Kamis, 10 Desember 2015

METODE ISTINBAT HUKUM


MAKALAH
USHUL FIQIH
tentang
METODE ISTINBAT HUKUM






Oleh :
ARISTION
311159


Dosen pembimbing :




JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) IMAM BONJOL PADANG
1436 H /2015 M


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbill’alamin, puji syukur hanya untuk Allah karena taufi dan  hidayah-Nya dapatlah di selesaikan penulisan makalah ini.   Shalawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Rasul terakhir, pembawa ajaran Tuhan, sebagai pembawa rahmat sekalian alam.
Terimakasih kepada bapak dosen pembimbing yang telah memberi izin kepada penulis untk menyelesaikan penulisan makalah ini. Walaupun makalh ini telah selesai di tulis, penulis sendiri masih merasa makalah ini masih jauh dari tingkat kesempurnaan, di sebabkan keterbatasan sumber yang penulis dapatkan.
Maka dari itu untuk melengkapi kesempurnaan makalah ini penulis meng harapkan kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini kedepanya. Semoga makalah yang telah makalh ini bisa di pahami dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi penulis sendri khususnya.
Padang,   April 2015


Penulis





METODE ISTINBATH HUKUM
A.    PENGERTIAN ISTINBATH HUKUM
Istinbâth” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbâth ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.[1] Setelah dipakai sebagai istilah dalam  studi hukum islam, arti istinbâth menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihâd. Fokus istinbâth adalah teks suci ayat-ayat al-Qurân dan hadis-hadis Nabi s.a.w.. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbâth.
Upaya istinbâth  tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbâth, yakni melalui kaedah-kaedah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbâth atau ijtihâd adalah sebagai berikut:
1.    Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qurân yang berhubungan dengan masalah hukum.
2.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi s.a.w. yang berhubungan dengan masalah hukum.
3.    Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijmâ’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijmâ’.
4.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyâs, dan dapat mempergunakannya untuk istinbâth hukum.
5.    Mengetahui ilmu logika, agar dapat mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
6.    Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qurân dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain .[3]
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih.[4]
Sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam terutama al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber hukum Islam ada yang disepakati para ulama (muttafaq) dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an, al-sunnah (al-Hadits), dan ijma’. Sedangkan yang diperselisihkan ialah: al-Qiyas, al-Istihsan, Maslahat al-Mursalah, Istishhab, al-Urf, Madzhab Sahaby, dan Syari’at sebelum Islam (syar’un man qablana) [5]
Pada klasifikasi lain, hukum Islam ada yang berasal dari ilahi (wahyu) dan berasal dari potensi-potensi insani. oleh karena itu, pada dasarnya sumber hukum islam adalah sumber naqliyah dan ‘aqliyah. Sumber hukum naqliyah ada yang bersifat orsinil (ashliyy) dan ada yang bersifat “tambahan” (taba’iyy). sumber hukum naqliyah yang bersifat “tambahan” ini ialah ijma’. oleh  karena itu sering kali pakar hukum islam menyatakan bahwa sumber hukum islam ada tiga. pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah dan ketiga Ijtihad. Ijma’ sering kali tidak disebut sebagai sumber hukum islam yang ketiga karena ijma’ merupakan sumber hukum naqliyah “tambahan” Karena pada dasarnya bersumber kepada al-qur’an dan sunnah juga. Demikian pula sumber-sumber hukum Islam lainnya, seperti qiyas, istihsan, istislah dan sebagainya, tidak lagi disebut sumber hukum islam karena semuanya merupakan hasil ijtihad.[6]
B.     METODE ISTINBAT HUKUM
