MAKALAH
HADITS AHKAM
Tentang
ZAKAT HARTA
DAN ZAKAT FITRAH
Oleh :
Kelompok VIII
ARISTION
311159
Dosen
pembimbing :
Zulkifli,
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL
PADANG
1437 H / 2015
M
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang memiliki ciri khas dan karakter “Tsabat wa
Tathowur” berkembang dalam frame yang konsisten, artinya Islam tidak
menghalangi adanya perkembangan-perkembangan baru selama hal tersebut dalam
kerangka atau farme yang konsisten.
Dengan semakin pesatnya perkembangan keilmuan yang diiringi dengan
perkembangan teknologi dan ekonomi dengan ragam dan coraknya, maka perkembangan
kehidupan saat ini tidak dapat disamakan dengan kehidupan zaman sebelum masehi
atau di zaman Rasulullah saw dan generasi setelahnya. Tetapi subtansi
kehidupaan tentunya tidak akan terlalu jauh berbeda. Kegiatan ekonomi misalnya,
diera manapun jelas akan selalu ada, yang berbeda adalah bentuk dan corak
kegiatannya, karena subtansinya dari kegiatan tersebut adalah bagaimana manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di zaman Rasulullah saw kegiatan ekonomi yang ada mungkin simpel-simpel
saja, ada sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan. Saat ini ketiga sektor
tersebut tetap ada, tapi dengan corak yang berbeda tentunya dengan apa yang
dialami oleh Rasulullah saw. Dalam sektor trading atau perdagangan misalnya,
akad-akad (model-model transaksi) yang dipraktekkan sekarang sangat banyak
sekali sesuai dengan kemajuan teknologi.
Dengan semakin berkembangnya pola kegiatan ekonomi maka pemahaman tentang
kewajiban zakatpun perlu diperdalam sehingga ruh syariat yang terkandung
didalamnya dapat dirasakan tidak bertentangan dengan kemajuan tersebut. Maka
pemahaman fiqh zakat kontemporer dengan mengemukakan ijtihad-ijtihad para ulama
kontemporer mengenai zakat tersebut perlu difahami oleh para pengelola zakat
dan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masalah zakat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
ZAKAT HARTA DAN ZAKAT FITRAH
A. Jenis Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Zakat Secara bahasa
berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Secara terminology berarti
sejumlah harta tertentu yang mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh
Allah swt untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerima dengan
syarat-syarat tertentu pula. Jadi, setiap harta yang dikeluarkan zakatnya akan
menjadi suci, bersih, berkah, tumbuh, dan berkembang[1]
Pakar ekonomi mengistilahkan harta yang
terkena wajib zakat disebut harta objek pajak. Sah-sah saja bila kami meminjam
istilah mereka, dengan menamakan harta yang dikenakan zakat sebagai harta objek
zakat. [2]
Harta yang terkena zakat telah ditegaskan
oleh nash hadits dan telah dilakukan pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad. Beliau
memerintahkan pembantu-pembantunya untuk mengumpulkan zakat dari negara-negara
Arab yang pendidiknya beragama Islam. Abu Bakar memlihara ketentuan yang wajib
pegang oleh aparat zakat. Setelah Nabi wafat, Abu Bakat meneruskannya,
sebagaimana yang dilakukan Nabi.
Hukum tentang zakat sangat rasional sifatnya
dan beralasan. Para ulama mentapkan alasan kewajiban zakat dari sifat-sifat
harta. Sifat-sifat yang dijadikan sumber bagi kewajiban zakat adalah sebagai
berikut :
1. Sifat harta itu bisa mengangkat status
seseorang dari kemiskinan menjadi kaya. Maka ada sesuatu yang wajib dikeluarkan
sikaya untuk si miskin. Dalam harta si kaya terdapat hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang yang tidak punya apa-apa (yang tidak meminta). Dengan
demikian, adalah suatu keharusan untuk menetapkan nisab (jumlah minimal) harta
yang terkena wajib zakat, dan kadar zakat yang wajib dikeluarkan
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ
مَخْلَدٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي
كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ
اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ
أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim
Adh-Dlohhak bin Makhlad dari Zakariya' bin Ishaq dari Yahya bin 'Abdullah bin
Shayfiy dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa ketika
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengutus Mu'adz radliallahu 'anhu ke negeri
Yaman, Beliau berkata,: "Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) tidak
ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah.
