MAKALAH
PANCASILA
Tentang
SISTEM HUKUM ADAT
Oleh :
PERLUHUTAN RITONGA
1513020021
Dosen Pembimbing
JURUSAN
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1437 H / 2015 M
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Allah SWT kita
ucapkan karena berkat hidayah dan hinayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan makalah ini .
Shalawat salam penulis ucapkan kepada suri
tauladan umat dan pucuk pimpinan umat sedunia yakninya Nabi besar Muhammad SAW,
yang telah memberikan sinar kecerdasan dan menenggelamkan zaman pembodohan
didunia.
Penulis sangat berterimakasih kepada Dosen
pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian
makalah “Sistem Hukum Adat” dalam Mata kuliah “ Pancasila”.
Demikianlah sepata kata yang bisa penulis
uraikan, semoga dalam proses pembelajaran ini kita bisa cepat tanggap dalam
memahami mata pelajaran ini.
Padang,
16 Desember 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah
Hukum Adat berasal dari bahasa Arab, yakni terdiri dari kata hukum dan adat.
Hukum, kata jamaknya adalah ahkam, artinya suruhan atau ketentuan. Misalnya, dalam
hukum Islam (hukum syarak) ada lima macam suruhan (perintah) yang disebut
"Al-ahkam Al-Khomsah (hukum yang lima), yaitu fardh (wajib), haram
(larangan), mauduk atau sunnah (suruhan), makruh (celaan) dan az s, mubah atau
kalal (kebolehan). Sedangkan kata adah sebagai asal kata adat berarti
kebiasaan, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi Hukum Adat
adalah hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat yang mengandung arti sebagai aturan
kebiasaan sudah larna dikenal di Indonesia. Di masa kekuasaan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636), di Aceh Darussalam, yang memerin-tahkan dibuatnya kitab hukum
takuta alam sebagai istilah Hukum Adat sudah dipakai.
Kemudian
istilah Hukum Adat ini sangat jelas disebutkan dalam kitab hukum safinatul
hukkamfl takhlisil khassan (bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan semua
orang yang berkesumat) yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syekh Muhammad
Kamaluddin, anak Kodhi Baginda Khotib dari negeri Trussart. Atas perintah
Sultan Alauddin Johansah (1781-1795), di dalam mukadimah kitab hukum acara
dikatakan bahwa dalam pemeriksa perkara para hakim harus memperhatikan hukum
syarak, Hukum Adat, serta adat dan rezam.
Hukum
Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia
diturunkan Tuhan ke muka bumi maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudiaa
bermasyarakat dan bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga maka ia mengatur
dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Misalnya, ayah pergi
berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu menghidupkan api
untuk membakar hasil buruan kemudian disantap bersama-sama, Prilaku kebiasaan
itu berlaku terus-menerus, sehingga menjadi pembagian kerja yang tetap.
BAB II
SISTEM HUKUM ADAT
Yang dimaksud dengan sistem hukum mencakup hal-hal sebagai
berikut (Soerjono Soekanto 1980: 59) :
a.
Di dalam ilmu-ilmu hukum sudah
menjadi konsensus yang pragmatic, bahwa unsur-unsur
tertentu (atau elemen-elemen tertentu), merupakan hukum, sedangkan yang lain
adalah tidak. Yang dianggap sebagai hukum adalah aturan-aturan hidup yang
terjadi karena perundhng-undangan, putusan-keputusan hakim atau risprudensi, dan kebiasaan.
b.
Bidang-bidang
dari suatu sistem hukum, ditentukan atas dasar bermacam-macam kriteria, yang
menghasilkan dikhotomi-dikhotomi,
c.
Konsistensi di dalam suatu sistem huku akan ada, apabila
terjadi persesuaian atau keserasian
d.
Pengertian-pengertian dasar dari suatu sistem hukum
e.
Kelengkapan suatu sistem hukum, menyangkut unsur-unsur yang
berpengaruh terhadap penegakan hukum, yakni adanya hukum, penegak hukum,
fasilitas dan warga masyarakat setiap unsur tersebut.
Apabila
hukum dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem apakah hukum adat dapat
dinyatakan pula sebagai suatu sistem, Oleh karena hukum adat merupakan bagian
dari hukum secara menyeluruh, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan
suatu sistem. Menurut Soepomo, maka (Soepomo 1977)
"Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya
merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun
hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa
Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum
Barat. Untuk dapat sadar akan_sistem hukum_adat, orang harus menyelami dasar-dasar
alam pikiran yang –hidup di dalam masyarakat
Indonesia.
Untuk mempertegas hal tersebut di atas, maka kemudian
Soepomo memperbandingkan sistem hukum adat dengan sistem hukum Barat (Soepomo,
dapat diketahui bahwa ter Haar menganggap hukum adat sebagai suatu sistem,
terutama dari kata "Stelsel".