a.      Metode Istinbat Hukum
Metode istinbat hukum ini secara operasional dibagi dalam dua bagian:
1.        Metodologi Istinbat Dari Sumber-Sumber Hukum Islam
2.        Metodologi Tathbiq Hukum Islam
1. Metodologi Istinbat Dari Sumber Hukum Islam
Secara ringkas, metodologi penetapan hukum Islam harus melalui beberapa tahapan berikut:
a.        Verifikasi Teks (Tautsiq An Nash/توثيق النص)
Verifikasi teks diartikan sebagai sebuah upaya untuk menguji validitas dan keabsahan penukilan sebuah teks. Jikalau validitas al Qur’an sudah final dan tak membutuhkan sebuah pengkajian ulang, maka upaya untuk menguji keabsahan sebuah teks hadits menjadi PR seorang mujtahid yang ingin menetapkan sebuah hukum.
Sikap ilmiah ini telah menjadi sebuah karakteristik pemikiran Islam yang telah menelorkan banyak disiplin ilmu mulai dari ilmu rijal, sanad, al jarh wat ta’dil, ilmu musthalah hadits yang dikembangkan untuk menetapkan kaedah dan kode etik verifikasi teks.
b.                   Pembacaan Teks (Fahm An Nash/فهم النص )
Dalam kerangka istinbat al ahkam, topik pembacaan teks mendapat porsi yang proporsional sesuai dengan urgensinya dalam disiplin ushul fiqh. Perhatian pakar ushul fiqh terhadap relasi petanda-penanda (الدال والمدلول) sangat besar. Ibn Amir al Haj (879H-1422M) mencatat bahwa tema ini mencakup,”…beragam klasifikasi yang saling terkait, dengan sudut pandang yang sangat beragam”
Ketika mengkaji dalalat al alfadh, para pakar ushul fiqh mengelaborasi teks dari satuan terkecil “lafaz” hingga pada tataran kesamaran-kejelasan makna yang diberikan.Lafadh dikaji dan diuraikan dalam beberapa kata kunci al-am-al khas, al amr-al nahy, al musytarak, al mutaradif. Dari segi pemakaian (al-isti’mal), teks dicermati dalam tema pemakaian makna hakiki-majazi (metaforal) dan beberapa topik terkait.
Di samping itu, para pakar ushul membahas hierarki kejelasan-kesamaran makna sebuah teks dalam pembahasan kata kunci al mufassar – al muhkam sebagai padanan al khafi’ – al musykil – al mujmal – al mutasyabih, sebagaimana yang kita lihat dalam aliran (mazhab) Hanafi, atau al nash – al dhahir sebagai padanan al mujmal – al muawwal seperti dalam aliran Mutakallimin.
Terlebih dari itu, ushul fiqh juga mengkaji teks sebagai petanda (الدال) terhadap serangkaian penanda (المدلول) dalam kajian tentang dalalat al ‘ibarah – dalalat al isyarah – dalalat al nash – dalalat al iqtidha’, seperti dalam metodologi Mazhab Hanafi. Sementara pakar ushul mutakallimin mengkajinya dalam dalalat al mantuq – al mafhum. Dalalat al mantuq kemudian dibedakan dalam mantuq sharih – ghair sharih, untuk kemudian mantuq ghair sharih dibagi ke dalam dalalat al iqtidha’ – dalalat al iima – dalalat al isyarah..
Beberapa Kecenderungan Dalam Pembacaan Teks
Ketika melihat teks dalam dua sisi; literal-substansi, maka sejarah pemikiran Islam mencatat beberapa kecenderungan. Al Syatibi membaginya ke dalam empat kecenderungan ():
·         Dhahiriyyah, sebuah kecenderungan yang berpegang pada makna literal-eksplisit (الظواهر) tanpa memberi perhatian kepada makna implisit dan substansi (المعاني والعلل) dari sebuah teks.
·         Al Batiniyyah, sebuah kecenderungan yang menganulir makna literal-eksplisit dan hanya berpegang pada makna implisit dan substansi sebuah teks sekalipun kontradiksi dengan makna literal.
·         Al Muta’ammiqun Fil Qiyas, yang berpegang pada makna literal-eksplisit dan makna implisit namun bersikap berlebihan dalam makna implisit hingga menyalahi banyak nash.
·         Al Ulama Al Rasikhun, yang memadukan secara seimbang antara makna literal dan substansi sebuah teks.[7]
Beberapa Kode Etik Pembacaan Teks
Dalam mengekplorasi kandungan sebuah teks, para ulama menjelaskan beberapa kode etik pembacaan teks yang mampu menjamin pembacaan yang seimbang antara dua sisi teks; literal dan substansi.
1.        Mengelaborasi batas makna-makna literal dengan menggunakan kata kunci referensial kebahasaan seperti: al-am-al khas, al muthlaq – al muqayyad, al amr- al nahy, al haqiqah-al majaz.