Jika mereka telah mentaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas
mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah mena'atinya,
maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat)
dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan
kepada orang-orang faqir mereka".[3]
Dari penjelasan hadits
diatas tadi merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menunaikan
suatu zakat apabila harta yang dimilikinya melebihi tingkat kemiskinan. Yang
bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat tersebut.
2. Sifat kepemilikan terhadap harta yang terkena
wajib zakat harus tidak hilang sewaktu-waktu. Sebaiknya harus kepemilikan
sempurna sehingga pemilik harta itu dapat disebut sebagai kaya. Kepemilikan itu
tidak cukup sekedar memiliki sejumlah harta kekayaan yang banyak, lalu hilang
dalam waktu singkat
3. Harta kekayaan itu harus harta yang dapat
berkembang, baik melalui suatu perbuatan maupun suatu kebijakan, dimana
seseorang dapat mengambil jalan untuk mengembangkan hartanya, dan tidak
tergolong orang-orang yang memupuk emasdan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah. Memupuk emas dan perak, sebagaimana dipahami oleh sebagian ulama,
bukan berarti tidak memiliki emas-perak yang disimpan. Tapi yang dimaksud
adalah sengaja menyembunyikan dan menjadikannya simpanan rahasia yang tidak
diketahui orang lain tidak mengeluarkannya untuk pertumbuhan keikutsertaannya
melaui kekayaannya dalam membangun ekonomi masyarakat tempat ia hidup.
Melalui sifat
harta yang terkena zakat sebagaimana dipaparkan para ulama fiqh, kita harus
dapat mengetahui illat (alasan) diwajibkannya zakat. Sebab dewasa ini
banyak kekayaan yang berkembang dengan cepat dan melimpah dengan sempurna. Dan
para ulama terdahulu tidak mengenakan zakat atas harta-harta seperti itu,
sebagaiman tidak ada nash dari Nabi Muhammad yang menyatakan menolak kewajiban
zakat atas hartatersebut. Seperti peralatan pabrik.
Harta
kekayaan yang dikenakan zakat ditentukan berdasarkan sunnah dan perbuatan Nabi,
serta perbuatan para sahabat sepeninggal Rasululllah, ada 4 macam.
1. Hewan ternak, yaitu unta lembu, kambing dan
kerbau. Nabi Muhammad SAW. telah
menerangkan kadar-kadarnya dan kadar zakat yang wajib dikeluarkan dalam
ketentuan-ketentuan yang diperihara oleh Abu Bakar Shiddiq sepeninggal Rasul
dan melakukannya sebagaimana dilaksanakan Rasulullah.
