Selasa, 19 April 2016

Kaidah-kaidah fiqih-KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG UMUM



MAKALAH
Kaidah-kaidah fiqih
Tentang
KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG UMUM
(At-Qawa'id A1-Fiqhiyah AI-`Ammah)





O l e h :
Kelompok 13



           



Dosen Pembimbing:
DUHRIAH,M.Ag





JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H/ 2016


 

PEMBAHASAN

Apabila kita perhatikan kaidah-kaidah cabang dari lima kaidah, sesungguhnya kaidah tersebut apabila kita pisahkan dari kaidah yang lima, maka kaidah tersebut bisa pula dimasukkan ke dalam kaidah-kaidah fikih yang umum, karena meliputi berbagai cabang ilmu fikih.
Di bawah ini diuraikan kaidah-kaidah fiqh yang terdapat di dalam kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berhagai bidang fikih, antara lain kaidah 15-20:[1]
Kaidah 15:
"Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat"
Kaidah ini dimasukkan ke dalam kaidah umum karena bisa berlaku di berbagai bidang hukum. Berlaku di dalam muamalah, jinaya peradilan, dan lainnya.
Kaidah 16:
 
"Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah disesuaikan dengan kenikmatan" .
            Dengan kata lain, keuntungan diukur dengan pengorbanan dan pengorbanan diukur menurut keuntungan. Potongan pertama dari kaidah ini sering diungkapkan dengan al-ujrah bi qadri al-masyaqqah" artinya upah diukur dengan jerih payah/kesulitan. Makin sulit men­capai sesuatu, makin tinggi nilai yang didapat. Makin berat godaannya, makin besar pahalanya.

Kaidah 17:
            “ Tidak diperkenankan Ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”

Nash yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat Al-Qur'an dan Al­-Hadis Nabi sebagai sumber hukum. Dalam ilmu hukum bisa di artikan, "apabila teks hukum sudah jelas, maka tidak perlu ada penafsiran­-penafsiran. Arti lain kaidah ini adalah pada nash-nash yang sudah jelas dalam arti sudah qath’i wurud dan dalalah-nya disepakati.[2]

Kaidah 18:
"Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan"
Maksud kaidah ini adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan, harus dilakukan sedapat mungkin yang kita sanggup lakukan. Contohnya: orang yang hanya dapat membaca sebagian ayat dalam shalat, maka bacalah ayat tersebut. Tidak berarti karena hanya bisa membaca sebagian lalu dia meninggalkan shalat. Apabila orang tidak.dapat sujud dalam shalat, maka shalat itu tetap harus diIakukan meskipun sujudnya hanya dengan membungkuk. Tidak berarti karena tidak bisa sujud, lalu dia tidak shalat. Contoh lain: apabila tidak ada pemimpin yang betul-betul memenuhi syarat maka pilihlah pemiznpin meskipun persyaratannya tidak sempurna.
Kaidah tersebut mirip dengan kaidah:
"Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”

Kaidah-kaidah diatas mendapat pengukuhannya dengan hadits Nabi :
Apabila aku memerintahkan kamu sekalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu kalian” (H.R Baihaqi dari Ibnu Abbas)

Kaidah 19:

"Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya"

Contohnya: dibolehkan melakukan ibadah haji sekaligus umrah, tapi tidak bisa sebaliknya, yaitu melakukan umrah sekaligus haji. Demikian pula halnya, apabila seseorang melakukan beberapa ke­jahatan yang ancaman hukumannya berbeda, misalnya membunuh lalu mencuri kemudian menghina. Maka ancaman hukumannya adalah hukuman mati, potong tangan, dan tazir. Dari ketiga hukuman ini, hukuman mati dapat menyerap hukuman lainnya. Sebaliknya, hukuman potong tangan tidak bisa menyerap hukuman mati. Inilah yang disebut dengan teori al-tadakhul (teori absorpsi/penyerapan hukuman) dalam hukum pidana.[3]

Kaidah 20:
"Dua hak yang berbeda tidak saling menyerap"'

