BAB I
PENDAHULUAN
Ketika
berbicara Good governance maka sering di gunakan sebagai standar sistem good
local governance di katakan baik dalam menjalankan sistem disentaralisasi dan
sebagai parameter yang lain untuk mengamati praktek demokrasi dalam suatu negara.
Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertangung jawabkan kepada publik
apa yang mereka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik. Seorang
presiden Gebernur, Bupati, Wali Kota, anggota DPR dan MPR dan pejabat politik
lainnya harus menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijaksanaan X, bukan
kebijaksanaan Y, mengapa memilih menaikkan pajak ketimbang melakukan efesiensi
dalam pemerintahan dan melakukan pemberantasan korupsi sekali lagi apa yang di
lakukan oleh pejabat publik harus terbuka dan tidak ada yang di tutup untuk di
pertanyakan oleh publik
Konsekuensinya
banyak terjadi korupsi yang di lakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan
di turunkan oleh negara maju. Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good
governance ini lebih dekat di pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam
disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai suatu
aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Tata kepermerintahan
yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di
pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi publik
(administarasi negara).
Konsep
ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat
sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara
berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah konsep tata pemerintahan yang
diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep
itu yaitu Good governance. Governance berbeda dengan government yang
artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian dari governance.
Bergulirnya
reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga korup dan sentralistis
terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa negeri ini. Berarti terbuka sebuah
kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai bidang. Sebagai
catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi yang amat terpuruk. Tak
hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang hukum, birokrasi dan juga
moralitas.
BAB II
PEMBAHASAN
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
A.
PENGERTIAN GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Istilah Good and Clean Governance merupakan wacana
baru dalam kosakata ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum,
istilah Good and Clean Governance memiliki pengertian akan segala hal yang
terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, pengertian Good
Governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi
menyangkut semua lembaga baik pemerntah maupun non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) dengan istilah Good Corporate. Bahkan, prinsip-prinsip Good
Governance dapat pula diterapkan dalam pengelolaan lembaga sosial dan
kemasyarakatan dari yang paling sederhana hingga yang berskala besar,
seperti arisan, pengajian, perkumpulan olahraga di tingkat Rukun Tetangga (RT),
organisasi kelas, hingga organisasi di atasnya.[1]
Di
Indonesia, substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah
sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai
tingkatan pemerintah Negara yang berkaitan dengan sumber – sumber sosial,
budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang bersih
(clean government), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur,
transparan, dan bertanggung jawab.[2]
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik
itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam
pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan
memperoleh dukungan dari rakyat. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan
dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak
kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktivitas
bersinergi dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam
aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.[3]
Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar
birokrasi negara, sektor swasta (Corporate Sectors) harus pula bertanggung jawab
dalam proses pengelolaan seumber daya alam dan perumusan kebijakan publik
dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra strategis. Dalam hal ini, sebagai
bagian dari pelaksanaan Good and Clean Governance, dunia usaha berkewajiban
untuk memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR),
yakni dalam bentuk kebijakan sosial perusahaan yang bertanggung jawab langsung
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di mana suatu perusahaan
beroperasi. Bentuk tanggung jawab sosial (CSR) ini dapat diwujudkan dalam program-program pengembangan masyarakat (Community Empowerment) dan pelestarian lingkungan hidup.
B.
Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance
Untuk meralisasikan pemerintahan yang professional dan
akuntabel yang berstandar pada prinsip-prinsip Good Governance, Lembaga
Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam
Good Governance yang harus diperhatikan, yaitu:[4]
1)
Partisipasi
Asas
partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan
keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah berdasarkan
prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara
konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh
aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain
kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.
Paradigma birokrasi sebagai pusat pelayanan publik
seyogianya diikuti dengan deregulasi berbagai aturan, sehingga proses sebuah
usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Efisiensi pelayanan publik
meliputi pelayanan yang tepat waktu dengan biaya murah. Paradigama ini
tentu saja menghajatkan perubahan orientasi birokrasi dari yang dilayani
menjadi birokrasi yang melayani.
