BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin telah menempatkan akal pada porsi
yang benar. Akan tetapi banyak orang yang mendewakan keberadaan akal tersebut
diatas segalanya,sehingga banyak kaum muslimin yang terpecah dan berpaling dari
agama yang telah diajarkan Rasulullah. Akibatnya timbulah
persoalan-persoalan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
yang melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka.Permasalahan ini bermula ketika
peristiwa tahkim antara kubu Ali dan Muawiyah yang memunculkan
masalah tentang konsep “kafir”bermunculan pulalah aliran–aliran
pemikiran kalam ,mulai dari khawarij yang berpendapat bahwa orang berdosa besar
adalah kafir. Kemudian muncul aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Soal dosa yang
dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya. Adapun aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar
bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka
mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir.
Diantara banyaknya aliran kalam yang bermunculan, Aliran Mu’tazilah
merupakan aliran yang paling memberikan daya besar terhadap akal dan bercorak
rasional juga dianggap menyimpang yang sampai saat ini penyimpangannya dan
masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan
kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Oleh karena itu kita perlu mengetahui tentang Aliran Mu’tazilah dengan
tujuan agar tidak ikut terjerumus ke dalamnya. Meskipun aliran Mu’tazilah pada
era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat
penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan
nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut
saja istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap
benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan
pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
BAB
II
PEMBAHASAN
MUKTAZILAH
A. Pengertian
Muktazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya
menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri.[1] Dalam Al-Qur’an, kata-kata
ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti
sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:
فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ
ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta
mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk
melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai
satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang
lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin
Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105
– 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan
khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal.[2]
B. Sejarah
muktazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada
tahun 131 H.
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil
Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang
melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih
dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat
Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia
mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin
dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di
surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan
neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.[3]
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka
Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan
yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai
akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam.[4]
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang Mu’tazilah
sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan
al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari
majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para
sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut
mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka
berdua disebut Mu`tazilah
C. Tokoh-tokoh
muktazilah
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah
orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran
pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham
Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah),
dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian
menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan
peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf
(w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah
Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah
dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme
dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini
pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah
sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin
mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah
mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf
adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat.
Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini
adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan
Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh
Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan),
berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain
adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang
baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat
sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat
baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa
al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat;
kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan
sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok,
yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4.
An-Nazzam
Pendapat An Nazzam
yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia
tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim
kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan
tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan
pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak
pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya.
Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya
sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam
adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
5.
Al- Jahiz
Al- jahiz dalam
tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia
antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya
diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6.
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad
adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada
hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa
Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents
(sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.
Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang
dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan
hasil ciptaan Tuhan.
7.
Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr
al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak
kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat
kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat,
lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia
telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8.
Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap
sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah
mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang
mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah
SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat
bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya
sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga
dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
D. Pokok-pokok
pemikiran Muktazilah
1. At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan
tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya,
setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi
mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh
karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka
telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[5]
Untuk memurnikan
keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat,
menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun
yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan
sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut
mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka
yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti
yang dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan “siapa yang mengatakan
sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”. Ini tidak dapat diterima
karena merupakan perbuatan syirik.
2.
Al-Adl
Ajaran dasar
Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini
merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena
tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin
menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena
diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan
dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik
(al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil
jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.[6] Dengan demikian,
tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran tentang
keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
a.
Perbuatan manusia
Manusia menurut
mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari
kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak.
Manusia benar-benar
bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh
dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.
Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah
arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya
adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia.
Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa
tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan.
Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain,
berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha
sempurna.
c.
Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada
manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
1)
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud,
kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)
Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas
kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan mengutus rasul
3)
Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar
tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus
rasul.[24]
3.
Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini
sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id
berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan
melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri,
yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi)
dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu
pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti
benar adanya.
Ini sesuai dengan
prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan
kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga
siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain
menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa
orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha.
Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan
kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa
besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya. Ajaran ini
tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa
4.
Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang
mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status
orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam
sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan
murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya
diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun
pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya,
orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain).
Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan
diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah
dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini
adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min
atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan
pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut
fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[7]”Mengomentari pendapat
tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan
perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan
dihalalkannya binatang sembelihannya.
5.
Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang
kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi
Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada
kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti
yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a)
ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah
munkar
b)
ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c)
ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan
membawa mudharat yang lebih besar.
d)
ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak
membahayakan diri dan hartanya.
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah.
Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang
telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan
kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui
Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal,
tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu
sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah
timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.
BAB III
PENUTUP
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti
berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada
abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M)
berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin
Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang
berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran
Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi
Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi).
Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak
perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis
mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul
al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji
dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua
Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf
dan Melarang Kemunkaran)
DAFTAR PUSTAKA
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi
Al-Lughah, Bairut: Darul Kitab,
Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam
Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi .Solo:
Tiga Serangkai, 2008
Al-Syahrastani, Muhammad bin
Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Nasution, Harun, Teologi
Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986.
Razak Abdur dan Anwar Rosihan , Ilmu
Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006
Tosihiko Izutsu, Konsep
Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994
[1]
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah,
(Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 207
[2]
Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa
Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga
Serangkai, 2008), hal. 489
[3]
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul
Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,hal.
46-48
[4]
Nasution, Harun, Teologi Islam;
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986.
[5]
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu
Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 80
[6]
Ibid.,83
[7]
Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam
Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994),
hal. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)