MAKALAH
USHUL FIQIH
tentang
METODE ISTINBAT HUKUM
Oleh :
ARISTION
311159
Dosen pembimbing :
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) IMAM BONJOL
PADANG
1436 H /2015 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbill’alamin, puji syukur hanya
untuk Allah karena taufi dan hidayah-Nya
dapatlah di selesaikan penulisan makalah ini.
Shalawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Rasul
terakhir, pembawa ajaran Tuhan, sebagai pembawa rahmat sekalian alam.
Terimakasih kepada bapak dosen pembimbing yang
telah memberi izin kepada penulis untk menyelesaikan penulisan makalah ini.
Walaupun makalh ini telah selesai di tulis, penulis sendiri masih merasa
makalah ini masih jauh dari tingkat kesempurnaan, di sebabkan keterbatasan
sumber yang penulis dapatkan.
Maka dari itu untuk melengkapi kesempurnaan
makalah ini penulis meng harapkan kritikan dan masukan yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini kedepanya. Semoga makalah yang telah makalh ini
bisa di pahami dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi penulis sendri
khususnya.
Padang, April 2015
Penulis
METODE ISTINBATH HUKUM
A. PENGERTIAN ISTINBATH HUKUM
Istinbâth” berasal dari kata “nabth”
yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”.
Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbâth ialah “mengeluarkan
sesuatu dari persembunyiannya”.[1] Setelah
dipakai sebagai istilah dalam studi
hukum islam, arti istinbâth menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari
sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihâd. Fokus istinbâth
adalah teks suci ayat-ayat al-Qurân dan hadis-hadis Nabi s.a.w.. Karena
itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut
disebut istinbâth.
Upaya istinbâth tidak
akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja
pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah,
sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat
ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbâth,
yakni melalui kaedah-kaedah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbâth atau ijtihâd
adalah sebagai berikut:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qurân yang berhubungan dengan masalah hukum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi
s.a.w. yang berhubungan dengan masalah hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh Ijmâ’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak
bertentangan dengan Ijmâ’.
4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyâs,
dan dapat mempergunakannya untuk istinbâth hukum.
5. Mengetahui ilmu logika, agar dapat mengahasilkan
kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qurân
dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain .[3]
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum
setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum
yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum
syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila
terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan
pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika
seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia
sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di
dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih.[4]
Sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang
dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam terutama al-Qur’an
dan al-Sunnah. Sumber hukum Islam ada yang disepakati para ulama (muttafaq)
dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Sumber hukum Islam yang
disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an, al-sunnah (al-Hadits), dan ijma’.
Sedangkan yang diperselisihkan ialah: al-Qiyas, al-Istihsan, Maslahat
al-Mursalah, Istishhab, al-Urf, Madzhab Sahaby, dan Syari’at sebelum Islam (syar’un
man qablana) [5]
Pada klasifikasi lain,
hukum Islam ada yang berasal dari ilahi (wahyu) dan berasal dari
potensi-potensi insani. oleh karena itu, pada dasarnya sumber hukum islam
adalah sumber naqliyah dan ‘aqliyah. Sumber hukum naqliyah ada
yang bersifat orsinil (ashliyy) dan ada yang bersifat “tambahan” (taba’iyy).
sumber hukum naqliyah yang bersifat “tambahan” ini ialah ijma’.
oleh karena itu sering kali pakar hukum islam menyatakan bahwa sumber
hukum islam ada tiga. pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah dan
ketiga Ijtihad. Ijma’ sering kali tidak disebut sebagai sumber hukum
islam yang ketiga karena ijma’ merupakan sumber hukum naqliyah “tambahan”
Karena pada dasarnya bersumber kepada al-qur’an dan sunnah juga. Demikian pula
sumber-sumber hukum Islam lainnya, seperti qiyas, istihsan, istislah dan
sebagainya, tidak lagi disebut sumber hukum islam karena semuanya merupakan
hasil ijtihad.[6]
B. METODE ISTINBAT HUKUM
a.
Metode Istinbat Hukum
Metode istinbat hukum
ini secara operasional dibagi dalam dua bagian:
1.
Metodologi Istinbat Dari Sumber-Sumber Hukum Islam
2.
Metodologi Tathbiq Hukum Islam
1. Metodologi
Istinbat Dari Sumber Hukum Islam
Secara ringkas,
metodologi penetapan hukum Islam harus melalui beberapa tahapan berikut:
a.
