Kamis, 10 Desember 2015

KLASIFIKASI HADIS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEKNYA

MAKALAH
ULUMU AL-HADIS
Tentang

KLASIFIKASI HADIS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEKNYA

Dipresentasikan dalam Lokal Pada Mata Kuliah
Ulumu al-Hadis








Oleh:
ARISTION
311159


Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Rahman Ritonga, MA



JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M


KLASIFIKSI HADÎTS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEKNYA
A.           Pendahuluan
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Untuk memudahkan pemahaman dan pengenalan hadîts nabi beserta istilah-istilah yang terkait dengannya, maka pemakalah akan menjabarkannya di dalam makalah singkat yang berjudul KLASIFIKSI HADÎTS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK. Pembahasannya meliputi: Pembagian hadîts berdasarkan bentuk asal, pembagian hadîts berdasarkan sifat asal, pembagian hadîts berdasarkan Jumlah periwayat, pembagian hadîts berdasarkan kwalitas serta pembagian hadîts berdasarkan penisbatan.
              



B.       Klasifikasi Hadîts Nabi Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Untuk mengklasifikasikan Hadîts Nabi Muhammad SAW, dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya adalah:
1.         Berdasarkan Bentuk Asal
Khusus mengenai klasifikasi hadîts ditinjau dari aspek ini, tidak banyak buku yang merincinya. Penulis berasumsi bahwa pembagian ini ditarik langsung dari defenisi hadîts yang diberikan oleh ulama hadîts. Sebagaimana yang masyhûr, ulama hadîts mendefenisikan hadîts ialah

ا قو ا لنبى صلى ا لله عليه وسلم و ا فعا له و ا حو ا له[1]

“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan “hal ihwan” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain :

ما اضيف إلى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة[2]
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya”  
Adapun pembagian hadîts ditinjau bentuk asal –sesuai dengan defenisi hadîts di atas- adalah:



a.        Hadîts Qawlîy
Hadîts Qawlîy adalah hadîts-hadîts yang beliau ucapkan berkenaan dengan berbagai tujuan pada berbagai kesempatan. Adapun contoh dari hadîts ini adalah:
حدثنا آدم بن أبي أياس قال حدثنا شعبة عن عبد الله بن أبي السفر وإسماعيل عن الشعبي عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
Artinya:Telah meriwayatkan kepada kami Adam ibn abiy Iyâs dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Syu’bah dari Abd Allâh ibn Abi Safar dan Ismâ’îl dari al-Sya’bîy dari ‘Abd Allâh ibn ‘Amru dari Nabi SAW, Beliau bersabda:”orang Muslim adalah orang yang selamat muslim yang lain dari lidah dan tangannnya, Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allâh terhadapnya”

Contoh lain Hadis tentang bacaan al-Fatihah dalam sholat, yang berbunyi:
لإ صلا ة لمن لم يقرأ بفا تحة ا اكتا ب
 “Tidaklah sah shalat seseorang yang tidak membaca FAtihah Al-Kitab”.

b.        Hadîts Fi’lîy
Hadîts fi’lîy adalah Perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita oleh para sahabat. Adapun contoh dari hadîts ini adalah:
عن محمد بن المنكدر قال : رأيت جابر بن عبد الله يصلي في ثوب واحد وقال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في ثوب
Artinya: “Hadîts dari Muhammad ibn Munkadir, beliau berkata: Saya melihat Jâbir Ibn ‘Abd Allâh Shalat dengan sehelai kain, dan ia berkata:”Saya melihat Rasul Allâh shalat dengan memakai sehelai kain”  
Hadîts fi’lîy dibagi menjadi dua yaitu: Hadîts fi’lîy yang diiringi dengan perkataan Nabi, dan yang tidak diiringi dengan perkataan Nabi.
Contoh yang diiringi dengan perkataan Nabi/Hadîts Qaulîy adalah hadîts tata cara shalat nabi yang diiringi dengan hadîts Hadîts Qaulîy berikut
صلوا كما رأيتموني أصلي[3]
“Shalat kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
Khusus mengenai Hadîts fi’lîy yang tidak diiringi dengan perkataan nabi ini terdapat beberapa pembahasan penting yang menjadi sorotan para ulama terutama ulama Ushul. Mereka mempertanyakan muatan hukum yang terdapat di dalamnya, apakah wajib diikuti atau tidak. Setidaknya mengenai hal ini ulama Ushul membaginya kepada tiga bentuk, yaitu:
( افعال الجبلية ) Perbuatan yang muncul dari Rasul Allâh sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, tidur dan berdiri. termasuk juga di dalam hal ini pengalaman hidup beliau di dalam urusan dunia seperti perdagangan, pertanian dan peperangan serta pengobatan.
(افعال التي ثبت كونها مخصص لنبي ) Perbuatan Rasul yang telah ditetapkan sebagai perbuatan yang khusus untuk dirinya, seperti tahajud yang ia lakukan setiap malam, tidak menerima sedekah serta memiliki istri lebih dari empat.
Perbuatan yang berkaitan dengan hukum, dan ada alasannya yang jelas. Atau perbuatan nabi yang tidak ada diikuti oleh indikasi-indikasi sebagaimana pada poin satu dan dua
Tentang macam yang pertama dan kedua menurut ulama ushul tidak mengandung muatan hukum, sedangkan yang terakhir menjadi syariat bagi umat Islam.
c.         Taqrîrîy
Hadîts Taqrîrîy adalah Segala sesuatu yang muncul dari sementara sahabat yang diakui keberadaannya oleh Rasul Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dengan cara diam tanpa pengingkaran atau persetujuan dan keterus terangan beliau menganggapnya baik bahkan menguatkannya. Seperti Nabi membiarkan atau mendiamkan apa yang dilakukan oleh sahabat-Nya tanpa memberi penegasan atau pelarangan. Sikap Nabi seperti ini dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian hukum. Adapun contoh dari hadîts ini adalah: sikap Beliau terhadap ijtihâd sahabat berkenaan dengan shalat Ashr sewaktu perang melawan Bani Quraidzah. Yakni ketika beliau bersabda:
لا يصلين احد العصر الا في بني قريظة [4]
Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat Ashr, kecuali di kampung Bani Quraidzah.