M.B. Hooker secara relatif mempunyai pendapat yang
lebih tegas daripada Soepomo. Akan tetapi di dalam hal ini, Hooker lebih banyak
berbicara tentang sistem adat, walaupun maksudnya adalah hukum adat. Hooker
banyak mengambil perumusan-perumusan yang pernah diberikan oleh sarjana-sarjana
Belanda; pendapatnya adalah, sebagai berikut (M.B. Hooker 1978: 34).
Ternyata bahwa pendapat Hooker masih mengandung
kelemahankelemahan, oleh karena hanya berorientasi pada dasar-dasar sosial dan
genealogis dari masyarakat (hukum adat). Mungkin ada baiknya, untuk menerapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana disebutkan di muka, supaya hukum
adat dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem. Percobaan tersebut, akan
melengkapi apa yang pernah. dinyatakan oleh van Vollenhoven, ter Haar maupun
Soepomo. Untuk keperluan itu, maka sebaiknya dianalisa terlebih dahulu mengenai
, proses perkembangan perilaku sehingga menjadi sistem sosial, dalam hal ini
sistem hukum adat.
A. PEAILAKU
MANUSIA
Di dalam Bab I bagian A, telah disinggung mengenai perilaku, yang
digambarkan sebagai suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi
kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku tersebut, adalah apa yang
disebut sebagai gerak sosial, yang pada hakikatnya merupakan sistem yang
mencakup suatu+hirarki pengaturan.
1.
Sikap tindak atau perikelakuan ajek, yang mencakup:
a.
Sikap tindak atau perikelakuan pribadi dalam bidang-bidang:
1)
Kepercayaan
2)
Kesusilaan
b.
Sikap tindak atau perikelakuan antara pribadi dalam bidang:
1)
Kesopanan
2)
Hukum
2.
Sikap tindak atau perikelakuan yang unik, yang
mencakup:
a.
sikap tindak atau
perikelakuan pribadi:
1)
Kepercayaan
2)
Kesusilaan
b.
Sikap tindak atau perikelakuan antar pribadi:
1)
Kesopanan.
2)
Hukum.
Dari
kerangka tersebut di atas, yang penting untuk ditelaah lebih lanjut
adalah, perilaku antar pribadi, yang secara teknis biasanya disebut interaksi
sosial. Mengapa terjadi interaksi sosial yang melibatkan perilaku beberapa
pihak, di mana kemudian mungkin terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi
antara kedua belah pihak.
Hubungan
dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan meng-hasilkan gangguan
atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadl: yang bersangkutan. Pada setiap
manusia, ada tiga kebutuhan interpersonal, yang mencakup kebutuhan akan
inklusi, kontrol dan afeksi. Kebutuhan akan inklusi
merupakan suatu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan yang
memuaskan degan pihak lain. Kebutuhan akan kontrol adalah suatu kebutuhan
untuk mengadakan dan mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk
memperoleh pengawasan atau kekuasaan. Kemudian, kebutuhan akan afeksi adalah
segala kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan dengan pihak
lain, untuk memperoleh clan memberikan cinta, kasih sayang, serta afeksi.
Walaupun kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut di atas,
menghasilkan perilaku yang beraneka ragam coraknya, akan tetapi manusia pada
dasarnya mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi, rnengenai keteraturan
yang menjadi hasratnya itu. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, maka` akan
tiimbul ketidakaturan, oleh karena masingrnasing akan berpegang pada
pandangannya mengenai keteraturan tersebut, sesuai dengan kepentingan
masing-masin.
Kaidah atau norma yang menjadi pedoman hubungan antar pribadi, dibedakan
antara kaidah atau norma kesopanan dengan hukum. Kaidah kesopanan berututan untuk
mencapai kedamaian. Dalam hal ini perlu dibedakan antara kaidah kesopanan
dengan "adat", sebagai berikut (Purnadi Purbacaraka & Soerjono
Soekanto.
Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa perilaku manusia berkembang dari dasar-dasar
tertentu, di mana kaidah atau norma sebenarnya merupakan suatu abstraksi dari
perilaku (yang pada akhirnya menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku
manusia). Urut-urutan atau tahap-tahap yang dilalui secara logis, lihat halaman
berikut
1.
Manusia senantiasa berinteraksi atau melakukan hubungan
interpersonal, oleh karena kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afeksi.
Pengalaman berinteraksi tersebut menghasilkan:
2.
Sistem nilai, yaitu konsepsi abstrak mengenai apa yang buruk
clan apa yang baik. Sistem nilai berpengaruh pada:
3.
Pola berpikir manusia yang kemudian membentuk:
4.
Sikap manusia, yakni kecendenangan untuk berbuat atau tidak
berbuat terhadap manusia, benda atau keadaan tertentu. Sikap kemudian
menghasilkan:
5.
