MAKALAH
ULUMU AL-HADIS
Tentang
KLASIFIKASI HADIS DITINJAU DARI
BERBAGAI ASPEKNYA
Dipresentasikan dalam Lokal Pada Mata Kuliah
Ulumu al-Hadis
Oleh:
ARISTION
311159
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Rahman Ritonga, MA
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M
KLASIFIKSI HADÎTS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEKNYA
A.
Pendahuluan
Hadits yang dipahami
sebagai pernyataan,
perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi
Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah
al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur'an
sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi
dalam perannya sebagai pembimbing bagi
masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya
persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri.
Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot
suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Para
muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak
mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya
syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan
karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena
itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang
memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela
mata rantai sanad tersebut.
Untuk memudahkan pemahaman dan
pengenalan hadîts nabi beserta istilah-istilah yang terkait dengannya,
maka pemakalah akan menjabarkannya di dalam makalah singkat yang berjudul
KLASIFIKSI HADÎTS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK. Pembahasannya meliputi:
Pembagian hadîts berdasarkan bentuk asal, pembagian hadîts
berdasarkan sifat asal, pembagian hadîts berdasarkan Jumlah periwayat,
pembagian hadîts berdasarkan kwalitas serta pembagian hadîts
berdasarkan penisbatan.
B. Klasifikasi Hadîts Nabi Ditinjau Dari Berbagai
Aspek
Untuk
mengklasifikasikan Hadîts Nabi Muhammad SAW, dapat dilihat dari berbagai
aspek, di antaranya adalah:
1.
Berdasarkan
Bentuk Asal
Khusus
mengenai klasifikasi hadîts ditinjau dari aspek ini, tidak banyak buku
yang merincinya. Penulis berasumsi bahwa pembagian ini ditarik langsung dari
defenisi hadîts yang diberikan oleh ulama hadîts. Sebagaimana
yang masyhûr, ulama hadîts mendefenisikan hadîts ialah
ا قو ا لنبى صلى ا لله عليه وسلم و ا فعا له و ا حو ا له[1]
“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud
dengan “hal ihwan” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain :
“Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan
maupun sifatnya”
Adapun
pembagian hadîts ditinjau bentuk asal –sesuai dengan defenisi hadîts
di atas- adalah:
a.
Hadîts Qawlîy
Hadîts Qawlîy adalah hadîts-hadîts yang beliau ucapkan
berkenaan dengan berbagai tujuan pada berbagai kesempatan.
Adapun contoh dari hadîts ini adalah:
حدثنا آدم بن أبي أياس قال حدثنا شعبة عن عبد
الله بن أبي السفر وإسماعيل عن الشعبي عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر
من هجر ما نهى الله عنه
Artinya:“Telah meriwayatkan kepada kami Adam ibn abiy Iyâs dia berkata, telah
meriwayatkan kepada kami Syu’bah dari Abd Allâh ibn Abi Safar dan Ismâ’îl dari
al-Sya’bîy dari ‘Abd Allâh ibn ‘Amru dari Nabi SAW, Beliau bersabda:”orang
Muslim adalah orang yang selamat muslim yang lain dari lidah dan tangannnya,
Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allâh
terhadapnya”
Contoh lain Hadis tentang bacaan al-Fatihah dalam sholat,
yang berbunyi:
لإ صلا ة لمن لم يقرأ بفا تحة ا اكتا ب
“Tidaklah sah shalat seseorang yang tidak membaca FAtihah Al-Kitab”.
b.
Hadîts Fi’lîy
Hadîts fi’lîy adalah
Perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita oleh
para sahabat. Adapun contoh dari hadîts ini
adalah:
عن محمد بن المنكدر قال : رأيت جابر بن عبد الله يصلي في ثوب واحد وقال
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في ثوب
Artinya: “Hadîts
dari Muhammad ibn Munkadir, beliau berkata: Saya melihat Jâbir Ibn ‘Abd Allâh
Shalat dengan sehelai kain, dan ia berkata:”Saya melihat Rasul Allâh shalat
dengan memakai sehelai kain”
Hadîts fi’lîy dibagi menjadi dua yaitu: Hadîts fi’lîy yang
diiringi dengan perkataan Nabi, dan yang tidak diiringi dengan perkataan Nabi.
Contoh yang diiringi
dengan perkataan Nabi/Hadîts Qaulîy adalah hadîts tata cara
shalat nabi yang diiringi dengan hadîts Hadîts Qaulîy
berikut
“Shalat kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat”.
Khusus mengenai
Hadîts fi’lîy yang tidak diiringi dengan perkataan nabi ini terdapat
beberapa pembahasan penting yang menjadi sorotan para ulama terutama ulama
Ushul. Mereka mempertanyakan muatan hukum yang terdapat di dalamnya, apakah
wajib diikuti atau tidak. Setidaknya mengenai hal ini ulama Ushul membaginya
kepada tiga bentuk, yaitu:
(
افعال الجبلية
) Perbuatan yang muncul dari Rasul Allâh sebagai manusia biasa, seperti
makan, minum, tidur dan berdiri. termasuk juga di dalam hal ini pengalaman
hidup beliau di dalam urusan dunia seperti perdagangan, pertanian dan
peperangan serta pengobatan.