Mengenai
ketentuan ternak unta yang wajib dizakatkan , Rasulullah pernah bersabda :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُثَنَّى الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي
قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّ أَنَسًا
حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ هَذَا الْكِتَابَ
لَمَّا وَجَّهَهُ إِلَى الْبَحْرَيْنِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا
رَسُولَهُ فَمَنْ سُئِلَهَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى وَجْهِهَا فَلْيُعْطِهَا
وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ الْإِبِلِ
فَمَا دُونَهَا مِنْ الْغَنَمِ مِنْ كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ إِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا
وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى فَإِذَا
بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ
أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ
طَرُوقَةُ الْجَمَلِ فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ
وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ يَعْنِي سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى
تِسْعِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى
عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْجَمَلِ فَإِذَا زَادَتْ
عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ
خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنْ الْإِبِلِ
فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا
مِنْ الْإِبِلِ فَفِيهَا شَاةٌ وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا
كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى
عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ شَاتَانِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى
مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ فَإِذَا زَادَتْ
عَلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ
الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ
إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْرِ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً فَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ
رَبُّهَا
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Al Mutsanna Al Anshariy berkata, telah
menceritakan kepadaku bapakku dia berkata, telah menceritakan kepada saya
Tsumamah bin 'Abdullah bin Anas bahwa Anas menceritakan kepadanya bahwa Abu
Bakar radliallahu 'anhu telah menulis surat ini kepadanya (tentang aturtan
zakat) ketika dia mengutusnya ke negeri Bahrain: "Bismillahir rahmaanir
rahiim. Inilah kewajiban zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam terhadap kaum Muslimin dan seperti yang
diperintahklan oleh Allah dan rasulNya tentangnya, maka barangsiapa dari kaum
Muslimin diminta tentang zakat sesuai ketentuan maka berikanlah dan bila
diminta melebihi ketentuan maka jangan memberinya, yaitu (dalam ketentuan zakat
unta) pada setiap dua puluh empat ekor unta dan yang kurang dari itu zakatnya
dengan kambing. Setiap lima ekor unta zakatnya adalah seekor kambing. Bila
mencapai dua puluh lima hingga tiga puluh lima ekor unta maka zakatnya satu
ekor bintu makhadh betina. Bila mencapai tiga puluh enam hingga empat puluh
lima ekor unta maka zakatnya 1 ekor bintu labun betina, jika mencapai empat
puluh enam hingga enam puluh ekor unta maka zakatnya satu ekor hiqqah yang
sudah siap dibuahi oleh unta pejantan. Jika telah mencapai enam puluh satu
hingga tujuh puluh lima ekor unta maka zakatnya satu ekor jadza'ah. Jika telah
mencapai tujuh puluh enam hingga sembilan puluh ekor unta maka zakatnya dua
ekor bintu labun. Jika telah mencapai sembilan puluh satu hingga seratus dua
puluh ekor unta maka zakatnya dua ekor hiqqah yang sudah siap dibuahi unta
jantan. Bila sudah lebih dari seratus dua puluh maka ketentuannya adalah pada
setiap kelipatan empat puluh ekornya, zakatnya satu ekor bintu labun dan setiap
kelipatan lima puluh ekornya zakatnya satu ekor hiqqah. Dan barangsiapa yang
tidak memiliki unta kecuali hanya empat ekor saja maka tidak ada kewajiban
zakat baginya kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkan zakatnya karena hanya
pada setiap lima ekor unta baru ada zakatnya yaitu seekor kambing. Dan untuk
zakat kambing yang digembalakan di ea radliallahu 'anhu bukan dipelihara di
kandang, ketentuannya adalah bila telah mencapai jumlah empat puluh hingga
seratus dua puluh ekor maka zakatnya adalah satu ekor kambing, bila lebih dari
seratus dua puluh hingga dua ratus ekor maka zakatnya dua ekor kambing, bila
lebih dari dua ratus hingga tiga ratus ekor maka zakatnya tiga ekor kambing,
bila lebih dari tiga ratus ekor, maka pada setiap kelipatan seratus ekor
zakatnya satu ekor kambing. Dan bila seorang pengembala memiliki kurang satu
ekor saja dari empat puluh ekor kambing maka tidak ada kewajiban zakat baginya
kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya. Dan untuk zakat uang perak
(dirham) maka ketentuannya seperempat puluh bila (telah mencapai dua ratus
dirham) dan bila tidak mencapai jumlah itu namun hanya seratus sembilan puluh
maka tidak ada kewajiban zakatnya kecuali bila pemiliknya mau
mengeluarkannya".[4]
Berdasarkan hadits diatas tadi bahwa
ketentuan zakat harta ternak yang berada dibawah 5 ekor unta tidak dihitung
atau tidak wajib bagi orang yang punya unta tersebut untuk mengeluarkan zakat
unta.
