perjalanan ke mesir. Surat tersebut merupakan surat perintah kepada gubernur mesir supaya membunuh dan mencencang Muhammad Ibn Abu Bakar beserta pengikut-pengikutnya surat perintah itu memakai stempel Ustman. Sewaktu surat tersebut di perlihatkan oleh Muhammad Ibn Abu Bakar kepada Ustman, dia mengingkari menulis dan menyuruh tulis surat semacam itu. Dia sama sekali tidak tahu menahu dengan surat tersebut. Akan tetapi sewaktu diminta kepadanya agar menyerahkan orang yang memegang stempel, untuk di minta pertangung jawabannya, beliau engan dan menolak. Akhirnya Muhammad Ibn Abu Bakar keluar dan para pemberontak menyerbu rumah Ustman, tetapi pintu-pintunya di jaga oleh Hasan dan Husen beserta kawan-kawanya. Walaupun pintu dapat di halangi , namun para pemberontak dapat memanjat dinding rumah Ustman dan dapat masuk dua orang laki-laki kedua orang laki-laki ini membunuh Ustman Bin Affan (tahun 23 H) dan istrinya yang berusaha menghalangi sarangan para penyusup akhirnya terpotong-potong jarinya. Cuma tidak di ketahui identitas kedua orang ini yang jelas keduanya berasal dari kelompok pemberontak.pengakuan seperti ini juga di sampaikan oleh isteri Ustman Bin Affan, yaitu Na’ilah binti Al- Furafisah. Dengan demikian, tidak jelaslah siapa pelaku pembunuh Ustman yang sebenarnya.
1.      Permasalahan pada masa Ali Ibn Abi Thalib       
Setelah Ali Ibn Thalib di bai’at menjadi khalifa di kelurkanya dua ketetapan.
·         Memecat kepala-kepala daerah yang di angkat Ustman. Dikirimnya kepala daerah yang baru untuk mengantikanya. Semua kepala daerah yang di kirim ali terpaksa kembali ke Madinah, karena tidak dapat memasuki darah yang di tugaskan kepadanya.
·         Mengambil kembali tanah-tanah yang di bagi-bagi Ustman kepada family-family dan kaum kerabatnya tampa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapapun yang tiada beralasan, di ambil Ali kembali. Sementara Ali Bin Abi thalib belum menyelidiki dan menghukum pembunuh Ustman.
Barangkali tindakan Ali yang terlalu dratis ini yang membuat keterunan Bany Umayah menentang Ali dan ditambah lagi dengan adanya keinginan sekelompok keturunan Umayah untuk berkuasa sepenuhnya. Di samping itu mereka juga memamfaatkan situasi “kematian Ustman” sebagai alat untuk menghimpun kekuatan dalam alat untuk menghimpun kekuatan dalam mengalahkan pemerintah Ali.
a.      Perang Jamal
Setelah kecewa atas kebjaksaan Ali Bin Abi Thalib, terutama dalam penggantian gubernur baru, Thalha dan Zubir bin Awwam mentang khalifah Ali Bin Abi Thalib. Karena Ali Bin Abi Thalib yang menunda tentang peristiwa pembunuhan Usman Bin Affan sampai suasana tentram dan stabil. Siti Aisyah tidak dapat menerima alasan penundaan tersebut. Oleh karena itu ia mengumpulkan sebagian besar penduduk Mekkah untuk berangkat ke Madinnah meminta kepada khalifah secepatnya. Penduduk Mekkah yang menentang Khalifah Ali Bin Abi Thalib, yang menunda penyelesaian pembunuhan Usman Bin Affan. Ia mengendarai onta. Dalam perjalanan sebelum memasuki kota Basrah, ia bertemu dengan pasukan Ali Bin Abi Thalib. Msetelah terjadi beberapa kali negosiasi antara kedua kubu ini namun tetap mengalami kegagalan untuk mencari penyelesaian pertikaian secara diplomasi, maka berkobarlah peperanagan anatara kedua pasukan.
b.      Perang Siffin
Muawiyah bin Abu Sofyan adalah satu-satunya gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman Bin Affan yang tidak mengindahkan pemecatannya oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib. Telah berkali-kali diadakqan pendekatan diplomatik untuk mencapai penyelesaian antara kedua tokoh dan pemimpin umat Islam ini, namun tetap gagal. Oleh karena itu pertentangan antara kedua umat Islam lnl bertambah luas, dan telah memecah umat Islam paling tidak kepada kedua kutub, yaitu kutub Bani Hasyim dan Bani Umayyah yang mendukung Umayyah bin Abi Sofyan.
c.       Takhim Shiffin dan Perpecahan Umat Islam (Syi’ah Khawarij dan pendukung Muawiyah dan perang Nahrawan)
Peperangan berkecamuk antara kedua pasukan sehingga banyak korban berjatuhan. Pada masa ini pasukan Mu’awiyah mulai terdesak oleh kekuatan Ali. Diperkirakan apabila peperangan terus berkecamuk, maka kemenangan ada di pihak Ali. Di saat-saat genting seperti itulah Amru bin Ash, seorang pendukung setia Muawiyah bin Abi Sofyan mengambil inisiatif untuk mengangkat mushaf, sebagai isyarat untuk ingin berdamai sesuai dengan Kitabbullah. Untuk itu diadakanlah Tahkim atau arbitrase .  
Dalam menanggapi usulan arbitrase tersebut, pasukan Ali terpecah dua; sebagian mau menerima usulan tersebut dan sebagian lagi menolaknya. Alasan kelompok yang kedua ialah apabila peperangan dilanjutkan, pasti kemenangan di pihak Ali. Jika demikian, maka sudah tentu semua anggota pasukan dan harta bendanya akan menjadi harta rampasan perang (ghanimah) bagi pasukan Ali. Namun demikian, khalifah Ali bin Abi Thalib tetap menerima usulan arbitrase . Oleh karena itu kelompok kedua pasukan Ali ini membelok dan keluar dan pasukannya. Mereka inilah yang kemudian lebih dikenal dengan golongan Khawarij.
Dalam pelaksanaan arbitrase yang sudah disetujui oleh pihak Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sofyan masing -masing pihak diwakili oleh Abu Musa al-Ansyari dan Amru bin Ash. Arbitrase ini diadakan di Daumatul Jandal pada tanggal 13 Shafar 37 H. Setelah kedua belah pihak berunding, disepakatilah bahwa untuk mencari penyelesaian perrtentangan antara Ali dengan muawiyah mestilah melalui cara: a) keduanya diturunkan dan jabatannya masing-masing: b) setelah itu diadakan pemilihan khalifah baru berdasarkan musyawarah.
Sebahagian pengikut Ali tidak menerima hasil-hasil Tahkim, bahkan menyatakan keluar dart kelompok Ali. Mereka ini kemudian terkenal dengan Khawarij (orang-orang  yang keluar).Golongan Khawarij tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kelompok yang sangat prihatin terhadap keadaan umat Islam setelah peristiwa Tahkim yang gagal, bahkan telah membawa perpecahan di kalangan umat Islam. Golongan ini dianggap sebagai sekte yang pertama dalam Islam. Jumlah mereka berkisar 4.000 orang di bawah pimpinan Abdullah bin Wahab al-Rasibi. Pada tahun 659 Ali menyerang mereka di tepi Terusan Nahrawan dan hampir melenyapkan mereka. Perang ini dinamakan Perang Nahrawan.
Menurut golongan Khawarij arbitrase adalah suatu penyimpangan, karena tidak sesuai dengan sembovan mereka yang berbunyi la hukma illa lillah (tiada hukum selain hukum Allah). Oleh karena itu tiga orang khawarij yaitu Abd al-Rahman bin Muljan, al-Barak bin Abdullah dan Umar bin Bakar telah sepakat untuk membunuh Ali Bin Abi thalib.
Abd al-Rahman bin Muljam bertugas membunuh Ali Bin abi Thalib. Al abrak bin Abdullah membunuh Muawiyah dan Umar bin Bakar membunuh Amru bin Ash. Ketiga tokoh umat Islam yang akan dibunuh ini masing-masing tinggal di Khoufah, Dsamaskus dan Kairo.