Perilaku, yang kemudian menjadi pola perilaku, yang apabila
diabstraksikan, menjadi:
6.
Norma atau kaidah yang merupakan patokan tentang perilaku yang
pantas. Norma ini kemudian mengajak interaksi antar manusia atau hubungan
interpersonal.
B.
DARI IERILAKU KE-NUKUM ADAT
Sebagamana
dinyatakan di atas, maka manusia senantiasa mengadakan intcraksi atau hubungan
interpersonal. Proses interaksi yang terus-mene'us menimbulkan pola-pola
tertentu yang disebut "cara” atau "usage', yakni (G.A. Theodorson
& A.G. Theodorson 1979: 454)i U
"A uniPrm or customary
way of behaving within a social group."
Cara
tersebut merupakan suatu bentuk tertentu di dalam perilaku manusia yang lebih
menonjol di dalam hubungan interpersonal (Soerjono Soekarto 1979: 19). Tentang
hal ini, walaupun dengan bahasa yang berbeda, H;zairin pernah menjelaskannya di
dalam pidato pelantikan , sebagai guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam pada
Universitas Indonesia, yang berjudul "Kesusilaan dan Hukum" (tanggal
13 September 1952).
Oleh Hazairin dinyatakan, bahwa kebersihan ro.hani tersebut merupakan
kesusilan perseorangan, yang sebenarnya merupakan dasar dari, cara
atau "usage". Cara tersebut merupakan suatu pengungkapan dari kesusilaan
perseorangan, yang tidak mustahil berbeda-beda untuk masing-masing
individu atau pribadi. Akan tetapi di dalam perkembangan selanjutnya, cara-cara
yang diterapkan mungkin menimbulkan kebiasaan atau "folkways", yakni
(G.A. Theodorson & A.G. Theodorson ': 1979:159)
merupakan
keteraturan diterima sebagai kaidah maka kebiasaan tersebut meningkat daya
mengikatnya, sehingga menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokoknya adalah,
sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1979: 20)
1.
Merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga
masyarakat.
2.
Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau
sebagai patokan yang membatasi aspek sepak terjang warga masyarakat.
3.
Tata kelakuan mengindentifikasikan
pribadi dengan kelompoknya.
4.
Tata kelakuan merupakan salah satu
sarana untuk mempertahankan solidaritas masyarakat.
Sebagai
perbandingan dengan kebiasaan, maka "mores" dikatakan juga, merupakan
(G.A. Theodorson & A.G. Theodorson 1979: 265):
Tata
kelakuan yang kekal serta kuat dengan perilaku warga ma-; syarakat, meningkat
kekuatan mengikatnya menjadi adat istiadat atau "custom". Custom
tersebut biasanya diberi bermacam-macam arti, dan penggunaannya dikaitkan pada
(Duncan Mitchell 1977: 50)
"The
routine acts of daily life; the rules implicit in routine; the cultural
patterns discernible in repetitive acts; and the distinctive nature
of the whole culture."
Baik
kebiasaan, tata kelakuan maupun adat istiadat, merupakan perilaku yang
bersumber pada kesusilaan kemasyarakatan atau kesusilaan umum. Menurut Hazairin
dalam pidato pengukuhannya, maka kesusilaan kemasvarakatan adalah kesusilaan
umum.
Menurut M. Nasroen, maka "adat" Minangkabau merupakan suatu sistem
pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual, oleh karena didasarkan pada (M.
Nasroen 1957):
1. Ketentuan-ketentuan
yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik
serta keadaan yang berkembang.
2. Kebersamaan
dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama.
Menurut sistem adat Minangkabau maka adat sebenarnya dibagi empat, yakni
(M. Nasroen 1957: 55):
1. Adat
nan sabana adat, ialah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut,
seharusnya menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut
masa.
2. Adat
nan teradat... adalah berciasarkan kenyataan terdapatnya perbedaan-perbedaan
dalam keadaan, umpamanya keadaan sesuatu negeri dengan negeri yang lain.
3. Adat
nan diadatkan adalah
sesuatunya yang didasarkan atas mupakat ini harus pula berdasarkan alur dan
patut.
4. Adat
istiadat".
Adat istiadat tersebut, menurut pendapat tertentu, adalah "segala
peninggalan-peninggalan kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti mengadu jago,
mabuk.(Chairul Anwar 1967:56). Di dalam penelitian yang pernah diadakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Andalas (pada tahun 1977 - 1978), dinyatakan antara
lain, sebagai berikut (halaman 36):
"Pada umumnya adat itu dibagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Adat
yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Di mana dan kapan
pun dia akan tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar dan
sebagainya.
