Kamis, 10 Desember 2015

KODIFIKASI AL-QURAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas perintah dari Nabi dan tidak ada tenggang waktu antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka tidak demikian dengan hadits nabi. Jika al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak juga demikian dengan hadits nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Dalam kitab-kitab hadits terdapat larangan penulisan hadits.Dengan perbedaan sejarah perjalanan hadits dan sumber hukum utamaal-Qur’an. Maka kami, dalam makalah ini akan membahas sejarah dan perkembangan hadits dari zaman Rasulullah sampai pada zaman sahabat.
B.     Rumsan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan hadits pada masa Rasulullah?
2.      Bagaimana perkembangan hadits pada masa sahabat?
3.      Bagaimana hadits pada masa tabi’in?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah
Pada periode ini sejarah Hadits disebut masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Pada masa ini Hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’an dalam rangka menegakkan Syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.[1]
Para sahabat menerima hadits dari Rasul saw.ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsug yaitu mereka menerima sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.[2]
Para sahabat dalam menerima Hadits dari Nabi, berpegang pada kekuatan hafalannya, yakni menerimanyadengan jalan hafalan bukan dengan jalan menulis. Sahabat-sahabat Rasul yang dapat menulis hanya sedikit sekali. Sehingga para sahabat menghafal Hadits dan menyampaikannya kepada orang lain secara hafalan pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang didengarkannya dari Nabi. Masa Nabi adalah masa diturunkannya al-Qur’an dari Allah SWT dan masa diwirudkannya Hadits oleh Nabi saw. Untuk al-Qur’an, Nabi menyuruh para sahabat menghafal dan menulisnya. Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan untuk di hafal dan ditabligkan dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an.[3]
Para sahabat dan tabi’in yang mempunyai naskah hadits antara lain sebagai berikut:
1.      Abdullah bin Amr bin Ash ra (65 H)
Abdullah bin Amr bin Ash ra adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad SAW. Tindakan ini pernah didengar oleh orang-orang Quraisy, mereka mengatakan, “Apa engkau menulis semua yang telah kau dengar dari Nabi?Sedang beliau itu hanya manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalan suasana duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah SAW. Maka, jawab Rasulullah SAW, “Tulislah!Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripadanya, selain hak.”(HR Abu Dawud) dan Abu Hurairah pernah mengatakan: “Tidak ada satu pun sahabat Nabi yang haditsnya melebihi aku selain Abdullah bin Amru, ia menulisnya sedangkan aku tidak menulisnya.”(Fathul Baari: 1/217)
Rasulullah SAW mengizinkan Abdllah bin Amr bin Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau karena ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ini disebut dengan Ash-Shahifah ash-Shadiqah, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW.
2.      Jabir bin Abdullah al-Anshari ra (78 H)
Naskah haditsnya disebut Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya, “Sungguh, shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al-Baqarah.” 
3.      Human bin Munabbih (131 H)
Ia adalah seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah ra dan banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian ia kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab sahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
Ketiga buah naskah hadits tersebut di atas adalah di antara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabi’i yang muncul pada abad pertama.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabatyang banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapapenyebabnya. Mereka itu antara lain:
1.      Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sdbiqun Al-Awwaliin (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul SAW, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat
2.      Ummahdt Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan de­ngan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
3.      Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, se­perti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
5.      Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
Lantaran inilah masruq berkata,” saya banyak berada semajelis dengan para sahabat.Maka ada diantara mereka yang saya dapati ibarat kolam kecil, hanya mencukupi buat minum seorang, ada yang mencukupi buat dua orang dan ada yang tidak kering-kering airnya, walaupun terus menerus diminum oleh penduduk bumi ini.
Sebab penulisan Hadits tidak diselenggarkan secara resmi adalah:
1.      Agar tidak adanya kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak bercampur antara catatan al-Qur’an dan Hadits.
2.      Pencatatan al-Qur’an yang turunnya berangsur-angsur memerluhkan perhatian dan pengerahan tenaga penulis yang kontiyu, sedang sahabat yang pandai penukis sangat terbatas , maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur’an.
3.      Menyelenggarakan pemeliharaan Hadits dengan hafalan tanpa tulisan secara keseluruhan berarti memelihara hafalan di kalangan umat Islam atau bangsa Arab yang sudah kuat daya hafalnya.
4.      Penulisan Hadits dengan segala ucapan, amalan, muamalah secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus menyertai Nabi saw. dalam segala hal.[4]
Hadits dikalangan sahabat pada masa Nabi ada yang menyatakan Hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa dilarangnya penulisan sesuatu selain al-Qur’an, yakni Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudari:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي غَيْرَ اْلقُرْانِ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ اْلقُرْ انِ فَلْيُمْحَهُ (رواه مسلم)
“ Jangan kamu tulis sesuatu dariku, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka hndaklah dihapuskannya”.(Riwayat Muslim)