Para ulama berpendapat bahwa ternak unta
dibawah 25 ekor, maka setiap lima ekor berkewajiban mengeluarkan zakat berupa
seekor kambing. Bila jumlah untu mencapai 25 hingga 35 ekor, zakat berupa anak
unta (anak unta betina yang genap berumur setahun). Apabila tidak ada maka
sebagai gantinya unta berumur genap dua tahun. Apabila mencapai 36 ekor,
zakatnya berupa bintu labun (unta beumur genap dua tahun). Apabila mencapai 46
hingga 60 ekor, zkatnya berupa hiqqah (unta yang genap berumur 3 taun dan sudah
mampu menjadi pejantan. Apa bila mencapai 61 sampai 75 ekor, zkatnya berupa
jadza’ah (unta yang berumur genap 4 tahun). Jika 76 sampai 90 ekor,zakat berupa
dua ekor bintu labun. Jika mencapai 91 smpai 120 ekor zakatnya berupa dua ekor
hiqqah. Bila populasi unta mencapai lebih dari 120 ekor maka setiap pertambahan
40 ekor dikeluarkan zakat berupa seekor bintu labun, dan setiap pertambahan 50
ekor zakatnya seekor hiqqah. [5]
Mengenai zakat ternak kambing yang
digembalakan dipadang rumput bebas ialah apabila ternak tersebut mencapai 40
sampai 120 ekor, zakatnya berupa seeskor kambing. Apabila lebih dari 120 sampai
200 ekor zakatnya 2 ekor kambing. Apabila lebih dari 200 sampai 300 ekor zakat
3 ekor kambing. Apabila lebih dari 300 ekor maka setiap pertambahan seratus
ekor. Zakatnya seekor kambing. Zakat tidak boleh diambil dari dari kambing
pecah giginya atau kambing yang cacat dan tidak loyo kecuali diwajib zakat
menginginkan hal itu. [6]
2. Hasil bumi dan buah-buahan. Nabi SAW.
menyatukan dua jenis kekayaan itu dengan
saru kelompok dan diikuti para sahabat-sahabat sepeninggal beliau.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
وَلَا فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلَا فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ
صَدَقَةٌ
Artinya : Dari Abu Sa'id Al Khudri RA, dia
berkata, "Nabi SAW bersabda, 'Tidak ada kewajiban zakat pada
biji-bijian dan kurma yang tidak mencapai lima wasaq, dan tidak (ada kewajiban
zakat) pula pada unta yang kurang dari lima ekor, serta tidak pula pada perak
yang kurang dari lima uqiyah." {Muslim 3/66-67}[7]
Para ulama sepakat mengenai asal usul zakat
hasil bumi adlaah segala sesuatu yang keluar dari bumi dan dimiliki oleh
pemilik bumijumhur ulama fiqih telah menetapkan nisab hasil bumi dan
buah-buahan yaitu 5 wasaq (930 liter). Diantara mereka adalah Imam Malik,
Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad dari mazhab Hanafiyah. Ulama yang lain
mengatakan setiap tanaman yang tidak ada perbedaan antara yang berjumlah
sedikit maupun banyak. Sebab nisab hasil bumi dan buah-buahan tidak ditetapkan
dalam nash al-Quran.
3. Nuqud (emas dan perak)
Nishab dari emas yaitu sebanyak 20 dinar (1 dinar =
4,25 gram, maka nishab emas 20 x 4,25 gram = 85 gram, ada yg
menyebutkan 93 gram), dan kadar zakatnya
2,5 %. Sesuai dengan hadits Nabi yang di riwayatkan Abu Dawud berikut:
اذا كانت لك ماتا درهم
و حال عليها الحول ففيها خمسة دراهم و ليس عليك شيئ حتى تكون لك عشرون دينارا او
حال عليها الحول ففيها نصف دينار فما زاد فبحساب ذلك و ليس في مال زكاة حتى يحول
عليه الحول
Bila engkau mempunyai
200 dirham dan telah berlalu 1 haul wajib di keluarkan 5 dirham, tidak wajib
atasmu sesuatu hingga kamu mempunyai emas sebanyak 20 dinar dan
telah berlalu selam 1 haul maka wajib di keluarkan sebanyak setengah dinar,
bila lebih dari itudi perhitungkan kadarnya. Tidak ada kewajiban atas harta
kecuali bila berlalu selama 1 haul.