(افعال التي ثبت كونها مخصص لنبي ) Perbuatan Rasul yang telah
ditetapkan sebagai perbuatan yang khusus untuk dirinya, seperti tahajud yang ia
lakukan setiap malam, tidak menerima sedekah serta memiliki istri lebih dari
empat.
Perbuatan yang
berkaitan dengan hukum, dan ada alasannya yang jelas. Atau perbuatan nabi yang
tidak ada diikuti oleh indikasi-indikasi sebagaimana pada poin satu dan dua
Tentang macam
yang pertama dan kedua menurut ulama ushul tidak mengandung muatan hukum,
sedangkan yang terakhir menjadi syariat bagi umat Islam.
c.
Taqrîrîy
Hadîts Taqrîrîy adalah Segala sesuatu yang muncul
dari sementara sahabat yang diakui keberadaannya oleh Rasul Allah, baik berupa
ucapan maupun perbuatan, dengan cara diam tanpa pengingkaran atau persetujuan
dan keterus terangan beliau menganggapnya baik bahkan menguatkannya. Seperti Nabi
membiarkan atau mendiamkan apa yang dilakukan oleh sahabat-Nya tanpa memberi
penegasan atau pelarangan. Sikap Nabi seperti ini dijadikan hujjah atau
mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian hukum. Adapun contoh
dari hadîts ini adalah: sikap Beliau terhadap ijtihâd sahabat
berkenaan dengan shalat Ashr sewaktu perang melawan Bani Quraidzah. Yakni
ketika beliau bersabda:
”Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian
shalat Ashr, kecuali di kampung Bani Quraidzah”.
Sebahagian
Sahabat memang tidak melakukan shalat kecuali setelah sampai di Kampung Bani
Quraidzah, sehingga mereka mentakhirkan hingga waktu Maghrib. Sedangkan yang
lain justru tetap shalat di perjalanan, karena mereka memahami hadîts
tersebut dengan makna perintah Rasul Allah untuk mempercepat perjalanan agar
sampai di Bani Quraidzah sebelum waktu Maghrib. Berita kedua kelompok sahabat
ini sampai kepada Nabi, tetapi Nabi mengakui keduanya, tanpa mengingkari salah
satunya.
d.
Hadîts
Shifatîy
Hadîts
Shifatîy adalah hadîts
yang berupa sifat atau kepribadian Nabi serta keadaan fisiknya. Hadîts Shifatîy biasa disebut juga dengan Hadîts
Ahwâliy. Jadi Hadîts Shifatîy ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu
yang terkait dengan kepribadian Nabi dan bentuk fisik Nabi. Contoh hadîts
tentang sifat/kepribadian Nabi
Artinya: ”Anas ibn Mâlik meriwayatkan kepada kami,
beliau berkata: Rasul Allah SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya”
Contoh hadîts tentang sifat fisik nabi di
antaranya adalah:
كا ن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و
سلم أ حسن ا لنا س و جها و أحسنه خلقا ليس بالطو يل ا لبا ءن و لا با لقصير
Artinya: “ Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh.
Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.[5]
2.
Berdasarkan
Sifat Asal
a.
Hadîts Qudsîy
Pengertian Hadîts Qudsîy
Secara bahasa al-Hadîts
al-Qudsîy berasal dari dua kata yaitu al-Hadîts dan al-Qudsîy. Al-Qudsîy merupakan nisbah dari kata القدس (al-qudsu) bermakna الطهر (al-thuhru). الطاهر المنزه عن العيوب والنقايص
(Zat yang Maha Suci yang jauh dari ‘aib dan kekurangan). Jadi secara
bahasa dapat diartikan Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang
disandarkan/dinisbahkan kepada Zat Yang Maha Suci /Allah.
Sedangkan
secara istilah Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disampaikan
kepada kita dari Nabi Muhammad SAW yang sanadnya disandarkan kepada Allah SWT.
Defenisi ini penulis tarik dari beberapa defenisi yang ada di dalam beberapa
kitab Ilmu Hadîts, seperti defenisi-defenisi berikut ini:
Yang dimaksud dengan hadis Qudsiy yaitu :
كل حديث يضيف فيه الر سول صلى الله عليه وسلم
قو لا إلى الله عز و جل
Defenisi yang ditulis Oleh Nuruddîn Itr adalah
“Dia (Hadîts Qudsîy) adalah Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya atau penisbatannya kepada Allah
‘Azza wa Jalla”
Defenisi yang ditulis Oleh Mahmûd Thahân adalah
“Apa-apa yang disampaikan
kepada kita dari Nabi SAW, yang sanadnya disandarkan kepada Tuhan-nya (Allah
‘Azza wa Jalla) ”
b.