2. Adat
istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah ini yang
diperturunnaikkan selama ini, waris yang dijawek, wek, pusako nan ditolong,
artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu, supaya dapat
kokoh berdirinya.
Maksud
dari penjelasan di atas mengenai adat, adalah untuk mendapatkan suatu gambaran
yang diambil dari kenyataan di Indonesia, untuk dimasukkan ke dalam kerangka
perkembangan dari perilaku hingga menjadi hukum adat, yang pendekatannya
bersifat sosiologis. Bagaimanakah perkembangan selanjutnya, sehingga adat-
(istiadat) menjadi hukum adat.
Adat
istiadat mempunyai ikatan dan pengqruh yang kuat dalam masyarakat kekuatan
mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau, J bagian masyarakat) yang
mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan
keadilannya (Soekanto dan Soerjono Soekanto 1979: 14, 15). Secara
teoretis akademis sudah timbul kesulitan untuk membedakan antara adat istiadat
dengan hukum adat; apalagi di dalam praktiknya, di mana kedua gejala sosial
tersebut berkaitan dengan eratnya (Soekanto 1955: 2). Kenyataan di beberapa
daerah di Indonesia menunjukkan, bahwa adat dan hukum adat dipergunakan oleh
warga masyarakat secara bersamaan von Benda Beckmann yang pernah mengadakan
penelitian terhadap masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
menyatakan, sebagai berikut (Franz: von Benda-Beckmann 1979: 118):
Apa yang dijelaskan oleh von Benda-Beckmann
memang benar, clan mungkin juga berlaku di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Namun demikian, pembedaan antara adat dengan hukum adat masih tetap ;
diperlukan, walaupun dari segi teoretis, oleh karena (Soekanto dan Soerjono)
Yang dimaksudkan dengan keputusan hukum ("rechtsbeslissing"),
adalah sebagai berikut: '
"Semua perilaku dalam pergaulan hidup yang didasarkan pada dan
terdorong oleh pandangan hukum, yang dapat diketahui dari anggapan tentang
kewajiban pribadi serta pribadi-pribadi lainnya, merupakan keputusan hukum.
Keputusan hukum dalam artian ini adalah, keputusan untuk melangsungkan
perkawinan, penguasaan atas harta waris, mengadakan perjanjian-perjanjian,.pembayaran,
pelepasan, pemberian izin, pemberian keputusan, pengeluaran undang-undang.
1.
Apabila para warga masyarakat berperilaku yang ternyata
didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat menghendakinya clan dapatmemaksakan
hal itu apabila dilalaikan, maka hal itu dapat dinamakan keputusan hukum dari
warga-warga masyarakat.
2.
Tidak ada suatu alasan untuk menyebut hal lain sebagai hukum,
kecuali keputusan-keputusan yang mengandung hukum, dari pejabatpejabat hukum
yang telah diangkat.
Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa keputusan yang diambil oleh penguasa kepala
adat dan hakim, haruslah dilihat sebagai, suatu kaidah hukum individual yang
menyimpulkan kaidah hukum' umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama. Mereka
yang berwenang untuk memberikan keputusan harus sadar akan tanggung jawabnya
turut membentuk hukum, clan memperhatikan keputusan-keputusan sebelumnya dari
mereka yang berwena, ngpula. (Purnadi Pur: bacaraka clan Soeriono Soekanto
1979: 94)
C.
SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka manusia mempunyai 1, hasrat
yang kuat untuk hidup teratur. Akan tetapi, setiap manusia mempunyai pendirian
masing-masing mengenai apa ,yang dinamakan teratur, sehingga diperlukan suatu
pedoman. Pedoman atau patokan tersebut adalah norma atau kaidah, yang merupakan
suatu pandangan menilai mengenai perilaku manusia. Kalau sudah terdapat
normanorma atau kaidah-kaidah, maka diperlukan suatu mekanisme untuk
menegakkannya. Artinya, agar kaidah-kaidah tersebut dipatuhi oleh orang banyak.
Salah satu mekanismenya adalah, apa yang dinamakan sistem pengendalian sosial.
Menurut
sosiologi, maka biasanya diadakan pembedaan antara bermacam-macam tipe pengendalian
sosial. Tipe-tipenya merupakan dikhotomi-dikhotomi, sebagai berikut (Roucek
& Warren 1962: 165, 291):
1.
Formal sosial control dan informal social control. Yang
pertama menunjuk pada tata cara yang dibentuk oleh badan-badan resmi, tata cara
mana dapat dipaksa akan berlakunya. Pada yang kedua, daya berlakunya senantiasa
tergantung pada kenyataan apakah warga masyarakat mengakuinya atau tidak (serta
menyukainya atau tidak).
2.