Verifikasi Teks (Tautsiq An Nash/توثيق النص)
Verifikasi teks
diartikan sebagai sebuah upaya untuk menguji validitas dan keabsahan penukilan
sebuah teks. Jikalau validitas al Qur’an sudah final dan tak membutuhkan sebuah
pengkajian ulang, maka upaya untuk menguji keabsahan sebuah teks hadits menjadi
PR seorang mujtahid yang ingin menetapkan sebuah hukum.
Sikap ilmiah ini
telah menjadi sebuah karakteristik pemikiran Islam yang telah menelorkan banyak
disiplin ilmu mulai dari ilmu rijal, sanad, al jarh wat ta’dil, ilmu musthalah
hadits yang dikembangkan untuk menetapkan kaedah dan kode etik verifikasi teks.
b.
Pembacaan Teks (Fahm An Nash/فهم النص )
Dalam kerangka
istinbat al ahkam, topik pembacaan teks mendapat porsi yang proporsional sesuai
dengan urgensinya dalam disiplin ushul fiqh. Perhatian pakar ushul fiqh
terhadap relasi petanda-penanda (الدال والمدلول) sangat besar. Ibn Amir al Haj
(879H-1422M) mencatat bahwa tema ini mencakup,”…beragam klasifikasi yang saling
terkait, dengan sudut pandang yang sangat beragam”
Ketika mengkaji
dalalat al alfadh, para pakar ushul fiqh mengelaborasi teks dari satuan
terkecil “lafaz” hingga pada tataran kesamaran-kejelasan makna yang
diberikan.Lafadh dikaji dan diuraikan dalam beberapa kata kunci al-am-al khas,
al amr-al nahy, al musytarak, al mutaradif. Dari segi pemakaian (al-isti’mal),
teks dicermati dalam tema pemakaian makna hakiki-majazi (metaforal) dan
beberapa topik terkait.
Di samping itu, para
pakar ushul membahas hierarki kejelasan-kesamaran makna sebuah teks dalam
pembahasan kata kunci al mufassar – al muhkam sebagai padanan al khafi’ – al
musykil – al mujmal – al mutasyabih, sebagaimana yang kita lihat dalam aliran
(mazhab) Hanafi, atau al nash – al dhahir sebagai padanan al mujmal – al
muawwal seperti dalam aliran Mutakallimin.
Terlebih dari itu,
ushul fiqh juga mengkaji teks sebagai petanda (الدال) terhadap serangkaian penanda (المدلول)
dalam kajian tentang dalalat al ‘ibarah – dalalat al isyarah – dalalat al nash
– dalalat al iqtidha’, seperti dalam metodologi Mazhab Hanafi. Sementara pakar
ushul mutakallimin mengkajinya dalam dalalat al mantuq – al mafhum. Dalalat al
mantuq kemudian dibedakan dalam mantuq sharih – ghair sharih, untuk kemudian
mantuq ghair sharih dibagi ke dalam dalalat al iqtidha’ – dalalat al iima –
dalalat al isyarah..
Beberapa Kecenderungan
Dalam Pembacaan Teks
Ketika melihat teks
dalam dua sisi; literal-substansi, maka sejarah pemikiran Islam mencatat
beberapa kecenderungan. Al Syatibi membaginya ke dalam empat kecenderungan ():
·
Dhahiriyyah, sebuah kecenderungan yang berpegang pada makna literal-eksplisit (الظواهر) tanpa memberi
perhatian kepada makna implisit dan substansi (المعاني
والعلل) dari sebuah teks.
·
Al Batiniyyah, sebuah kecenderungan yang menganulir makna literal-eksplisit dan hanya
berpegang pada makna implisit dan substansi sebuah teks sekalipun kontradiksi
dengan makna literal.
·
Al Muta’ammiqun Fil Qiyas, yang berpegang pada makna literal-eksplisit dan makna implisit namun
bersikap berlebihan dalam makna implisit hingga menyalahi banyak nash.
·
Al Ulama Al Rasikhun, yang memadukan secara seimbang antara makna literal dan substansi sebuah
teks.[7]
Beberapa Kode Etik
Pembacaan Teks
Dalam mengekplorasi
kandungan sebuah teks, para ulama menjelaskan beberapa kode etik pembacaan teks
yang mampu menjamin pembacaan yang seimbang antara dua sisi teks; literal dan
substansi.
1.
Mengelaborasi batas makna-makna literal dengan menggunakan kata kunci
referensial kebahasaan seperti: al-am-al khas, al muthlaq – al muqayyad, al
amr- al nahy, al haqiqah-al majaz.
2.