Perbedaan
Antara Hadîts Qudsîy dengan Al-Qur’ân
Terkait dengan
perbedaan antara Hadîts Qudsîy dengan al-Qur’ân terdapat perbedaan di
kalangan ulama. Di antara yang paling jelas adalah antara pendapat Abu al-Baqâ’
al-‘Ukbûrîy dan Thayyibîy, sebagaimana yang dikutip oleh Nuruddîn Itr di dalam
kitabnya. Beliau mengungkapkan sebagai berikut:
Abu al-Baqâ’
berkata : Sesungguhnya lafaz dan makna al-Qur’ân berasal dari Allah
melalui pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan Hadîts Qudsîy itu
redaksinya dari Rasul Allah dan maknanya berasal dari Allah melalui pengilhaman
atau mimpi.
Al-Thayyibîy
berkata: Al-Qur’ân diturunkan melalui perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad
SAW, sedangkan Hadîts Qudsîy itu maknanya berisi pemberitaan Allah
melalui ilham atau mimpi, lalu nabi Muhammad memberitakan kepada umatnya dengan
bahasa sendiri.
Al-Qur’ân
memiliki keistimewaan yang tidak terdapat di dalam Hadîts Qudsîy, di
antaranya adalah:
Al-Qur’ân itu
lafaz dan maknanya dari Allah, sedangkan Hadîts Qudsîy maknanya
dari Allah dan redaksinya dari Nabi.
Membaca
Al-Qur’ân termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedangkan Hadîts Qudsîy
tidak demikian.
Semua lafaz
Al-Qur’ân adalah mutawâtir, terjaga dari perubahan dan pergantian karena
ia mukjizat, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
Membaca
Al-Qur’ân disunatkan di dalam shalat sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
Ada larangan
menyentuh mushaf Al-Qur’ân bagi orang yang ber-hadas, sedangkan Hadîts
Qudsîy tidak.
c.
Hadîts Nabawîy
Hadîts Nabawîy adalah Apa yang dinisbahkan kepada Rasulullah dan
diriwayatkan dari beliau. Jadi Hadîts Nabawîy
adalah segala Hadîts Nabi yang dipahami secara umum yang bukan Hadîts
Qudsîy. Maka ketika kita telah dapat mengetahui sesuatu hadîts
adalah bukan Hadîts Qudsîy, secara otomatis yang demikian adalah Hadîts
Nabawiy.
3.
Berdasarkan
Jumlah Periwayat
Ulama berbeda
pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud
tinjauan dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi
yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang mengelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir,
masyhur, ahad, dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.
a.
Hadîts Mutawâtir
Defenisi Hadîts Mutawâtir
Secara Bahasa Mutawâtir
merupakan ism fa’il musytaq dari التواتر berarti التتابع(berturut-turut/lebat).
Sedangkan
secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di
antaranya: Menurut Nuruddîn Itr Hadîts Mutawâtir adalah:
“Hadîts mutawâtir adalah hadîts yang diriwayatkan oleh
perawi yang banyak yang diyakini tidak akan sepakat berbuat dusta dari perawi
yang semisalnya, dari awal sanad hingga akhirnya. Yang periwayatannya
disandarkan kepada pengamatan indrawi”
Sedangkan
‘Ajjaj al-Khâtib mendefenisikan Hadîts Mutawâtir seperti berikut ini:
ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن
مثلهم من اول السند الى منتهاه على ان لا يختل هذا الجمع في اي طبقة من طبقة السند
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi
yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak
kurang pada tiap tingkatan sanadnya ”
Dari
defenisi-defenisi di atas dapat ditarik beberapa syarat sebuah hadîts
dikatakan Mutawâtir yaitu:
a.
Hadîts
tersebut pada setiap tingkatan sanadnya diriwayatkan oleh periwayat yang banyak
dari awal hingga akhir.
Kondisi mereka
tidak mungkin akan berdusta, seperti semua mereka bukan orang satu keluarga.
b.
Hendaklah
keyakinan mereka didasarkan kepada sesuatu yang dapat diterima panca indra,
atau hadîts tersebut menyangkut dengan nabi yang bisa ditangkap secara
indrawi. Seperti sikap dan perbuatan Nabi yang dapat dilihat atau perkataan
beliau yang dapat didengar.
c.
Hendaklah
perawi yang meriwayatkan hadîts tersebut meyakini keabsahan hadîts
tersebut (bukan berasal dari dugaan)
1.
Pembagian
Hadîts Mutawâtir
Ulama Hadîts
membagi Hadîts Mutawâtir menjadi dua yaitu Hadîts Mutawâtir Lafzhîy
dan Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy.[8] Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni
ditambah dengan hadis Mutawatir amali. [9]
a.