Primary group control dan secondary group control. Primary
group control lazimnya diterapkan di dalam kelompok-kelompok kecil (yaitu kelompok
utama atau "primary group") yang anggota-anggotanya saling kenal
mengenal. Kelompok tersebut biasanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap
anggota-anggotanya. Pada kelompok sekunder, pengendalian sosial dilakukan
melalui peraturan-peraturan formal.
3.
Regulative social control dan suggestive social control.
Regulative social control lebih menekankan pada perintah-perintah atau
larangan-larangan sugestive social control lebih menekankan pada cara-cara yang
persuasif koperatif.
4.
External control dan internal dari luar diri manusia sebagai
pribadi, misalnya, yang datangnya dari masyarakat atau kelompok. Internal
control datangnya dari diri pribadi, yakni usaha untuk mengekang atau
mengendalikan diri sendiri.
5.
Passive social control dan active social control (Edwin M.
Lemert 1967: 21), yang penjelasannya adalah, sebagai berikut:
Pengendalian
sosial dapat dilakukan oleh seseorang, terhadap pribadi lainnya. Kecuali itu,
maka seseorang dapat pula melaksanakannya terhadap suatu kelompok. Tidak jarang
terjadi, bahwa suatu kelompok mclakukan pengendalian sosial terhadap kelompok
lainnya, atau terhadap pribadi tertentu. Pengendalian sosial dapat bersifat
preventif atau positif dan represif atau negatif. Pada pengendalian sosial yang
bersifat preventif, maka tujuan utamanya adalah untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan
atau penyelewengan-penyelewengan. Pengendalian. sosial yang represif lebih
bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan keadaan yang dianggap
baik oleh masyarakat, dengan antara lain menerapkan sanksi-sanksi negatif.
Pengendalian sosial, secara sosiologis merupakan suatu variabel
kuantitatif. Artinya, kuantitas pengendalian sosial di satti tempat, mungkin
berbeda dengan kuantitas pengendalian sosial di lain tempat. Misalnya,
pengendalian sosial dalam suatu keluarga batih tertentu, mungkin lebih hcsar
daripada di dalam suatu organisasi sosial tertentu. Demikian pula pcngendalian
sosial di suatu unit birokrasi tertentu, mungkin lebih kecil daripada
pengendalian sosial pada unit birokrasi di tempat lainnya. Kuanlitas
pengendalian sosial juga mungkin berbeda sehubungan dengan jangka waktu
tertentu. Dengan disajikan di atas; untuk lebih mengetahui arti hipotesa
tersebut, maka Black merumuskan suatu hipotesa sebagaimana disajikan di atas;
untuk lebih mengetahui arti hipotesa tersebut, akan disajikan penjelasan dari
Black yang disertai contoh-contoh yang berasal dari luar Indonesia, akan tetapi
tidak ada salahnya untuk juga mcnerapkannya di Indonesia dengan syarat- syarat
tertentu.
Nader dan Metzger, misalnya, pernah mengadakan penelitian terhadap
daerah pedesaan Mexico, di mana antara lain dikemukakan, bahwa pcngendalian
sosial keluarga di suatu masyarakat setempat ("community"), berbeda
dengan masyarakat setempat lainnya. Hat itulah yang mcnyebabkan, bahwa
perselisihan-perselisihan mengenai perkawinan jarang dibawa ke pengadilan.
Mengenai hal ini Nader dan Metzger, menjelaskannya sebagai berikut (Laura Nader
& Duane Metzger 1963: 589)
Pada
masyarakat Amerika Serikat yang modern, perselisihan antara keluarga, lebih
kurang diajukan ke pengadilan apabila dibandingkan dengan jenis-jenis
perselisihan lainnya. Polisi, misalnya, lebih banyak menerima laporan mengenai
kejahatan yang terjadi di luar keluarga. Apabila diterima pula laporan semacam
itu, maka ada kecenderungan bahwa laporan tersebut datang dari orang luar,
sedangkan keluarga yang ber- ' sangkutan cenderung untuk tidak mengakuinya baik
secara lisan maupun secara tertulis, sehingga tidak terjadi penindakan-penindakan.
Keadaan-keadaan
lain dapat dijumpai di Taiwan, misalnya, di mana pengendalian oleh keluarga
(luas) semakin berpudar. Hat itu terutama disebabkan, karena terjadi
perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan, ekonomi (terutama yang mengenai
pemilikan tanah) di daerah pedesaan. Dengan demikian, maka para petani
cenderung untuk pergi ke lembaga-lembaga hukum yang dibentuk atas dasar
peraturan perundang-undangan.
Tentang
Minangkabau, P.E. de Josselin de Jong pernah menyatakan, hahwa terdapat kecendetungan,
keluarga-keluarga batih mempunyai rumah tangga sendiri (yang berdiri sendiri).
Selanjutnya dikatakan, bahwa (RE. de Josselin de Jong 1960: 120).