Berdasarkan Hadits ini beberapa sahabat berpendapat bahwa penulisan Hadits tidak diperbolehkan. Namun kebanyakan para sahabat dan tabi’in membolehkan menuliskan dengan berpegang pada hadits:
اَكْتُبُوْا لِاءَ بِى شَا ةَ (روه البحري)
“Tulislah olehmu untuk Abu Syah”.(Riwayat Bukhari)
Sabda Nabi yang diucapkan ketika Abu Syah meminta dituliskan pidato (Hadits) Nabi saw. di suatu peristiwa pembunuhan seorang Bani Laits oleh golongan Khuza’ah di tahun fathul makkah.
Pada masa Rasulullah, ada upaya-upaya pemeliharaan terhadap Hadits. Menurut Nuruddin ‘Itu di dukung oleh lima faktor, yakni:
1.      Kuatnya daya ingat dan hafalan sahabat.
2.      Minat yang demikian kuat dlam mempelajari ajaran Islam.
3.      Kedudukan hadits yang signifikan di dalam Islam sebagai bayanterhadap al-Qur’an.
4.      Penyampaian hadits oleh Nabi yang menjadikan para sahabat merasa mudah unuk menghafal.
5.      Penulisan-penulisan hadits oleh sahabat yang dapat dijadikan pedoman apabila mereka lupa.[5]
Periwayatan Hadits pada masa Nabi saw. diselenggarakan secara seksama dan berkembang pesat berkat perhatian yang penuh dari para sahabat seluruh umat Islam pada waktu itu, baik dari kalangan pria ataupun wanita. Dalam tarikh, wanita Anshar terkenal sangat aktif memohon pelajaran pada Nabi saw., mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk bertanya soal-soal agama. Begitu pula kedudukan para ummahat al-Mu’minin (istri-istri Nabi) demikian penting bagi pengembangan dan periwayatan Hadits, terutama terasa setelah wafatnya Nabi saw. Apalagi bahwa para istri beliau aktif dalam mendalami agama, seperti halnya Aisyah dan Ummu Salamah. Kepada beliaulah para sahabat sepeninggal Nabi menanyakan masalah hukum dan peraturan mengenai kehidupan rumah tangga.
Demikianlah Nabi saw. telah mewurudkan Hadistnya selengkap-lengkapnya sebagai interpretasi al-Qur’an, dan telah diterima oleh para sahabat dipelihara dalam hafalan, penulisan, dan amalan mereka.[6]
B.     Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits, adalah masa sahabat. Khususnya masa Khulafa’ al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai tahun 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar.
Pengertian tentang sahabat atau batasan tentang sahabat menjadi perdebatan para ulama’.Ada yang memberikan batasan sempit, yakni sahabat yang secara khusus menjadi periwayat hadits.Adajuga yang mempunyai kecenderungan mengartikan sahabat sebagai seorang yang bergaul dengan Nabi Muhammad walaupun tidak meriwayatkan hadits.[7] Menurut Imam Syuhudi, kreteria seorang sahabat adalah sebagai berikut:
1.      Adanya khabar mutawatir, seperti halnya para Khulafar ar-Rasyidin.
2.      Adanya khabar masyhur, seperti Dlamah bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham.
3.      Diakui sahabat yang terkenal kesahabatannya, seperti Hammah ad-Dausi yang diakui oleh nabi Musa sl-Asy’ari.
4.      Adanya keterangan dari tabi’in yang tsiqah.
5.      Pengakuan sendiri dari orang yang adil.[8]
Konteks ini sangat representatif mengingat kualifikasi para sahahabat Nabi sendiri.Karena pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka pernyataan hadits belum berkembang. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).[9]
1.      Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada umumnya para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, bahkan disinyalir terdapat sahabat yang memilih diam dari pada menyampaikan hadits.Hal ini bisa jadi karena mereka khawatir salah atau keliru menyampaikan Hadits. Tindakan para sahabat ini bukan tanpa dasar atau acuan, mereka memang takut apa yang diwanti-wanti oleh Nabi. Imam al-Bukhari meriwayatkan, ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:”siapa yang sengaja berdustaata namaku, bersiap-siaplah mengambil tempat dineraka.”[12]
Tidak diragukan lagi, para tabi’in (generasi lanjut) menerima hadits dari para sahabat.demikian pula para sahabat saling menyampaikan hadits dengan ungguh-sungguh tanpa dusta atau rasa enggan.karena Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَ يْنِ لَنْتَضِّلُوْامَا تَمَسَّكُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنةَ نَبِيَّهِ (رواه ما لك)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadits)”.(HR. Malik)
2.      Periwayatan Hadits dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditunjukan oleh para sahabat dengan sikp kehati-hatiannya, tidak berarti hadist-hadist rasul tidak diriwayatkan.Dalam batas-batas tertentu hadits-hadits itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari baik dalam ibadah maupun muamalah.
a)      Periwayatan Lafzhi
Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadits melalui jalan ini.Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasul.menurut Ajjaj Al-Khathib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan denganmaknawi.Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, sehingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti.Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal(berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata “ barang siapa pernah mendengar Hadits dari Rasul SAW. Kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.
b)      Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW., boleh diriwayatkan secara maknawi. Periwayatan maknawi artinyaperiwayatan hadits yang matannya tidak sama persis dengan yang didengarkannya dari Rasul SAW., akan tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksut Rasul SAW. Tanpa ada perubahn sedikitpun.[10]
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika meriwayatkan hadits ada istilh-istilah tertentu yang digunakan untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul SAW., (Rasul SAW bersabda begini), atau nahwan, atau qala Rasul SAW. Qariban min hadza.
Periwatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya berbeda-beda meskipun maksut atau maknannya tetap sama.