Hadîts Mutawâtir Lafzhîy
Yang dimaksud dengan
hadis mutawatir lafzhi adalah:
ما
توا ترت ر وايته عل لفظ واحد
Ada yang
mengatakan bahwa mutawatir lafdzi
adalah:
ما
تو ا تر لفظه ز معناه
Hadits mutawatir lafzhiy adalah hadits yang
periwayatannya mutawatir dengan
lafadz yang sama oleh seluruh perawi. Ini sesuai dengan
apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib, seperti berikut ini
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi, dari sejumlah perawi,
dengan lafaz yang sama, -yang tidak dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta-
dari awal hingga akhir sanad”
Contoh:
من
كذب علي متعمدافليتبوا مقعده من النار
“Siapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja maka hendaklah
mempersiapkan tempatnya di neraka”
Al sayuthi mendefenisikan sebagai berikut:
أن
ينقل جما عة يستحيل تو ا طؤ هم على الكذب و قا ئع مختلفة تشتر ك فى أمر
“ Hadits yang dinukilkan oleh sejumlah
orang yang menurut adat mustahil mereka dapat sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu
pada titik persamaan”.[12]
Ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Nuruddîn Itr yang
mendefenisikannya dengan Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
yang tidak mungkin bersepakat melakukan kedustaan dengan memakai matan
yang berbeda-beda, namun memiliki maksud atau makna yang sama. Contohnya
adalah seperti hadîts tentang syafa’ah, ru’yah,
mengucurnya air dari jari-jemari Rasul Allah SAW.
c.
Hadits
mutawatir Amali
Adapun yang
dimaksud dengan hadits mutawatir ‘amali adalah
ما علم من الدين با لضرو رة وتوا تر بين
المسلمين أن النبي صلى الله عليه و سلم فعله او أمر به أوغير ذلك وهوالذي ينطبق
عليه تعر يف الإجما ع انطباقا صحيح[13]
“Sesuatu yang diketahui dengan
mudah, bahwa dia termasuk
urusan agama dan telah mutawatir antara ummat
islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya,menyuruhnya, atau selain dari itu dan
pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.”
Macam hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits
yang menerangkan waktu sholat,raka’at sholat , sholat jenazah, sholat ‘id,tata
cara shalat,pelaksaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.
2.
Kwalitas dan
Keberadaan Hadîts Mutawâtir
a.
Hadîts Mutawâtir
Hadîts Mutawâtir bersifat qat’iy al-tsubût/Yaqîniy/dhurûriy dan
posisinya disejajarkan dengan wahyu yang wajib diamalkan, sedangkan bagi orang
yang mengingkarinya dinilai sebagai kafir.
Mengenai keberadaan Hadîts Mutawâtir terdapat beberapa pendapat
ulama, ada yang mengungkapkan jika Hadîts Mutawâtir itu banyak
jumlahnya, ada yang mengatakan sangat jarang, bahkan ada yang mengatakan jika Hadîts
Mutawâtir itu tidak ada sama sekali.
Di antara ulama yang berpendapat bahwa Hadîts Mutawâtir itu banyak
jumlahnya adalah Al-Suyûtiy dan Al-Hâfîzh ibn Hajar
beliau mengatakan:
Sedangkan ulama yang mengatakan jika Hadîts Mutawâtir itu
sangat jarang atau sedikit jumlahnya adalah Ibn Shalah.
Adapun yang mengatakan Hadîts Mutawâtir itu tidak ada adalah Ibn
Hibbân, Al-Hazîmiy dan Al-Hâfizh Nâsyi’i, mereka berpendapat seperti ini
mungkin karena sangat sedikitnya Hadîts Mutawâtir ini muncul.
Adapun terkait dengan pendapat Ibn Shalah dan Ibn Hajar maka
Nuruddîn Itr mengkompromikannya dengan menulis bahwa mungkin yang
dimaksud sangat jarang/sedikitnya Hadîts Mutawâtir itu adalah Hadîts
Mutawâtir Lafdzîy, sedangkan yang dimaksud banyak oleh Ibn Hajar adalah Hadîts
Mutawâtir Maknâwîy
b.
Hadîts Ahâd
Secara bahasa ahâd merupakan jama’
dariاحد dengan
arti الواحد
(satu). Maka Hadîts Ahâd merupakan hadîts yang
diriwayatkan oleh seorang perawi. Sedangkan secara istilah, ulama
memberikan defenisi yang berbeda-beda, namun dengan maksud yang sama di
antaranya adalah:
Khatib al-Baghdâdîy memberi defenisi sebagai berikut:
فهو ما قصر عن صفة التواتر
“Yaitu Apa-apa
(Hadîts) yang tidak cukup (kurang) syarat atau sifat Mutawâtir”
Ajjâj al-Khâtib memberi defenisi
sebagai berikut:
فهو
ما رواه الواحد او الاء اثنان فاكثر مما لم تتورفيه شروط المشهور او المتواتر ولا
عبرة للعدد فيه بعد ذالك
“Yaitu Apa-apa
(Hadîts) yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi atau
pun lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat Masyhûr ataupun Mutawâtir, dan
tidak diperhitungkan lagi perawi setelah itu (tingkatan berikutnya)”
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits
ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai
berikut:
ما
لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحد أز ثنين
أوثلاثااو أر بعة أو خمسة او إلى غير ذلك من الأعدا د التي لاتشعر بأن الخبرد خل
بها فى خبرا المتواتر[14]
“khabar
yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir,
baik perawi itu satu, dua, tiga,empat,lima dan seterusnya yang tidak memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi
hadits mutawatir”.