Seperti diketahui bahwa di kalangan ulama dikenal adanya hak Allah dan hak Adami, serta hak campuran di antara keduanya. Maka berdasar kaidah tadi, Hak Allah tidak bisa menyerap hak Adami, demikian pula sebaliknya. Contohnya: Apabila seseorang membunuh karena kesalahan, maka dia wajib membayar diat dan wajib pula membayar kafarat. Diat adalah hak Adami, sedangkan kafarat adalah hal Allah. Maka dia wajib melaksanakan kedua-duanya, karena kedua hak tersebut berbeda.
            Kaidah-kaidah fikih ini juga di jelaskan dalam Ushuliyah Dan Fiqhiyah sebagai berikut:
Kaidah Kelima belas[4]

"Keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan keragu-raguan," (as-Suyuthi, TT:96)

Misalnya seseorang ragu-ragu seberapa jauh jarak yang sudah ditempuh dalam perjalanan, maka kondisi semacam ini mereka tidak boleh menjamak atau mengqashar shalat, karena masih ragu­-ragu, demikian juga tidak diperkenankan beristinja pakai sesuatu yang haram, benda yang dapat dimtlcan, emas dan perak, karena kebolehan istinja' itu dengan benda keras seperti batu sedang benda-benda di atas merupakan benda-benda yang masih meragukan, karena haram dipakai.
Kaidah Keenam Belas
"Rela akan sesuatu berarti relapula akibatnya." (as-Suyuthi,TT;97)
Misalnya seseorang membeli kambing sakit, maka ia harus rela jika kambing yang sakit itu akan menjadi mati. Namun kai­dah itu dibatasi atas 3 hal, yaitu pukulan guru terhadap muridnya, pukulan suami terhadap istrinya, dan pukulan wali terhadap anak­nya.
Mirip dengan kaidah di atas adalah:
"Tindak lanjut dari sesuatu yang telah diterima tidak ada penga­ruhnya." (as-Suyuthi,TT:97)
Kaidah Ketujuh belas
"Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban." (as-Suyuthi,TT:97)
Maksud kaidah di atas adalah hukum dari suatu j aw aban ada­lah terletak path soalnya. Misalnya seorang hakim bertanya ke­pada tergugat, "Apakah istri telah kau talak." Apabila dijawab "iya" maka istri tergugat itu telah berlaku hukum sebagai wanita yang telah ditalak. Karena itu tergugat telah mengakui ikrar atas gugatan mudda'iy.[5]
Kaidah Kedelapan Belas

"Suatu perkataan tidak dapat disandarkan path orang yang diam." (as-Suyuthi, TT:97)

Dalam redaksi lain disebutkan:

"Suatu perkataan tidak dapat disandarkan kepada orang yang diam akan tetapi jika diam pada tempat yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan." (Asjmuni A. Rahman, 1976:107)
Suatu keputusan hukum tidak dapat diambil dengan berdalil kepada diamnya seseorang, kecuali ada qarinah-qarinah yang dapat merajihkan. Namun diamnya seseorang yang sedang dihajatkan keterangannya dapat dijadikan dalil adanya suatu keterangan. Misalnya terdakwa yang dimintai jawabannya oleh hakim tentang tuduhan yang dilemparkan kepadanya dan dia diam saja, maka den-gan diamnya ini dapat ditetapkan, artinya ia mengingkari tuduhan itu dan kepada si penggugat diwajibkan mendatangkan bukti-bukti yang meyakinkan.
Demikian juga diainnya seorang janda waktu dimintai izin untuk dikawinkan tidak berarti ia memberikan izin, namun jika ia seoratig gadis maka diamnya dianggap mengizinkan. Hal ini sesuai sabda Nabi SAW.:
(Izinnya "seorang gadis ketika ditawari kawin" adalah diamnya).
Kaidah Kesembilan Belas
"Apa saja yang lebih banyak pekerjaannya berarti lebih banyak pula keutamaannya." (as-Suyuthi, TT:98)
Kaidah ini berdasarkan firman Allah SWT :

br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ   ¨br&ur ¼çmuŠ÷èy t$ôqy 3tãƒ ÇÍÉÈ   §NèO çm1tøgä uä!#tyfø9$# 4nû÷rF{$# ÇÍÊÈ  

Bahwasanya seorang manusia tiada mempewleh selain apa yang ia usahakan.. Dan bahwasanya usaha itu akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (QS. an-Najm:39-41)

Dan sabda Nabi SAW.:

(Upahmu sesuai dengan kadar usahamu). (HR. Muslim).
Misalnya shalat witir dengan diputus lebih banyak pahalanya daripada disambungnya sebab dengan diputus itu akan bertambah niat, takbir, salam dan sebagainya. Demikian pula shalat sunnat dengan berdiri lebih banyak pahalanya daripada duduk.[6]
Namun pada kaidah tersebut ada pengecualiannya, yaitu:
1.      Salat qashar.dalam bepergian yang memenuhi kriterianya lebih utama daripada shalat biasa.
2.      Salat dhuha lebih baik 8 rakaat, walaupun menurut hadits Nabi batas maksimal 12 rakaat.
3.      Salat witir 3 rakaat lebih utama daripa'iia shalat witir 5 atau 7 rakaat.
4.      Membaca surat pendek dalam jamaah shalat lebih baik daripada surat yang panjang. Atau membaca surat pendek yang genap lebih baik daripada membaca ayat panjang yang merupakan potongan surat.
5.      Salat jamaah sekali lebih utama daripada shalat sendirian 25 atau 28 kali.
6.      Salat subuh lebih.utama daripada shalat yang lain, walaupun ia lebih pendek.
7.      Satu rakaat shalat witir lebih utama dari dua rakaat fajar
8.      Mempercepat shalat fajar lebih utama daripada memanjang­kan.
9.      Salat hari raya lebih utama daripada shalat kusuf, walaupun shalat kusuf banyak perbuatan dan lebih sulit.
10.  Haji dan wuquf dengan mengendarai lebih utama daripada jalan kaki.
11.  Sedekah kurban dengan dimakan sedikit untuk diambil berkah lebih utama daripada sedekah secara keseluruhan. (as-Suyuthi, TT:98)[7]

Kaidah Kedua puluh
"Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada yang hanya sebatas kepentingan sendiri." (as-Suyuthi, TT:99)
Setiap perbuatan yang manfaatnya lebih luas cakupannya, disamping untuk kepentingan pribadi juga untuk kepentingan yang lain walaupun orang lain itu tidak ikut melakukannya itu lebih baik atau lebih utama daripada perbuatan yang nilai gunanya hanya dirasakan oleh orang yang melakukaA perbuatan saja.
Berdasarkan kaidah di atas, Abu Ishaq berpendapat bahwa fardu kifayah lebih utama daripada fardu 'ain, karena fardu kifayah dapat membebaskan dosa orang lain sedang fardu 'ain tidak lebih hanya khusus si pelaku sendiri. Lebih jauh Imam Syafi'i menyatakan lebih utama mencari ilmu ketimbang shalat sunnat, karena mencari ilmu dapat dirasakan juga orang banyak sedang manfaat shalat sunnat khusus si pelakunya.
Syekh Izzuddin tidak memutlakkan keberlakuan kaidah di atas, mengingat sabda Nabi SAW. bahwa amalan yang paling utama adalah iman kepada Allah, jihad fi sabilillah dan haji mabrur (HR. Bukhari, Muslim, Nasai' dari Abu Hurairah). Selanjutnya . beliau menukil fatwa Imam Ghazali dalam ihya'nya:
"Sesungguhnya ketaatan yang lebih utama adalah menurut kadar kemaslahatan yang timbul daripadanya."[8]

PENUTUP

Kaidah-kaidah fiqh yang terdapat di dalam kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berhagai bidang fikih, antara lain kaidah 15-20, yaitu kaidah 15 "Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat, kaidah 16: "Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah disesuaikan dengan kenikmatan" .Kaidah 17:“ Tidak diperkenankan Ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”. Kaidah 18:"Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan yang sukar dijalankan". Kaidah 19: "Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya". Kaidah 20:. "Dua hak yang berbeda tidak saling menyerap"'




DAFTAR PUSTAKA


Djazuli A., Kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,  Jakarta: Kencana,2006

Usman Mukhlis, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah), Jakarta : Raja Grafindo,1997



[1] A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih : kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, ( Jakarta: Kencana,2006) h. 97
[2] Ibid,h.98
[3] Ibid.,h.99
[4] Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah istinbath hukum islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah), (Jakarta : Raja Grafindo,1997) h. 159
[5] Ibid., h.160
[6] Ibid, h.161
[7] Ibid., 162
[8] Ibid., h.163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog