MAKALAH
Tentang
QIYAS
Oleh :
ARISTION
311.159
JURUSAN
MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BOJOL
PADANG
1437 H /
2015 M
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Beakang.................................................................................................................1
B.
Rumusan Masalah
................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas
...................................................................................................2
B.
Unsur-unsur Qiyas.................................................................................................3
C. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara.......................................................................3
D.
Syarat-Syarat Qiyas
.............................................................................................4
E. Pembagian Qiyas
.................................................................................................6
F.
Tempat Berlakunya Qiyas
...................................................................................8
G. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas
.............................................................8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ........................................................................................................10
B.
Saran
............................................................................................................................10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qiyas merupakan suatu
cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara dalam hal-hal yang nash
Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada dasarnya ada
dua macam cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu yang msih
merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebastanpa mengaitkannya kepada
nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas.
Dasar pemikiran qiyas
itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam
setiap hukum diluar bidang ibadat dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya
hukum itu oleh Allah. Alasan hukum rasional oleh ulama disebut “iillat”.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap
muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada
hukumnya.sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara, namun
sebagian yang lain tidak jelas.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang akan kami bahas dalam makalah kami ini
adalah:
1.
Pengertian Qiyas
2.
Unsur-unsur Qiyas
3.
Qiyas Sebagai Dalil
Hukum Syara
4.
Syarat-Syarat Qiyas
5.
Pembagian Qiyas
6.
Tempat Berlakunya Qiyas
7.
Perbedaan Antara
Ijtihad Dengan Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas
Secara etimologis kata
“qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan
semisalnya.[1] Hasby ash Sidieqy
mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur dan memberi batas. Menurut
istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang
lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebaban hukumnya juga
sama”.[2]
Redaksi yang berbeda di jelaskan oleh Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang
disampaikan oleh ahli ushul yakni:”qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa
hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang
ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan
nash.[3]
Tentang arti qiyas
menurut terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi berbeda yang
saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi tersebut yakni
1. Al-Gazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum
dan keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan
hukum atau peniadaan hukum’.
2. Qadhi Abu Bakar memberikan definisi yang mirip dengan
definisi di atas dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum
dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3. Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi:
“Menghasilkan (menetapkan)hokum ashal pada “furu”
karena keduanya sama dalam illat hokum menurut mujtahid”[4]. Dan masih banyak lagi
pendapat ulama lainnya.
B. Unsur-unsur Qiyas
Mengenai hakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun)
pada setiap qiyas, yaitu:
1) Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri
hukumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut “maqis alaihi” atau “ashal”
atau “musyabah bihi”.
2) Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara
jelas dalam nash syara. Ini disebut “maqis”atau”furu”atau”musyabbah”.
3) Hukum yang disebutkan sendiri pembuat hukum (syari)
pada Ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu,dalam illatnya para
mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu . ini disebut hukum ashal.
C. Qiyas Sebagai Dalil
Hukum Syara
Dalam hal penerimaan
ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad Abu Zahrah membagi
tiga kelompok, yaitu:
1.
Kelompok jumhur ulama
yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau Sunnahdan dalam ijma
ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampui
batas kewajaran.
2.
Kelompok ulama
Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak.
Zhahiriyah juga menolak penemuan illat
atas suatu hukum Dan tidak menganggap perlu mengetahui tujuan ditetapkannya
suatu hukum syara.
3.
Kelompok yang
menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi
keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah.[6]
Dalil yang dikemukakan
jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara adalah:
1. Dalil Al-Quran
a.
Allah SWT memberi
petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana
terdapat dalam surat yasin ayat 78-79
z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕムzN»sàÏèø9$# }‘Édur ÒOŠÏBu‘ ÇÐÑÈ ö@è% $pkŽÍ‹ósムü“Ï%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î @,ù=yz íOŠÎ=tæ ÇÐÒÈ
Artinya:”Dan ia
membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur
luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.”
b.
Allah menyuruh
menggunakan qiyas sebagaiman dipahami dari beberapa ayat al-Quran seperti dalam
surat al-Hasr ayat 2
c.
Firman Allah dalam
surat an-Nisa ayat ayat 59
d.
