BAB I
PENDAHULUAN
Nash
Yang Menjadi dalil hukum Islam baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, keduanya
adalah menggunakan bahasa Arab. Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan
kemampuan memahami bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula.
Seseorang
yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut
harus betul-betul mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul
kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena
itulah ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau
dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Suatu
teks nash kadang-kadang dapat memberikan pengertian yang bermacam-macam karena
dari jalan-jalan yang dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami
petunjuknya (Thuruqud-Dalalahnya). Mengambil petunjuk suatu nash
bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat
suatu nash, akan tetapi dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan
kalimat itu.
Mencari
illat yang menjadi sebab ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat
menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan
membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannya menjadi rasionil. Jalan
tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun Ibarat, Dalaltul Isyarah,
Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’.
Pembicaraan
tentang Dalalah inipun merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni
pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya. Memang
Dalalah itu sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu.
Dalalah
atau petunjuk lafadh ini mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para
ulama’ Ushul Fiqh tidak sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan
pemakalah uraikan tentang Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dilalah Lafzhiyah
Ialah yang menjadi
dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyah terbagi menjadi empat
macam, yaitu :
a)
Dilalah ibarah atau ibarat nash
Mengandung arti bahwa makna yang dimaksud, langsung dapat dipahami dari
lafaz yang disebutkan, apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash)
atau bukan menurut asalnya (zhahir).[1]
Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 3 :
إِنْ خِفْتُمْ ألاَّ
تُقْسِطُوا فِي اليَتَا مَى فَا نْكِحُوا مَا طَا بَ لَكُمْ مِنَ ا لنِّسَا ءِ
مَثْنَى وَ ثُلاَ ثَ وَ رُ بَا عَ
Jika kamu takut tidak
akan berlaku adil dalam hal anak yatim maka kawinilah perempuan yang kamu
senangi sebanyak dua orang, tiga orang atau empat orang.
Maksud dari ayat
tersebut secara langsung yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang,
bila terpenuhi syarat adil. Di samping memberi petunjuk secara jelas dan
langsung, ayat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa perkawinan itu
hukumnya mubah.
b)
Dilalah isyarah atau isyarah al-nash
Yaitu lafaz yang diungkapkan memberi arti pada sesuatu maksud, namum tidak
menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafaz itu. Lafaznya menunjukkan
pada suatu arti tertentu, tapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula dari
lafaz tersebut.[2]
Contoh, firman Allah dalam surat Ali-Imran : 159 :
فَا عْفُ عُنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُم وَشَا وِرْ هُمْ فِي الأَمْرِ
Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu.
Dari ayat tersebut dapat dipahami kewajiban mewujudkan sekelompok orang
yang menjadi teladan umat dan untuk diajak musyawarah dalam urusan umat.[3]
c)
Dilalah al-dilalah atau dilalah al-nash
Yaitu penunjukkan oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat di
balik lafaz itu.
Dilalah al-dilalah terbagi menjadi dua, yaitu :
1)
Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam
nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash.
Contoh, firman Allah dalam surat al-isra’ : 23 :
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَ لاَ تَنْهَرْ هُمَا
Janganlah kamu
ucapkan kepada dua orang ibu bapakmu ucapan “ah” dan janganlah kamu bentak
keduanya.
Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar
dan menghardik ibu bapak. Hukum “tidak boleh” itu berlaku pula pada perbuatan
“memukul orang tua” secara lebih kuat, karena sifat menyakiti yang menjadi
alasan larangan pada pengucapan kasar lebih kuat pada perbuatan “memukul”.
2)
Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam
nash, keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam nash-nya.
Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 10 :
إِنَّ الَّذِ يْنَ
يَأْ كُلُوْ نَ أَمْوَالَ اليَتَا مَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْ كُلُوْ نَ فِي بُطُو
نِهِمْ نَا رًا
Bahwasanya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya ia memakan api
diperutnya.
Dari ayat tersebut dapat dipahami keharaman para penerima wasiat untuk
memakan harta anak yatim secara zalim. Keharaman untuk memakannya dan keharaman
membakar, mencerai-beraikan dan merusak dengan segala cara terhadap harta anak
yatim. Karena semua itu sama dengan memakan harta anak yatim secara zalim,
artinya merusak harta orang yang lemah dan tidak mampu menolak aniaya. Dalam
hal ini pengertian yang tak terucap sama dengan yang terucap.[4]
d)
Dilalah al-iqtidha’ atau iqtidha al-nash
Adalah dalam suatu ucapan ada suatu makna yang disengaja tidak disebutkan
karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan
ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar
kecuali bila yang tidak tersebut dinyatakan.