Mengeksplorasi makna-makna implisit dan substansil dengan membedakan
konotasi literal (
المدلول اللغوي ) dengan
konotasi syar’iy( المدلول الشرعي ).
3.
Memadukan kedua sisi teks tersebut secara proporsional tanpa melebihkan
salah satu sisi. Mengadopsi makna literal secara berlebihan dapat mengabaikan
nilai dan substansi yang ingin disampaikan oleh peletak Syariat. Sikap ini
dapat mengantar kepada pengambilan hukum yang keliru, seperti yang kita lihat
dalam fatwa keharaman pengambilan gambar fotografi, sinema dan tv. Sebaliknya
mengadopsi sisi substansil dan makna implisit secara berlebihan mengantar
kepada kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan dengan nash, seperti yang
terlihat dalam fatwa yang mebedakan dan menbolehkan riba untuk kepentingan
konsumsi dan mengharamkan riba yntuk kepentingan produksi, fatwa larangan
poligami dll.
4.
Ketika sebuah lafaz berada dalam posisi tarik menarik antara makna literal
dan makna metaforal maka makna metaforal tidak boleh secara serampangan
diadopsi kecuali ketika pemahaman literal menjadi tidak mungkin.
5.
Memahami nash dalam kerangka kaedah-struktur bahasa Arab.
6.
Memahami nash dalam kerangka konteks yang mengitarinya tanpa harus
mengurung teks tersebut dalam konteksnya yang spesifik.
c.
Menghargai Ijma’ Ulama (At
Taqayyud bil Ijma’/التقيد بالإجماع)
Yang dimaksud dengan
Ijma’ di sini adalah hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama yang
selanjutnya membentuk sebuah identitas muslim. Olehnya, ketika seorang mujtahid
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sebuah kesimpulan hukum dalam sebuah
persoalan spesifik, ia harus menghadirkan dan menghargai hal-hal yang telah
disepakati oleh para ulama. Al Qarafi menyebutkan bahwa,”Ketika hasil ijtihad
bertentangan dengan ijma’ maka secara otomatis hasil ijtihad seperti itu
menjadi batal tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama” [3]
Dalam bukunya, Al Ijtihad al Muashir, Dr. Yusuf al Qaradhawi menyebutkan sebuah
contoh pendapat yang keluar dari apa yang telah disepakati oleh para ulama,
yaitu pendapat Dr. Syauki Syahatah dan Dr. Syauki al Fanjari yang menyatakana
bahwa harta kekayaan berupa minyak yang dimiliki oleh beberapa negara di
kawasan Teluk harus dikeluarkan zakatnya yaitu seperlima karena dipandang
sebagai “harta rikaz/terpendam”. Pendapat ini telah menyalahi kespakatan para
ulama yang menyatakan bahwa harta kekayaan negara tidak wajib dikeluarkan
zakatnya.[4]
d.
Memperhatikan Nilai-Nilai Universal Islam (Mura’at Al Ma’ani Wal Qawaid Al
Kulliyyah/مراعاة المعانى والقواعد الكلية )
Seorang mujtahid
ketika tidak menemukan nash syar’iy dalam kasus yang dikajinya dan tidak
menemukan jalan untuk sebuah analogi terhadap hukum yang ada, maka ia harus
memperhatikan nilai-nilai universal dan kaedah-kaedah umum yang menjadi
paradigma pemikiran Islam. Selanjutnya ia dapat membangun sebuah hukum untuk
kasus spesifik yang dikajinya berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai universal
yang dimaksud adalah dalil yang tidak didasari oleh nash-nash tertentu dari al
Quran maupun Sunnah tapi ia diambil dari nilai-nilai yang digali dan dibangun
lewat proses induksi (استقراء) dari berbagai nash hingga membetuk dan melahirkan sebuah nilai universal.
Disamping berfungsi
sebagai sumber hukum, nilai-nilai universal ini juga berfungsi sebagai kode
etik yang harus diperhatikan seorang mujtahid dalam ijtihadnya.
2. Metodologi Tathbiq Hukum Islam
Setelah melewati fase
penggalian hukum dari sumber-sumbernya, fase ini berusaha mengaitkan hasil
ijtihad tadi yang masih bersifat umum dengan sebuah fakta di depan mata. Dalam
literatur disiplin ushul fiqh, penerapan hukum Islam lebih dikenal dengan
istilah al ifta’ atau tanzil al ahkam dalam istilah Imam Al Syathibi.