Sebahagian Sahabat memang tidak melakukan shalat kecuali setelah sampai di Kampung Bani Quraidzah, sehingga mereka mentakhirkan hingga waktu Maghrib. Sedangkan yang lain justru tetap shalat di perjalanan, karena mereka memahami hadîts tersebut dengan makna perintah Rasul Allah untuk mempercepat perjalanan agar sampai di Bani Quraidzah sebelum waktu Maghrib. Berita kedua kelompok sahabat ini sampai kepada Nabi, tetapi Nabi mengakui keduanya, tanpa mengingkari salah satunya. 
d.        Hadîts Shifatîy
Hadîts Shifatîy adalah hadîts yang berupa sifat atau kepribadian Nabi serta keadaan fisiknya. Hadîts Shifatîy biasa disebut juga dengan Hadîts Ahwâliy. Jadi Hadîts Shifatîy ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang terkait dengan kepribadian Nabi dan bentuk fisik Nabi. Contoh hadîts tentang sifat/kepribadian Nabi
حدثنا أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحسن الناس خلقا
Artinya: ”Anas ibn Mâlik meriwayatkan kepada kami, beliau berkata: Rasul Allah SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya”

Contoh  hadîts tentang sifat fisik nabi di antaranya adalah:
كا ن ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم أ حسن ا لنا س و جها و أحسنه خلقا ليس بالطو يل ا لبا ءن و لا با لقصير
Artinya: “ Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.[5]
2.         Berdasarkan Sifat Asal
a.        Hadîts Qudsîy
Pengertian Hadîts Qudsîy
Secara bahasa al-Hadîts al-Qudsîy berasal dari dua kata yaitu al-Hadîts dan al-Qudsîy. Al-Qudsîy merupakan nisbah dari kata القدس (al-qudsu) bermakna الطهر (al-thuhru). الطاهر المنزه عن العيوب والنقايص (Zat yang Maha Suci yang jauh dari ‘aib dan kekurangan). Jadi secara bahasa dapat diartikan Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disandarkan/dinisbahkan kepada Zat Yang Maha Suci /Allah.
Sedangkan secara istilah Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammad SAW yang sanadnya disandarkan kepada Allah SWT. Defenisi ini penulis tarik dari beberapa defenisi yang ada di dalam beberapa kitab Ilmu Hadîts, seperti defenisi-defenisi berikut ini: 
Yang dimaksud dengan hadis Qudsiy yaitu :

كل حديث يضيف فيه الر سول صلى الله عليه وسلم قو لا إلى الله عز و جل                                       
“Setiap hadis yang Rasul menyandarkan perkataanya kepada Allah ‘Azza wa jalla.”[6]

Defenisi yang ditulis Oleh Nuruddîn Itr adalah
هو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم واسنده الى ربه عز وجل
“Dia (Hadîts Qudsîy) adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya atau penisbatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”