2)
Penegakkan Hukum
Asas pengakkan hukum adalah pengelolaan pemerintahan
yang profesional harus didukung oleh penegakkan hukum yang berwibawa. Tanpa
ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakkannya secara konsekuen,
partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Publik
membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan hukum,
proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud Good
and Clean Governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk
menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a)
Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan
unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam
kehidupan berbangsa
dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan
dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan
menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan
sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).
b)
Kepastian
hukum (legal certainly), bahwa setiap kehidupan
berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak
duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c)
Hukum
yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d)
Penegakkan
hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakkan hukum berlaku untuk
semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki
integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
e)
Independensi peradilan, yakni peradilan yang
independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
3)
Transparansi
Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good and
Clean Governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, menurut banyak
ahli, Indonesia telah terjerembab ke dalam kubangan korupsi yang sangat parah.
Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu dalam pengelolaan kebijakan publik,
khususnya bidang ekonomi, pemerintah di semua tingkatan harus menerapkan
prinsip transparansi dalam proses kebijakan publik. Hal ini mutlak dilakukan
dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan
baik pusat maupun yang di bawahnya.
Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang
harus dilakukan secara transparan, yaitu:
a.
Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b.
Kekayaan pejabat publik.
c.
Pemberian penghargaan.
d.
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan
kehidupan.
e.
Kesehatan
f.
Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g.
Keamanan dan ketertiban.
h.
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan
masyarakat.
Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui mekanisme test and proper test (uji kelayakan) yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga independen. Uji kelayakan bisa dilakukan oleh lembaga
legislatif maupun komisi independen, seperti komisi yudisial, kepolisian, dan
pajak.
4)
Responsif
Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip Good and Clean
Governance bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat. Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu
mereka menyampaikan keinginan-keinginannya, tetapi pemerintah harus proaktif
mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua
etika, yakni: etika Individual dan etika Sosial
5)
Konsensus (kesepakatan)
Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui
proses musyawarah melalui konsensus. Cara pengambilan konsensus, selain dapat
memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat
sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa (coersive power) terhadap semua yang terlibat
untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Sekalipun
para pejabat pada tingkatan tertentu dapat mengambil kebijakan secara personal
sesuai batas kewenangannya, tetapi menyangkut kebijakan-kebijakan penting dan
bersifat publik seyogianya diputuskan secara bersama dengan seluruh unsur
terkait. Kebijakan individual hanya dapat dilakukan sebatas menyangkut teknis
pelaksanaan kebijakan, sesuai batas kewenangannya.
Paradigma
ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan
yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan secara partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan
masyarakat yang terwakili. Selain itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan
serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi
tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin
dipertanggungjawabkan.
6)
Kesetaraan
Asas kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas
kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan
berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan,
suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
7)
Efektivitas dan Efisiensi
Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang
baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdaya
guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter
produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari
berbagai kelompok dan lapisan sosial. Adapun, asas efisiensi umumnya diukur
dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua
masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka
pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien.
8)
Akuntabilitas
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik
dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralis sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
9)
Visi Strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi Good
and Clean Governance. Dengan kata lain, kebijakan apa pun yang akan diambil
saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke
depan. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang,
seorang yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus
mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan dihadapi
oleh lembaga yang dipimpinnya.
10) NEGARA, MASYARAKAT
DAN SEKTOR SWASTA
Dalam penyelenggaraan Kepemerintahan di suatu Negara, terdapat Aktor
dalam Pemerintahan yang harus diperhatikan, karena peran dan fungsinya
yang sangat berpengaruh dalam menentukan maju mundurya pengelolaan Negara,
yaitu :[5]
a)
Negara dan Pemerintah
Negara dan Pemerintah merupakan
keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peran dan tanggung jawabnya
adalah di bidang hukum, pelayanan publik, desentralisasi, transparansi umum,
pemberdayaan masyarakat, penciptaan pasar yang kompetitif, membangun lingkungan
yang kondusif bagi terciptanya tujuan pembangunan baik pada level Lokal,
Nasional maupun Internasional.
