BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf adalah menahan benda
yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang
dibenarkan oleh syara dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri
kepada Allah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 41 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, yang berbunyi : “Pelaksana
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang :
a. Perubahan
harta wakaf
b. Penyelesaian
sengketa dan pidana
c. Pengawasan
harta wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN,
PENYELESAIAN, PENGAWASAN HARTA WAKAF
Secara etimologi , kata wakaf (وقف) berarti al-habs
(menahan), radiah ( terkembalikan ), al-tahbis (tertahan) dan al-man’u (mencegah)[1].
Wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil
manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan oleh syara dengan tujuan memperoleh
pahala dan mendekatkan diri kepada Allah.
A.
Perubahan Harta Wakaf
Sebenarnya
benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam hal
Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa benda wakaf tidak bisa diperjual belikan,
dihibahkan atau diwariskan. Pada Pasal 11 Peraturan Nomor 28 Tahun 1997
menjelaskan :
a. Pada dasarnya
terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan
peruntukkan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf
b. Penyimpamngan
dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal – hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari menteri
agama yakni :
a.
Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf
seperti diikrarkan oleh wakif
b.
Karena kepentingan umum
c. Perubahan
status tanah milik yang telah diwakafkan oleh perubahan penggunaannya sebagai
akibat ketentuan tersebut dalam ayat 2 harus dilaporkan oleh Nadhir kepada
Bupati/ walikota madya/ Kepala Daerah.[2]
Untuk lebih jelas mengenai perubahan yang
terjadi dalam perwakafan dalam peraturan
Menteri agama nomor 1 tahun 1978 yang
merupakan peraturan pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 pasal 12 menjelaskan :
1.
Untuk mengubah status dan penggunaan tanah
wakaf , Nadhir berkeweajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil depag
cq. Kepala Bidang melalui kepala KUA dan Kepala Kandepag secara hirarkis dengan
menyebuit alasannya
2.
Kepala KUA dan Kepala kandepag m,eneruskan
permohonan tersebut pada ayat 1 secara hirarkis kepada kepala Kanwil Depag cq.
Kepala Bidang den gan disertai pertimbangan.
3.
Kepala Kanwil depag cq. Kepala bidang diberi
wewenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atau
permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf [3]
Sesuai dengan ketentuan pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf, yang berbunyi : “Pelaksana ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri
atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah Pelaksaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf menyatakan :
(1)
Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali
dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf
Indonesia.
(2)
Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a.
Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum
sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
Pemerintah Daerah setempat berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah;
b.
Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai akta ikrar wakaf; atau
c.
Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung atau
mendesak;
(3)
Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin
pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan, jika :
a.
Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
b.
Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud
sekurang-kurangnya sama dengan harta benda semula.
(4)
Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b ditetapkan oleh Bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai
yang anggotanya terdiri dari unsur :
a.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b.
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
c.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten/Kota;
d.
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota;
e.
Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menyatakan nilai dan manfaat
harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) huruf b
dihitung sebagai berikut :
a. Harta benda penukar memiliki nilai jual
objek pajak (NJOP) sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
B.
Pengawasan Harta Wakaf
Untuk menjaga agar harta wakaf mendapat pengawasanan jangka dengan baik,
kepada Nazhir dapat diberikan imbalan yang ditetapkan dengan jangka waktu
tertentu atau mengambil sebagian dari hasil harta wakaf yang
dikelolanya. Untuk menjamin agar perwakafan dapat terselenggara
dengan sebaik – baiknya, negara juga berhak atas pengawasan harta wakaf dengan
mengkuarkan undang – undang yang mengatur persoalan wakaf, termasuk penggunaannya.
[5]
Untuk memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik
di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat. Pengawasan dan bimbingan
perwakafan tanah dilakukan oleh unit – unit organisasi Departemen Agama[8], secara hirarkis sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, yang tertuang pada
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 14. Untuk itu, agar pengawasan
harta benda wakaf ini lebih bisa dipertanggungjawabkan, maka nadzir sebagai
sebuah lembaga publik harus memiliki :
a.
Sistem akuntansi dan manajemen keuangan.
Nadzir sebagai lembaga masyarakat dan
ditugasi untuk mengelola benda wakaf, terutama benda wakaf produktif perlu
memiliki menejemen dan akuntansi yang sistematis. Sistem tersebut dimaksudkan
agar pengawasan kegiatan dan keuangan dapat dilakukan secara efektif dan
akurat.
b.
Sistem audit yang transparan.
Nadzir dapat di audit secara internal oleh
Depatemen Agama maupun eksternal oleh akuntan publik atau lembaga audit yang
independen. Sasaran audit meliputi aspek kegiatan, keuangan, kinerja,
peraturan-peraturan, tata kerja dan prisip-prinsip ajaran Islam.
Selain pengawasan yang bersifat umum
berupa payung hukum yang memberikan ancaman terhadap pihak yang melakukan
penyelewengan dan atau sengketa berkaitan dengan pengelolaan harta wakaf, upaya
pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak pemerintah dan
masyarakat. Sebagaimana terlampir dalam pasal 21 bagian ketiga RUU Wakaf.