Pernah diadakan penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas ;'
pada tahun 1977. Hasilnya adalah antara lain, sebagai berikut (FakultasHukum
Universitas Andalas 1978; 60, 61):
1.
Oleh karena tertinggalnya ninik-mamak di bidang pendidikan formal,
dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh anak kemenakan dewasa ini, maka
pengaruh ninik-mamak terhadap, anak-kemenakan menjadi berkurang.
2.
Dalam rangka terjadinya perubahan sosial, khusus dalam strukr
,: tur keluarga, di mana kedudukan ayah semakin menonjol pengaruh ninik-mamak
pun semakin berkurang dalam kaumnya.
3.
Meskipun pengaruh mamak terhadap kemenakan semakin mundur,
akibat menonjolnya ayah dalam keluarga, namun kedudukan ninik-mamak dalam kaum
dan suku tetap penting, karena adanya "kaum" dan "suku"
masih merupakan kenyataan dalam masyarakat Minangkabau.
4.
Selama masih utuhnya "kaum" dan "suku"
sebagai organisasi kemasyarakatan, selama itu pula peranan ninik-mamak penting
dalam prosedur penyelesaian sengketa secara damai di Nagarinagari.
5.
Pengikut-pengikut ninik-mamak dalam setiap kegiatan
pembangunan maupun pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, akan memperlancar
jalannya pelaksanaan pembangunan maupun, pekerjaan-pekerjaan lainnya di
Nagari."
Kiranya
perlu juga disajikan suatu contoh dari Jepang, yakni dari auatu
"buraku" atau desa tradisional yang masih tetap hidup di dalam proses
modernisasi yang begitu pesatnya di Jepang (Robert J. Smith: 1961). Contoh
yang akan disajikan sangat erat hubungannya dengan "ostracism", yakni
(Henry Pratt Fairchild 1976:210,211):
Dengan
demikian, maka peranan hukum sebagai sarana pengendalian sosial, kurang apabila
dibandingkan dengan ostracism, khususnya buraku sebagaimana dijelaskan di muka.
Suatu masalah lain yang perlu pula untuk dibahas; adalah masalah stigmatisasi. Stigmatisasi
terjadi, kalau perbuatan-perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja
ditonjolkan keburukannya. Artinya, kedudukan dan peranan seseorang yang
mel'akukan penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikian rupa, sehingga dia
kehilangan identitas sosialnya. (Soerjono Soekanto 1981: 158). Dengan demikian
dapatlah dikatakan, bahwa stigmatisasi merupakan (Edwin M. Lemert 1967:42)
"Risk taking" ini memang merupakan suatu jalan keluar, untuk
mengatasi kemelut yang dialami oleh seseorang, yang terutama disebabkan
terjadinya konflik di dalam dirinya. Konflik di dalam dirinya timbul, oleh
karena tidak ada pegangan pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang pada suatu
waktu sedang berlaku. Kemungkinan semacam ini dapat terjadi, apabila misalnya,
ada halangan untuk melakukan perkawinan, sehingga ditempuh jalan dengan kawin
lari. Sudah tentu bahwa proses stigmatisasi akan terjadi, apabila perbuatan
tersebut dianggap merusak keseimbangan kosmis, oleh karena sebagaimana pernah
dinyatakan oleh Soeporno, maka (Soepomo 1977:11)
Artinya adalah, semakin hormat kedudukan seseorang, semakin besar pula
kuantita hukumnya. Misalnya, seorang bekas narapidana sangat besar
kemungkinannya tidak akan melaporkan tindakan sesama bekas narapidana, kepada
polisi. Demikian juga halnya dengan para penjudi, pelacur, kelompok
homoseksual, dan seterusnya. Penodongan terhadap seorang pemabuk, misalnya,
lebih kurang seriusnya daripada penodongan terhadap warga masyarakat yang lebih
terhormat. Menurut La Fave, maka (Wayne R. IaFace 1965: 124)
Hipotesa tersebut di atas
berasumsi, bahwa semakin kurang kehormatan seseorang (dalam arti kedudukannya
dalam masyarakat), semakin banyak hukum yang mengaturnya. Artinya, interaksi
antara orang-orang yang kurang terhormat kedudukannya lebih banyak terikat oleh
hukum daripada dalam proses interaksi antara orang-orang yang lebih terhormat.
Apabila terjadi sengketa antara pihak yang terhormat dengan yang kurang
terhormat, maka ada kecenderungan bahwa akibatnya positif bagi yang terhormat
kedudukannya. Untuk lebih jelasnya, dikutipkan apa yang ditulis oleh Black,
sebagai berikut (Donald Black 1976: 114):
Hipotesa tersebut di atas secara asumtif juga berlaku di Indonesia,
terutama utama apabila ditekankan soal kedudukan yang terhormat tersebut. Hal '
ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut "shame culture" yang
teruta- , ma menjadi dasar mentalitas priyayi. Intinya adalah sebagai berikut ''(Koentjaraningrat
1969: 40)
Apa yang
dinyatakan oleh Koentjaraningrat tersebut di atas, sebenarnya juga pernah
dikemukakan oleh Hazairin di dalam konteks yang berada.