Substansi dari
ijtihad dalam fase ini tersimpul dalam fiqh al waqi’ (memahami fakta apa
adanya) dan tanzil al hukm (menetapkan hukum untuk kasus tersebut). Kedua
substansi itu dikembangkan oleh para ulama dalam tiga fase berikut:
a.
Tashwir Wa Ta’rif Al Waqi’ (تصوير وتعريف الواقع)
Tashwir al waqi’
adalah sebuah upaya untuk mendeskripsi fakta apa adanya, mendefenisikan serta
menganalisa struktur sebuah kasus ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil. Ibn
Shalah mengatakan bahwa,”mendeskripsi kasus-kasus dengan baik, kemudian
menetapkan hukum untuknya setelah mengeksplorasi sisi-sisi yang nampak jelas
dan terselubung dari kasus-kasus yang ada, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh
orang yang faqih” .[8]
Dalam menetapkan
hukum dalam kasus bayi tabung atau kloning misalnya meniscayakan sebuah
deskripsi yang sempurna tentang prosesi bayi tabung atau pun kloning. Tanpa
melewati tashwir yang memadai, hukum yang ditetapkan juga tidak akan memadai.
b.
Takyif Al Waqi’ (تكييف الواقع)
Takyif al waqi’
adalah upaya untuk mengembalikan sebuah kasus ke dalam kategori hukum tertentu.
Misalnya, setelah selesai mendeskripsi dan mendefinisikan sebuah jenis
transaksi, seorang mujtahid berusaha mengembalikannya ke dalam kategori
transaksi yang sudah ada seperti; jual beli, sewa menyewa, gadaian dst… Ketika
mendapati substansi sebuah kasus merujuk kepada kategori jual beli misalnya,
maka hukum kasus tersebut merujuk kepada hukum jual beli dengan seluruh syarat
dan konsekwensinya. Dan jika tidak dapat dikembalikan ke salah satu kategori
hukum yang ada, kasus tersebut dianggap sebagai transaksi yang belum memiliki
nama. Selanjutnya akan diberi nama sesuai dengan substansinya dengan tetap
berusaha untuk menjelaskan hukumnya().
Dalam kerangka ini,
Imam al Syathibi menyebut prosesi tersebut sebagai tahqiq al manath fi al anwa’
yang dibedakannya dengan tahqiq al manath fi al asykhash().
Jika substansi yang pertama adalah upaya verifikasi terhadap jenis-jenis kasus
yang dapat dimasukkan dalam sebuah kategori hukum maka substansi yang kedua
adalah upaya pengkajian dan verifikasi terhadap hukum yang sesuai dengan setiap
person dengan mempertimbangkan waktu dan kondisi kasusnya.
Yang pertama misalnya
terlihat dalam realitas kehidupan beberapa kasus yang memiliki kemiripan. Aksi
copet, rampok bank dan aksi pemerasan seorang karyawan merupakan tiga kasus
yang memiliki kemiripan hingga hampir-hampir dapat dikategorikan sebagai kasus
pencurian.
Sementara yang kedua
dapat dilihat dalam hukum ta’zir dimana seorang hakim berhak untuk memutuskan
sebuah hukum dengan mempertimbangkan person, kondisi dan waktu yang terkait
dengan sebuah kasus.
c.
Tanzil Al Ahkam Ala Al Waqi’ (تنزيل الأحكام على الواقع)
Setelah mempelajari
substansi kasus dan mengembalikannya kepada kategori hukumnya maka fase
terakhir menghendaki sebelum menetapkan hukum final, seorang mujtahid harus
memperhatikan dua hal:
1.
Maqashid al Syariah, sebagai nilai-nilai universal Islam yang menjadi
target akhir dan semangat setiap produk hukum Islam demi mewujudkan kesalehan
individiual dan komunal. Dalam hal ini, seorang mujtahid harus membedakan
antara maqasid sebuah hukum dengan apa yang hanya merupakan salah satu
perangkatnya. Ia juga menghendaki sebuah perbandingan antara maqasid al syari’
dan maqasid al mukallaf dengan menyingkap indikasi-indikasi yang ada untuk
kemudian menetapkan hukum berdasarkan hal tersebut. Selanjutnya jika sesuai
dengan maqasid al syariah maka ia mesti disetujui. Demikian sebaliknya kalau
menyalahinya, maka produk hukum itu harus dianulir.
2.
Memverifikasi efek sebuah penetapan hukum. Al Syatibi menyatakan,”sebuah
pengkajian terhadap efek dari kasus-kasus yang ada menjadi target syariat sama
saja kasus-kasus tersebut sesuai dengan nilai-nilai universal itu atau tidak.