Defenisi yang ditulis Oleh Mahmûd Thahân adalah
هو ما نقل الينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عز وجل
“Apa-apa yang disampaikan kepada kita dari Nabi SAW, yang sanadnya disandarkan kepada Tuhan-nya (Allah ‘Azza wa Jalla) ”

b.        Perbedaan Antara Hadîts Qudsîy dengan Al-Qur’ân
Terkait dengan perbedaan antara Hadîts Qudsîy dengan al-Qur’ân terdapat perbedaan di kalangan ulama. Di antara yang paling jelas adalah antara pendapat Abu al-Baqâ’ al-‘Ukbûrîy dan Thayyibîy, sebagaimana yang dikutip oleh Nuruddîn Itr di dalam kitabnya. Beliau mengungkapkan sebagai berikut:
Abu al-Baqâ’ berkata  : Sesungguhnya lafaz dan makna al-Qur’ân berasal dari Allah melalui pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan Hadîts Qudsîy itu redaksinya dari Rasul Allah dan maknanya berasal dari Allah melalui pengilhaman atau mimpi.
Al-Thayyibîy berkata: Al-Qur’ân diturunkan melalui perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Hadîts Qudsîy itu maknanya berisi pemberitaan Allah melalui ilham atau mimpi, lalu nabi Muhammad memberitakan kepada umatnya dengan bahasa sendiri.
Al-Qur’ân memiliki keistimewaan yang tidak terdapat di dalam Hadîts Qudsîy, di antaranya adalah:
Al-Qur’ân itu lafaz dan maknanya dari  Allah, sedangkan Hadîts Qudsîy maknanya dari Allah dan redaksinya dari Nabi.
Membaca Al-Qur’ân termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
Semua lafaz Al-Qur’ân adalah mutawâtir, terjaga dari perubahan dan pergantian karena ia mukjizat, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
Membaca Al-Qur’ân disunatkan di dalam shalat sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
Ada larangan menyentuh mushaf Al-Qur’ân bagi orang yang ber-hadas, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak. 

c.         Hadîts Nabawîy
Hadîts Nabawîy adalah Apa yang dinisbahkan kepada Rasulullah dan diriwayatkan dari beliau. Jadi Hadîts Nabawîy adalah segala Hadîts Nabi yang dipahami secara umum yang bukan Hadîts Qudsîy. Maka ketika kita telah dapat mengetahui sesuatu hadîts adalah bukan Hadîts Qudsîy, secara otomatis yang demikian adalah Hadîts Nabawiy.

3.         Berdasarkan Jumlah Periwayat
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur, ahad, dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.
a.         Hadîts Mutawâtir
Defenisi Hadîts Mutawâtir
Secara Bahasa Mutawâtir merupakan ism fa’il musytaq dari التواتر berarti  التتابع(berturut-turut/lebat).
Sedangkan secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya:  Menurut Nuruddîn  Itr Hadîts Mutawâtir adalah:
 الذى رواه جمع كثير يؤمن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم, الى انتهاء السند وكان مستندهم الحس[7]
“Hadîts mutawâtir adalah hadîts yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak yang diyakini tidak akan sepakat berbuat dusta dari perawi yang semisalnya, dari awal sanad hingga akhirnya. Yang periwayatannya disandarkan kepada pengamatan indrawi”

Sedangkan ‘Ajjaj al-Khâtib mendefenisikan Hadîts Mutawâtir seperti berikut ini:
 ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه على ان لا يختل هذا الجمع في اي طبقة من طبقة السند
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada tiap tingkatan sanadnya ”

Dari defenisi-defenisi di atas dapat ditarik beberapa syarat sebuah hadîts dikatakan Mutawâtir yaitu:
a.         Hadîts tersebut pada setiap tingkatan sanadnya diriwayatkan oleh periwayat yang banyak dari awal hingga akhir.
Kondisi mereka tidak mungkin akan berdusta, seperti semua mereka bukan orang satu keluarga.
b.        Hendaklah keyakinan mereka didasarkan kepada sesuatu yang dapat diterima panca indra, atau hadîts tersebut menyangkut dengan nabi yang bisa ditangkap secara indrawi. Seperti sikap dan perbuatan Nabi yang dapat dilihat atau perkataan beliau yang dapat didengar.
c.         Hendaklah perawi yang meriwayatkan hadîts tersebut meyakini keabsahan hadîts tersebut (bukan berasal dari dugaan)  

1.        Pembagian Hadîts Mutawâtir
Ulama Hadîts membagi Hadîts Mutawâtir menjadi dua yaitu Hadîts Mutawâtir Lafzhîy dan Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy.[8] Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis Mutawatir amali. [9]
a.         Hadîts Mutawâtir Lafzhîy
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafzhi adalah:
ما توا ترت ر وايته عل لفظ واحد
Hadîts yang periwayatannya Mutawâtir dengan lafadz”.[10]
Ada yang mengatakan bahwa mutawatir lafdzi adalah:
ما تو ا تر لفظه ز معناه                                                                             
“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”[11]
Hadits mutawatir lafzhiy adalah hadits yang periwayatannya  mutawatir dengan lafadz yang sama oleh seluruh perawi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib, seperti berikut ini
ما رواه بلفظه جمع عن جمع عن جمع لا يتوهم تواطؤهم على الكذب من اول السند الى منتهاه  
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi, dari sejumlah perawi,  dengan lafaz yang sama, -yang tidak dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta- dari awal hingga akhir sanad”