Di dalam pidato pengangkatan sebagai guru besar di Universitas Indonesia,
Hazairin menyatakan sebagai berikut:
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa peranan hukum adat (dan hukum
tertulis) di dalam pengendalian sosial, sangatlah tergantung pada persepsi
warga masyarakat mengenai hukum dan juga penegak hukumnya. Kecuali dari itu,
apabila dalam konteks-konteks sosial tertentu, ternyata sarana pengendalian
sosial lainnya lebih efektif, maka peranan hukum berkuranp.
D.
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Sebagaimana
telah dikemukakan' di dalam Bab I, maka suatu masyarakat merupakan suatu bentuk
kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang
cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu
sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan
interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.
Dengan mengutip pendapat van Vollenhoven yang dikemukakan pada pidatonya
tertanggal 2 Oktober 1901, maka Soepomo menyatakan (Soepomo 1977-49). Hal-hal
yang dijelaskan di dalam bagian A, B, clan C dari Bab II ini, tidak akan
mungkin terjadi apabila tidak ada masyarakat (hukum adat). Oleh karena itu
dianggap penting, untuk juga memberikan sajian mengenai masalah tersebut.
Maksudnya bukanlah untuk mengulangi apa yang pernah disajikan di dalam
buku-buku hukum adat lainnya, akan tetapi untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan demikian diharapkan, bahwa para peminat
hukum adat akan memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap lagi.
Penelitian atau hasil karya lainnya. Di dalam bukunya yang berjudul
"Beginselen en Stelsel van het Adatrecht", ter Haar merumuskan
masyarakat hukum adat, sebagai (B ter Haar Bzn 1950. A
Hazairin memberikan suatu uraian yang relatif panjang mengenai masyarakat hukum
adat, sebagai berikut (Hazairin 1970: 44)
"Masyarakat-masyarakat
Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di
Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah
kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk
sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan
kesatuan lingkungan hidup berclasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi
semua anggotanya... Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama
berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan
dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan
clan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak clan kewajibannya.
Penghidupan mereka berciri; komunal, di mana gotong royong, tolong menolong, serasa
clan semalu mempunyai peranan yang besar."
Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama
maka masing-masing mempunyai dasar dan bentuknya. Menurut. Soepomo, maka masyarakat-masyarakat
hokum adat
di Indonesia dapat dibagi atas dua golonpn menurut dnsar susunannya, yaitu
yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang
berdasar lingkungan daerah (territorial kemudian hal itu ditambah lagi dengan
susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut di atas (Soepomo 1977: 51)
1.
Oleh karena Negara Indonesia itu
suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam
lingkungannya yang bersifat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam
daerah propinsi clan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih
kecil, Di
daerah-daerah yang bersifat otonom (streek clan locaje rechtsge meenschappen)
atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan
diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
2.
Dalam teritorial Negara Indonesia
terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen clan Volksgemeenschappen,
seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun clan marga di
Palembang clan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Apabila
pembicaraan dibatasi pada masyarakat hukum adat genealogis dan teritorial maka
menurut Soepomo ada lima jenis masyarakat hukum adat semacam itu, dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soepomo 1977: 55, 56, 57):
1.
Suaru daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat
kediaman oleh hanya satu bagian golongan (clandeel). ada golongan lain yang tinggal di dalam
daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat
tinggal oleh hanya satu bagian clan.
2.
Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut:
Bagianbagian clan (marga) masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi
di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan
oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk
menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu.
3.
Jenis ketiga dari susunan rakyat yang
bersifat genealogis-teritorial, ialah yang kita dapati di Sumba Tengah clan
Sumba Timur. Di situ terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah
yang tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian
berpindah kepada clan lain, yang masuk ke daerah tersebut clan merebut
kekuasaan pemerintah.
4. Jenis
keempat dari susunan rakyat yang bersifat genealogisteritorial kita dapati di
beberapa nagari di Minangkabau dan dibeberapa marga (dorp) di Bengkulu.
5. Jenis
yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat genealogis- ' territorial adalah
terdapat di nagari-nagari lain di Minangkabau ~ clan pada dusun di daerah
Rejang (Bengkulen), di mana dalarn satu nagari atau dusun berdiam beberapa
bagian clan, yang satu sama lain tidak bertalian famili.
