Kamis, 10 Desember 2015

PERUBAHAN, PENYELESAIAN, PENGAWASAN HARTA WAKAF

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan oleh syara dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, yang berbunyi : “Pelaksana ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan membahas tentang :
a.       Perubahan harta wakaf
b.      Penyelesaian sengketa dan pidana
c.       Pengawasan harta wakaf




BAB II
PEMBAHASAN
PERUBAHAN, PENYELESAIAN, PENGAWASAN HARTA WAKAF

Secara etimologi , kata wakaf (وقف) berarti al-habs (menahan),  radiah ( terkembalikan ),  al-tahbis (tertahan) dan  al-man’u (mencegah)[1].
Wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan oleh syara dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah.
A.    Perubahan Harta Wakaf
Sebenarnya  benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam hal Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa benda wakaf tidak bisa diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan. Pada Pasal 11 Peraturan Nomor 28 Tahun 1997 menjelaskan :
a.       Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukkan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf
b.      Penyimpamngan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal – hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari menteri agama yakni :
a.       Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif
b.      Karena kepentingan umum
c.       Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan oleh perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat 2 harus dilaporkan oleh Nadhir kepada Bupati/ walikota madya/ Kepala Daerah.[2]

Untuk lebih jelas mengenai perubahan yang terjadi dalam perwakafan dalam  peraturan Menteri agama nomor 1 tahun  1978 yang merupakan peraturan pelaksanaan PP nomor 28 tahun 1977 pasal 12 menjelaskan :
1.      Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf , Nadhir berkeweajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil depag cq. Kepala Bidang melalui kepala KUA dan Kepala Kandepag secara hirarkis dengan menyebuit alasannya
2.      Kepala KUA dan Kepala kandepag m,eneruskan permohonan tersebut pada ayat 1 secara hirarkis kepada kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang den gan disertai pertimbangan.
3.      Kepala Kanwil depag cq. Kepala bidang diberi wewenang untuk memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atau permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf [3]
Sesuai dengan ketentuan pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, yang berbunyi : “Pelaksana ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah Pelaksaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menyatakan :
(1)   Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia.
(2)   Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut :
a.       Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Pemerintah Daerah setempat berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
b.      Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai akta ikrar wakaf; atau
c.       Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung atau mendesak;
(3)   Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan, jika :
a.       Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.      Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya sama dengan harta benda semula.
(4)   Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh Bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :
a.       Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b.      Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
c.       Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten/Kota;
d.      Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota;
e.       Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.

Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menyatakan nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut :
a.       Harta benda penukar memiliki nilai jual objek pajak (NJOP) sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
b.      Harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk di kembangkan.[4]
B.     Pengawasan Harta Wakaf
Untuk menjaga agar harta wakaf mendapat pengawasanan jangka dengan baik, kepada Nazhir dapat diberikan imbalan yang ditetapkan dengan jangka waktu tertentu atau mengambil sebagian dari hasil harta wakaf yang dikelolanya.  Untuk menjamin agar perwakafan dapat terselenggara dengan sebaik – baiknya, negara juga berhak atas pengawasan harta wakaf dengan mengkuarkan undang – undang yang mengatur persoalan wakaf, termasuk penggunaannya. [5]
Untuk memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat. Pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakukan oleh unit – unit organisasi Departemen Agama[8]secara hirarkis sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, yang tertuang pada Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 14. Untuk itu, agar pengawasan harta benda wakaf ini lebih bisa dipertanggungjawabkan, maka nadzir sebagai sebuah lembaga publik harus memiliki :
a.       Sistem akuntansi dan manajemen keuangan.
Nadzir sebagai lembaga masyarakat dan ditugasi untuk mengelola benda wakaf, terutama benda wakaf produktif perlu memiliki menejemen dan akuntansi yang sistematis. Sistem tersebut dimaksudkan agar pengawasan kegiatan dan keuangan dapat dilakukan secara efektif dan akurat.
b.      Sistem audit yang transparan.
Nadzir dapat di audit secara internal oleh Depatemen Agama maupun eksternal oleh akuntan publik atau lembaga audit yang independen. Sasaran audit meliputi aspek kegiatan, keuangan, kinerja, peraturan-peraturan, tata kerja dan prisip-prinsip ajaran Islam.
Selain pengawasan yang bersifat umum berupa payung hukum yang memberikan ancaman terhadap pihak yang melakukan penyelewengan dan atau sengketa berkaitan dengan pengelolaan harta wakaf, upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana terlampir dalam pasal 21 bagian ketiga RUU Wakaf.
Peran pemerintah yang memiliki akses birokrasi yang sangat luas dan otoritas dalam melindungi eksistensi dan pengembangan wakaf secara umum. Demikian juga masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan langsung terhadap pemanfaatan benda wakaf dapat mengawasi secara langsung terhadap jalannya pengelolaan wakaf. Tentu saja, pola pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat bukan bersifat interventif (campur tangan menejemen), namun memantau, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan wakaf itu sendiri. Sehingga peran lembaga nadzir lebih terbuka dalam memberikan laporan terhadap kondisi dan perkembangan harta wakaf yang ada..Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional dibentuk Badan Perwakafan Indonesia. Lembaga ini adalah lembaga independen yang mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
1.      Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf,
2.      Melakukan pengelolaan, pengembangan dan pengawasan harta benda wakaf berskala nasional,
3.      Memberhentikan dan mengganti Nazhir, dan lainnya.