Peran pemerintah yang memiliki akses
birokrasi yang sangat luas dan otoritas dalam melindungi eksistensi dan
pengembangan wakaf secara umum. Demikian juga masyarakat sebagai pihak yang
berkepentingan langsung terhadap pemanfaatan benda wakaf dapat mengawasi secara
langsung terhadap jalannya pengelolaan wakaf. Tentu saja, pola pengawasan yang
bisa dilakukan oleh masyarakat bukan bersifat interventif (campur tangan
menejemen), namun memantau, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pola
pengelolaan dan pemanfaatan wakaf itu sendiri. Sehingga peran lembaga nadzir
lebih terbuka dalam memberikan laporan terhadap kondisi dan perkembangan harta
wakaf yang ada..Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan
nasional dibentuk Badan Perwakafan Indonesia. Lembaga ini adalah lembaga
independen yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
1.
Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf,
2.
Melakukan pengelolaan, pengembangan dan pengawasan
harta benda wakaf berskala nasional,
3.
Memberhentikan dan mengganti Nazhir, dan lainnya.
C.
Penyelesaian Harta Wakaf
Dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 pada esensinya tidak jauh berbeda
dengan Peratuaran Pemerintah No. 28 tahun 1977, hanya saja pada Undang-undang
tersebut memberikan alternative penyelesaian sengketa melalui musyawarah,
mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir melalui pengadilan, dan pada dasarnya
jalan utama dalam menyelesaikan sengketa wakaf adalah dengan jalan musyawarah
untuk mencapai mufakat, seperti yang terdapat dalam pasal pasal 62
Undang-undang No. 41 tahun 2004, sebagai berikut:
1.
Penyelesaian sengketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
2.
Apabila cara penyelesaian sengketa sebagai mana dimaksud pada ayat 1 tidak
berhasil, maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Dalam penyelesaian sengketa perwakafan pengadilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa perwakafan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum.
Sebagaimana yang terdapat dalam pasal Undangundang No.3 tahun 2006 tentang
pengadilan agama, pasal 49 yang menyebutkan: Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a) Perkawinan;
b) Waris;
c) Wasiat;
d) Hibah;
e) Wakaf;
f) Zakat;
g) Infaq;
h) Shadaqah; dan
i) Ekonomi syari’ah
Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain yang terkait
dengan obyek sengketa yang diatur dalam pasal 49 tersebut, apabila subyek
sengketanya antara orang-orang yang beragama islam maka Pengadilan Agama
mempunyai wewenang umtuk sekaligus memutus sengketa tersebut sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 sebagai berikut:
“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai dimaksut pada ayat (1) yang
subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, obyek sengketa tersebut
diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 49”
Pengajuan tuntutan kepengadilan bagi pihak yang merasa haknya dilanggar
merupakan suatu keharusan untuk menjamin adanya kepastian hukum, pengadilan
sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan dianggap memberikan suatu
kepastian hukum karena putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebenarnya benda yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan. Dalam hal Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa benda
wakaf tidak bisa diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan .
Untuk menjaga agar harta
wakaf mendapat pengawasanan jangka dengan baik, kepada Nazhir dapat diberikan
imbalan yang ditetapkan dengan jangka waktu tertentu atau mengambil sebagian
dari hasil harta wakaf yang dikelolanya.
Dalam Undang-undang No.
41 tahun 2004 pada esensinya tidak jauh berbeda dengan Peratuaran Pemerintah
No. 28 tahun 1977, hanya saja pada Undang-undang tersebut memberikan
alternative penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan
jalan terakhir melalui pengadilan, dan pada dasarnya jalan utama dalam
menyelesaikan sengketa wakaf adalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai
mufakat, seperti yang terdapat dalam pasal pasal 62 Undang-undang No. 41 tahun
2004
DAFTAR PUSTAKA
al-Khatib Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall
al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub
Rofiq Ahmad, Hukum perdata Islam Di Indonesia,edisi
revisi Jakarta : PT.Raja Grafindo 2013
http://zawakotatangerang.blogspot.co.id/2012/05/tata-cara-perubahan-status-tanah-wakaf.html
Ghafur Abdul. Hukum dan Praktik Perwakafan. Yogyakarta: Pilar Media. 2005
KATA
PENGANTAR
Puji syukur hanya untuk Allah yang telahmemberi
taufiq dan hidayah-Nya sehingga terselesaikan
penulisan makalah ini. Shalawat salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Rasul terakhir, pembawa ajaran
Tuhan, sebagai pembawa rahmat sekalian alam.
Terimakasih kepada Bapak/ibu Dosen Pembimbing
yang telah memberi izin kepada pemakalah untuk menyelesaikan penulisan makalah
ini. Walaupun makalah ini telah selesai di tulis, namun pemakalahi masih merasa
makalah ini masih jauh dari tingkat kesempurnaan, di sebabkan keterbatasan
sumber yang penulis dapatkan.
Maka dari itu untuk melengkapi kesempurnaan
makalah ini penulis mengharapkan kritikan dan masukan yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini kedepanya. Semoga makalah yang telah makalah ini
bisa di pahami dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi penulis sendri
khususnya.
Padang, September 2015
Pemakalah
[1] M.
Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar
al-Ihya al-Kutub, tt), hlm. 319.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum perdata Islam
Di Indonesia,edisi revisi Jakarta : PT.Raja Grafindo 2013. Hal.445
[3]
Ibid,.Hal.446
[4]
http://zawakotatangerang.blogspot.co.id/2012/05/tata-cara-perubahan-status-tanah-wakaf.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)