BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan
kalam lain yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah
masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai
buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.Ketika sibuk menyoroti siapa
yang masih dianggapberiman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para
ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa yang sebenarnya yang
mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? Atau manusia sendiri ?
Atau kerja sama diantara keduanya.
Kemudian
maklaah ini juga membahas tentang posisi antar wahyu dan rasul, bagaiman
eksistensi sebenarnya dalam Islam. Ini menjadi bahan perdebatan antar kalangan
yang beraliran.
BAB II
BEBERAPA
PERSOALAN KALAM DAN PERATURAN PEMIKIRAN
(Perbuatan
Tuhan dan Perbuatan Manusia, Posisi Wahyu dan Rasul, Memahami ayat-ayat
Mutasyabihat)
A.
Perbuatan-Perbuatan Tuhan
1.
Eksistensi Tuhan
Eksistensi Tuhan terlalu jelas hingga tak perlu lagi argument.Beberapa
ulama suci telah mengatakan bahwa Tuhan itu sendiri jauh lebih jelas ketimbang
wujud lainnya, tetapi orang-orang yang kurang wawasannya tidak dapat
melihat-Nya.Yang lainnya berkata bahwa Dia tersembunyi dari persepsi langsung
karena identitas dari manifestasi Diri-Nya. Akan tetapi,pengaruh besar
daripositivisme dan materealisme atas ilmu-ilmu kemanusiaan membuat perlu untuk
mendiskusikan argument-argumen tentang Tuhan[1].
Jalan pemikiran ini mereduksi eksistensi sampai pada apa yang dapat
dirasakan secara langsung dank arena itu membutakan dirinya sendiri pada
dimensi tak terlihat dari eksistensi, yang jauh lebih luas ketimbang dimensi
yang terlihat. Karena kita harus berjuang menghilangkan tirai yang dibuat oleh
materealisme dan positivism. Kita akan meninjau secara singkat beberapa
demonstrasi tradisyonal untuk eksistensi wajib Tuhan[2].
Ada beberapa kewajiban dalam mengenal Tuhan.
a.
Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Faham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat dari
konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar dengan faham
adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan[3]. Bagi kaum Asy’ariah,
faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu
bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka
anut.Faham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekendak hati-Nya terhadap makhluk
mengandung arti bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa[4].
b.
Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam istilah arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah
wa al-aslah. Bagi kaum Asy’ariah jelas bahwa faham ini tidak dapat
diterima,karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Hal ini ditegaskan oleh al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkwajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.Kaum Maturidiah dengan kedua
golongannya, juga tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah dalam hal ini[5]
c.
Beban diluar kemampuan manusia
Dalam aliran Mu’tazilah, faham pemberian beban yang tak terpikul ini tidak
dapat sejalan.Dalam faham Mu’tazilah, yang mewujudkan perbuatan manusia adalah
daya manusia yang terbatas, dan bukan daya Tuhan yang tak terbatas. Kalau Tuhan
member beban yang tak terpikul kepada manusia, itu akan sia-sia belaka[6]. Oleh karena itu faham
taklif ma la yutaq dapat mereka terima.Sebagai kata al-Bazdawi, tidaklah
mustahil bahwa Tuhan meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tak
dapat dipikulnya.
d.
Pengiriman Rasul-rasul
Pengertian Rasul-rasul mempunyai arti yang besar bagi kaum Asy’ariah, karena
mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib,
bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan
manusia. Kaum Asy’ariyah, sungguh pun pengiriman Rasul-rasul dalam teologi
mereka mempunyai arti penting menolak sifat wajib nya pengiriman demikian,
karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa terhadap manusia.
e.
Janji dan Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan Tuhantermasuk perbuatan menepati janji dan dan
menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id) sebagai diketahui,
janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum
Mu’tazilah.
2.
Perbuatan-Perbuatan Tuhan Melalui Sifatnya
Persoalan perbuatan Tuhan juga banyak diperdebatkan oleh Mu’taziah,
Asy’ariah, dan Maturidiyah. Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan
bahwa Tuhan melakukan perbuatan.Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi
logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.[7]
Menurut Ibn Rusyd, tujuan manusia bukanlah untuk mencari perbedaan dari dua
bentuk keyakinan ini, tetapi mempertemukannya. Ibnu Rusydin ingin mengikuti
tujuan dan pesan yang disampaikan nash. Selanjutnya Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa setiap manusia berkeinginan dalam membuat. Keinginan itu bisa
berawal dari khayalan maupun melaksanakan perintah.