Fungsinya adalah :
1.
menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil
2.
membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
3.
menyediakan public service yang efektif dan accountable;
4.
menegakkan HAM;
5.
melindungi lingkungan hidup;
6.
mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
b)
Masyarakat Madani
Masyarakat madani yakni kelompok
masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Dalam konteks
kenegaraan, masyarakat merupakan subjek pemerintah, pembangunan, dan pelayanan
publik yang berinteraksi secara social, politik, dan ekonomi. Masyarakat harus
diberdayakan agar berperan aktif dalam mendukung terwujudnya
kepemerintahan yang baik.
1.
Menjalankan industri;
2.
Menciptakan lapangan kerja;
3.
Menyediakan insentif bagi karyawan
4.
Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
5.
Memelihara lingkungan hidup;
6.
Menaati peraturan;
7.
Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;
8.
Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
c)
Sektor Swasta
Sektor swasta adalah
perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi pasar, seperti : industri,
perdagangan, perbankan, dan koperasi sektor informal. Peranannya adalah
meningkatkan produktivitas, menyerap tenaga kerja, mengembangkan sumber
penerimaan Negara, investasi, pengembangan dunia usaha, dan pertumbuhan ekonomi
Nasional.
1. Manjaga agar hak-hak
masyarakat terlindungi;
2. Mempengaruhi kebijakan;
3. Berfungsi sebagai
sarana checks and balances pemerintah;
4. Mengawasi
penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
5. Mengembangkan SDM;
6. Berfungsi sebagai
sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
11) PROGRAM PRIORITAS
PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH
Good and Clean Governance, dapat dilakukan melalui
pelaksanaan prioritas program, yakni:
1) Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan. Pengaturan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD, mutlak
dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya
pemerintahan.
Selain melalukan check and balance, lembaga legislative harus pula mampu menyerap dan
mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2) Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa berdasarkan prinsip Good and Clean Governance
peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga
peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam
penegakkan hukum dan keadilan.
3) Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi
populis (pelayan masyarakat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas
dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran
birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi
itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat
bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.
4) Penguatan partisipasi Masayarakat Madani (Civil Society). Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsure penting lainnya
dalam merealisasikan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Partisipasi
masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak dilakukan dan difasilitasi oleh
negara (pemerintah).
Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan public pada dasarnya dijamin
oleh prinsip-prinsip HAM. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, hak
untuk menyampaikan usulan, dan hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai
kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga perwakilan,
pers, maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog terbuka dengan
jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial
lainnya.
5) Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip Good and Clean
Governance, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi
perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di
Indonesia.
Lahirnya
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan pada
daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik,
ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan
pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat
diwujudkan secara lebih cepat yang pada akhirnya akan mendorong kemandirian
masyarakat.
12) REFORMASI BIROKRASI
Reformasi
birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara
menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai
kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan
terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien
tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian
dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang
sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini.
Dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat
dan profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional.[6]
Beberapa gambaran nyata
tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
1.
Praktek KKN terjadi secara meluas
dan dianggap perbuatan yang biasa atau membudaya pada hampir semua tingkatan,
baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan
terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam
penindakan hukumnya;
2.
Kegiatan manjemen banyak diwarnai
dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak
hemat;
3.
Mutu penyelenggaraan pelayanan
publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian,
prosedur berbelit-belit;
4.
Otonomi daerah sebagai instrumen
demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek
negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut memberikan
gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih
sangat jauh dari jangkauan. Oleh
karena itu, pada dasarnya secara umum yang menjadi tujuan reformasi birokrasi
adalah agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik,
bersih, dan berwibawa :
1.