2.        Mengeksplorasi makna-makna implisit dan substansil dengan membedakan konotasi literal ( المدلول اللغوي ) dengan konotasi syar’iy( المدلول الشرعي ).
3.        Memadukan kedua sisi teks tersebut secara proporsional tanpa melebihkan salah satu sisi. Mengadopsi makna literal secara berlebihan dapat mengabaikan nilai dan substansi yang ingin disampaikan oleh peletak Syariat. Sikap ini dapat mengantar kepada pengambilan hukum yang keliru, seperti yang kita lihat dalam fatwa keharaman pengambilan gambar fotografi, sinema dan tv. Sebaliknya mengadopsi sisi substansil dan makna implisit secara berlebihan mengantar kepada kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan dengan nash, seperti yang terlihat dalam fatwa yang mebedakan dan menbolehkan riba untuk kepentingan konsumsi dan mengharamkan riba yntuk kepentingan produksi, fatwa larangan poligami dll.
4.        Ketika sebuah lafaz berada dalam posisi tarik menarik antara makna literal dan makna metaforal maka makna metaforal tidak boleh secara serampangan diadopsi kecuali ketika pemahaman literal menjadi tidak mungkin.
5.        Memahami nash dalam kerangka kaedah-struktur bahasa Arab.
6.        Memahami nash dalam kerangka konteks yang mengitarinya tanpa harus mengurung teks tersebut dalam konteksnya yang spesifik.
c.        Menghargai Ijma’ Ulama (At Taqayyud bil Ijma’/التقيد بالإجماع)
Yang dimaksud dengan Ijma’ di sini adalah hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama yang selanjutnya membentuk sebuah identitas muslim. Olehnya, ketika seorang mujtahid mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sebuah kesimpulan hukum dalam sebuah persoalan spesifik, ia harus menghadirkan dan menghargai hal-hal yang telah disepakati oleh para ulama. Al Qarafi menyebutkan bahwa,”Ketika hasil ijtihad bertentangan dengan ijma’ maka secara otomatis hasil ijtihad seperti itu menjadi batal tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama” [3]
Dalam bukunya, Al Ijtihad al Muashir, Dr. Yusuf al Qaradhawi menyebutkan sebuah contoh pendapat yang keluar dari apa yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu pendapat Dr. Syauki Syahatah dan Dr. Syauki al Fanjari yang menyatakana bahwa harta kekayaan berupa minyak yang dimiliki oleh beberapa negara di kawasan Teluk harus dikeluarkan zakatnya yaitu seperlima karena dipandang sebagai “harta rikaz/terpendam”. Pendapat ini telah menyalahi kespakatan para ulama yang menyatakan bahwa harta kekayaan negara tidak wajib dikeluarkan zakatnya.[4]
d.        Memperhatikan Nilai-Nilai Universal Islam (Mura’at Al Ma’ani Wal Qawaid Al Kulliyyah/مراعاة المعانى والقواعد الكلية )
Seorang mujtahid ketika tidak menemukan nash syar’iy dalam kasus yang dikajinya dan tidak menemukan jalan untuk sebuah analogi terhadap hukum yang ada, maka ia harus memperhatikan nilai-nilai universal dan kaedah-kaedah umum yang menjadi paradigma pemikiran Islam. Selanjutnya ia dapat membangun sebuah hukum untuk kasus spesifik yang dikajinya berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah dalil yang tidak didasari oleh nash-nash tertentu dari al Quran maupun Sunnah tapi ia diambil dari nilai-nilai yang digali dan dibangun lewat proses induksi (استقراء) dari berbagai nash hingga membetuk dan melahirkan sebuah nilai universal.
Disamping berfungsi sebagai sumber hukum, nilai-nilai universal ini juga berfungsi sebagai kode etik yang harus diperhatikan seorang mujtahid dalam ijtihadnya.
2. Metodologi Tathbiq Hukum Islam
Setelah melewati fase penggalian hukum dari sumber-sumbernya, fase ini berusaha mengaitkan hasil ijtihad tadi yang masih bersifat umum dengan sebuah fakta di depan mata. Dalam literatur disiplin ushul fiqh, penerapan hukum Islam lebih dikenal dengan istilah al ifta’ atau tanzil al ahkam dalam istilah Imam Al Syathibi.
