MAKALAH
Kaidah-kaidah
fiqih
Tentang
KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG UMUM
(At-Qawa'id A1-Fiqhiyah AI-`Ammah)
O l e h :
Kelompok 13
Dosen Pembimbing:
DUHRIAH,M.Ag
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H/ 2016
PEMBAHASAN
Apabila
kita perhatikan kaidah-kaidah cabang dari lima kaidah, sesungguhnya kaidah
tersebut apabila kita pisahkan dari kaidah yang lima, maka kaidah tersebut bisa
pula dimasukkan ke dalam kaidah-kaidah fikih yang umum, karena meliputi
berbagai cabang ilmu fikih.
Di bawah
ini diuraikan kaidah-kaidah fiqh yang terdapat di dalam kitab-kitab kaidah yang
dianggap mencakup pula kepada berhagai bidang fikih, antara lain kaidah 15-20:[1]
Kaidah
15:
"Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat"
Kaidah ini dimasukkan ke dalam kaidah umum
karena bisa berlaku di berbagai bidang hukum. Berlaku di dalam muamalah, jinaya
peradilan, dan lainnya.
Kaidah 16:
"Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah
disesuaikan dengan kenikmatan" .
Dengan kata lain, keuntungan diukur dengan pengorbanan dan
pengorbanan diukur menurut
keuntungan. Potongan pertama dari kaidah ini sering diungkapkan
dengan al-ujrah bi qadri al-masyaqqah" artinya upah diukur dengan jerih
payah/kesulitan. Makin sulit mencapai sesuatu, makin tinggi nilai yang
didapat. Makin berat godaannya, makin besar pahalanya.
Kaidah
17:
“ Tidak diperkenankan Ijtihad pada
tempat yang telah ada nashnya”
Nash yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-Hadis Nabi sebagai sumber hukum. Dalam ilmu hukum bisa di artikan, "apabila teks hukum sudah jelas, maka tidak
perlu ada penafsiran-penafsiran. Arti lain kaidah ini adalah pada nash-nash
yang sudah jelas dalam arti sudah qath’i wurud dan dalalah-nya disepakati.[2]
Kaidah 18:
"Suatu perbuatan yang mudah dijalankan,
tidak menggugurkan yang sukar dijalankan"
Maksud
kaidah ini adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, harus
dilakukan sedapat mungkin yang kita sanggup lakukan. Contohnya: orang yang
hanya dapat membaca sebagian ayat dalam shalat, maka bacalah ayat tersebut. Tidak
berarti karena hanya bisa membaca sebagian lalu dia meninggalkan shalat. Apabila
orang tidak.dapat
sujud dalam shalat, maka shalat itu tetap harus
diIakukan meskipun sujudnya hanya dengan membungkuk. Tidak berarti karena tidak
bisa sujud, lalu dia tidak shalat. Contoh lain: apabila tidak ada pemimpin yang
betul-betul memenuhi syarat maka pilihlah pemiznpin meskipun persyaratannya
tidak sempurna.
Kaidah tersebut mirip
dengan kaidah:
"Apa yang
tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
Kaidah-kaidah
diatas mendapat pengukuhannya dengan hadits Nabi :
Apabila aku memerintahkan kamu sekalian dengan
suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu kalian” (H.R Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Kaidah 19:
"Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak
sebaliknya"
Contohnya:
dibolehkan melakukan ibadah haji sekaligus umrah, tapi tidak bisa sebaliknya, yaitu
melakukan umrah sekaligus haji. Demikian pula halnya, apabila seseorang melakukan
beberapa kejahatan yang ancaman hukumannya berbeda, misalnya membunuh lalu mencuri kemudian menghina. Maka ancaman
hukumannya adalah hukuman mati, potong tangan, dan ta’zir. Dari ketiga hukuman ini, hukuman mati dapat menyerap
hukuman lainnya. Sebaliknya, hukuman potong
tangan tidak bisa menyerap hukuman mati. Inilah yang disebut
dengan teori al-tadakhul (teori absorpsi/penyerapan hukuman) dalam hukum pidana.[3]
Kaidah
20:
"Dua hak yang berbeda tidak saling menyerap"'
Seperti diketahui bahwa
di kalangan ulama dikenal adanya hak Allah dan hak Adami, serta hak campuran di
antara keduanya. Maka berdasar kaidah tadi, Hak Allah tidak bisa menyerap hak Adami, demikian pula
sebaliknya. Contohnya: Apabila seseorang membunuh karena
kesalahan, maka dia wajib membayar diat dan wajib pula membayar kafarat. Diat adalah hak Adami, sedangkan kafarat adalah hal Allah. Maka dia wajib
melaksanakan kedua-duanya, karena kedua
hak tersebut berbeda.