Contoh:
من كذب علي متعمدافليتبوا مقعده من النار
“Siapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempatnya di neraka”

b.        Sedangkan  Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy
Al sayuthi mendefenisikan sebagai berikut:
أن ينقل جما عة يستحيل تو ا طؤ هم على الكذب و قا ئع مختلفة تشتر ك فى أمر

“ Hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil  mereka dapat sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan”.[12]
Ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Nuruddîn Itr yang mendefenisikannya dengan Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat melakukan kedustaan dengan memakai matan yang berbeda-beda, namun memiliki maksud atau makna yang sama. Contohnya adalah seperti hadîts tentang syafa’ah, ru’yah, mengucurnya air dari jari-jemari Rasul Allah SAW. 
c.         Hadits mutawatir Amali
Adapun yang dimaksud dengan hadits mutawatir ‘amali adalah
ما علم من الدين با لضرو رة وتوا تر بين المسلمين أن النبي صلى الله عليه و سلم فعله او أمر به أوغير ذلك وهوالذي ينطبق عليه تعر يف الإجما ع انطباقا صحيح[13]                                        
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk  urusan agama dan telah mutawatir antara ummat islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya,menyuruhnya, atau selain dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.”

Macam hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu sholat,raka’at sholat , sholat jenazah, sholat ‘id,tata cara shalat,pelaksaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.

2.        Kwalitas dan Keberadaan Hadîts Mutawâtir
a.         Hadîts Mutawâtir  
Hadîts Mutawâtir bersifat  qat’iy  al-tsubût/Yaqîniy/dhurûriy  dan posisinya disejajarkan dengan wahyu yang wajib diamalkan, sedangkan bagi orang yang mengingkarinya dinilai sebagai kafir.
Mengenai keberadaan Hadîts Mutawâtir terdapat beberapa pendapat ulama, ada yang mengungkapkan jika Hadîts Mutawâtir itu banyak jumlahnya, ada yang mengatakan sangat jarang, bahkan ada yang mengatakan jika Hadîts Mutawâtir itu tidak ada sama sekali.
Di antara ulama yang berpendapat bahwa Hadîts Mutawâtir itu banyak jumlahnya adalah Al-Suyûtiy dan Al-Hâfîzh ibn Hajar beliau mengatakan:
ومن احسن ما يقرر به كون المتواتر موجودا وجود كثرة في الأحاديث….
Sedangkan ulama  yang mengatakan jika Hadîts Mutawâtir itu sangat jarang atau sedikit jumlahnya adalah Ibn Shalah.
Adapun yang mengatakan Hadîts Mutawâtir itu tidak ada adalah Ibn Hibbân, Al-Hazîmiy dan Al-Hâfizh Nâsyi’i, mereka berpendapat seperti ini mungkin karena sangat sedikitnya Hadîts Mutawâtir ini muncul.  
Adapun terkait dengan pendapat Ibn Shalah dan Ibn Hajar maka Nuruddîn  Itr mengkompromikannya dengan menulis bahwa mungkin yang dimaksud sangat jarang/sedikitnya Hadîts Mutawâtir itu adalah Hadîts Mutawâtir Lafdzîy, sedangkan yang dimaksud banyak oleh Ibn Hajar adalah Hadîts Mutawâtir Maknâwîy
b.        Hadîts Ahâd
Secara bahasa ahâd merupakan jama’ dariاحد  dengan arti الواحد (satu). Maka Hadîts Ahâd merupakan hadîts yang diriwayatkan oleh seorang perawi. Sedangkan secara istilah, ulama memberikan defenisi yang berbeda-beda, namun dengan maksud yang sama di antaranya adalah:
Khatib al-Baghdâdîy memberi defenisi sebagai berikut:
فهو ما قصر عن صفة التواتر
“Yaitu Apa-apa (Hadîts) yang tidak cukup (kurang) syarat atau sifat Mutawâtir”
Ajjâj al-Khâtib memberi defenisi sebagai berikut:
فهو ما رواه الواحد او الاء اثنان فاكثر مما لم تتورفيه شروط المشهور او المتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذالك
“Yaitu Apa-apa (Hadîts) yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi atau pun lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat Masyhûr ataupun Mutawâtir, dan tidak diperhitungkan lagi perawi setelah itu (tingkatan berikutnya)”

Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan para ulama, antara lain sebagai berikut:
ما لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحد أز ثنين أوثلاثااو أر بعة أو خمسة او إلى غير ذلك من الأعدا د التي لاتشعر بأن الخبرد خل بها فى خبرا المتواتر[14]                                       
khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga,empat,lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.