Sejak planet bumi dimukimi manusia yang berbudaya, jungkir baliklah manusia
mencari pelindungnya. Mencari Tuhannya, dialam yang disangka ganas ini. Tak
kala mereka berjumpa dengan petir yang mendahsyat, disembahlah petir itu agar
yang petir tak membinasakan mereka.Takkala mereka merasa diteduhi sebatang
pohon besar yang menggrenggak memorak- perandakan kampung-kampung., disembahlah
air agar air tak menclakakan manusia.[8]
B. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang di lakukan
oleh kelompok jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin
Safwan ) dan kelompok qadariyah (pengikut ma’bad Al-Juhani dan
Ghailan ad-dimwyaqi), yang kemudian di lanjutkan dengan pembahasan yang lebih
mendalam oleh aliran Mu’tazilah,Asy ‘ariyah dan Maturidiyah.
Akar masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah pernyataan sampai
di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung kepada kekuasaan Tuhan
dalam menentukan perjalanan hidupnya.
1.
Aliran jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariah
Moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah Ekstrim berpendapat
bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya Misalnya,
kalau seseorang mencuri, perbuatnya mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena Qada dan Qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Bahkan, Jahm bin Shafwan,
salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu
berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition),
menurut faham kasab manusia tidaklah majbur (di paksa oleh Tuhan). Tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat
jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia
perbuat. Dalam kaitan ini bila seseorang di beri ganjaran baik dengan
balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak
di akhirat.
Paham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir
yang umum di pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan
bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa arab,
dalam perbuatan-perbuatanya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
di tentukan semenjak ajal terhadap dirinya.
3.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan
bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will.
Menurut al-juba’i dan abd al-jubraa (tokoh Mu’tazilah), manusialah yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan
buruk kepada Tuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya (al-sititha’ah) yang terdapat pada diri manusia
adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam
perbuatan manusia.
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan manusia dan tidak pula menentukanya, kalangan Mu’tazilah tidak
mengingkari ilmu azalai Allah yang mengetahui segala apa yang membedakannya
dari penganut qadariyah murni. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah
perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.
Hal ini di kemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas
perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari
Tuhan tidak akan ada artinya.
4.
Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada
posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam
hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah dari
pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya,
pendiri aliran asy’ariyah, memakai teori Al-Kasb (acquistion, perolehan). Teori
al-kasb asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan
perantaraan daya yang di ciptakan, sehingga terjadi perolehan bagi muktasib
(yang memperoleh kasb)untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori
kasb ini, manusia kehilangan kaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam
perbuatan-perbuatannya, Untuk
membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya :
“Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat”
(Q.S.Ash-shaffat:96).
(Q.S.Ash-shaffat:96).
Pada prinsipnya, aliran asy’ariyah berpendapat
bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempnyai
efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut.
Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan)
bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian, penyertaan perbuatan dengan daya
manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya
kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.
Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara.Kelompok pertama lebih dekat
dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham
Asy’ariya.
Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand
adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam
arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat
tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang
demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham
Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas
manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah
Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya
menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak
mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat melakukan
perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
C. Posisi Wahyu dan
Rasul
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api,
dan kecepatan. [9] Dan ketika Al-Wahyu
berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu
wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada
seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika
berbentuk maf’ul wahyu Allah terhada Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam
Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
pelantara maupun tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam
telinga ataupun lainya.
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksut memberi
informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima
kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk,
serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di
akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan allah
kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman
orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau
adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita
tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki
kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
a)
Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
b)
Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c)
Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
d)
Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
e)
Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
Rasul berasal
dari bahasa Arab: رسول Rasūl; Plural رسل Rusul) adalah
seseorang yang mendapat wahyu dari Allah dengan suatu syari'at dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya
dan mengamalkannya. Setiap rasul pasti seorang nabi, namun tidak
setiap nabi itu seorang rasul, dengan demikian, jumlah nabi jauh lebih banyak
dibanding jumlah rasul.
Menurut syariat
Islam jumlah rasul ada 312, sesuai dengan hadits yang telah disebutkan oleh Muhammad, yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi. Menurut Al-Qur'an Allah telah mengirimkan banyak nabi kepada
umat manusia. Seorang rasul memiliki tingkatan lebih tinggi karena menjadi
pimpinan ummat, sementara nabi tidak harus menjadi pimpinan. Di antara rasul
yang memiliki julukan Ulul
Azmi adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Mereka dikatakan memiliki tingkatan tertinggi
di kalangan rasul. Rasul yang terbanyak diutus oleh Allah adalah kepada Bani
Israel, berawal dari Musa, berakhir
pada Isa, dan di
antara keduanya terdapat seribu nabi.
