Kamis, 10 Desember 2015

MUKTAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Akan tetapi banyak orang yang mendewakan keberadaan akal tersebut diatas segalanya,sehingga banyak kaum muslimin yang terpecah dan berpaling dari agama yang telah diajarkan Rasulullah. Akibatnya timbulah persoalan-persoalan  yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin yang melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka.Permasalahan ini bermula ketika peristiwa tahkim antara kubu Ali dan Muawiyah yang memunculkan masalah  tentang konsep “kafir”bermunculan pulalah aliran–aliran pemikiran kalam ,mulai dari khawarij yang berpendapat bahwa orang berdosa besar adalah kafir. Kemudian muncul aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Adapun aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir.
Diantara banyaknya aliran kalam yang bermunculan, Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang paling memberikan daya besar terhadap akal dan bercorak rasional juga dianggap menyimpang yang sampai saat ini penyimpangannya dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Oleh karena itu kita perlu mengetahui tentang Aliran Mu’tazilah dengan tujuan agar tidak ikut terjerumus ke dalamnya. Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja  istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.




BAB II
PEMBAHASAN
MUKTAZILAH
A.    Pengertian Muktazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri.[1] Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:
Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)
Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[2]
B.     Sejarah muktazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.  
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.[3]
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam.[4]
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang Mu’tazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah




C.     Tokoh-tokoh muktazilah
1.      Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2.      Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3.      Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4.      An-Nazzam
Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
5.      Al- Jahiz
Al- jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6.      Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7.      Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8.      Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9.      Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.

D.    Pokok-pokok pemikiran Muktazilah
1.      At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[5]
Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
2.      Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.[6] Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
a.       Perbuatan manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak.
Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.      Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna. 
c.       Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
1)      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)      Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
3)      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.[24]
3.      Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa

4.      Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[7]”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.
5.      Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a)      ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
b)      ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c)      ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d)     ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya.
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.




BAB III
PENUTUP

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)







DAFTAR PUSTAKA

Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Bairut: Darul Kitab,

Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi .Solo: Tiga Serangkai, 2008

Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

Razak Abdur dan Anwar Rosihan , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006

Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994








[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 207
[2] Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489
[3] Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,hal. 46-48
[4] Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 80
[6] Ibid.,83
[7] Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)