[1] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jld I,  (jakarta: Pustaka Al-Husna, 1990), cet VI, h.271.
[2] Maidir Harun, op.cit, h.48-49
[3] Ibid, h. 50-51
Lis� v1a r ௪ ��X st style='margin-top:0cm;margin-right:-2.3pt; margin-bottom:10.0pt;margin-left:54.0pt;mso-add-space:auto;text-indent:18.0pt'> 

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Norma. Hakikat manusia. Yogyakarta: Pustaka pelajar1997
Hadari Nawawi. Pendidikan dalam islam, Surabaya: AL-Ikhlas, 1993
Mukhtar Solihin & Rosihon Anwar, hakikat manusia “menggali potensi kesadaran pendidikan diri, dan psikologi islam, bandung : Pustaka setia. 2005









[1] Jacob & Wasid Wahid, Evolusi Manusia Dan Konsepsi Islam (Bandung :risalah , 1984) hal.25
[2] Mukhtar solihin & Rosihon Anwar, hakikat manusia “menggali potensi kesadaran pendidikan diri, dan psikologi islam” (Bandung : Pustaka setia, 2005) hal. 9-10
[3] Ahmad Norma (ed), Hakikat manusia (yogyakarta: pustaka pelajar, 1997) hal. 85
[4] Ibid hal 4
[5] Drs. M. Yatrimin Abdullah, Studi Islam Kontemperer , hal 42