Dalil Sunnah
e.
Hadis mengenai
percakapan Nabi dengan uadz Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi
penguasa disana.
f.
Nabi member petunjuk
kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal,
kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.
3. Atsar Sahabat
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar
sahabat dalam penggunaan qiyas adalah;
a.
Surat Umar ibn Khatab
kepada Abu Musa al-Asyari sewaktu diutus menjadi qadhi di yaman.
b.
.
Para sahabat Nabi banyak menetapkan pedapatnya
berdasarkan qiyas. Misalnya contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat menggangkat
Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi.[7]
D. Syarat-Syarat Qiyas
1. Maqis alaihi (tempat
menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya
harus ada dalil atau
petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I atau
syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
harus ada kesepakatn
ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.
2. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya
dengan ashal)
a. illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan
illat yang terdapat pada ashal.
b. b). harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal
dalam hal ilat maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam arti
sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain hokum atau jenis
hukum.
c. Ketetapan pada
hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
d. Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat
terhadap hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat
qiyas itu.
e. Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash
tertentu.
f. Furu itu tidak
mendahului ashal dalam keberadaannya.
3. Hukum Ashal adalah
hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu. Adapu
yang menjadi syarat-syaratnya
a.
Hukum ashal itu adalah
hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk mengetahui hukum syara pada
furu.
b.
Hukum ashal itu
ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
c.
Hukum ashal itu adalah
hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di nasakh.
d.
Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
e.
Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
f.
Dalil yang menetapkan
hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.
4.
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya
suatu hukum.
a. Bentuk-bentuk illat
1. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal
dengan sendirinya tanpa bergantung kepada urf atau lainnya.
2. Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat
diamati oleh alat indra.
3. Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur namun
dapat dirasakan bersama.
4. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari
penamaannya dalam artian bahasa.
5. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai
bentuk hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum.
6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang
menjadi alasan adanya suatu hukum.
b. Fungsi illat
1. Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya
dengan hukum merupakan penyebab atau penetap adanya hukum, baik dengan nama
mu’arif ,muassir, atau baits.
2. Penolak yaitu illat
yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tuidak mencabut
hukum itu seandainya ilat tersebut terdapat pada saat hukum tengah beraku.
3. Pencabut, yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu
hukum bila illat itu terjadi dalam masa tersebut.
4. Penolak atau pencegah, yakni illat yang hubungannya
dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat
mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.
c.
Syarat-syarat illat
1. Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong
pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
2. Illat itu adalah suatu
sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3. Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur,
keadaannya jelas dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
4. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara
hukum dengan sifat yang akan menjadi illat.
5. Illat itu harus
mempunyai daya rentang.
E. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi
sebagai berikut:
1.
Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat
pada furu, dibandingkan pada ilat yang terdapat pada ashal.
a.
Qiyas awlawi, yaitu
qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada
ashal karena kekuatan illat pada furu.
b.
Qiyas musawi, yaitu
qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya dengan berlakunya hukum
pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c.
Qiyas adwan, yaitu yang
yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya
hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas dari
segi kejelasan illatnya
a.
Qiyas jali, yaitu qiyas
yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal
atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal
dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b.
Qiyas khafi, yaitu
qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan dari
hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3. Pembagian qiyas dari
segi keserasian illatnya dengan hukum;
a.
Qiyas muatsir, yang
diibaratkan dengan dua definisi
Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu
ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma.
Kedua,qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang
menghuubungkan ashaldengan furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
b.
Qiyas mulaim, yaitu
qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam
bentuk munasib mulaim.
4. Pembagian qiyas dari
segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu
a. Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas
yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan
furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan
illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c. Qiyas dilalah, yaitu
qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu sendiri namun ia
merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya
illat.
5. Pembagian qiyas dari
segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu.
a. Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya
ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya
ditetapkan melalui metode syabah.
c. Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya
ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
F. Tempat Berlakunya Qiyas
Sebagian ulama diantara
Imam Syafi’I berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syariah, meskipun
dalam perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah ditetapkan) dan
hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya
sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak
membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum lainnya.