Suatu contoh masyarakat hukum adat yang diambil berdasar data , primer,
adalah masyarakat hukum adat yang Oijumpai di daerah Lampung. Orang-orang
Lampung ("Lampung" berasal' dari kata "lampung" yang
berarti mengambang di air) menurut cerita-cerita orang-orang tua, berasal dari
daerah Segala Berak Pagaruyung yang terletak di dataran Belalau, di kaki Bukit
Pesagi di sebelah selatan danau Ranau, Krui. Diceriterakan bahwa pada waktu itu
berdiam beberapa clan (kebuayan) di daerah tersebut. Oleh sebab beberapa alasan
tertentu, mereka kemudian menyebar dan merantau segenap penjuru daerah yang
sekarang dinamakan Lampung, di ujung pulau Sumatera yang lua.mya hampir sama
dengan r daerah Jawa Tengah. Dalam penyebaran mereka, orang-orang Lampung Sistem Hukum Adat mendirikan
wilayah-wilayah kediaman yang bersifat sementara yang dipimpin oleh
kepala-kepala rakyat yang diberi gelar Ratu. Dapat
Kadang-kadang, sebuah tiyuh didiami oleh dua, sampai sepuluh suku.
Suku-suku tersebut masing-masing mencakup beberapa canki yang
merupakan keluarga besar, sedangkan canki terbentuk dari
beberapa nuwo (yang merupakan keluarga batih). Nuwo, canki maupun suku, dapat
mempunyai tanah yang dikerjakan yang dinamakan umbul atau umbulan, tanah mana
dikerjakan secara kolektif (tanah yang dikerjakan secara perorangan disebut
"umo") Mula-mula umbul atau umbulan bersifat semi permanen, akan tetapi
mungkin pula menjadi suatu tempat usaha permanen, sehingga tempat-tempat
kediaman di sekitarnya, sesuai dengan patokan menurut hukum adat setempat,
dapat diresmikan meniadi canki, suku dan selaniutnya.
Kepala
adat yang merupakan kepala dari masyarakat hukumnya, dinamakan Penyimbang,
pengertian mana mempunyai dua arti yakni pertama artinya adalah
"pengganti" untuk menunjuk pada kepenyimbangan sebagai suatu
kedudukan, dan kedua berarti sebagai "yang menimbang" untuk menunjuk
pada kepenyimbangan sebagai suatu peranan. Kepe. nyimbangan seseorang
diwariskan; putera sulung keluargalah yang mempunyai hak tunggal untuk menjadi
penyimbang, sebagai pengganti ayah nya (kecuali apabila terjadi hal-hal yang
tidak memungkinkan yang bersangkutan menjadi penyimbang karena sakit, perilaku
yang buruk, dan seterusnya).
macam
penyimbangan:
1.
Penyimbang pangkat, yakni penyimbang yang telah membentuk
pepadon beserta keturunannya (hanya pria). Apabila penyimbang tersebut
mengepalai sebuah marga, namanya adalah penyimbang marga, lalu seterusnya ada
kepala tiyuh dan kepala suku.
2.
Penyimbang adat, yang merupakan keturunan daripada para
pendiri marga, tiyuh dan suku.
Daerah
Lampung didiami oleh beberapa suku, yang penyebarannya adalah sebagai berikut
(Taher Tjindarbumi tanpa tahun: 5 dan seterusnya):
1.
Di sepanjang pesisir Lampung, tinggallah orang-orang
Peminggir, yaitu penduduk yang mendiami pesisir Telukbetung dan sekitarnya,
Kalianda dan sekitarnya, serta pesisir Semangka dan sekitarnya. Marga-marga
yang terletak di dalam lingkungan ini dinamakan Marga-marga Peminggir, berbeda
dengan orang-orang Lampung yang berdiam di bagian Barat yang lazimnya dinamakan
oang-orang Lampung Pepadon
Marga
liantaran, Marga Ketibung (diakui sejak tahun 1928). Marga-marga tersebut di atas termasuk wilayah
Kalianda atau Ketibang. Selanjutnya di daerah Telukbetung terdapat marga-marga
, sebagai berikut:
a.
Marga Telukbetung,
b.
Marga Ratai,
c.
Marga Punduh,
d.
Marga Pedada, dan
e.
Marga Sabumenanga.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi
pemakalah dapat menyimpulkan : Tiap-tiap hukum merupakan suatu
sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas
kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan
alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan_sistem
hukum_adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang –hidup di
dalam masyarakat
Indonesia.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, jika
terdapat kesalahan dari pembuatan makalah ini, pemakalah mengharapkan kritikan,
saran serta tambahan dari pembaca terutama dari dosen pembimbing untuk
perbaikan makalah ini, untuk menjadi makalah ini lebih baik lagi. Karena
pemakalah menyadari bahwa tidak adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini,
karena sempurna itu hanya mutlak miliki Allah SWT.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Soekanto Soejono, Hukum Adat Indonesia , Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)