Contoh, firman Allah dalam surat Yusuf : 82 :
وَا سْأَلِ الْقَرْ
يَتَ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا وَ الْعِيْرَ الَّتِيْ أَقْبَلْنَا فِيْهَا
Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut ada yang kurang, karena bagaimana
mungkin bertanya pada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Oleh karena itu perlu
memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang
perlu dimunculkan adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi
“penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga
dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi
“orang-orang dalam kafilah”, yang memungkinkan memberikan jawaban.
Para ahli ushul membagi dilalah al-iqtidha dari segi keharusan memunculkan
kata yang tidak tersebut menjadi tiga, yaitu :
a)
Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan atau kalimat
secara hukum.
Contoh, hadis Nabi yang berbunyi :
لآ صِيَا مَ لِمَنْ
لَمْ يِبْيِتِ النِّيَّةَ
Tiada puasa bagi orang yang tidak mempermalamkan niat.
Tidak mungkin untuk
dikatakan “tidak ada puasa” karena orang itu ternyata sudah menahan diri dari
segala yang harus ditahan dalam puasa. Sedangkan yang namanya puasa itu adalah
menahan diri. Karenanya, untuk kebenaran ucapan dalam hadis Nabi itu secara
hukum perlu dimunculkan kata “sah”. Jadi, yang tidak ada itu, adalah hukum
sahnya puasa bukan puasa itu sendiri.
b)
Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat
secara akal.
Contoh, firman Allah dalam surat al-‘Alaq : 17 :
فَلْيَدْ عُ نَا دِيَةً
Hendaklah ia memanggil rombongannya.
Secara lahir yang
dipanggil dalam ungkapan ayat di atas adalah “rombongan”. Tetapi akal tidak
membenarkan menggunakan kata “memanggil” untuk rombongan, karena rombongan itu
sesuatu yang tidak berakal dan tidak mungkin menjawab panggilan. Secara akal
dapat diketahui bahwa ada yang tersembunyi dalam ucapan ini, yaitu kata “orang”
di depan kata “rombongan”, sehingga ungkapannya menjadi : “panggilah orang yang
ada dalam rombongannya”.
c)
Sesuatu yang harus dimunculkan untuk sahnya ucapan secara hukum.
Contoh, firman Allah dalam surat al-baqarah : 178 :
فَا تِّبَا عٌ بِا لمَعْرُوْفِ وَأَ دَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَا نٍ
Maka ikutilah apa yang patut dan bayarkanlah kepadanya secara baik.
Ayat itu adalah sesudah firman-Nya :
مَنْ عَفَى عَلَيْهِ شَيْئٌ
Orang yang diberi maaf kepadanya sesuatu.
Ayat tersebut menyatakan
apa yang harus diberikan secara patut setelah ia diberi maaf atas seuatu. Yang
dimaksud disini adalah pelaksanaan qishash.
Untuk sahnya ayat ini secara hukum harus ada yang dimunculkan, dalam hal
ini adalah “diyat”. Sehingga ungkapan ayat itu sebenarnya adalah :”orang yang
diberi maaf kepadanya sesuatu (pelaksanaan qishash) maka ikutilah yang demikian
secara patut dan berikanlah diyatkepadanya secara baik.[5]
Ditinjau dari segi bentuk yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu
lafaz secara hukum, dilalah iqtidha dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Yang dimunculkan itu adalah “sebuah kata”.
Misalnya kata “sah” dalam sabda Nabi Muhammad SAW.
لآصَلآ ةِ لِمَنْ لَمْ يَقْرَ أْفِيْهَا بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ
Tiada shalat bagi
orang yang tidak membaca surat al-Fatihah dalam shalat.
Dalam hadis
disebutkan “tiada shalat”. Meniadakan shalat yang telah terlaksana tentu tidak
mungkin, karena sudah berlalu. Jadi yang harus dimunculkan supaya ucapan dalam
hadis di atas benar, adalah kata “sah”, sehingga menjadi : “Tidak sah shalat
(meskipun ia telah berlangsung) bila dalam shalat itu tidak membaca al-fatihah.
2)
Yang dimunculkan adalah suatu peristiwa hukum.
Misalnya si A mengatakan kepada si B,”wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas
nama) saya dengan bayaran 10 juta rupiah.”
Jika si B mewakafkan tanahnya tentu yang akan mendapat pahala adalah si B.