Substansi dari ijtihad dalam fase ini tersimpul dalam fiqh al waqi’ (memahami fakta apa adanya) dan tanzil al hukm (menetapkan hukum untuk kasus tersebut). Kedua substansi itu dikembangkan oleh para ulama dalam tiga fase berikut:
a.         Tashwir Wa Ta’rif Al Waqi’ (تصوير وتعريف الواقع)
Tashwir al waqi’ adalah sebuah upaya untuk mendeskripsi fakta apa adanya, mendefenisikan serta menganalisa struktur sebuah kasus ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil. Ibn Shalah mengatakan bahwa,”mendeskripsi kasus-kasus dengan baik, kemudian menetapkan hukum untuknya setelah mengeksplorasi sisi-sisi yang nampak jelas dan terselubung dari kasus-kasus yang ada, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang faqih” .[8]
Dalam menetapkan hukum dalam kasus bayi tabung atau kloning misalnya meniscayakan sebuah deskripsi yang sempurna tentang prosesi bayi tabung atau pun kloning. Tanpa melewati tashwir yang memadai, hukum yang ditetapkan juga tidak akan memadai.
b.       Takyif Al Waqi’ (تكييف الواقع)
Takyif al waqi’ adalah upaya untuk mengembalikan sebuah kasus ke dalam kategori hukum tertentu. Misalnya, setelah selesai mendeskripsi dan mendefinisikan sebuah jenis transaksi, seorang mujtahid berusaha mengembalikannya ke dalam kategori transaksi yang sudah ada seperti; jual beli, sewa menyewa, gadaian dst… Ketika mendapati substansi sebuah kasus merujuk kepada kategori jual beli misalnya, maka hukum kasus tersebut merujuk kepada hukum jual beli dengan seluruh syarat dan konsekwensinya. Dan jika tidak dapat dikembalikan ke salah satu kategori hukum yang ada, kasus tersebut dianggap sebagai transaksi yang belum memiliki nama. Selanjutnya akan diberi nama sesuai dengan substansinya dengan tetap berusaha untuk menjelaskan hukumnya().
Dalam kerangka ini, Imam al Syathibi menyebut prosesi tersebut sebagai tahqiq al manath fi al anwa’ yang dibedakannya dengan tahqiq al manath fi al asykhash(). Jika substansi yang pertama adalah upaya verifikasi terhadap jenis-jenis kasus yang dapat dimasukkan dalam sebuah kategori hukum maka substansi yang kedua adalah upaya pengkajian dan verifikasi terhadap hukum yang sesuai dengan setiap person dengan mempertimbangkan waktu dan kondisi kasusnya.
Yang pertama misalnya terlihat dalam realitas kehidupan beberapa kasus yang memiliki kemiripan. Aksi copet, rampok bank dan aksi pemerasan seorang karyawan merupakan tiga kasus yang memiliki kemiripan hingga hampir-hampir dapat dikategorikan sebagai kasus pencurian.
Sementara yang kedua dapat dilihat dalam hukum ta’zir dimana seorang hakim berhak untuk memutuskan sebuah hukum dengan mempertimbangkan person, kondisi dan waktu yang terkait dengan sebuah kasus.
c.       Tanzil Al Ahkam Ala Al Waqi’ (تنزيل الأحكام على الواقع)
Setelah mempelajari substansi kasus dan mengembalikannya kepada kategori hukumnya maka fase terakhir menghendaki sebelum menetapkan hukum final, seorang mujtahid harus memperhatikan dua hal:
1.    Maqashid al Syariah, sebagai nilai-nilai universal Islam yang menjadi target akhir dan semangat setiap produk hukum Islam demi mewujudkan kesalehan individiual dan komunal. Dalam hal ini, seorang mujtahid harus membedakan antara maqasid sebuah hukum dengan apa yang hanya merupakan salah satu perangkatnya. Ia juga menghendaki sebuah perbandingan antara maqasid al syari’ dan maqasid al mukallaf dengan menyingkap indikasi-indikasi yang ada untuk kemudian menetapkan hukum berdasarkan hal tersebut. Selanjutnya jika sesuai dengan maqasid al syariah maka ia mesti disetujui. Demikian sebaliknya kalau menyalahinya, maka produk hukum itu harus dianulir.
2.    Memverifikasi efek sebuah penetapan hukum. Al Syatibi menyatakan,”sebuah pengkajian terhadap efek dari kasus-kasus yang ada menjadi target syariat sama saja kasus-kasus tersebut sesuai dengan nilai-nilai universal itu atau tidak. Seorang mujtahid tidak berhak memutuskan sebuah kasus yang lahir dari para mukallaf untuk dilaksanakan atau ditinggalkan kecuali setelah mencermati efek kasus tersebut” .