C.    Penyelesaian Harta Wakaf
Dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 pada esensinya tidak jauh berbeda dengan Peratuaran Pemerintah No. 28 tahun 1977, hanya saja pada Undang-undang tersebut memberikan alternative penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir melalui pengadilan, dan pada dasarnya jalan utama dalam menyelesaikan sengketa wakaf adalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang terdapat dalam pasal pasal 62 Undang-undang No. 41 tahun 2004, sebagai berikut:
1.      Penyelesaian sengketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
2.      Apabila cara penyelesaian sengketa sebagai mana dimaksud pada ayat 1 tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Dalam penyelesaian sengketa perwakafan pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perwakafan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal Undangundang No.3 tahun 2006 tentang pengadilan agama, pasal 49 yang menyebutkan: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a) Perkawinan;
b) Waris;
c) Wasiat;
d) Hibah;
e) Wakaf;
f) Zakat;
g) Infaq;
h) Shadaqah; dan
i) Ekonomi syari’ah
Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek sengketa yang diatur dalam pasal 49 tersebut, apabila subyek sengketanya antara orang-orang yang beragama islam maka Pengadilan Agama mempunyai wewenang umtuk sekaligus memutus sengketa tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 sebagai berikut:
“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai dimaksut pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49”
Pengajuan tuntutan kepengadilan bagi pihak yang merasa haknya dilanggar merupakan suatu keharusan untuk menjamin adanya kepastian hukum, pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan dianggap memberikan suatu kepastian hukum karena putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sebenarnya  benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam hal Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa benda wakaf tidak bisa diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan .
Untuk menjaga agar harta wakaf mendapat pengawasanan jangka dengan baik, kepada Nazhir dapat diberikan imbalan yang ditetapkan dengan jangka waktu tertentu atau mengambil sebagian dari hasil harta wakaf yang dikelolanya.
Dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 pada esensinya tidak jauh berbeda dengan Peratuaran Pemerintah No. 28 tahun 1977, hanya saja pada Undang-undang tersebut memberikan alternative penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir melalui pengadilan, dan pada dasarnya jalan utama dalam menyelesaikan sengketa wakaf adalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang terdapat dalam pasal pasal 62 Undang-undang No. 41 tahun 2004
DAFTAR PUSTAKA

al-Khatib Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub
Rofiq Ahmad, Hukum perdata Islam Di Indonesia,edisi revisi Jakarta : PT.Raja Grafindo 2013 http://zawakotatangerang.blogspot.co.id/2012/05/tata-cara-perubahan-status-tanah-wakaf.html
Ghafur Abdul. Hukum dan Praktik Perwakafan. Yogyakarta: Pilar Media. 2005



KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya untuk Allah yang telahmemberi taufiq dan  hidayah-Nya sehingga terselesaikan penulisan makalah ini.   Shalawat salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Rasul terakhir, pembawa ajaran Tuhan, sebagai pembawa rahmat sekalian alam.
Terimakasih kepada Bapak/ibu Dosen Pembimbing yang telah memberi izin kepada pemakalah untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Walaupun makalah ini telah selesai di tulis, namun pemakalahi masih merasa makalah ini masih jauh dari tingkat kesempurnaan, di sebabkan keterbatasan sumber yang penulis dapatkan.
Maka dari itu untuk melengkapi kesempurnaan makalah ini penulis mengharapkan kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini kedepanya. Semoga makalah yang telah makalah ini bisa di pahami dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi penulis sendri khususnya.
Padang,   September 2015


Pemakalah




[1] M. Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt), hlm. 319.
[2] Ahmad Rofiq, Hukum perdata Islam Di Indonesia,edisi revisi Jakarta : PT.Raja Grafindo 2013. Hal.445
[3] Ibid,.Hal.446
[4] http://zawakotatangerang.blogspot.co.id/2012/05/tata-cara-perubahan-status-tanah-wakaf.html
[5] Abdul Ghafur. Hukum dan Praktik Perwakafan. (Yogyakarta: Pilar Media. 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)