C.    Hadits pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan dilakukan oleh para sahabat, mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Penyebaran hadits pada masa tabi’in ini dikenal dengan masa periwayatan hadits (intisyar al-riwayah ila al-amshar).
1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadits
2.      Para sahabat yan membina hadits di Madinah yaitu: Khulafa’ Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-Khudri. Dengan menghasilkan pembesar tabi’in seperti Sa’id ibn Al-Musyayyab,’Urwah ibn Zubair.
3.      Para sahabat yan membina hadits di Makkah yaitu: Mu’adz ibn jabal, ‘Atab ibn Asid, Harisvibn Hisyam, Utsman bin thalhah dan ‘Utbah ibn Al-Haris. Tabi’in yang muncul yaitu Mujtahid ibn jabar, Atha’ ibn Abi Rabah dan Ikrimah maula Ibn Abbas.
4.      Para sahabat yan membina hadits di Kuafa yaitu: Ali bin Abi Thalib, sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah Mas’ud. Tabi’in yang muncul yaitu Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i. said bin Zubair Asadi.dll
5.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini terjadi setelah perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Pengaruh langsung dan bersifat negatife ialah menculnya hadits-hadits palsu(maudhu’) untuk mendukung politiknya masing-masing.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan Hadits adalah masa atau periode-periode yang telah dilalui oleh Hadits semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.
Para sahabat menerima hadits dari Rasul saw. ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi,adakala tidak langsug yaitu mereka menerima sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
Pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, maka pernyataan hadits belum berkembang. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan(al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).

B.     Saran
Saran saya kepada pembaca lebih banyaklah membaca tentang sejarah hadits pada masa Nabi hingga masa sekarang ini.Agar bisa membedakan dan mengetahui perkembangan hadits dari masa ke masa.Disini kami hanya membahas hadits pada masa Nabi hingga masa sahabat.









DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Yogyakarta: PT. Djaya Piruse. 1980.
Soetari,Endang. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah.Bandung: CV. Mimbar Pustaka. 2008.
Subulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadit.Malang: UIN Maliki Press. 2010.
Suparto,Munzier.Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Suryadilaga Alfatih, dkk. Ulumul Hadits .Yogyakarta: Sukses Offset, 2010
Ismail M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits .Bandung: Angkasa, 1991




[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008),hal 30-32
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: PT. Djaya Piruse, 1989), hal 51-52
[3] Ibid., hal 53
[4] Endang Soetari, Op.,Chit., hal 36
[5] Umi Subulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), Hal 41
[6] Endang Soetari, Op.Chit,. hal 40
[7] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadits (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), hlm.49.
[8] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 30-31.
[9] Munzier Suparto, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 79.
[10] Munzier Suparto, op. cit., hlm. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)