Ada juga ulama yang
mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir[15],hadits selain hadits mutawatir,[16] atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga
sampai kepada sumberNya (nabi) tetapi kandungnya memberikan pengertian zhanni
dan tidak sampai kepada qath’I dan yaqin.[17]
Dari beberapa definisi
diatas, jelaslah bahwa di samping jumlah parawi hadits tidak sampai kepada
jumlah perawi hadits mutawatir, kandunganya pun bersifat zhanniy dan tidak
bersifat qath’I
Kecendrungan para ulama mendefinisikan hadits ahad
seperti tersebut diatas, karena dilihat dari jumlah
perawinya ini,hadits dibagi menjadi
dua,yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadits
ahad menurut ulama yang membedakan hadits menjadi tiga, yaitu hadits
mutawatir,masyhurdan ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir ini)
bahwa yang disebut dengan hadits ahad adalah:
مارواه الواحد أوالاثنان
فأ كثر مما لم تتوا فر فيه شروط المشهور اومتوا تر
“hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih, yang jumlahnya
tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur dan hadits mutawatir.”[18]
c.
Hadîts Masyhûr
Secara Bahasa Masyhûr merupakan ism mafûl dariاشهرت الأمر jika اعلنته و
اظهرته
dinamakan dengan Masyhûr mungkin karena kejelasannya.
Sedangkan secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di
antaranya Menurut ulama Ushuliyyin, Hadîts Masyhûr adalah:
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari golongan sahabat
yang tidak mencapai batas
Mutawâtir, kemudian setelah sahabat hingga berikutnya mencapai jumlah
Mutawâtir”
Adapun Hadîts Masyhûr menurut Ibn Hajar sebagaimana yang dikutip Nuruddîn
Itr adalah ما له طرق
محصورة باكثر من اثنين (Hadîts yang memiliki
jumlah jalur yang terbatas dan lebih dari dua)
Selain Hadîts Masyhûr yang dilihat dari jumlah
sanad, ada juga istilah Masyhûr dari segi kepopulerannya. Macam-macam
Hadîts Masyhûr dari segi kepopulerannya ini di antaranya
adalah:
Masyhûr di kalangan ulama tasawuf
من عرف نفسه فقد عرف ربه
”Siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan tahu dengan Tuhannya”
Masyhûr di kalangan ulama hadîts
المسلم من سلم المسلم من لسانه ويده, والمهاجر
من هجر ما حرم الله
”Yang dimaksud dengan muslim adalah orang yang kaum muslim
lainnya selamat dari lidah dan tangannya, sedangkan orang yang berhijrah adalah
mereka yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah”
Masyhûr di kalangan awam
مدارة الناس صدقة
”Sumbu
(sosialitas) manusia adalah sedekah”
Masyhûr di kalangan ulama Ushl al-Fiqh
رفع عن امة الخطاء و النسيان وما استكره عليه
”diangkat dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan
sesuatu yang bersifat keterpaksaan”
Masyhûr di kalangan ulama Fiqh
ابغض الحلال الى الله الطلاق
”Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
Cerai”
Jadi Hadis Masyhûr dari segi kepopulerannya ini tidak bisa
dijadikan patokan kualitas sebuah hadîts, karena di antara hadîts
ini ada yang shahih, yang hasan, dha’if bahkan maudhû’.
Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih,hasan dan
dha’if. Yang di maksud dengan hadits masyhu sahih adala hadits masyhur yang
telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits sahih, baik sanad maupun matanya,
seperti hadits ibnu ‘umar
“bagi siapa
yang hendak pergi malaksakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi.”
4.
Berdasarkan
Kwalitas
a.
Hadîts Shahîh
Secara bahasa Shahîh
merupakan lawan dari سقيم
(sakit). Istilah Shahîh pada dasarnya dipakaikan untuk menyebutkan
keadaan fisik, dan terhadap hadits ini merupakan bentuk majazy/maknawiy.
Secara istilah
terdapat beberapa defenisi yang dirumuskan oleh ulama hadîts di
antaranya:
Ibnu Shalah:
ا لحد يث الصحيح هوالحد يث المسند الذي يتصل اسناده بنقل
العدل الضبط عن العدل الضبط الى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا[20]
“Hadis Shahih yaitu hadis musnad yang
bersambung sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil-dhabith dari orang
yang adil lagi dhabit juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan
dan cacat”.
Definisi yang lebih
ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi:
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
dabit, tidak syaz dan tidak ber illat”.
Dari defenisi-defenisi yang disampaikan oleh para ulama
di atas setidaknya dapat disimpulkan syarat-syarat hadîts Shahîh,
sebagai berikut:
1.