D.
Memahami ayat-ayat mutasyabihah
Pendapat Ragihib Isfahani mengatakan bahwa mutasyabih
adalah ayat yang sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran dengan yang lain,
baik dari sisi lafazh seperti al-yadd, al-‘ayn dan lain-lain. [10] Mutasyabih
dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT dan sifat-sifat hari
kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita vaktualisasikan karena tidak
tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga kita bisa merasakannya.
Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya
walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat
yang lain karena masih samar-samar.
Contoh ayat-ayat mutsyabihah
الرَّحْمَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: “Yaitu Tuhan
Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy” (Thaha: 5).
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ
إِلَّا وَجْهَهُ
Artinya:“ Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah”.
(Al-qashash: 88)
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ
Artinya:
“Tangan-tangan Allah diatas tangan mereka”. (Al-Fath: 10).
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat
diantara sebagai berikut:
1.
Madzab Salaf, yaitu para ulama
yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT dari
pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an. diantara ulama yang masuk
dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah SWT dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa;
ia menjawab: Istiwa itu maklum, sedangkan caranya diketahui, dan
mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang yang tidak baik. Keluarkanlah
ia dari tempatku.
2.
Mazhab khalaf, yaitu para
ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang
menyangkut sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada mulanya termasuk mazhab
ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar- Risalah
An-Nizamiyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama
adalah mengikuti mazhab salaf sebab mereka yang memperoleh derajat dengan cara
tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. Untuk menengahi kedua mazhab yang
kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang
dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu
tidak perlu di ingkari. Jika dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil
sikap tawqquf (tidak membenarkan dan tidak pula
menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu
dalam rangka mensucikan Allah SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat
di pahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat di simpulkan bahwa :
1.
Jalan pemikiran ini mereduksi eksistensi sampai pada apa yang dapat
dirasakan secara langsung dank arena itu membutakan dirinya sendiri pada
dimensi tak terlihat dari eksistensi, yang jauh lebih luas ketimbang dimensi
yang terlihat.
2.
Akar masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.
3.
ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa
dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat
mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain
karena masih samar-samar.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini penulis buat, jika terdapat kesalahan dari pembuatan makalah ini,
pemakalah mengharapkan kritikan, saran serta tambahan dari pembaca terutama
dari dosen pembimbing untuk perbaikan makalah ini, untuk menjadi makalah ini
lebih baik lagi. Karena pemakalah menyadari bahwa tidak adanya kekurangan dalam
pembuatan makalah ini, karena sempurna itu hanya mutlak miliki Allah SWT.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Afrisal
M, 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, Jakarta : Erlangga
Ayatullah M. Bakir
Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq dkk,
Jakarta: Al-huda, 1427.
Dedi Suardi, Makhluk
Berdasi Mencari Tuhan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya 1993.
M. Fethulan Gulen,
, Memadukan Akal dan Kalbu Dalam Beriman, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Nasution Harun, Teologi
Islam, Jakarta:UI Press,1999
____________, Akal
dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : UI Press, 1986
KATA PENGANTAR
Segala puji
syukur kepada Allah SWT kita ucapkan karena berkat hidayah dan hinayah-Nya,
penulis bisa menyelesaikan makalah ini .
Shalawat salam penulis ucapkan kepada suri tauladan umat dan pucuk pimpinan
umat sedunia yakninya Nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan sinar
kecerdasan dan menenggelamkan zaman pembodohan didunia.
Penulis sangat
berterimakasih kepada Bapak Prof.Dr.H. Tamrin Kamal, M.S selaku Dosen
pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian
makalah “Beberapa Persoalan Kalam dan Percaturan Pemikiran(Perbuatan
Tuhan dan Perbuatan Manusia, Posisi Wahyu dan Rasul, Memahami ayat-ayat
Mutasyabihat )” dalam Mata kuliah “ ILMU KALAM”.
Demikianlah
sepata kata yang bisa penulis uraikan, semoga dalam proses pembelajaran ini
kita bisa cepat tanggap dalam memahami mata pelajaran ini.
Padang,
04Desember 2015
Penulis
[1] Gulen,M.
Fethulan, Memadukan Akal dan Kalbu Dalam Beriman, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), hal 1
[3] Harun
Nasution, Teologi Islam, (Jakarta:UI Press,1999), hal.128
[6] Ibid. hal 130
[7] Afrisal
M, 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, (Jakarta:Erlangga),
hal.108
[9] Nasution,
Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, ( Jakarta : UI Press, 1986). H.
24
[10] Ayatullah
M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul
haq dkk, Jakarta: Al-huda, 1427, h.262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)