Kamis, 10 Desember 2015

GOOD AND CLEAN GOVERNANCE

BAB I
PENDAHULUAN

Ketika berbicara Good governance maka sering di gunakan sebagai standar sistem good local governance di katakan baik dalam menjalankan sistem disentaralisasi dan sebagai parameter yang lain untuk mengamati praktek demokrasi dalam suatu negara. Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertangung jawabkan kepada publik apa yang mereka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik. Seorang presiden Gebernur, Bupati, Wali Kota, anggota DPR dan MPR dan pejabat politik lainnya harus menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijaksanaan X, bukan kebijaksanaan Y, mengapa memilih menaikkan pajak ketimbang melakukan efesiensi dalam pemerintahan dan melakukan pemberantasan korupsi sekali lagi apa yang di lakukan oleh pejabat publik harus terbuka dan tidak ada yang di tutup untuk di pertanyakan oleh publik
Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang  di lakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan di turunkan oleh negara maju. Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat di pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Tata kepermerintahan yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi publik (administarasi negara).
Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Good governance. Governance berbeda dengan government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian dari governance.
Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga korup dan sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa negeri ini. Berarti terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi yang amat terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang hukum, birokrasi dan juga moralitas.
























BAB II
PEMBAHASAN
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE

A.    PENGERTIAN GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Istilah Good and Clean Governance merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum, istilah Good and Clean Governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, pengertian Good Governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerntah maupun non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) dengan istilah Good Corporate. Bahkan, prinsip-prinsip Good Governance dapat pula diterapkan dalam pengelolaan lembaga sosial dan kemasyarakatan  dari yang paling sederhana hingga yang berskala besar, seperti arisan, pengajian, perkumpulan olahraga di tingkat Rukun Tetangga (RT), organisasi kelas, hingga organisasi di atasnya.[1]
Di Indonesia, substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintah Negara yang berkaitan dengan sumber – sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang bersih (clean government), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab.[2]
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat.  Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktivitas bersinergi dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.[3]
Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi negara, sektor swasta (Corporate Sectors) harus pula bertanggung jawab dalam proses pengelolaan seumber daya alam dan perumusan kebijakan publik dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra strategis. Dalam hal ini, sebagai bagian dari pelaksanaan Good and Clean Governance, dunia usaha berkewajiban untuk memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR), yakni dalam bentuk kebijakan sosial perusahaan yang bertanggung jawab langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di mana suatu perusahaan beroperasi. Bentuk tanggung  jawab sosial (CSR) ini dapat diwujudkan dalam program-program pengembangan masyarakat (Community Empowerment) dan pelestarian lingkungan hidup.

B.     Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance
Untuk meralisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang berstandar pada prinsip-prinsip Good Governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam Good Governance yang harus diperhatikan, yaitu:[4]
1)      Partisipasi
Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.
Paradigma birokrasi sebagai pusat pelayanan publik seyogianya diikuti dengan deregulasi berbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Efisiensi pelayanan publik meliputi pelayanan  yang tepat waktu dengan biaya murah. Paradigama ini tentu saja menghajatkan perubahan orientasi birokrasi dari yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani.

2)      Penegakkan Hukum
Asas pengakkan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus didukung oleh penegakkan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakkannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud Good and Clean Governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a)      Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).
b)      Kepastian hukum (legal certainly), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan  bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c)      Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d)     Penegakkan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakkan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
e)      Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.