Ittishal
al-sanad
Ittishal al-sanad (Bersambung sanadnya), maksudnya antara satu perawi
dengan perawi sesudah dan sebelumnya dimungkinkan untuk bertemu. Sehingga
dengan syarat ini dikecualikan hadîts munqati’, mu’dhal, mu’allaq, dan
mudallas.
2.
Diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil
Adapun yang dimaksud dengan perawi ‘âdil adalah
perawi yang memiliki integritas agama, akhlak yang baik serta terhindar dari
perbuatan fasik dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah-nya.
3.
Diriwayatkan oleh perawi yang dhâbit
Adapun dhâbit menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.[22] Seorang perawi dikatakan dhabit
apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis
yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat
hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan
hafalan tersebut dengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan
saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus
didengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isi apa yang
didengar, terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikannya kepada
orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
4.
Tidak Syadz ( Janggal)
Maksud Syadz atau Syudzuz (jama’ dari Syadz) disini,
adalah hadis yang bertantangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
Pengertian ini, yang dipegang oleh Al-Syafi’i
dan diikuti oleh kebanyakan para ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz di atas, dapat di pahami, bahwa hadis yang
tidak syadz (ghair syadz), adalah hadis yang matannya tidak
bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
5.
Tidak terdapat
‘ilat
‘ilat yaitu sifat tersembunyi yang mencemari keshahihan hadîts,
baik yang terdapat pada sanad maupun pada matan, Seperti: me-mursal-kan
yang maushûl, me-muttashil-kan yang munqati’ atau
me-marfu’-kan yang mauquf, dan bentuk bentuk sejenis lainnya.
Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yagn tersembunyi atau yang
samar-samar, karenanya dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Dikatakan
samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat
sahih. Adanya kesamaran pada hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya
menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak
berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kasamaran atau
keragu-raguan.
Hadîts Shahîh dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu Hadîts Shahîh li dzâtihi dan Hadîts Shahîh li
ghairihi.
Hadîts Shahîh li dzâtihi yaitu Hadîts Shahîh yang
sesuai dengan kriteria Hadîts Shahîh sebagaimana yang disebutkan di
dalam defenisi di atas.
Hadîts Shahîh li ghairihi yaitu: hadits yang ke-shahîh-annya
dikarenakan faktor lain. Seperti Hadîts Hasan yang menjadi Shahîh
dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan.
b.
Hadîts Hasan
Pada awal perkembangan ilmu hadîts, pembagian hadîts
berdasarkan kwalitas ini hanya di bagi menjadi dua yaitu hadits Shahîh dan
hadits Dha’îf . Adapun yang mempopulerkan istilah hadîts Masyhûr
ini untuk pertama kalinya adalah Abu ‘Îsa al-Tirmîdziy.
1)
Pengertian
Hadîts Hasan
Menurut istilah Hadîts Hasan yaitu Hadîts yang memiliki
sanad bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil yang lebih rendah
ke-dhâbit-annya, tanpa adanya Syâdz dan ‘illat.
Menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah
“Hasan” bagi suatu jenis hadits yang berdiri adalah Imam Al-Tirmidzi. Untuk
lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa definisi Hadits Hasan.
Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadits hasan yang diberikan Al-Tirmidzi adalah( dalam
redaksi Ibn Taimiyah ):
ماروي من وجهين، وليس فى
رواته من هو متهم بالكذ ب،ولا هو شا ذ مخا لف
للأ حا ديث الصحيحة
“ Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), danpara perawinya tidak tertuduh
dusta, tidak mengadung syadz yang menyalahi hadits-hadits sahih.”
Sementara itu ibnu Hajar
mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut :
وخبرالأحاد بنقل عد ل تا م الضبط متصل
السند غير معلل ولا شا ذ هو االصحيح لذاته، فإ ن قل الضبط فا لحسن لذا ته
“ Khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang
adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya tanpa ber’illat dan syadz
disebut Hadits sahih, namun bila
kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan lidzatih.”[23]
2) Macam-Macam Hadîts Hasan
Sebagaimana hadîts Shahîh, hadîts Hasan dibagi juga menjadi
dua macam yaitu hadîts Hasan li dzâtihi dan hadîts Hasan li ghairihi.
Hadîts Hasan li
dzâtihi yaitu Hadîts Hasan yang sesuai dengan kriteria hadîts
Hasan sebagaimana yang disebutkan di dalam defenisi di atas.
Hadîts hasan li
ghairihi yaitu: hadits dha’if yang menjadi hasan di
karenakan faktor lain. Seperti hadîts Dha’if yang menjadi hasan dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain
yang menguatkan, dengan syarat dha’if tersebut bukan dikarenakan
perawinya banyak sekali lupa, banyak salah, tertuduh melakukan dusta ataupun fasiq.
c.
Hadîts Dha’îf
1.
Pengertian dan
Pembagian Hadîts Dha’îf
Secara bahasa dha’îf
merupakan lawan dari kata القوي (kuat).