Dalam hal ini, si A tidak dapat menyuruh si B mewakafkan tanah miliknya dengan
harapan agar pahala wakaf itu untuk si A yang menyuruh, karena yang dapat
diwakafkan adalah milik sendiri. Agar perbuatan wakaf itu sah secara hukum,
perlu dimunculkan suatu perbuatan hukum, yaitu jual beli kebun. Jadi susunan
ucapan si A menjadi “Juallah kebunmu kepada saya seharga 10 juta rupiah,
kemudian tolong diwakafkan untuk dan atas nama saya.” Si B menjawab, “Saya jual
kebun saya kepada si A seharga 10 juta rupiah dan saya mewakafkan kebun itu
untuk dan atas nama si A.”
B.
Dilalah Ghairu Lafzhiyah
Ialah yang menjadi
dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ini terbagi menjadi empat macam,
yaitu :
a)
Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang
tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang
tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz
itu.
Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 11 :
وَلأِبَوَ يْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَاالسُّدُسُ مِمَّا تَرَ كَ إِنْ كَا
نَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَا هُ فَلِأُ
مِّهِ الثُّلُثُ
Untuk dua orang ibu
bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan anak. Bila ia
tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah ibu bapaknya, maka
untuk ibunya adalah sepertiga.
Ibarat nash dari ayat
tersebut ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima
sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun dari
ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari
sepertiga, yaitu dua pertiga.
b)
Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk
memberi penjelasan.
Seseorang yang diberi tugas untuk memberi penjelasan atas sesuatu, namun ia
dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula
seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia
menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang,namun ia diam saja.
Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu hukum. Dalam hal ini adalah izin untuk
melakukan perbuatan itu. Sebab jika perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan
tinggal diam waktu melihat perbuatan tersebut, karena ia bertugas memberikan
penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberikan
izin untuk berbuat.[6]
c)
Menganggap diamnya seseorang sebagai berbicara untuk menghindarkan
penipuan.
Pada bentuk ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan
ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat
dianggap berbicara.
Misalnya seorang wali
(orang yang melindungi anak di bawah umur) bersikap diam saat orang yang berada
di bawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian dengan hartanya,
seperti jual beli. Orang yang berada di bawah perwaliannya baru sah tindakannya
bila secara jelas diizinkan oleh walinya, tidak hanya diam. Namun karena jual
beli itu sudah berlangsung dan kalau tidak mendapat persetujuan dari walinya,
tentu tindakan itu tidak dianggap sah yang akan merugikan pihak lain.
d)
Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang
terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan penunjangnya ucapan
jika disebutkan.
Contohnya dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam tata bahasa
Arab bila seseorang berkata مائة وصا ع من ارز (seratus dan satu gantang
beras). Dalam pemakaian bahasa Arab yang lengkap mestinya dijelaskan dengan
ucapan : مائة صاع صاع (seratus gantang dan satu gantang) untuk maksud bilangan
101 gantang. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam
rangka menhindarkan panjangnya ucapan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai penjabaran di atas, kiranya dapat
diambil kesimpulan bahwa jalan yang digunakan oleh imam Hanafi dalam mengambil
petunjuk suatu nash, dibagi menjadi dua cara: yang pertama yaitu menggunakan
Dalalah Lafdhiyah yang kemudian dirinci menjadi empat, antara lain: Dalalah
‘Ibarah, Dalalah ‘Isyarat, dalalatun Nash, dan Dalalatul ‘Iqtidha.Sedangkan
cara yang kedua yaitu menggunakan Dalalah Ghairu Lafdhiyah. Itu semua bertujuan
untuk memahami makna ataupun kandungan dari ayat Al-Qur’an, kemudian hasil
penunjukan nash menjadi dalil hukum yang wajib diamalkan.
Dalam memahami kandungan makna Al-qur’an, Imam Hanafi
menggunakan pengertian-pengertian yang diperoleh melalui-jalan tersebut
merupakan “Madlul Nash”(hasil penunjuk nash) dan nash tersebut menjadi dalil
dan hujjah yang wajib diamalkan isinya setiap orang yang dikenakan nash
dibebani pula mengamalkan petunjuk dari nash tersebut.
B.
SARAN
Demikian makalah yang berisi tentang pembahasan
mengenai Dalalah Menurut Mazdhab Hanafiyah pemakalah
sampaikan. Pemakalah yakin di dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan karena keterbatasan pemakalah dalam memahami dan
menelaah. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat
pemakalah harapkan. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta : Prenada Media Group, 2008
Wahhab Khallaf Abdul, Ilmu Ushul Fikih , Jakarta: Pustaka
Amani, 2003
MAKALAH
USHUL FIQH III
Tentang
DILALAH VERSI HANAFIYAH
Oleh :
ARISTION
311159
Dosen Pembimbing :
Zainal Anwar,M.Ag
JURUSAN MUALAMAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1438 H / 2015 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)