Nishab perak yaitu lima 'uqiyah atau 40 dirham, (1 dirham =2,975
gram, maka nishab perak 200 x 2,975 = 595) dan kadar
zakatnya 2,5% sesuai dengan hadist di atas dan hadits berikut:
ليس فيما دون خمسة اواق صدقة
Tidak ada sedekah (zakat) pada perak yang kuarang dari 5 uqiyah.[8]
Yang dimaksud 5 uqiyah ₌ 40 dirham
4. Harta dagangan, yaitu harta yang dibaut
berdagang. Ibnu Hazm berkata, harta dagangan itu tidak wajib zakat. Sebab,
tidak ada nash yang datang dari Nabi tentang kewajiban zakat atas kekayaan
jenis ini.
B. Ukuran Minimal Jumlah Emas dan Perak yang
Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Nishob zakat emas adalah 20 mitsqol atau 20 dinar. Satu dinar setara dengan
4,25 gram emas. Sehingga nishob zakat emas adalah 85 gram emas (murni 24
karat) . Jika emas mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka ada
zakat. Jika kurang dari itu, tidak ada zakat kecuali jika seseorang ingin
bersedekah sunnah.[9]
Dasar nishab emas dan
perak, dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkkan oleh Imam Abu Daud, dari Ali
bin Abi Thalib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
اذاكا نت لك ما ئتا
درهم وحا ل عليها الحول ففيها خمس درا هم . وليس عليك شئ- يعنى فى الذ هب- حتى
يكون لك عشرون د ينا را وحا ل عليها الحو ل ففيها نصف دينا ر وما زا د فبحسا به.
Artinya:
“Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah sampai setahun, maka zakatnya
lima dirham. Dan tiada wajib zakat atasmu- pada emas- hingga engkau memiliki 20
dinar, dan telah cukup setahun lamanya. Maka zakatnya setengah dinar, sedangkan
lebihnya, diperhitungkan seperti itu juga”.
Dirham dan dinar yang
dimaksudkan di dalam hadist tersebut ialah: satuan mata uang perak dan emas,
yang merupakan standrat zakat perak dan emas di dalam syari’at
islam. Pengertian dinar ini, disebut juga dengan mitskal. Jadi 20 dinar,
sama dengan 20 mitskal, dan istilah mitskal inilah yang sering kita jumpai di
dalam kitab-kitab Fiqih mengenai zakat emas.
Nishob zakat perak
adalah 200 dirham atau 5 uqiyah. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak.
Sehingga nishob zakat perak adalah 595 gram perak (murni). Jika perak telah mencapai
nishob ini atau lebih dari itu, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, tidak ada
zakat kecuali jika seseorang ingin bersedekah sunnah.
Besarnya zakat perak
adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai nishob. Contohnya, 200 dirham, maka
zakatnya adalah 200/40 = 5 dirham. Jika timbangan perak adalah 595 gram, maka
zakatnya adalah 595/40 = 14,875 gram perak.
C. Jumlah Harta yang Wajib Dibayarkan Zakat
Fitrah
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ قَالَ فِيهِ فِيمَا
قَرَأَهُ عَلَيَّ مَالِكٌ زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ
أَوْ صَاعٌ مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ
الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar;
"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah... " dan
telah bersabda di dalamnya,zakat fitrah di bulan Ramadhan berupa satu gantang
kurma atau satu gantang (Shaa') gandum untuk setiap seorang muslim, baik ia
merdeka atau seorang budak laki-laki ataupun perempuan. "(shahih:
Muttafaq Alaih).[10]
Ukuran atau besarnya zakat fitrah tiap individu yang wajib dikeluarkan
adalah setengah sha' gandum, atau satu sha beras, atau satu sha kismis atau
shat kurma, satu sha' susu kering atau satu sha barang atau makanan pokok
seperti beras jagung dan lainnya yang termasuk makanan pokok didaerah zakat
fitrah dilangsungkan. Satu sha' setara dengan 2,5 kg dalam massa (berat) dan
untuk takaran liter sebanyak 3,5 liter. Jadi satu sha' beras artinya 3,5 liter
beras.