Kaidah-kaidah fikih ini juga di jelaskan dalam
Ushuliyah Dan Fiqhiyah sebagai berikut:
"Keringanan-keringanan
tidak dikaitkan dengan keragu-raguan," (as-Suyuthi, TT:96)
Misalnya
seseorang ragu-ragu seberapa jauh jarak yang sudah ditempuh dalam
perjalanan, maka kondisi semacam ini mereka tidak
boleh menjamak atau mengqashar shalat, karena masih ragu-ragu, demikian juga
tidak diperkenankan beristinja pakai sesuatu yang
haram, benda yang dapat dimtlcan, emas dan perak, karena kebolehan istinja' itu dengan benda keras seperti
batu sedang benda-benda di atas
merupakan benda-benda yang masih meragukan, karena haram dipakai.
Kaidah Keenam Belas
"Rela
akan sesuatu berarti relapula akibatnya." (as-Suyuthi,TT;97)
Misalnya
seseorang membeli kambing sakit, maka ia harus rela jika kambing yang sakit itu
akan menjadi mati. Namun kaidah itu dibatasi atas 3 hal,
yaitu pukulan guru terhadap muridnya, pukulan suami terhadap istrinya,
dan pukulan wali terhadap anaknya.
Mirip
dengan kaidah di atas adalah:
"Tindak
lanjut dari sesuatu yang telah diterima tidak ada pengaruhnya."
(as-Suyuthi,TT:97)
Kaidah
Ketujuh belas
"Pertanyaan
itu diulangi di dalam jawaban." (as-Suyuthi,TT:97)
Maksud
kaidah di atas adalah hukum dari suatu j aw aban adalah
terletak path soalnya. Misalnya seorang hakim bertanya kepada tergugat,
"Apakah istri telah kau talak." Apabila dijawab "iya" maka istri tergugat itu telah
berlaku hukum sebagai wanita yang telah ditalak. Karena itu tergugat
telah mengakui ikrar atas gugatan mudda'iy.[5]
Kaidah Kedelapan Belas
"Suatu
perkataan tidak dapat disandarkan path orang yang diam." (as-Suyuthi,
TT:97)
Dalam
redaksi lain disebutkan:
"Suatu
perkataan tidak dapat disandarkan
kepada orang yang diam akan tetapi jika diam pada tempat
yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan." (Asjmuni A.
Rahman, 1976:107)
Suatu
keputusan hukum tidak dapat diambil dengan berdalil kepada
diamnya seseorang, kecuali ada qarinah-qarinah yang dapat merajihkan.
Namun diamnya seseorang yang sedang dihajatkan keterangannya dapat dijadikan
dalil adanya suatu keterangan. Misalnya terdakwa yang dimintai
jawabannya oleh hakim tentang tuduhan yang dilemparkan
kepadanya dan dia diam saja, maka den-gan diamnya ini dapat
ditetapkan, artinya ia mengingkari tuduhan itu dan kepada si
penggugat diwajibkan mendatangkan bukti-bukti yang meyakinkan.
Demikian juga diainnya seorang janda waktu dimintai izin untuk dikawinkan tidak
berarti ia memberikan izin, namun jika ia seoratig gadis maka
diamnya dianggap mengizinkan. Hal ini sesuai sabda
Nabi SAW.:
(Izinnya
"seorang gadis ketika ditawari kawin" adalah diamnya).
Kaidah
Kesembilan Belas
"Apa
saja yang lebih banyak pekerjaannya berarti lebih banyak pula
keutamaannya." (as-Suyuthi, TT:98)
Kaidah ini
berdasarkan firman Allah SWT :
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9
wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ ¨br&ur ¼çmu÷èy t$ôqy 3tã ÇÍÉÈ §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$#
ÇÍÊÈ
Bahwasanya seorang manusia tiada mempewleh selain apa yang ia usahakan.. Dan
bahwasanya usaha itu akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan
balasan yang paling sempurna. (QS. an-Najm:39-41)
Dan
sabda Nabi SAW.:
(Upahmu
sesuai dengan kadar usahamu). (HR. Muslim).
