Selasa, 19 April 2016

PANCASILA-SISTEM HUKUM ADAT



MAKALAH
PANCASILA
Tentang
SISTEM HUKUM ADAT





Oleh :
PERLUHUTAN RITONGA
1513020021


Dosen Pembimbing



JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2015 M


KATA PENGANTAR
 


Segala puji syukur kepada Allah SWT kita ucapkan karena berkat hidayah dan hinayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan  makalah ini .
Shalawat salam penulis ucapkan kepada suri tauladan umat dan pucuk pimpinan umat sedunia yakninya Nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan sinar kecerdasan dan menenggelamkan zaman pembodohan didunia.
Penulis sangat berterimakasih kepada Dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian makalah “Sistem Hukum Adat” dalam Mata kuliah “ Pancasila”.
Demikianlah sepata kata yang bisa penulis uraikan, semoga dalam proses pembelajaran ini kita bisa cepat tanggap dalam memahami mata pelajaran ini.

Padang,  16 Desember 2015


Penulis














BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Hukum Adat berasal dari bahasa Arab, yakni terdiri dari kata hukum dan adat. Hukum, kata jamaknya adalah ahkam, artinya suruhan atau ketentuan. Misalnya, dalam hukum Islam (hukum syarak) ada lima macam suruhan (perintah) yang disebut "Al-ahkam Al-Khomsah (hukum yang lima), yaitu fardh (wajib), haram (larangan), mauduk atau sunnah (suruhan), makruh (celaan) dan az s, mubah atau kalal (kebolehan). Sedangkan kata adah sebagai asal kata adat berarti kebiasaan, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi Hukum Adat adalah hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat yang mengandung arti sebagai aturan kebiasaan sudah larna dikenal di Indonesia. Di masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di Aceh Darussalam, yang memerin-tahkan dibuatnya kitab hukum takuta alam sebagai istilah Hukum Adat sudah dipakai.
Kemudian istilah Hukum Adat ini sangat jelas disebutkan dalam kitab hukum safinatul hukkamfl takhlisil khassan (bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan semua orang yang berkesumat) yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin, anak Kodhi Baginda Khotib dari negeri Trussart. Atas perintah Sultan Alauddin Johansah (1781-1795), di dalam mukadimah kitab hukum acara dikatakan bahwa dalam pemeriksa perkara para hakim harus memperhatikan hukum syarak, Hukum Adat, serta adat dan rezam.
Hukum Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia diturunkan Tuhan ke muka bumi maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudiaa bermasyarakat dan bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga maka ia mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Misalnya, ayah pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudian disantap bersama-sama, Prilaku kebiasaan itu berlaku terus-menerus, sehingga menjadi pembagian kerja yang tetap.



BAB II
SISTEM HUKUM ADAT

Yang dimaksud dengan sistem hukum mencakup hal-hal sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1980: 59) :
a.       Di dalam ilmu-ilmu hukum sudah menjadi konsensus yang pragmatic, bahwa unsur-unsur tertentu (atau elemen-elemen tertentu), merupakan hukum, sedangkan yang lain adalah tidak. Yang dianggap sebagai hukum adalah aturan-aturan hidup yang terjadi karena perundhng-undangan, putusan-keputusan hakim atau  risprudensi, dan kebiasaan.
b.      Bidang-bidang dari suatu sistem hukum, ditentukan atas dasar bermacam-macam kriteria, yang menghasilkan dikhotomi-dikhotomi,
c.       Konsistensi di dalam suatu sistem huku akan ada, apabila terjadi persesuaian atau keserasian
d.      Pengertian-pengertian dasar dari suatu sistem hukum
e.       Kelengkapan suatu sistem hukum, menyangkut unsur-unsur yang berpengaruh terhadap penegakan hukum, yakni adanya hukum, penegak hukum, fasilitas dan warga masyarakat setiap unsur tersebut.
Apabila hukum dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem apakah hukum adat dapat dinyatakan pula sebagai suatu sistem, Oleh karena hukum adat merupakan bagian dari hukum secara menyeluruh, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan suatu sistem. Menurut Soepomo, maka (Soepomo 1977)
"Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan_sistem hukum_adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang –hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Untuk mempertegas hal tersebut di atas, maka kemudian Soepomo memperbandingkan sistem hukum adat dengan sistem hukum Barat (Soepomo, dapat diketahui bahwa ter Haar menganggap hukum adat sebagai suatu sistem, terutama dari kata "Stelsel".
M.B. Hooker secara relatif mempunyai pendapat yang lebih tegas daripada Soepomo. Akan tetapi di dalam hal ini, Hooker lebih banyak berbicara tentang sistem adat, walaupun maksudnya adalah hukum adat. Hooker banyak mengambil perumusan-perumusan yang pernah diberikan oleh sarjana-sarjana Belanda; pendapatnya adalah, sebagai berikut (M.B. Hooker 1978: 34).
Ternyata bahwa pendapat Hooker masih mengandung kelemahankelemahan, oleh karena hanya berorientasi pada dasar-dasar sosial dan genealogis dari masyarakat (hukum adat). Mungkin ada baiknya, untuk menerapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana disebutkan di muka, supaya hukum adat dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem. Percobaan tersebut, akan melengkapi apa yang pernah. dinyatakan oleh van Vollenhoven, ter Haar maupun Soepomo. Untuk keperluan itu, maka sebaiknya dianalisa terlebih dahulu mengenai , proses perkembangan perilaku sehingga menjadi sistem sosial, dalam hal ini sistem hukum adat.
A.    PEAILAKU MANUSIA
Di dalam Bab I bagian A, telah disinggung mengenai perilaku, yang digambarkan sebagai suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku tersebut, adalah apa yang disebut sebagai gerak sosial, yang pada hakikatnya merupakan sistem yang mencakup suatu+hirarki pengaturan.
1.      Sikap tindak atau perikelakuan ajek, yang mencakup:
a.       Sikap tindak atau perikelakuan pribadi dalam bidang-bidang:
1)      Kepercayaan
2)      Kesusilaan
b.      Sikap tindak atau perikelakuan antara pribadi dalam bidang:
1)      Kesopanan
2)       Hukum
2.      Sikap tindak atau perikelakuan yang unik, yang mencakup:
a.        sikap tindak atau perikelakuan pribadi:
1)       Kepercayaan
2)      Kesusilaan
b.      Sikap tindak atau perikelakuan antar pribadi:
1)      Kesopanan.
2)      Hukum.
Dari kerangka tersebut di atas, yang penting untuk ditelaah lebih lanjut adalah, perilaku antar pribadi, yang secara teknis biasanya disebut interaksi sosial. Mengapa terjadi interaksi sosial yang melibatkan perilaku beberapa pihak, di mana kemudian mungkin terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi antara kedua belah pihak.
Hubungan dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan meng-hasilkan gangguan atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadl: yang bersangkutan. Pada setiap manusia, ada tiga kebutuhan interpersonal, yang mencakup kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afeksi. Kebutuhan akan inklusi merupakan suatu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan yang memuaskan degan pihak lain. Kebutuhan akan kontrol adalah suatu kebutuhan untuk mengadakan dan mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh pengawasan atau kekuasaan. Kemudian, kebutuhan akan afeksi adalah segala kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh clan memberikan cinta, kasih sayang, serta afeksi.
Walaupun kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut di atas, menghasilkan perilaku yang beraneka ragam coraknya, akan tetapi manusia pada dasarnya mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi, rnengenai keteraturan yang menjadi hasratnya itu. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, maka` akan tiimbul ketidakaturan, oleh karena masingrnasing akan berpegang pada pandangannya mengenai keteraturan tersebut, sesuai dengan kepentingan masing-masin.
Kaidah atau norma yang menjadi pedoman hubungan antar pribadi, dibedakan antara kaidah atau norma kesopanan dengan hukum. Kaidah kesopanan berututan untuk mencapai kedamaian. Dalam hal ini perlu dibedakan antara kaidah kesopanan dengan "adat", sebagai berikut (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa perilaku manusia berkembang dari dasar-dasar tertentu, di mana kaidah atau norma sebenarnya merupakan suatu abstraksi dari perilaku (yang pada akhirnya menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku manusia). Urut-urutan atau tahap-tahap yang dilalui secara logis, lihat halaman berikut
1.      Manusia senantiasa berinteraksi atau melakukan hubungan interpersonal, oleh karena kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afeksi. Pengalaman berinteraksi tersebut menghasilkan:
2.      Sistem nilai, yaitu konsepsi abstrak mengenai apa yang buruk clan apa yang baik. Sistem nilai berpengaruh pada:
3.      Pola berpikir manusia yang kemudian membentuk:
4.      Sikap manusia, yakni kecendenangan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau keadaan tertentu. Sikap kemudian menghasilkan:
5.      Perilaku, yang kemudian menjadi pola perilaku, yang apabila diabstraksikan, menjadi:
6.      Norma atau kaidah yang merupakan patokan tentang perilaku yang pantas. Norma ini kemudian mengajak interaksi antar manusia atau hubungan interpersonal.


B.     DARI IERILAKU KE-NUKUM ADAT
Sebagamana dinyatakan di atas, maka manusia senantiasa mengadakan intcraksi atau hubungan interpersonal. Proses interaksi yang terus-mene'us menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut "cara” atau "usage', yakni (G.A. Theodorson & A.G. Theodorson 1979: 454)i U
"A uniPrm or customary way of behaving within a social group."
Cara tersebut merupakan suatu bentuk tertentu di dalam perilaku manusia yang lebih menonjol di dalam hubungan interpersonal (Soerjono Soekarto 1979: 19). Tentang hal ini, walaupun dengan bahasa yang berbeda, H;zairin pernah menjelaskannya di dalam pidato pelantikan , sebagai guru besar Hukum Adat dan Hukum Islam pada Universitas Indonesia, yang berjudul "Kesusilaan dan Hukum" (tanggal 13 September 1952).
Oleh Hazairin dinyatakan, bahwa kebersihan ro.hani tersebut merupakan kesusilan perseorangan, yang sebenarnya merupakan dasar dari, cara atau "usage". Cara tersebut merupakan suatu pengungkapan dari kesusilaan perseorangan, yang tidak mustahil berbeda-beda untuk masing-masing individu atau pribadi. Akan tetapi di dalam perkembangan selanjutnya, cara-cara yang diterapkan mungkin menimbulkan kebiasaan atau "folkways", yakni (G.A. Theodorson & A.G. Theodorson ': 1979:159)
merupakan keteraturan diterima sebagai kaidah maka kebiasaan tersebut meningkat daya mengikatnya, sehingga menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokoknya adalah, sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1979: 20)
1.      Merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga masyarakat.
2.      Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang membatasi aspek sepak terjang warga masyarakat.
3.      Tata kelakuan mengindentifikasikan pribadi dengan kelompoknya.
4.      Tata kelakuan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan solidaritas masyarakat.
Sebagai perbandingan dengan kebiasaan, maka "mores" dikatakan juga, merupakan (G.A. Theodorson & A.G. Theodorson 1979: 265):
Tata kelakuan yang kekal serta kuat dengan perilaku warga ma-; syarakat, meningkat kekuatan mengikatnya menjadi adat istiadat atau "custom". Custom tersebut biasanya diberi bermacam-macam arti, dan penggunaannya dikaitkan pada (Duncan Mitchell 1977: 50)
"The routine acts of daily life; the rules implicit in routine; the cultural patterns discernible in repetitive acts; and the distinctive nature of the whole culture."
Baik kebiasaan, tata kelakuan maupun adat istiadat, merupakan perilaku yang bersumber pada kesusilaan kemasyarakatan atau kesusilaan umum. Menurut Hazairin dalam pidato pengukuhannya, maka kesusilaan kemasvarakatan adalah kesusilaan umum.
Menurut M. Nasroen, maka "adat" Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual, oleh karena didasarkan pada (M. Nasroen 1957):
1.      Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.
2.      Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama.
Menurut sistem adat Minangkabau maka adat sebenarnya dibagi empat, yakni (M. Nasroen 1957: 55):
1.      Adat nan sabana adat, ialah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut, seharusnya menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa.
2.      Adat nan teradat... adalah berciasarkan kenyataan terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam keadaan, umpamanya keadaan sesuatu negeri dengan negeri yang lain.
3.      Adat nan diadatkan adalah sesuatunya yang didasarkan atas mupakat ini harus pula berdasarkan alur dan patut.
4.      Adat istiadat".
Adat istiadat tersebut, menurut pendapat tertentu, adalah "segala peninggalan-peninggalan kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti mengadu jago, mabuk.(Chairul Anwar 1967:56). Di dalam penelitian yang pernah diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas (pada tahun 1977 - 1978), dinyatakan antara lain, sebagai berikut (halaman 36):
"Pada umumnya adat itu dibagi atas 4 bagian, yaitu:
1.      Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Di mana dan kapan pun dia akan tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar dan sebagainya.
2.      Adat istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah ini yang diperturunnaikkan selama ini, waris yang dijawek, wek, pusako nan ditolong, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu, supaya dapat kokoh berdirinya.
Maksud dari penjelasan di atas mengenai adat, adalah untuk mendapatkan suatu gambaran yang diambil dari kenyataan di Indonesia, untuk dimasukkan ke dalam kerangka perkembangan dari perilaku hingga menjadi hukum adat, yang pendekatannya bersifat sosiologis. Bagaimanakah perkembangan selanjutnya, sehingga adat- (istiadat) menjadi hukum adat.
Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengqruh yang kuat dalam masyarakat kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau, J bagian masyarakat) yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya (Soekanto dan Soerjono Soekanto 1979: 14, 15). Secara teoretis akademis sudah timbul kesulitan untuk membedakan antara adat istiadat dengan hukum adat; apalagi di dalam praktiknya, di mana kedua gejala sosial tersebut berkaitan dengan eratnya (Soekanto 1955: 2). Kenyataan di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan, bahwa adat dan hukum adat dipergunakan oleh warga masyarakat secara bersamaan von Benda Beckmann yang pernah mengadakan penelitian terhadap masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat menyatakan, sebagai berikut (Franz: von Benda-Beckmann 1979: 118):
Apa yang dijelaskan oleh von Benda-Beckmann memang benar, clan mungkin juga berlaku di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun demikian, pembedaan antara adat dengan hukum adat masih tetap ; diperlukan, walaupun dari segi teoretis, oleh karena (Soekanto dan Soerjono)
Yang dimaksudkan dengan keputusan hukum ("rechtsbeslissing"), adalah sebagai berikut: '
"Semua perilaku dalam pergaulan hidup yang didasarkan pada dan terdorong oleh pandangan hukum, yang dapat diketahui dari anggapan tentang kewajiban pribadi serta pribadi-pribadi lainnya, merupakan keputusan hukum. Keputusan hukum dalam artian ini adalah, keputusan untuk melangsungkan perkawinan, penguasaan atas harta waris, mengadakan perjanjian-perjanjian,.pembayaran, pelepasan, pemberian izin, pemberian keputusan, pengeluaran undang-undang.
1.      Apabila para warga masyarakat berperilaku yang ternyata didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat menghendakinya clan dapatmemaksakan hal itu apabila dilalaikan, maka hal itu dapat dinamakan keputusan hukum dari warga-warga masyarakat.
2.      Tidak ada suatu alasan untuk menyebut hal lain sebagai hukum, kecuali keputusan-keputusan yang mengandung hukum, dari pejabatpejabat hukum yang telah diangkat.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa keputusan yang diambil oleh penguasa kepala adat dan hakim, haruslah dilihat sebagai, suatu kaidah hukum individual yang menyimpulkan kaidah hukum' umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama. Mereka yang berwenang untuk memberikan keputusan harus sadar akan tanggung jawabnya turut membentuk hukum, clan memperhatikan keputusan-keputusan sebelumnya dari mereka yang berwena, ngpula. (Purnadi Pur: bacaraka clan Soeriono Soekanto 1979: 94)
C.    SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka manusia mempunyai 1, hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Akan tetapi, setiap manusia mempunyai pendirian masing-masing mengenai apa ,yang dinamakan teratur, sehingga diperlukan suatu pedoman. Pedoman atau patokan tersebut adalah norma atau kaidah, yang merupakan suatu pandangan menilai mengenai perilaku manusia. Kalau sudah terdapat normanorma atau kaidah-kaidah, maka diperlukan suatu mekanisme untuk menegakkannya. Artinya, agar kaidah-kaidah tersebut dipatuhi oleh orang banyak. Salah satu mekanismenya adalah, apa yang dinamakan sistem pengendalian sosial.