Ketentuan yang menerangkan bolehnya dalam keadaan tertentu mengeluarkan
zakat fitrah sebesar setengah sha' gandum diterangkan dalam hadist yang
dari
‘Urwah bin Zubair
r.a., (ia bertutur), “Bahwa Asma’ binti Abu Bakar r.a. biasa mengeluarkan
(zakat fitrah) pada masa Rasulullah saw., untuk keluarganya yaitu orang yang
merdeka di antara mereka dan hamba sahaya – dua mud gandum, atau satu sha’
kurma kering dengan menggunakan mud atau sha’ yang biasa mereka mengukur
dengannya makanan pokok mereka.” (ath-Thahawai II:43 dan lafadz ini baginya).
Ketentuan yang menerangkan
tentang ukuran dan besar zakat fitrah sebesar satu sha' selain gandum
diterangkan dalam hadist dari
Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah
satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum (jenis lain), atau satu sha’ kurma
kering, atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ kismis. (Muttafaqun ‘alaih :
Fathul Bari III:371 no: 1506, Muslim II:678 no:985, Tirmizi II: 91 no :668,
‘Aunul Ma’bud V:13 no:1601, Nasa’i V:51 dan Ibnu Majah I:585 no:1829).
BAB II
PENUTUP
Harta kekayaan yang dikenakan zakat
ditentukan berdasarkan sunnah dan perbuatan Nabi, serta perbuatan para sahabat
sepeninggal Rasululllah, ada 4 macam.
a. Hewan ternak, yaitu unta lembu, kambing dan
kerbau. Nabi Muhammad SAW. telah
menerangkan kadar-kadarnya dan kadar zakat yang wajib dikeluarkan dalam
ketentuan-ketentuan yang diperihara oleh Abu Bakar Shiddiq sepeninggal Rasul
dan melakukannya sebagaimana dilaksanakan Rasulullah.
b. Hasil bumi dan buah-buahan. Nabi SAW.
menyatukan dua jenis kekayaan itu dengan
saru kelompok dan diikuti para sahabat-sahabat sepeninggal beliau.
c. Nuqud (emas dan perak)
Nishab dari emas yaitu
sebanyak 20 dinar (1 dinar = 4,25 gram, maka nishab emas 20
x 4,25 gram = 85 gram, ada yg menyebutkan 93 gram), dan kadar zakatnya
2,5 %. Sesuai dengan hadits Nabi yang di riwayatkan
d. Harta dagangan, yaitu harta yang dibaut
berdagang. Ibnu Hazm berkata, harta dagangan itu tidak wajib zakat. Sebab,
tidak ada nash yang datang dari Nabi tentang kewajiban zakat atas kekayaan
jenis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid
Sulaliman, Fiqh Islam Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2002
Abu Zahran Muhammad, Zakat dalam perspektif sosial. Jakarta : PT Pustaka
Firdaus,1995
Ahmad Sidokare Abu, Hadits Shahih Bukhari, Ebook : Pustaka Pribadi.
2009
Nashiruddin
al-Abani Muhammad,Ringkasan Shahih Muslim,Jakarta : Pustaka Azzam, 2007 Rusyd Ibnu, Bidãyatul mujtahid (tarjamah),
Semarang: Asy-Syifa,1990
Sabiq
Sayyid, Fiqhus Sunnah, Darul Fath.2004
Mudjab
Mahalli KH. Ahmad, Hadits-hadits Muttafaq ‘Alaih Jakarta : Kencana, 2004
[1] Sulaliman
Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2002),
hal. 192
[2] Muhammad Abu Zahran, Zakat
dalam perspektif sosial (Jakarta :
PT Pustaka Firdaus,1995) h. 37
[4] Abu Ahmad as Sidokare, Hadits Shahih Bukhari, Ebook : Pustaka
Pribadi. 2009. No.Hadits 1362
[5] Muhammad Abu Zahran, Op.cit. hal.
42-43
[6]
Ibid, h.44.
[7]
Muhammad Nashiruddin al-Abani,Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2007) h. 366
[8] Ibnu Rusyd, Bidãyatul mujtahid (tarjamah),
(Semarang: Asy-Syifa,1990), hlm.533
[9] Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Darul Fath.2004), 515.
[10] KH.
Ahmad Mudjab Mahalli, Hadits-hadits Muttafaq ‘Alaih (Jakarta : Kencana,
2004) h. 462
[1] Haidar Bagir dan
Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI,
1996), hlm. 25
[2] Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 110-118
[3] Ibid.,
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan..., hlm. 29
[4] Abd
al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib
al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
[5] Dahlan
Idhamy, Seluk-beluk hukum islam,
(Semarang: CV. Faizan, 1996 ) Hlm. 73
[6] Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), Hlm. 50
[7] http://syirooz.blogspot.com/2012/03/metodologi-istinbat-hukum.html
[8] Adab
Al Mufti Wal Mustafti, Ibn Shalah h.100 Cet. Maktabah al ulum 1986
(Huda)
Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang
merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Secara tata bahasa
arti dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata
syaraka-yusyrikusyarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama,
perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan
kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata
yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara
bertahap.
Musyarakah
mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana
kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak
yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui
mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini
berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain
Implementasi
dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank
syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda).
Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan
dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak
kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah
modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi
bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah
dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir
berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik
nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda
berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain
sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih
kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga
berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan
dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk
pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa
adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya
terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan
dan kompensasi jasa bank syariah.
b. Landasan
Hukum Musyarakah Mutanaqisah
Landasan hukum musyarakah
mutanaqisah dapat disandarkan pada dalil yang mendasari akad syirkah dan ijarah, karena musyarakah
mutanaisah adalah akad gabungan antara kedua akad tersebut, yaitu:
Landasan
Musyarakah
1.
Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24:
… الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَا
هُمْ وَإِنَّ آَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ،
إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain,
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah
mereka ini…."
2.
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari
dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak
yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.”
(HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
[1]
Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125
[2] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185
[3] Ibid,. hlm. 187
[4] Heri
sudarsono, bank dan lembaga keuangan syariah, (Yogyakarta: EKONOSIA, 2003),
hlm. 67
[5] Qomarul
huda, fiqh muamalah, Yogyakarta: teras, 2011, hlm. 100
[6] Agus
Fajri Zam, Pembiayaan Musyarakah PDF, (diakses dari : http ://imanph.files.wordpress.com/2007/12/pembiayaan_musyarakah.pdf),
tanggal 27 Oktober 2013, 08:45.
[7] Beny Setio Putro, makalah fiqih
muamalah al – musyarakah, http://benysetioputro.blogspot.com/2014/05/makalah-al-musyarakah.html
[8]
Suhendi H, Hendi,. Op,.chit,.hlm.135
[9]
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani,Subul As-Salam,Juz 3,Maktabah wa Matba’ah
Mushtafa Al-Babiy Al-Halabi,Mesir,cet.IV,1960,hlm.76.
[10]
Ali fikri,Al-Muamalat Al-Madiyyah wa Al-Adabiyah,Matba’ah Mushtafa
Al-Babiy Al-Halaby,Mesir,cet.I,1357 H,hlm.180.
[11]
http://wildaawaliyah.blogspot.com/2015/04/akad-musyarakah-mutanaqisah.html
[12]
Kamus bisnis bank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)