3)      Transparansi
Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good and Clean Governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah terjerembab ke dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu dalam pengelolaan kebijakan publik, khususnya bidang ekonomi, pemerintah di semua tingkatan harus menerapkan prinsip transparansi dalam proses kebijakan publik. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan baik pusat maupun yang di bawahnya.
Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
a.       Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b.      Kekayaan pejabat publik.
c.       Pemberian penghargaan.
d.      Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e.       Kesehatan
f.       Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g.      Keamanan dan ketertiban.
h.      Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui mekanisme test and proper test (uji kelayakan) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen. Uji kelayakan bisa dilakukan oleh lembaga legislatif maupun komisi independen, seperti komisi yudisial, kepolisian, dan pajak.
4)      Responsif
Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip Good and Clean Governance bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya, tetapi pemerintah harus proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni: etika Individual dan etika Sosial
5)      Konsensus (kesepakatan)
Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsensus. Cara pengambilan konsensus, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa (coersive power) terhadap semua yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat mengambil kebijakan secara personal sesuai batas kewenangannya, tetapi menyangkut kebijakan-kebijakan penting dan bersifat publik seyogianya diputuskan secara bersama dengan seluruh unsur terkait. Kebijakan individual hanya dapat dilakukan sebatas menyangkut teknis pelaksanaan kebijakan, sesuai batas kewenangannya.
Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Selain itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.

6)      Kesetaraan
Asas kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
7)      Efektivitas dan Efisiensi
Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Adapun, asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien.

8)      Akuntabilitas
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralis sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
9)      Visi Strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi Good and Clean Governance. Dengan kata lain, kebijakan apa pun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seorang yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.

10)  NEGARA, MASYARAKAT DAN SEKTOR SWASTA
Dalam penyelenggaraan Kepemerintahan di suatu Negara, terdapat Aktor dalam Pemerintahan yang harus diperhatikan, karena peran dan fungsinya yang sangat berpengaruh dalam menentukan maju mundurya pengelolaan Negara, yaitu :[5]
a)      Negara dan Pemerintah
Negara dan Pemerintah merupakan keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peran dan tanggung jawabnya adalah di bidang hukum, pelayanan publik, desentralisasi, transparansi umum, pemberdayaan masyarakat, penciptaan pasar yang kompetitif, membangun lingkungan yang kondusif bagi terciptanya tujuan pembangunan baik pada level Lokal, Nasional maupun Internasional.
Fungsinya adalah :
1.      menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil
2.      membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
3.      menyediakan public service yang efektif dan accountable;
4.      menegakkan HAM;
5.      melindungi lingkungan hidup;
6.      mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

b)      Masyarakat Madani
Masyarakat madani yakni kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Dalam konteks kenegaraan, masyarakat merupakan subjek pemerintah, pembangunan, dan pelayanan publik yang berinteraksi secara social, politik, dan ekonomi. Masyarakat harus diberdayakan agar berperan aktif dalam mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik.
1.      Menjalankan industri;
2.      Menciptakan lapangan kerja;
3.      Menyediakan insentif bagi karyawan
4.      Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
5.      Memelihara lingkungan hidup;
6.      Menaati peraturan;
7.      Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;
8.      Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

c)      Sektor Swasta
Sektor swasta adalah perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi pasar, seperti : industri, perdagangan, perbankan, dan koperasi sektor informal. Peranannya adalah meningkatkan produktivitas, menyerap tenaga kerja, mengembangkan sumber penerimaan Negara, investasi, pengembangan dunia usaha, dan pertumbuhan ekonomi Nasional.
1.      Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
2.      Mempengaruhi kebijakan;
3.      Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah;
4.      Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
5.      Mengembangkan SDM;
6.      Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.

11)  PROGRAM PRIORITAS PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH
Good and Clean Governance,  dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1)      Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan. Pengaturan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. 
Selain melalukan check and balance, lembaga legislative harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2)      Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip Good and Clean Governance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakkan hukum dan keadilan.
3)      Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi populis (pelayan masyarakat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.
4)      Penguatan partisipasi Masayarakat Madani (Civil Society). Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsure penting lainnya dalam merealisasikan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak dilakukan dan difasilitasi oleh negara (pemerintah).
Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan public pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM. Masyarakat  mempunyai hak atas informasi, hak untuk menyampaikan usulan, dan hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga perwakilan, pers, maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial lainnya.
5)      Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat yang pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat.