Ada juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir[15],hadits selain hadits mutawatir,[16] atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumberNya (nabi) tetapi kandungnya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’I dan yaqin.[17]
Dari beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa di samping jumlah parawi hadits tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir, kandunganya pun bersifat zhanniy dan tidak bersifat qath’I
Kecendrungan para ulama mendefinisikan hadits ahad  seperti tersebut diatas, karena dilihat dari jumlah perawinya ini,hadits dibagi menjadi dua,yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadits ahad menurut ulama yang membedakan hadits menjadi tiga, yaitu hadits mutawatir,masyhurdan ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir ini) bahwa yang disebut dengan hadits ahad adalah:
مارواه الواحد أوالاثنان فأ كثر مما لم تتوا فر فيه شروط المشهور اومتوا تر
“hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits masyhur dan hadits mutawatir.[18]
c.         Hadîts Masyhûr
Secara Bahasa Masyhûr merupakan ism mafûl dariاشهرت الأمر jika اعلنته و اظهرته dinamakan dengan Masyhûr mungkin karena kejelasannya. Sedangkan secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya Menurut ulama Ushuliyyin, Hadîts Masyhûr adalah:
فهو ما رواه من الصحابة عدد لا يبلغ حد التواتر ثم تواتر بعد الصحابة ومن بعدهم
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari golongan sahabat yang tidak mencapai batas Mutawâtir, kemudian setelah sahabat hingga berikutnya mencapai jumlah Mutawâtir”
 Adapun Hadîts Masyhûr menurut Ibn Hajar sebagaimana yang dikutip Nuruddîn  Itr adalah ما له طرق محصورة باكثر من اثنين  (Hadîts yang memiliki jumlah jalur yang terbatas dan lebih dari dua)
Menurut Mayoritas ulama Hadîts, Hadîts Masyhûr ini termasuk ke dalam pembagian Hadîts ahâd
Selain Hadîts Masyhûr yang dilihat dari jumlah sanad, ada juga istilah Masyhûr dari segi kepopulerannya. Macam-macam Hadîts Masyhûr dari segi kepopulerannya ini di antaranya adalah:
Masyhûr di kalangan ulama tasawuf
من عرف نفسه فقد عرف ربه
”Siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan tahu dengan Tuhannya”






Masyhûr di kalangan ulama hadîts
المسلم من سلم المسلم من لسانه ويده, والمهاجر من هجر ما حرم الله
”Yang dimaksud dengan muslim adalah orang yang kaum muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya, sedangkan orang yang berhijrah adalah mereka yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah”

Masyhûr di kalangan awam
مدارة الناس صدقة
”Sumbu (sosialitas) manusia adalah sedekah”
Masyhûr di kalangan ulama Ushl  al-Fiqh
رفع عن امة الخطاء و النسيان وما استكره عليه
diangkat dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan sesuatu yang bersifat keterpaksaan”
Masyhûr di kalangan ulama Fiqh
ابغض الحلال الى الله الطلاق
Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Cerai”

Jadi Hadis Masyhûr dari segi kepopulerannya ini tidak bisa dijadikan patokan kualitas sebuah hadîts, karena di antara hadîts ini ada yang shahih, yang hasan, dha’if  bahkan maudhû’.
Hadits masyhur ini ada yang berstatus sahih,hasan dan dha’if. Yang di maksud dengan hadits masyhu sahih adala hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits sahih, baik sanad maupun matanya, seperti hadits ibnu ‘umar
أذاجاءأحد كم الجمعةفليغتسل[19]                                                               
“bagi siapa yang hendak pergi malaksakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi.”                                                                                                                                  
4.         Berdasarkan Kwalitas
a.         Hadîts Shahîh
Secara bahasa Shahîh merupakan lawan dari سقيم (sakit). Istilah Shahîh  pada dasarnya dipakaikan untuk menyebutkan keadaan fisik, dan terhadap hadits ini merupakan bentuk majazy/maknawiy.
Secara istilah terdapat beberapa defenisi yang dirumuskan oleh ulama hadîts di antaranya:
Ibnu  Shalah:
ا لحد يث الصحيح هوالحد يث المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضبط عن العدل الضبط الى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا[20]
Hadis Shahih yaitu hadis musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan oleh orang yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabit juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat”.

Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi:
ما اتصل سنده بالعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة[21]
Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak ber illat”.

Dari defenisi-defenisi yang disampaikan oleh para ulama di atas setidaknya dapat disimpulkan syarat-syarat hadîts Shahîh, sebagai berikut:

1.        Ittishal al-sanad
Ittishal al-sanad (Bersambung sanadnya), maksudnya antara satu perawi dengan perawi sesudah dan sebelumnya dimungkinkan untuk bertemu. Sehingga dengan syarat ini dikecualikan hadîts munqati’, mu’dhal, mu’allaq, dan mudallas.
2.        Diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil
Adapun yang dimaksud dengan perawi ‘âdil adalah perawi yang memiliki integritas agama, akhlak yang baik serta terhindar dari perbuatan fasik dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah-nya.
3.        Diriwayatkan oleh perawi yang dhâbit
Adapun dhâbit menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.[22] Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan dengan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut dengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus didengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, memahami isi apa yang didengar, terpatri dalam ingatannya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
4.        Tidak Syadz ( Janggal)
Maksud Syadz atau Syudzuz (jama’ dari Syadz) disini, adalah hadis yang bertantangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Pengertian ini, yang dipegang oleh Al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan para ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz di atas, dapat di pahami, bahwa hadis yang tidak syadz (ghair syadz), adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
5.        Tidak terdapat ‘ilat
‘ilat yaitu sifat tersembunyi yang mencemari keshahihan hadîts, baik yang terdapat pada sanad maupun pada matan, Seperti: me-mursal-kan yang maushûl, me-muttashil-kan yang munqati’ atau me-marfu’-kan yang mauquf, dan bentuk bentuk sejenis lainnya.
Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yagn tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat sahih. Adanya kesamaran pada hadis tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kasamaran atau keragu-raguan.
Hadîts Shahîh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu Hadîts Shahîh li dzâtihi dan Hadîts Shahîh li ghairihi.
Hadîts Shahîh li dzâtihi yaitu Hadîts Shahîh yang sesuai dengan kriteria Hadîts Shahîh sebagaimana yang disebutkan di dalam defenisi di atas.
Hadîts Shahîh li ghairihi yaitu: hadits yang ke-shahîh-annya dikarenakan faktor lain. Seperti Hadîts Hasan yang menjadi Shahîh dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan. 

b.        Hadîts Hasan
Pada awal perkembangan ilmu hadîts, pembagian hadîts berdasarkan kwalitas ini hanya di bagi menjadi dua yaitu hadits Shahîh dan hadits Dha’îf . Adapun yang mempopulerkan istilah hadîts Masyhûr ini untuk pertama kalinya adalah Abu ‘Îsa al-Tirmîdziy.
1)        Pengertian Hadîts Hasan
Secara bahasa Hasan merupakan Sifat Musyabahah dari الحسن dengan makna الجمال
Menurut istilah Hadîts Hasan yaitu Hadîts yang memiliki sanad bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil yang lebih rendah ke-dhâbit-annya, tanpa adanya Syâdz dan ‘illat.  
Menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah “Hasan” bagi suatu jenis hadits yang berdiri adalah Imam Al-Tirmidzi. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa definisi Hadits Hasan.
Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadits hasan yang diberikan Al-Tirmidzi adalah( dalam redaksi Ibn Taimiyah ):
ماروي من وجهين، وليس فى رواته من هو متهم بالكذ ب،ولا هو شا ذ مخا لف
 للأ حا ديث الصحيحة                                                                                                                                    
“ Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), danpara perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengadung syadz yang menyalahi hadits-hadits sahih.”

Sementara itu ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut :
وخبرالأحاد بنقل عد ل تا م الضبط متصل السند غير معلل ولا شا ذ هو االصحيح لذاته، فإ ن قل الضبط فا لحسن لذا ته                                                                                                             
Khabar  Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya tanpa ber’illat dan syadz disebut  Hadits sahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan lidzatih.”[23]


2)    Macam-Macam Hadîts Hasan
Sebagaimana hadîts Shahîh, hadîts Hasan  dibagi juga menjadi dua macam yaitu hadîts Hasan li dzâtihi dan hadîts Hasan li ghairihi.
Hadîts Hasan li dzâtihi yaitu Hadîts Hasan yang sesuai dengan kriteria hadîts Hasan sebagaimana yang disebutkan di dalam defenisi di atas.
Hadîts hasan li ghairihi yaitu: hadits dha’if yang menjadi hasan di karenakan faktor lain. Seperti hadîts Dha’if yang menjadi hasan dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan, dengan syarat dha’if tersebut bukan dikarenakan perawinya banyak sekali lupa, banyak salah, tertuduh melakukan dusta ataupun fasiq.
  
c.         Hadîts Dha’îf
1.        Pengertian dan Pembagian Hadîts Dha’îf  
Secara bahasa dha’îf  merupakan lawan dari kata القوي  (kuat). Sedangkan secara Istilah Hadîts Dha’if  yaitu hadîts yang tidak memenuhi syarat-syarat Maqbul, atau hadîts yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits Shahîh ataupun hadits Hasan
Khusus mengenai pembagian hadits Dha’îf  penulis tidak akan merincinya, dikarenakan ini akan dibahas secara rinci pada makalah berikut. Yang jelas hadits Dha’îf  di bagi menjadi dua yaitu Dha’îf  yang disebabkan oleh ketidak bersambungan sanad dan yang disebabkan cacat pada matan. 
2.        Hukum beramal dengan Hadîts Dha’îf
Mengenai beramal dengan hadîts Dha’îf   ini  terdapat tiga pendapat ulama yang berbeda-beda, di antaranya:
a.         Menurut Yahya ibn Mâ’in, Ibn Hazm, al-Bukhâriy dan Muslim hadîts Dha’îf  tidak dapat diamalkan secara mutlak.
b.        Menurut  Abu  Daud  dan  Imam  Ahmad  hadîts  Dha’îf    dapat diamalkan secara mutlak.
Menurutnya beramal dengan hadîts Dha’îf  lebih baik dari pada memakai ra’yu Hadîts Dha’îf   dapat digunakan di dalam masalah  fadh-il al-a’mal  dan mawâ’iz jika memenuhi syarat berikut:
Ke-Dha’îf -annya tidak bersangatan. Yaitu perawi tersebut bukan orang yang tertuduh berdusta atau terlalu sering melakukan kesalahan. Hadîts Dha’îf  tersebut masuk cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan. Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar untuk kehati-hatian. 