Seorang mujtahid tidak berhak memutuskan sebuah kasus yang lahir dari para
mukallaf untuk dilaksanakan atau ditinggalkan kecuali setelah mencermati efek
kasus tersebut” .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Metodologi istinbat
hukum secara ringkas dapat dikembalikan dalam dua bagian; bagian yang terkait
dengan penggalian dan penetapan hukum dari sumber-sumber yang ada. Yang kedua:
bagian yang terkait dengan penerapan hukum dalam kasus-kasus yang spesifik. Jika
bagian pertama menghendaki verifikasi dan pembacaan teks untuk sampai kepada
sebuah produk hukum yang masih abstrak, maka bagian kedua menghendaki sebuah
pemahaman terhadap realita kasus yang diperhadapkan kepada seorang mujtahid.
Dengan memperhatikan maqasid al syariah dan dengan mempertimbangkan efek-efek
dari penetapan hukum terhadap sebuah kasus yang spesifik diharapkan sebuah
upaya ijtihad telah mencapai targetnya secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abd
al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib
al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
Adab Al Mufti Wal Mustafti, Ibn Shalah h.100 Cet. Maktabah al ulum 1986
Dahlan
Idhamy, Seluk-beluk hukum islam,
(Semarang: CV. Faizan, 1996 ) Hlm. 73
Haidar
Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm. 25
Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), Hlm. 50
Nasrun
Rusli, Konsep
Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 110-118
[1] Haidar Bagir dan
Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI,
1996), hlm. 25
[2] Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 110-118
[3] Ibid.,
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan..., hlm. 29
[4] Abd
al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib
al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, t.th), h. 25.
[5] Dahlan
Idhamy, Seluk-beluk hukum islam,
(Semarang: CV. Faizan, 1996 ) Hlm. 73
[6] Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), Hlm. 50
[7] http://syirooz.blogspot.com/2012/03/metodologi-istinbat-hukum.html
[8] Adab
Al Mufti Wal Mustafti, Ibn Shalah h.100 Cet. Maktabah al ulum 1986
(Huda)
Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang
merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Secara tata bahasa
arti dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata
syaraka-yusyrikusyarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama,
perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan
kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata
yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara
bertahap.
Musyarakah
mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana
kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak
yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui
mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini
berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain
Implementasi
dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank
syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda).
Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan
dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak
kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah
modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi
bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah
dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir
berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik
nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda
berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain
sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih
kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga
berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan
dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk
pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa
adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya
terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan
dan kompensasi jasa bank syariah.
b. Landasan
Hukum Musyarakah Mutanaqisah
Landasan hukum musyarakah
mutanaqisah dapat disandarkan pada dalil yang mendasari akad syirkah dan ijarah, karena musyarakah
mutanaisah adalah akad gabungan antara kedua akad tersebut, yaitu:
Landasan
Musyarakah
1.
Al-Qur’an Surat Shad [38], ayat 24:
… الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَا
هُمْ وَإِنَّ آَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ،
إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain,
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah
mereka ini…."
2.
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari
dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak
yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.”
(HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
[1]
Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125
[2] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185
[3] Ibid,. hlm. 187
[4] Heri
sudarsono, bank dan lembaga keuangan syariah, (Yogyakarta: EKONOSIA, 2003),
hlm. 67
[5] Qomarul
huda, fiqh muamalah, Yogyakarta: teras, 2011, hlm. 100
[6] Agus
Fajri Zam, Pembiayaan Musyarakah PDF, (diakses dari : http ://imanph.files.wordpress.com/2007/12/pembiayaan_musyarakah.pdf),
tanggal 27 Oktober 2013, 08:45.
[7] Beny Setio Putro, makalah fiqih
muamalah al – musyarakah, http://benysetioputro.blogspot.com/2014/05/makalah-al-musyarakah.html
[8]
Suhendi H, Hendi,. Op,.chit,.hlm.135
[9]
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani,Subul As-Salam,Juz 3,Maktabah wa Matba’ah
Mushtafa Al-Babiy Al-Halabi,Mesir,cet.IV,1960,hlm.76.
[10]
Ali fikri,Al-Muamalat Al-Madiyyah wa Al-Adabiyah,Matba’ah Mushtafa
Al-Babiy Al-Halaby,Mesir,cet.I,1357 H,hlm.180.
[11]
http://wildaawaliyah.blogspot.com/2015/04/akad-musyarakah-mutanaqisah.html
[12]
Kamus bisnis bank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)