12)  REFORMASI BIROKRASI
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.[6]
 Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
1.      Praktek KKN terjadi secara meluas dan dianggap perbuatan yang biasa atau membudaya pada hampir semua tingkatan, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam penindakan hukumnya;
2.      Kegiatan manjemen banyak diwarnai dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak hemat;
3.      Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian, prosedur berbelit-belit;
4.      Otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih sangat jauh dari jangkauan. Oleh karena itu, pada dasarnya secara umum yang menjadi tujuan reformasi birokrasi adalah agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa :
1.      Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2.      Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara
3.      Pemerintah yang bersih (clean government)
4.      Bebas KKN
5.      Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat[7]

13)  GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta, atas nama pemerintah ataupun atas nama pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan masyarakat. Dengan demikian, yang bisa memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas bukan hanya instansi pemerintah, melainkan juga pihak swasta. Pelayanan publik yang dijalankan oleh instansi pemerintah bermotif sosial dan politik, yakni menjalankan tugas pokok serta mencari dukungan suara. Adapun, pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan.
Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan secara cuma-cuma ataupun disertai dengan pembayaran. Pelayanan publik yang bersifat cuma-cuma sebenarnya merupakan kompensasi dari pajak yang telah dibayar oleh masyarakat itu sendiri. Adapun, pemberian pelayanan publik yang disertai dengan penarikan bayaran, penentuan tarifnya didasarkan pada harga pasar ataupun didasarkan menurut harga yang paling terjangkau bukan berdasarkan ketentuan sepihak aparat atau instansi pemerintah. Dalam hali ini rasionalitas dan transparansi biaya pelayanan publik harus dijalankan oleh aparat pelayanan publik, demi tercapainya penerapan prinsip-prinsip Good and Clean Governance.[8]
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Good and Clean Governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi area di mana Negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi; Kedua, pelayanan publik adalah wilayah di mana berbagai aspek Good and Clean Governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah; Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur Governance, yaitu pemerintah, masayarakat, dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan public menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator sebagai berikut:
1.      Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.
2.      Indikator proses (process) yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatau kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
3.      Indikator produk (outputs) yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
4.      Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5.      Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
6.      Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negative pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean Governance) merupakan segala hal yang terkait dengan model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat.
Berbagai permasalahan nasional menjadi alasan belum maksimalnya Good and Clean Governance. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, maka tiga pilarnya yaitu pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil, saling menjaga,  mensupport dan berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah dan masyarakat menjadi bagian penting tercapainya good governance. Good governance tidak akan bisa tercapai apabila integritas pemerintah dalam menjalankan pemerintah tidak dapat dijamin. Hukum hanya akan menjadi bumerang yang bisa balik menyerang negara dan pemerintah menjadi lebih buruk apabila tidak dipakai sebagaimana mestinya. Konsistensi pemerintah dan masyarakat harus terjamin sebagai wujud peran masing-masing dalam pemerintah. Setiap pihak harus bergerak dan menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.








DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan    Publik. Gadjah Mada University Press. 2005, 

Feisal Tamin. Reformasi Birokrasi , Jakarta: Blantika, 2004

Hadimulyo, (2000), Otonomi Daerah dan Good Governance, dalam Harian Republika, 4 November, Jakarta.

Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007

 
Srijanti,dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa.Jakarta : Graha Ilmu, 2009




[1] Hadimulyo, Otonomi Daerah dan Good Governance, dalam Harian Republika, 4 November, Jakarta 2000
[2] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup) Hal 160
[3] Srijanti,dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa.( Jakarta : Graha Ilmu, 2009 ) h. 78
[4] Ibid,. h. 161
[5] Ubaedillah, A., dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarganegaraan: Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat  Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Predana Media Group. 2012) hal. 123

[6] Feisal Tamin. Reformasi Birokrasi (Jakarta: Blantika, 2004), hlm 78
[7] Ibid, h. 79
[8] Dwiyanto Agus, dkk.. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2006) Hlm 214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)