Memperbaiki kinerja birokrasi
agar lebih efektif dan efisien
2.
Terciptanya birokrasi yang
profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas
dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi negara
3.
Pemerintah
yang bersih (clean government)
4.
Bebas KKN
13)
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DAN KINERJA BIROKRASI
PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan
umum atau pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak
swasta, atas nama pemerintah ataupun atas nama pihak swasta kepada masyarakat,
dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, yang bisa memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat luas bukan hanya instansi pemerintah, melainkan juga pihak
swasta. Pelayanan publik yang dijalankan oleh instansi pemerintah bermotif
sosial dan politik, yakni menjalankan tugas pokok serta mencari dukungan suara.
Adapun, pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari
keuntungan.
Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan
secara cuma-cuma ataupun disertai dengan pembayaran. Pelayanan publik yang
bersifat cuma-cuma sebenarnya merupakan kompensasi dari pajak yang telah
dibayar oleh masyarakat itu sendiri. Adapun, pemberian pelayanan publik yang
disertai dengan penarikan bayaran, penentuan tarifnya didasarkan pada harga
pasar ataupun didasarkan menurut harga yang paling terjangkau bukan berdasarkan
ketentuan sepihak aparat atau instansi pemerintah. Dalam hali ini rasionalitas
dan transparansi biaya pelayanan publik harus dijalankan oleh aparat pelayanan
publik, demi tercapainya penerapan prinsip-prinsip Good and Clean Governance.[8]
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi
titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Good and Clean
Governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi area di mana Negara yang
diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Keberhasilan
dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap
kerja birokrasi; Kedua, pelayanan publik adalah wilayah di mana berbagai aspek Good and
Clean Governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah; Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur Governance,
yaitu pemerintah, masayarakat, dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan
public menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
Kinerja
birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan
elemen-elemen indikator sebagai berikut:
1.
Indikator
masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa,
yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.
2.
Indikator
proses (process) yaitu sesuatu yang berkaitan
dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan
pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatau kegiatan yang berupa
fisik ataupun nonfisik.
3.
Indikator
produk (outputs) yaitu sesuatu yang diharapkan
langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
4.
Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang
mencerminkan berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5.
Indikator
manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait
dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
6.
Indikator
dampak (impacts) adalah pengaruh yang
ditimbulkan, baik positif maupun negative pada setiap tingkatan indikator
berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good
and Clean Governance) merupakan segala hal yang terkait dengan model
pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab.
Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling
berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat.
Berbagai permasalahan nasional menjadi alasan belum
maksimalnya Good and Clean Governance. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, maka tiga pilarnya yaitu
pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil, saling menjaga, mensupport
dan berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah dan masyarakat
menjadi bagian penting tercapainya good governance. Good governance tidak akan
bisa tercapai apabila integritas pemerintah dalam menjalankan pemerintah tidak
dapat dijamin. Hukum hanya akan menjadi bumerang yang bisa balik menyerang
negara dan pemerintah menjadi lebih buruk apabila tidak dipakai sebagaimana
mestinya. Konsistensi pemerintah dan masyarakat harus terjamin sebagai wujud
peran masing-masing dalam pemerintah. Setiap pihak harus bergerak dan
menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. 2005,
Feisal Tamin. Reformasi
Birokrasi , Jakarta: Blantika, 2004
Hadimulyo, (2000), Otonomi Daerah dan Good Governance, dalam Harian
Republika, 4 November, Jakarta.
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education), (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007
Srijanti,dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa.Jakarta : Graha Ilmu, 2009
[2] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education), (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup) Hal 160
[4] Ibid,.
h. 161
[5] Ubaedillah,
A., dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarganegaraan: Pancasila, Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Predana
Media Group. 2012) hal. 123
[7] Ibid,
h. 79
[8] Dwiyanto Agus, dkk.. Reformasi Birokrasi Publik di
Indonesia.( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2006) Hlm 214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)