Ulama dari golongan
Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud (pidana yang
telah ditetapkan nash). Sebab ia termasuk batas yang telah ditetapkan Allah
yang tidak bisa diketahui illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi
pezina. Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan
kesyubhatan (ketidak jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat, sebab ia
menunjukan pada hukum dengan cara dzanny bukan qat’i. Maka uqubat yang telah
diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’i. Adapun soal
uqubat yang tidak ditentukan bentuk pidananya, yang disebut dengan “Ta’zir”
maka qiyas dalam soal ini dapat berlaku. Demikian menurut kesepakatan para
ulama Fiqh.
Qiyas juga tidak
berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti uqubat, maka
hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal
rukhsah, sebab ia merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas
padanya.
Begitu juga qiyas tidak
berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak berlaku pada pokok-pokok ibadah.
Dan tidak sah menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan pada ibadah yang
sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu yang akal tidak
mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi hukum maupun bagian-bagiannya,
sehingga tidak boleh mensyariatkan sesuatu ibadah yang tidak diizinkan Allah
SWT.[10]
G. Perbedaan Antara
Ijtihad Dengan Qiyas
Ijtihad mengenai
kejadia-kejadian baik yang ada nash, tetapi dzanni wurudnya dan dalalahnya dan
yang tak ada nash. Ijtihad yang ada nash dzanni, adalah untuk menentukan apa
yang harus kita pahami dan untuk mengetahui apakah itu ‘am atau khas. Dan kalau
dia ‘am apakah dia masih tetap ‘am atau mutlaq atau mukayyad. Ijtihad terhadap
yang tidak ada nash ialah menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas, istihsan,
mashlahah mursalah, ataupun dengan dalil yang lain yang dibenarkan syara.
Bidang qiyas ialah
kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi terdapat dalam syara, sesuatu
pokok untuk diqiyaskan kepadanya. Maka qiyas adalah sesuatu sumber ijtihad,
sedang ijtihad itu lebih umum dari pada qiyas. Dan kadang pula ijtihad dengan
qiyas dipandang sama. Diantara perbedaan-perbedaan ijtihad dengan qiyas ialah
qiyas yidak dapat berlaku dalam bidang ibadah, hudud dan kafarat, sementara
ijtihad dapat dilakukan disegala bidang.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum
syara dalam hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara
jelas. Ada dua macam cara penggunaan
ra’yu yakni penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan ra’yu
secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana
disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dan
sebab.
Hal-hal atau kasus yang
ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan dengan kasus lain yang
tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak dijelaskan hukumnya
oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang
ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada
kasus lain tersebut.
Atas dasar keyakinan
bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah,maka setiap muslim meyakini bahwa
setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat
secara jelas dalam nash syara namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep mumatsalah
peristiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang
ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang
menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi)
B. Saran
Semoga dengan adanya
pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber pengetahuan bagi semua
orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang
bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Sulaiman,Sumber
Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika,2004
As Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi,Pengantar Hukum
Islam,Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997
.......................................................................,Pengantar
Ilmu Fiqh,Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997
Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya Al Jumanatul Ali, Bandung; Penerbit
J-ART,2004
Hallaq,Wael B.,Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar
Untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001
Syarifuddin,Amir,Ushul Fiqh I,Jakarta:
Kencana,2009
Syukur,Syarmin,Sumber-Sumber Hukum Islam,Surabaya:
Al-Ikhlas,1993
[1] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana,2008),hlm.158
[2] Teungku Muhammd Hasbi Ash Sidieqy,Pengantar
Hukum Islam,(Semarang;Pustaka Rizki Putera,2001),hlm.200
[3] Sulaiman Abdullah,Sumber Hukum Islam
Permasalahan dan Fleksibilitasnya , (Jakarta:Siinar Grafika,2004),hlm.82
[4] Syarifuddin,Ushul…,hlm.158-159
[7] Ibid.,hlm.164-172
[9]
Ibid.,hlm.219-223, dan Ash Sidieqy,Pengantar..,hlm.203-214
[10] Syarmin
Syukur,Sumber-Sumber Hukum Islam,(Surabaya:Al-Ikhlas,1993),hlm.167-168
[11]Teungku Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy,Pengantar
Ilmu Fiqh,(Semarang: Pustaka Rizki utra,1997),hlm.201-202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)