Kamis, 10 Desember 2015

DASAR-DASAR AKHLAK DALAM AL-QURAN DAN HADIS

BAB I
PENDAHULUAN

Akhlak bisa dibentuk melalui kebiasaan. Seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata-mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya merupakan ciri-ciri orang yang mempunyai akhlak. Oleh karena itu seseorang yang sudah benar-benar memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.Dengan demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang sudah memahami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup yang baik, yakni pembuatan itu selalu diulang-ulang dengan kecenderungan hati (sadar).
Tidak bisa dipungkiri, untuk menjadi manusia yang dihormati dan disegani oleh masyarakat sekitar kita harus memiliki kepribadian yang bagus dan akhlak yang mulia. Tidak ada satu orang hebatpun di dunia ini yang tidak memiliki akhlak yang bagus. Sehebat dan sepintar apapun kita kalau akhlak dan kepribadian kita jelek dimata masyarakat, maka kita akan dikucilkan dan tidak dianggap di masyarakat.
Akhlak merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dimanapun kita berada. Dewasa ini banyak sekali anak yang menentang dan melawan terhadap orang tunya, ini merupakan fenomena yang lazim terjadi di masyarakat kita, akhlak seorang anak terhadap orang tua sudah sangat menghawatirkan. Mereka bisa bersikap baik dengan teman tapi tidak bisa bersikap baik kepada orang tua, ini merupakan contoh kecil dari penyelewengan akhlak yang sering dilakukan oleh remaja dan anak zaman sekarang.





BAB II
DASAR-DASAR AKHLAK DALAM AL-QURAN DAN HADIS

A.    Makna Akhlak
Kata akhlak merupakan bentuk jama’ dari dari kata khuluq,artinya tingkah laku, perangai, dan tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa di pikir dan direnungkan lagi.[1]
Menurut Ibnu Maskawih, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan[2].
Menurrut Imam Maskawaih akhlak adalah suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan – tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi menjadi dua: ada yang berasal dari tabi’at aslinya, dan ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang – ulang. Boleh jadi pada mulanya tindakan – tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemidian dilakukan terum – menerus maka jadilah suatu bakat dan akhlak.
Kemudian Al – Ghozali mendifinisikan akhlak sebagai suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam – macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.

B.     Pentingnya Akhlak Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Akhlak bertujuan membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan. Akhlak juga punya peranan untuk menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh  akhlak agar manusia terbebas atau terhindar dari kehidupan yang sesat.
Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalah gunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.[3]
Akhlak juga merupakan mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk lainnya. Setiap orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk, soal halal dan haram. Karena yang berperan dan berfungsi pada diri masing-masing manusia adalah elemen syahwat (nafsu) nya yang telah dapat mengalahkan elemen akal pikiran mengalahkan nafsunya, maka dia derajatnya di atas malaikat
            Diantara manfaat dari akhlak adalah :
1.      Dapat mengetahui sisi baik dan buruk pada manusia.
2.      Tidak mudah terguncang oleh perubahan situasi
3.      Tidak mudah tertipu oleh fatamorgana kehidupan
4.      Dapat menikmati hidup dalam segala keadaan
C.    Akhlak dalam Al-Quran
Al-Qur’an sebagai dasar (rujukan) Ilmu Akhlak yang pertama, hal ini dinilai karena keontetikannya yang lebih tinggi, dibandingkan dengan dasar-dasar yang lain. Mengingat al-Qur’an merupakan firman Tuhan, sehingga tidak ada keraguan baginya untuk dijadikan sebagai dasar atau asas. Walau nantinya ada beberapa perangkat yang diperlukan untuk mendukungnya. Dan tidak akan dibahas di sini, karena ada ilmu khsusus yang membahasnya.
Nilai-nilai yang ditawarkan oleh al-Qur’an sendiri sifatnya komprehensif. Perbuatan baik dan buruk sudah dijelaskan di dalamnya. Hanya saja, ada yang perlu diperhatikan. Mengingat ada banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran. Sehingga untuk mememudahkan, orang-orang akan merujuk kepada al-Hadits ( sebagai Asbabun Nuzul suatu ayat) dan al-Aqlu (penalaran akal). Sejauh manakah campur tangan kedua dasar tersebut pada persoalan Ilmu Akhlak. Pastinya al-Hadits dan al-Aqlu tidak akan merubah pesan yang ingin disimpaikan oleh al-Qur’an.

