Kamis, 10 Desember 2015

BEBERAPA PERSOALAN KALAM DAN PERATURAN PEMIKIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggapberiman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa yang sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? Atau manusia sendiri ? Atau kerja sama diantara keduanya.
Kemudian maklaah ini juga membahas tentang posisi antar wahyu dan rasul, bagaiman eksistensi sebenarnya dalam Islam. Ini menjadi bahan perdebatan antar kalangan yang beraliran.


















BAB II
BEBERAPA PERSOALAN KALAM DAN PERATURAN PEMIKIRAN
(Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia, Posisi Wahyu dan Rasul, Memahami ayat-ayat Mutasyabihat)

A.    Perbuatan-Perbuatan Tuhan
1.      Eksistensi Tuhan
Eksistensi Tuhan terlalu jelas hingga tak perlu lagi argument.Beberapa ulama suci telah mengatakan bahwa Tuhan itu sendiri jauh lebih jelas ketimbang wujud lainnya, tetapi orang-orang yang kurang wawasannya tidak dapat melihat-Nya.Yang lainnya berkata bahwa Dia tersembunyi dari persepsi langsung karena identitas dari manifestasi Diri-Nya. Akan tetapi,pengaruh besar daripositivisme dan materealisme atas ilmu-ilmu kemanusiaan membuat perlu untuk mendiskusikan argument-argumen tentang Tuhan[1].
Jalan pemikiran ini mereduksi eksistensi sampai pada apa yang dapat dirasakan secara langsung dank arena itu membutakan dirinya sendiri pada dimensi tak terlihat dari eksistensi, yang jauh lebih luas ketimbang dimensi yang terlihat. Karena kita harus berjuang menghilangkan tirai yang dibuat oleh materealisme dan positivism. Kita akan meninjau secara singkat beberapa demonstrasi tradisyonal untuk eksistensi wajib Tuhan[2].
Ada beberapa kewajiban dalam mengenal Tuhan.
a.       Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Faham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan[3]. Bagi kaum Asy’ariah, faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut.Faham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekendak hati-Nya terhadap makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa[4].
b.      Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam istilah arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah wa al-aslah. Bagi kaum Asy’ariah jelas bahwa faham ini tidak dapat diterima,karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkwajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya, juga tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah dalam hal ini[5]
c.       Beban diluar kemampuan manusia
Dalam aliran Mu’tazilah, faham pemberian beban yang tak terpikul ini tidak dapat sejalan.Dalam faham Mu’tazilah, yang mewujudkan perbuatan manusia adalah daya manusia yang terbatas, dan bukan daya Tuhan yang tak terbatas. Kalau Tuhan member beban yang tak terpikul kepada manusia, itu akan sia-sia belaka[6]. Oleh karena itu faham taklif ma la yutaq dapat mereka terima.Sebagai kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil bahwa Tuhan meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya.
d.      Pengiriman Rasul-rasul
Pengertian Rasul-rasul mempunyai arti yang besar bagi kaum Asy’ariah, karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan manusia. Kaum Asy’ariyah, sungguh pun pengiriman Rasul-rasul dalam teologi mereka mempunyai arti penting menolak sifat wajib nya pengiriman demikian, karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.
e.       Janji dan Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan Tuhantermasuk perbuatan menepati janji dan dan menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id) sebagai diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah.
2.      Perbuatan-Perbuatan Tuhan Melalui Sifatnya
Persoalan perbuatan Tuhan juga banyak diperdebatkan oleh Mu’taziah, Asy’ariah, dan Maturidiyah. Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan.Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.[7]
Menurut Ibn Rusyd, tujuan manusia bukanlah untuk mencari perbedaan dari dua bentuk keyakinan ini, tetapi mempertemukannya. Ibnu Rusydin ingin mengikuti tujuan dan pesan yang disampaikan nash. Selanjutnya Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa setiap manusia berkeinginan dalam membuat. Keinginan itu bisa berawal dari khayalan maupun melaksanakan perintah.
Sejak planet bumi dimukimi manusia yang berbudaya, jungkir baliklah manusia mencari pelindungnya. Mencari Tuhannya, dialam yang disangka ganas ini. Tak kala mereka berjumpa dengan petir yang mendahsyat, disembahlah petir itu agar yang petir tak membinasakan mereka.Takkala mereka merasa diteduhi sebatang pohon besar yang menggrenggak memorak- perandakan kampung-kampung., disembahlah air agar air tak menclakakan manusia.[8]
B.     Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang di lakukan oleh kelompok jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Safwan ) dan kelompok qadariyah (pengikut ma’bad Al-Juhani dan Ghailan ad-dimwyaqi), yang kemudian di lanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,Asy ‘ariyah dan Maturidiyah.
Akar masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah pernyataan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung kepada kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
1.    Aliran jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariah Moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatnya mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena Qada dan Qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Bahkan, Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur (di paksa oleh Tuhan). Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.    Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat. Dalam kaitan ini bila seseorang di beri ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat.
Paham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah di tentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa arab, dalam perbuatan-perbuatanya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah di tentukan semenjak ajal terhadap dirinya.
3.    Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut al-juba’i dan abd al-jubraa (tokoh Mu’tazilah), manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk kepada Tuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-sititha’ah) yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukanya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azalai Allah yang mengetahui segala apa yang membedakannya dari penganut qadariyah murni. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Hal ini di kemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.
4.      Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah dari pada dengan faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, pendiri aliran asy’ariyah, memakai teori Al-Kasb (acquistion, perolehan). Teori al-kasb asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang di ciptakan, sehingga terjadi perolehan bagi muktasib (yang memperoleh kasb)untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan kaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya, Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
(Q.S.Ash-shaffat:96)
.
Pada prinsipnya, aliran asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempnyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian, penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.         Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara.Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya.
Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
C.    Posisi Wahyu dan Rasul
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. [9] Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhada Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksut memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
a)      Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
b)      Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c)      Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
d)     Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
e)      Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
Rasul berasal dari bahasa Arab: رسول Rasūl; Plural رسل Rusul) adalah seseorang yang mendapat wahyu dari Allah dengan suatu syari'at dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya dan mengamalkannya. Setiap rasul pasti seorang nabi, namun tidak setiap nabi itu seorang rasul, dengan demikian, jumlah nabi jauh lebih banyak dibanding jumlah rasul.
Menurut syariat Islam jumlah rasul ada 312, sesuai dengan hadits yang telah disebutkan oleh Muhammad, yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi. Menurut Al-Qur'an Allah telah mengirimkan banyak nabi kepada umat manusia. Seorang rasul memiliki tingkatan lebih tinggi karena menjadi pimpinan ummat, sementara nabi tidak harus menjadi pimpinan. Di antara rasul yang memiliki julukan Ulul Azmi adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.  Mereka dikatakan memiliki tingkatan tertinggi di kalangan rasul. Rasul yang terbanyak diutus oleh Allah adalah kepada Bani Israel, berawal dari Musa, berakhir pada Isa, dan di antara keduanya terdapat seribu nabi.
D.    Memahami ayat-ayat mutasyabihah
Pendapat Ragihib Isfahani mengatakan bahwa mutasyabih adalah ayat yang sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran dengan yang lain, baik dari sisi lafazh seperti al-yadd, al-‘ayn dan lain-lain. [10] Mutasyabih dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT dan sifat-sifat hari kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita vaktualisasikan karena tidak tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga kita bisa merasakannya.
Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih samar-samar.
Contoh ayat-ayat mutsyabihah
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: “Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy” (Thaha: 5).
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Artinya:“ Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah”.
(Al-qashash: 88)
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya: “Tangan-tangan Allah diatas tangan mereka”. (Al-Fath: 10).

Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabihat diantara sebagai berikut:
1.      Madzab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT dari pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an. diantara ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah SWT dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa; ia menjawab:  Istiwa itu maklum, sedangkan caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.
2.      Mazhab khalaf,  yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada mulanya termasuk mazhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam  Ar- Risalah An-Nizamiyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf sebab mereka yang memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu di ingkari. Jika dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawqquf  (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka mensucikan Allah SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat di pahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan bahwa :
1.      Jalan pemikiran ini mereduksi eksistensi sampai pada apa yang dapat dirasakan secara langsung dank arena itu membutakan dirinya sendiri pada dimensi tak terlihat dari eksistensi, yang jauh lebih luas ketimbang dimensi yang terlihat.
2.      Akar masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.
3.      ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih samar-samar.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, jika terdapat kesalahan dari pembuatan makalah ini, pemakalah mengharapkan kritikan, saran serta tambahan dari pembaca terutama dari dosen pembimbing untuk perbaikan makalah ini, untuk menjadi makalah ini lebih baik lagi. Karena pemakalah menyadari bahwa tidak adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena sempurna itu hanya mutlak miliki Allah SWT.









DAFTAR KEPUSTAKAAN

Afrisal M, 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, Jakarta : Erlangga

Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq dkk, Jakarta: Al-huda, 1427.

Dedi Suardi, Makhluk Berdasi Mencari Tuhan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya 1993.

M. Fethulan Gulen, , Memadukan Akal dan Kalbu Dalam Beriman, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Nasution Harun, Teologi Islam, Jakarta:UI Press,1999

____________, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : UI Press, 1986








KATA PENGANTAR
 



Segala puji syukur kepada Allah SWT kita ucapkan karena berkat hidayah dan hinayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan  makalah ini . Shalawat salam penulis ucapkan kepada suri tauladan umat dan pucuk pimpinan umat sedunia yakninya Nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan sinar kecerdasan dan menenggelamkan zaman pembodohan didunia.
Penulis sangat berterimakasih kepada Bapak Prof.Dr.H. Tamrin Kamal, M.S selaku Dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian makalah “Beberapa Persoalan Kalam dan Percaturan Pemikiran(Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia, Posisi Wahyu dan Rasul, Memahami ayat-ayat Mutasyabihat )” dalam Mata kuliah “ ILMU KALAM”.
Demikianlah sepata kata yang bisa penulis uraikan, semoga dalam proses pembelajaran ini kita bisa cepat tanggap dalam memahami mata pelajaran ini.


Padang, 04Desember 2015


Penulis








 




[1] Gulen,M. Fethulan, Memadukan Akal dan Kalbu Dalam Beriman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 1
[2] ibid, hal. 8
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta:UI Press,1999), hal.128
[4] Ibid. hal. 129

[5] Ibid. hal 129
[6] Ibid. hal 130
[7] Afrisal M, 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, (Jakarta:Erlangga), hal.108
[8] Dedi Suardi, Makhluk Berdasi Mencari Tuhan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 1993), hal.57
[9] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, ( Jakarta : UI Press, 1986). H. 24
[10] Ayatullah M. Bakir Hakim, Ulumul Quran, cet III terjemah oleh Nashirul haq dkk, Jakarta: Al-huda, 1427, h.262

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)