5.         Pembagian Berdasarkan Penisbatan
a.         Hadîts Marfû’
Menurut bahasa marfû’ merupakan isim maf’ûl dari رفع yang merupakan lawan dari kata  وضع(rendah). Dipakainya istilah marfû’ dikarenakan penisbahannya kepada nabi Muhammad SAW sebagai seorang sosok yang mulia, yang memiliki derajat yang tinggi.   
Sedangkan menurut Nuruddîn  Itr Hadîts Marfu’ adalah:
وهو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم خاصة من قول او فعل اوتقرير او وصف
Defenisi ini sama dengan defenisi mayoritas ulama Hadîts termasuk ‘Ajjâj al-Khâtib, hanya saja ‘Ajjâj al-Khâtib menambahkan dengan kalimat “baik hadîts itu muttasil maupun munqati’. Dan penulis memandang hal itu wajar karena Nuruddîn  Itr meletakkan pembahasan marfu’ sejalan dengan mauquf dan maqtu’, sementara ‘Ajjâj al-Khâtib meletakkannya sejalan dengan pembahasan musnad dan muttashil.
Berbeda dengan mayoritas ulama, Al-Khatib al-Baghdâdîy membatasinya dengan sesuatu yang dikhabarkan oleh sahabat dari Rasul Allah SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Dan jika kita amati defenisi Hadîts Mursal tidak termasuk ke dalam Hadîts marfu  sesuai dengan defenisi ini.

b.        Hadîts Mauquf
Menurut bahasa mauqûf’ merupakan isim maf’ûl dari الوقف (berhenti). Jadi secara bahasa hadîts mauqûf yaitu hadîts yang para perawinya berhenti hanya sampai tingkatan sahabat, dan tidak meneruskannya sampai ke ujung sanad yang tersisa.  
Secara istilah Hadîts Mauquf adalah sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat. Defenisi ini penulis ambil setelah melihat beberapa defenisi yang diberikan ulama Hadîts, di antaranya:
Nuruddîn  Itr
 ما اضيف إلى الصحابة رضوان الله عليهم[24]
“Hadis yang disandarkan kepada sahabat”
Fuqaha’ Kurasan, menyebut yang mauqûf  ini dengan atsar, dan yang marfû’  dengan khabar. Namun mayoritas ulama menyebut keduanya dengan istilah Atsar.
Menurut mayoritas ulama Hadîts mauqûf tidak berstatus marfû’, kecuali ada indikasi yang menunjukkan ke-marfû’-annya. Seperti Ucapan sahabat: “Kami melakukan begini di masa Rasul Allah SAW” atau pernyataan sahabat terkait dengan kesaksiannya menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasul Allah.

c.         Maqtu’
Yang dimaksud dengan maqtu’ adalah sesuatu yang diriwayatkan dari tabi’in. Ini sesuai dengan defenisi yang disampaikan oleh Nuruddîn  itr
وهو ما اضيف إلى التابعى

Satu hal yang mesti di garis bawahi terkadang ada yang memakai istilah maqtu’ ini untuk menyebutkan Hadîts yang terputus sanadnya. Dan hal ini biasanya terjadi sebelum dibakukannya defenisi mauquf dan maqtu’ ini.

C.      Kesimpulan
Di dalam ilmu Mustalah al-hadîts, hadîts di bagi berdasarkan beberapa tipologi. Pertama berdasarkan bentuk asal, hadîts dibagi menjadi empat yaitu: hadîts Qauliy, hadîts fi’liy, hadîts Taqrîriy dan hadîts Shifatiy. Kedua berdasarkan sifat asal, hadîts dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Qudsiy dan hadîts Nabawiy. Ketiga berdasarkan jumlah periwayat, hadîts dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Mutawâtir dan hadîts Ahad (Meskipun Hanafiyah membaginya menjadi tiga). Keempat berdasarkan kwalitas, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Shahîh, hadîts Hasan dan hadîts Dha’îf . Terakhir berdasarkan penisbatan, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Marfû’, hadîts Mauqûf dan hadîts Maqtû’.                