Misalnya shalat witir
dengan diputus lebih banyak pahalanya daripada disambungnya sebab dengan
diputus itu akan bertambah niat,
takbir, salam dan sebagainya. Demikian pula shalat sunnat dengan berdiri lebih
banyak pahalanya daripada duduk.[6]
Namun pada kaidah tersebut ada pengecualiannya,
yaitu:
1.
Salat qashar.dalam
bepergian yang memenuhi kriterianya lebih utama daripada shalat biasa.
2.
Salat dhuha lebih baik 8 rakaat,
walaupun menurut hadits Nabi batas maksimal 12 rakaat.
3.
Salat witir 3 rakaat lebih utama
daripa'iia shalat witir 5 atau 7 rakaat.
4.
Membaca surat pendek dalam jamaah
shalat lebih baik daripada surat yang panjang. Atau
membaca surat pendek yang genap lebih baik daripada
membaca ayat panjang yang merupakan potongan surat.
5.
Salat jamaah sekali lebih utama
daripada shalat sendirian 25 atau 28 kali.
6.
Salat subuh lebih.utama daripada
shalat yang lain, walaupun ia lebih pendek.
7.
Satu rakaat shalat witir lebih utama dari dua rakaat
fajar
8.
Mempercepat shalat fajar lebih utama daripada
memanjangkan.
9.
Salat hari raya lebih utama
daripada shalat kusuf, walaupun shalat kusuf banyak perbuatan dan
lebih sulit.
10. Haji dan wuquf dengan
mengendarai lebih utama daripada jalan kaki.
11. Sedekah kurban dengan
dimakan sedikit untuk diambil berkah lebih utama daripada sedekah secara keseluruhan. (as-Suyuthi,
TT:98)[7]
Kaidah Kedua puluh
"Perbuatan
yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada yang hanya sebatas kepentingan
sendiri." (as-Suyuthi, TT:99)
Setiap perbuatan yang
manfaatnya lebih luas cakupannya, disamping untuk kepentingan pribadi juga untuk
kepentingan yang lain walaupun orang lain itu tidak ikut melakukannya itu
lebih baik atau lebih utama daripada perbuatan yang nilai
gunanya hanya dirasakan oleh orang yang melakukaA perbuatan saja.
Berdasarkan kaidah di
atas, Abu Ishaq berpendapat bahwa fardu kifayah lebih utama daripada fardu 'ain, karena
fardu kifayah dapat membebaskan dosa orang lain sedang fardu 'ain
tidak lebih hanya khusus si pelaku sendiri. Lebih jauh Imam Syafi'i menyatakan lebih utama
mencari ilmu ketimbang shalat sunnat, karena mencari ilmu dapat dirasakan juga
orang banyak sedang manfaat shalat sunnat khusus si pelakunya.
Syekh Izzuddin tidak
memutlakkan keberlakuan kaidah di atas, mengingat sabda Nabi SAW. bahwa amalan yang paling utama adalah iman kepada
Allah, jihad fi sabilillah dan haji mabrur (HR. Bukhari, Muslim,
Nasai' dari Abu Hurairah). Selanjutnya . beliau
menukil fatwa Imam Ghazali dalam ihya'nya:
"Sesungguhnya ketaatan yang lebih utama adalah
menurut kadar kemaslahatan
yang timbul daripadanya."[8]
PENUTUP
Kaidah-kaidah
fiqh yang terdapat di dalam kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada
berhagai bidang fikih, antara lain kaidah 15-20, yaitu kaidah 15 "Kata-kata
seorang penerjemah diterima tanpa syarat, kaidah 16: "Kenikmatan
disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah disesuaikan dengan kenikmatan"
.Kaidah 17:“ Tidak diperkenankan Ijtihad pada tempat yang telah ada
nashnya”. Kaidah 18:"Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak
menggugurkan yang sukar dijalankan". Kaidah 19: "Yang kuat
mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya". Kaidah 20:. "Dua
hak yang berbeda tidak saling menyerap"'
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli A.,
Kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana,2006
Usman Mukhlis,
Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah),
Jakarta : Raja Grafindo,1997
[1] A.
Djazuli, kaidah-kaidah fikih : kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis, ( Jakarta: Kencana,2006) h. 97
[2] Ibid,h.98
[3] Ibid.,h.99
[4]
Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah istinbath hukum islam (kaidah-kaidah ushuliyah
dan fiqhiyah), (Jakarta : Raja Grafindo,1997) h. 159
[5] Ibid.,
h.160
[6] Ibid,
h.161
[7]
Ibid., 162
[8]
Ibid., h.163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)