D.    Akhlak Dalam Kehidupan Rasulullah Saw dan Sunnahnya
Dalam riwayat Aisyah pernah ditanya oleh seseorang tentang akhlak Nabi. Aisyah menjawab akhlak Nabi adalah al-Qur’an.  Dengan demikian, Nabi merupakan interpretasi yang hidup terhadap al-Qur’an. Karena segala ucapan (Qauliyah), perbuatan (Fi’liyah), dan penetapan (Taqririyah)   merupakan sebuah wahyu dari Allah, dan apa-apa yang datang dari Nabi senantiasa terjaga. Dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an dan al-Hadits berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT.
Baginda lebih suka memanggil sahabat-sahabatnya dengan nama gelaran masing-masing untuk menghormati dan memikat hati mereka. Yang tidak memiliki gelar panggilan, baginda akan memberinya nama gelaran bukan saja kepada sahabat lelaki tetapi juga kepada wanita dan kanak-kanak.
Baginda tidak berbicara jika tidak perlu. Baginda juga tidak pernah mengatakan sesuatu atau marah kecuali yang benar. Rasulullah amat jarang marah dan apabila marah segera reda.
Apabila mendengar orang berbicara yang kurang baik, baginda akan memalingkan mukanya dari orang itu. Jika ada sesuatu yang harus disampaikan tetapi baginda tidak menyukainya, maka baginda rasul menggunakan kata-kata kiasan atau sindiran. Dalam semua perbicaraan baginda akan menggunakan kata-kata yang baik dan nasihat-nasihat yang berguna.
Baginda tidak membalas kejahatan dengan kejahatan malah memaafkannya. Hal ini dapat dilihat dalam peristiwa tentara musyrikin yang berdiri di kepala baginda dengan sebilah pedang seraya berkata kepada baginda,"Siapakah yang dapat mempertahankan engkau daripada pedangku ini?" Rasulullah S.A.W.menjawab dengan tegas :"Allah." Dengan jawaban itu gementarlah tangan orang musyrikin itu dan pedang yang dipegangnya itu jatuh dari tangannya. Pedang itu diambil oleh Rasulullah S,A.W.tetapi baginda tidak membunuhnya malahan membebaskannya walaupun baginda boleh membunuhnya.
Dalam peristiwa lain, seorang Arab dusun kencing di dalam masjid. Para sahabat bertindak akan memukul orang itu tetapi dihalangi oleh baginda. Orang itu dinasihati oleh baginda dengan kata-kata yang baik. Begitu juga saat baginda dan orang-orang Islam berjaya menguasai Kota Mekah pada tahun 8 Hijrah, baginda tidak membalas dendam kepada orang-orang yang dahulunya sering menganggu dan menyakiti orang-orang Islam. Hanya beberapa orang saja dibunuh. Yang lain dimaafkan dan dibebaskan baginda.
Walaupun baginda seorang nabi dan rasul, akan tetapi baginda tetap melakukan hal-hal yang dikerjakan oleh para sahabat.
Pada suatu ketika dalam perjalanan, beberapa orang sahabat berencana untuk menyembelih seekor kambing dan membagikan dagingnya di antara mereka. Seorang bertugas menyembelih dan seorang lagi bertugas memasak daging. Rasulullah bersabda bahawa baginda bersedia mengumpulkan kayu-kayu. Para sahabat berkata,"Ya Rasulullah,itu pun kami akan lakukan di antara kami."
Rasulullah menjawab,"Daku tahu bahawa kamu semua akan melakukannya dengan senang hati tetapi daku tidak mau menjadi orang yang paling terkemuka di kalangan kumpulan ini dan Allah pun tidak menyukainya."
Di rumah, baginda juga membantu isteri-isterinya. Baginda membetulkan sendiri kasutnya, menjahit pakaian dan memerah susu kambing. Banyak lagi contoh akhlak terpuji nabi muhammad SAW yang patut dikaji, diteladani dan disebarkan. Sesungguhnya Rasulullah S.A.W.adalah contoh teladan yang paling baik. Barang siapa yang mengikutinya akan diridhai Allah dan akan selamat di dunia dan akhirat









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Akhlak adalah suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan – tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan.
Akhlak bertujuan membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan. Akhlak juga punya peranan untuk menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, akal pikiran perlu dibimbing oleh  akhlak agar manusia terbebas atau terhindar dari kehidupan yang sesat
B.     Saran
Makalah ini sangat menarik dibahas , untuk itu kami mohon maaf apabila dalam makalah ini masih banyak kekurangan referensi. Dan kami juga minta kritikan dan saran agar makalah ini lebih sempurna.











DAFTAR KEPUSTAKAAN

Azra Ayumardi,dkk, Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum ,Jakarta : Departemen  Agama Islam,2002
Ibn Miskawih, tahzib al-akhlaq wa tathir al-a’araq, (Mesir: al-Mashriyah, 1934







KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan hinayah-Nya, sehingga dalam proses penyelesaian makalah ini diberi kelancaran oleh Allah Swt.
Shalawat salam penulis ucapkan kepada pucuk pimpinan umat sedunia yakninya Nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengeluarkan umatnya dari zaman kebodohan hingga kezaman kecerdasan seperti saat sekrang ini.
Penulis sangat berterimakasih kepada Bapak Drs. Syamsuar Syam,M.Ag. selaku Dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian makalah “ Dasar-dasar Akhlak dalam Al-Qur’an dan Hadis” dalam Mata kuliah “ Akhlak Tasawuf”.
Demikianlah sepata kata yang bisa penulis uraikan, semoga dalam proses pembelajaran ini kita bisa cepat tanggap dalam memahami mata pelajaran ini.

Padang,    September 2015


Penulis






 



[1] Ayumardi Azra,dkk, Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum ,(Jakarta:Departemen Agama Islam,2002),204
[2] Ibn Miskawih, tahzib al-akhlaq wa tathir al-a’araq, (Mesir: al-Mashriyah, 1934), cet I, hlm. 40
[3] Ibid,.
s9 �.= m `a� ௪ t:54.0pt;mso-add-space: auto;text-align:justify;text-indent:18.0pt;line-height:150%;background:white'>Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a)      ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
b)      ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c)      ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d)     ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya.
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.




BAB III
PENUTUP

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)







DAFTAR PUSTAKA

Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Bairut: Darul Kitab,

Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi .Solo: Tiga Serangkai, 2008

Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

Razak Abdur dan Anwar Rosihan , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006

Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994








[1] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, (Bairut: Darul Kitab, t.t), hal. 207
[2] Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal. 489
[3] Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,hal. 46-48
[4] Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 80
[6] Ibid.,83
[7] Tosihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam. Terj. Agus Fahri Husein dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)