Sedangkan secara Istilah Hadîts Dha’if yaitu hadîts yang
tidak memenuhi syarat-syarat Maqbul, atau hadîts yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits Shahîh ataupun hadits Hasan
Khusus mengenai pembagian hadits Dha’îf penulis
tidak akan merincinya, dikarenakan ini akan dibahas secara rinci pada makalah
berikut. Yang jelas hadits Dha’îf di bagi menjadi dua yaitu Dha’îf
yang disebabkan oleh ketidak bersambungan sanad dan yang
disebabkan cacat pada matan.
2.
Hukum beramal
dengan Hadîts Dha’îf
Mengenai beramal dengan hadîts Dha’îf ini
terdapat tiga pendapat ulama yang berbeda-beda, di antaranya:
a.
Menurut Yahya ibn Mâ’in, Ibn Hazm, al-Bukhâriy dan Muslim hadîts Dha’îf
tidak dapat diamalkan secara mutlak.
b.
Menurut Abu Daud dan Imam Ahmad
hadîts Dha’îf dapat diamalkan secara mutlak.
Menurutnya beramal dengan hadîts Dha’îf lebih baik dari
pada memakai ra’yu Hadîts Dha’îf dapat digunakan di dalam
masalah fadh-il al-a’mal dan mawâ’iz jika memenuhi
syarat berikut:
Ke-Dha’îf -annya tidak bersangatan. Yaitu
perawi tersebut bukan orang yang tertuduh berdusta atau terlalu sering
melakukan kesalahan. Hadîts Dha’îf tersebut masuk cakupan hadits pokok yang
bisa diamalkan. Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus
kuat, tetapi sekedar untuk kehati-hatian.
5.
Pembagian
Berdasarkan Penisbatan
a.
Hadîts Marfû’
Menurut bahasa marfû’ merupakan isim maf’ûl dari رفع yang merupakan lawan dari kata وضع(rendah).
Dipakainya istilah marfû’ dikarenakan penisbahannya kepada nabi Muhammad SAW
sebagai seorang sosok yang mulia, yang
memiliki derajat yang tinggi.
Sedangkan menurut Nuruddîn Itr Hadîts
Marfu’ adalah:
Defenisi ini sama dengan defenisi mayoritas ulama Hadîts termasuk
‘Ajjâj al-Khâtib, hanya saja ‘Ajjâj al-Khâtib menambahkan dengan kalimat “baik
hadîts itu muttasil maupun munqati’. Dan penulis memandang hal itu wajar
karena Nuruddîn Itr meletakkan pembahasan marfu’ sejalan dengan mauquf
dan maqtu’, sementara ‘Ajjâj al-Khâtib meletakkannya sejalan dengan
pembahasan musnad dan muttashil.
Berbeda dengan mayoritas ulama, Al-Khatib al-Baghdâdîy membatasinya dengan sesuatu yang dikhabarkan oleh
sahabat dari Rasul Allah SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Dan jika kita
amati defenisi Hadîts Mursal tidak termasuk ke dalam Hadîts marfu
sesuai dengan defenisi ini.
b.
Hadîts Mauquf
Menurut bahasa mauqûf’ merupakan isim maf’ûl dari الوقف (berhenti). Jadi secara bahasa hadîts
mauqûf yaitu hadîts yang para perawinya berhenti hanya sampai
tingkatan sahabat, dan tidak meneruskannya sampai ke ujung sanad yang
tersisa.
Secara istilah Hadîts Mauquf adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari sahabat. Defenisi ini
penulis ambil setelah melihat beberapa defenisi yang diberikan ulama Hadîts,
di antaranya:
Nuruddîn Itr
“Hadis yang disandarkan kepada sahabat”
Fuqaha’ Kurasan, menyebut yang mauqûf ini dengan atsar,
dan yang marfû’ dengan khabar. Namun mayoritas ulama
menyebut keduanya dengan istilah Atsar.
Menurut mayoritas
ulama Hadîts mauqûf tidak berstatus marfû’, kecuali ada
indikasi yang menunjukkan ke-marfû’-annya. Seperti Ucapan sahabat: “Kami
melakukan begini di masa Rasul Allah SAW” atau pernyataan sahabat terkait
dengan kesaksiannya menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasul Allah.
c.
Maqtu’
Yang dimaksud
dengan maqtu’ adalah sesuatu yang diriwayatkan dari tabi’in. Ini
sesuai dengan defenisi yang disampaikan oleh Nuruddîn itr
Satu hal yang
mesti di garis bawahi terkadang ada yang memakai istilah maqtu’ ini
untuk menyebutkan Hadîts yang terputus sanadnya. Dan hal ini biasanya
terjadi sebelum dibakukannya defenisi mauquf dan maqtu’ ini.