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Metodologi istinbat hukum secara ringkas dapat dikembalikan dalam dua bagian; bagian yang terkait dengan penggalian dan penetapan hukum dari sumber-sumber yang ada. Yang kedua: bagian yang terkait dengan penerapan hukum dalam kasus-kasus yang spesifik. Jika bagian pertama menghendaki verifikasi dan pembacaan teks untuk sampai kepada sebuah produk hukum yang masih abstrak, maka bagian kedua menghendaki sebuah pemahaman terhadap realita kasus yang diperhadapkan kepada seorang mujtahid. Dengan memperhatikan maqasid al syariah dan dengan mempertimbangkan efek-efek dari penetapan hukum terhadap sebuah kasus yang spesifik diharapkan sebuah upaya ijtihad telah mencapai targetnya secara maksimal.



DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
Adab Al Mufti Wal Mustafti, Ibn Shalah h.100 Cet. Maktabah al ulum 1986
Dahlan Idhamy,  Seluk-beluk hukum islam, (Semarang: CV. Faizan, 1996 ) Hlm. 73
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm. 25
Ismail Muhammad Syah,  Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hlm. 50
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 110-118















[1] Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm. 25
[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 110-118
[3] Ibid., Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan..., hlm. 29
[4] Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
[5] Dahlan Idhamy,  Seluk-beluk hukum islam, (Semarang: CV. Faizan, 1996 ) Hlm. 73
[6] Ismail Muhammad Syah,  Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hlm. 50
[7] http://syirooz.blogspot.com/2012/03/metodologi-istinbat-hukum.html
[8] Adab Al Mufti Wal Mustafti, Ibn Shalah h.100 Cet. Maktabah al ulum 1986
class" �LL s P^T `a� hCxSpMiddle style='margin-top:0cm;margin-right:0cm; margin-bottom:0cm;margin-left:54.0pt;margin-bottom:.0001pt;mso-add-space:auto; text-align:justify;text-indent:18.0pt;line-height:150%'>Musyarakah Mutanaqisah adalah akad antara dua pihak atau lebih yang berserikat atau berkongsi terhadap suatu barang dimana salah satu pihak kemudian membeli bagian pihak lainnya secara bertahap. Akad ini diterapkan pada pembiayaan proyek yang dibiayai oleh lembaga keuangan dengan nasabah atau lembaga keuangan lainnya dimana bagian lembaga keuangan secara bertahap dibeli oleh pihak lainnya dengan cara mencicil. Akad ini juga terjadi pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usaha itu berjalan terus dengan modal tetap.[12]

(Huda) Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Secara tata bahasa arti dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata syaraka-yusyrikusyarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara bertahap.
Musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain
Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda). Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.
b.      Landasan Hukum Musyarakah Mutanaqisah
Landasan hukum musyarakah mutanaqisah dapat disandarkan pada dalil yang mendasari akad syirkah dan ijarah, karena musyarakah mutanaisah adalah akad gabungan antara kedua akad tersebut, yaitu:
Landasan Musyarakah
1.      Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24:
الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَا هُمْ وَإِنَّ آَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
2.      Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).




[1] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125
[2] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185
[3] Ibid,. hlm. 187
[4] Heri sudarsono, bank dan lembaga keuangan syariah, (Yogyakarta: EKONOSIA, 2003), hlm. 67
[5] Qomarul huda, fiqh muamalah, Yogyakarta: teras, 2011, hlm. 100
[6] Agus Fajri Zam, Pembiayaan Musyarakah PDF, (diakses dari : http ://imanph.files.wordpress.com/2007/12/pembiayaan_musyarakah.pdf), tanggal 27 Oktober 2013, 08:45.
[7] Beny Setio Putro, makalah fiqih muamalah al – musyarakah, http://benysetioputro.blogspot.com/2014/05/makalah-al-musyarakah.html
[8] Suhendi H, Hendi,. Op,.chit,.hlm.135
[9] Muhammad bin Ismail Al-Kahlani,Subul As-Salam,Juz 3,Maktabah wa Matba’ah Mushtafa Al-Babiy Al-Halabi,Mesir,cet.IV,1960,hlm.76.
[10] Ali fikri,Al-Muamalat Al-Madiyyah wa Al-Adabiyah,Matba’ah Mushtafa Al-Babiy Al-Halaby,Mesir,cet.I,1357 H,hlm.180.
[11] http://wildaawaliyah.blogspot.com/2015/04/akad-musyarakah-mutanaqisah.html
[12] Kamus bisnis bank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)