DAFTAR PUSTAKA


Mahfudz ibn Abdillah Al-Tirmizi, Muhammad. Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Hamaramain,1974), Cet. Ke-3, hlm. 8. Kitab ini adalah kitab syarah dari kitab karangan Jalal Al-Din Abdurrahman Al- Suyuthhi (w. 911 H), Manzhumat ‘ilmi All-Atsar. Lihat juga Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qawa id Al-tahdits min Funun Mushalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, 1979
Suparta, Munzir Ilmu Hadis, 2006
Al-Din Itr, Nur. Manhaj Al-Naqdi fi Ulum Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979),
Sa’id Ramadhan Al-buti, Muhamad. Mahabahits Al-Kitab wa Al-Sunnah min’Ilm Al-Ushul, (Damaskus: Mahfushah Li Al-jamiah,t.t.)
Al-Shalah, Ibnu. Ulum Al-Hadits, yang  kemudian dikenal dengan muqaddimah Ibn Al-Shalah,(Madinah:Al-Maktabat Al-islamiya,1995),cet.Ke-1
Zakaria Yahya, Abu. Ibn Syaraf Al-Manawy Fann Ushul Al-Hadits,( Khairo:’Abd Al-Rahman Muhammad, t.t.)
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam, (Beirut:Dar Al-Masyriq, 1992)





[1] Mihammad Mahfudz ibn Abdillah Al-Tirmizi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Hamaramain,1974), Cet. Ke-3, hlm. 8. Kitab ini adalah kitab syarah dari kitab karangan Jalal Al-Din Abdurrahman Al- Suyuthhi (w. 911 H), Manzhumat ‘ilmi All-Atsar. Lihat juga Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qawa id Al-tahdits min Funun Mushalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, 1979, hlm. 61.
[2]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 2006 hal 2-3
[3] Hadis nomor 631 dalam Imam Al-Bukhairi, op. Cit., Juz 1, hlm. 125-126, Kitab Al-Adzan.
[4] Hadis nomor 4.119 dalam Bab Marji’I Al-Nabiy mi Al-Ahzab, Kitab Al-Maghazy dalam Imam Al-Bukhari,op. cit., hlm. 286-288.
[5] Hadis nomor 3.549 dalam Bab Shifat Al-Nabiy, Kitab Al-Manaqib, Imam Al-Bukhairi, op.cit., juz. 4, h. 198. Lihat juga penjelasan dalam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, matan Al-Bukhari bi Hasyiat Al-Sindi, jilid 2, (Surabaya: Syirkah Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nubhan wa Auladuh).hlm. 271.
[6] ‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm.28.
[7] Nur Al-Din Itr, Manhaj Al-Naqdi fi Ulum Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), hlm. 70. Bandingkan dengan penjelasan Muhammad Mahfudz
[8] Mahmud Al-Tahhan,op.cit.,hlm19,lihat  juga dalam Nur Al-Din ‘Itr,op.cit., hlm. 405, Al-suyuti,tadrib Al-Rawi,op.cit.,hlm.180.
[9] Ahmad Muhammad Al-Syakir, loc.cit,
[10] Nur Al-Din’ Itr,loc.cit.
[11] Mahmud Al-Tahhan,loc.cit.
[12] Al-Suyuti,Tadrib Al-Rawi,op.cit.,jilid II,hlm.180
[13] Ahmad Mahmud Al-Syakir,op.cit., hlm.60.
[14] Hasbi As-siddiq,op.cit.,hlm.32.
[15] Mahmud Al-Tahhan,loc.cit.
[16] Ibnu Hajar Al-Asqalami,jilid I,op.cit., hlm.51.
[17] Muhamad Sa’id Ramadhan Al-buti,Mahabahits Al-Kitab wa Al-Sunnah min’Ilm Al-Ushul,(Damaskus: Mahfushah Li Al-jamiah,t.t.),hlm.17.
[18] Ajja Al-Khatib, Ushul Al- Hadits,op.cit.,hlm.32.
[19] Hadits nomor 877 dalam Bab Fadhl Ghasl yaum Al-jum’at,kitab Al-jum’at,dalam imam Al-Bhukari,op.cit., jilid I, hlm.238, dengan urutan sanad;diterima dari Abdullah ibn Yusuf, dari malik ibnNafi’, dari Abdullah ibn umar.
[20] Ibnu Al-Shalah, Ulum Al-Hadits, yang  kemudian dikenal dengan muqaddimah Ibn Al-Shalah,(Madinah:Al-Maktabat Al-islamiya,1995),cet.Ke-1,hlm.10.
[21] Abu Zakaria Yahya Ibn Syaraf Al-Manawy Fann Ushul Al-Hadits,( Khairo:’Abd Al-Rahman Muhammad, t.t.), hlm.2.
[22] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-Alam, (Beirut:Dar Al-Masyriq, 1992), hlm 445
[23] Ibnu Hajar Al-‘Asqalany,Syarh Nukhbat Al-Fikr, op.cit., hlm.52.
[24] Nur Al-Din Itr, op. Cit., hlm. 326.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)