C. Kesimpulan
Di dalam ilmu Mustalah
al-hadîts, hadîts di bagi berdasarkan beberapa tipologi. Pertama
berdasarkan bentuk asal, hadîts dibagi menjadi empat yaitu: hadîts
Qauliy, hadîts fi’liy, hadîts Taqrîriy dan hadîts Shifatiy. Kedua
berdasarkan sifat asal, hadîts dibagi menjadi dua yaitu: hadîts
Qudsiy dan hadîts Nabawiy. Ketiga berdasarkan jumlah periwayat, hadîts
dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Mutawâtir dan hadîts Ahad (Meskipun
Hanafiyah membaginya menjadi tiga). Keempat berdasarkan kwalitas, hadîts
dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Shahîh, hadîts Hasan dan hadîts
Dha’îf . Terakhir berdasarkan penisbatan, hadîts dibagi menjadi tiga
yaitu: hadîts Marfû’, hadîts Mauqûf dan hadîts Maqtû’.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahfudz ibn Abdillah Al-Tirmizi, Muhammad. Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Hamaramain,1974), Cet. Ke-3, hlm. 8. Kitab ini adalah
kitab syarah dari kitab karangan Jalal Al-Din Abdurrahman Al- Suyuthhi (w. 911
H), Manzhumat ‘ilmi All-Atsar. Lihat juga Muhammad Jamal Al-Din
Al-Qasimi, Qawa id Al-tahdits min Funun Mushalah Al-Hadits, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-ilmiyah, 1979
Suparta, Munzir Ilmu
Hadis, 2006
Al-Din Itr, Nur. Manhaj
Al-Naqdi fi Ulum Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979),
Sa’id Ramadhan Al-buti,
Muhamad. Mahabahits Al-Kitab wa Al-Sunnah min’Ilm Al-Ushul, (Damaskus:
Mahfushah Li Al-jamiah,t.t.)
Al-Shalah, Ibnu. Ulum
Al-Hadits, yang kemudian dikenal dengan
muqaddimah Ibn Al-Shalah,(Madinah:Al-Maktabat Al-islamiya,1995),cet.Ke-1
Zakaria Yahya, Abu. Ibn
Syaraf Al-Manawy Fann Ushul Al-Hadits,( Khairo:’Abd Al-Rahman Muhammad, t.t.)
Ma’luf, Louis.
Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam, (Beirut:Dar Al-Masyriq, 1992)
[1] Mihammad Mahfudz ibn Abdillah Al-Tirmizi, Manhaj Dzawi
Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Hamaramain,1974), Cet. Ke-3, hlm. 8. Kitab ini
adalah kitab syarah dari kitab karangan Jalal Al-Din Abdurrahman Al- Suyuthhi
(w. 911 H), Manzhumat ‘ilmi All-Atsar. Lihat juga Muhammad Jamal Al-Din
Al-Qasimi, Qawa id Al-tahdits min Funun Mushalah Al-Hadits, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-ilmiyah, 1979, hlm. 61.
[2]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 2006 hal 2-3
[4] Hadis nomor 4.119 dalam Bab Marji’I Al-Nabiy mi Al-Ahzab, Kitab
Al-Maghazy dalam Imam Al-Bukhari,op. cit., hlm. 286-288.
[5] Hadis nomor 3.549 dalam
Bab Shifat Al-Nabiy, Kitab Al-Manaqib, Imam Al-Bukhairi, op.cit., juz.
4, h. 198. Lihat juga penjelasan dalam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari, matan Al-Bukhari bi Hasyiat Al-Sindi, jilid 2, (Surabaya:
Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nubhan wa Auladuh).hlm. 271.
[6] ‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm.28.
[7] Nur Al-Din Itr, Manhaj
Al-Naqdi fi Ulum Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), hlm. 70.
Bandingkan dengan penjelasan Muhammad Mahfudz
[8] Mahmud Al-Tahhan,op.cit.,hlm19,lihat juga dalam Nur Al-Din ‘Itr,op.cit., hlm. 405,
Al-suyuti,tadrib Al-Rawi,op.cit.,hlm.180.
[12] Al-Suyuti,Tadrib Al-Rawi,op.cit.,jilid
II,hlm.180
[17] Muhamad Sa’id Ramadhan Al-buti,Mahabahits
Al-Kitab wa Al-Sunnah min’Ilm Al-Ushul,(Damaskus: Mahfushah Li
Al-jamiah,t.t.),hlm.17.
[19] Hadits nomor 877 dalam Bab Fadhl Ghasl yaum
Al-jum’at,kitab Al-jum’at,dalam imam Al-Bhukari,op.cit., jilid I, hlm.238,
dengan urutan sanad;diterima dari Abdullah ibn Yusuf, dari malik ibnNafi’, dari
Abdullah ibn umar.
[20] Ibnu Al-Shalah, Ulum
Al-Hadits, yang kemudian dikenal dengan
muqaddimah Ibn Al-Shalah,(Madinah:Al-Maktabat
Al-islamiya,1995),cet.Ke-1,hlm.10.
[21] Abu Zakaria Yahya Ibn
Syaraf Al-Manawy Fann Ushul Al-Hadits,( Khairo:’Abd Al-Rahman Muhammad, t.t.),
hlm.2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)