Menurut sosiologi, maka biasanya diadakan pembedaan antara bermacam-macam tipe pengendalian sosial. Tipe-tipenya merupakan dikhotomi-dikhotomi, sebagai berikut (Roucek & Warren 1962: 165, 291):
1.      Formal sosial control dan informal social control. Yang pertama menunjuk pada tata cara yang dibentuk oleh badan-badan resmi, tata cara mana dapat dipaksa akan berlakunya. Pada yang kedua, daya berlakunya senantiasa tergantung pada kenyataan apakah warga masyarakat mengakuinya atau tidak (serta menyukainya atau tidak).
2.      Primary group control dan secondary group control. Primary group control lazimnya diterapkan di dalam kelompok-kelompok kecil (yaitu kelompok utama atau "primary group") yang anggota-anggotanya saling kenal mengenal. Kelompok tersebut biasanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap anggota-anggotanya. Pada kelompok sekunder, pengendalian sosial dilakukan melalui peraturan-peraturan formal.
3.      Regulative social control dan suggestive social control. Regulative social control lebih menekankan pada perintah-perintah atau larangan-larangan sugestive social control lebih menekankan pada cara-cara yang persuasif koperatif.
4.      External control dan internal dari luar diri manusia sebagai pribadi, misalnya, yang datangnya dari masyarakat atau kelompok. Internal control datangnya dari diri pribadi, yakni usaha untuk mengekang atau mengendalikan diri sendiri.
5.      Passive social control dan active social control (Edwin M. Lemert 1967: 21), yang penjelasannya adalah, sebagai berikut:
Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh seseorang, terhadap pribadi lainnya. Kecuali itu, maka seseorang dapat pula melaksanakannya terhadap suatu kelompok. Tidak jarang terjadi, bahwa suatu kelompok mclakukan pengendalian sosial terhadap kelompok lainnya, atau terhadap pribadi tertentu. Pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau positif dan represif atau negatif. Pada pengendalian sosial yang bersifat preventif, maka tujuan utamanya adalah untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan-penyelewengan. Pengendalian. sosial yang represif lebih bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan keadaan yang dianggap baik oleh masyarakat, dengan antara lain menerapkan sanksi-sanksi negatif.
Pengendalian sosial, secara sosiologis merupakan suatu variabel kuantitatif. Artinya, kuantitas pengendalian sosial di satti tempat, mungkin berbeda dengan kuantitas pengendalian sosial di lain tempat. Misalnya, pengendalian sosial dalam suatu keluarga batih tertentu, mungkin lebih hcsar daripada di dalam suatu organisasi sosial tertentu. Demikian pula pcngendalian sosial di suatu unit birokrasi tertentu, mungkin lebih kecil daripada pengendalian sosial pada unit birokrasi di tempat lainnya. Kuanlitas pengendalian sosial juga mungkin berbeda sehubungan dengan jangka waktu tertentu. Dengan disajikan di atas; untuk lebih mengetahui arti hipotesa tersebut, maka Black merumuskan suatu hipotesa sebagaimana disajikan di atas; untuk lebih mengetahui arti hipotesa tersebut, akan disajikan penjelasan dari Black yang disertai contoh-contoh yang berasal dari luar Indonesia, akan tetapi tidak ada salahnya untuk juga mcnerapkannya di Indonesia dengan syarat- syarat tertentu.
Nader dan Metzger, misalnya, pernah mengadakan penelitian terhadap daerah pedesaan Mexico, di mana antara lain dikemukakan, bahwa pcngendalian sosial keluarga di suatu masyarakat setempat ("community"), berbeda dengan masyarakat setempat lainnya. Hat itulah yang mcnyebabkan, bahwa perselisihan-perselisihan mengenai perkawinan jarang dibawa ke pengadilan. Mengenai hal ini Nader dan Metzger, menjelaskannya sebagai berikut (Laura Nader & Duane Metzger 1963: 589)
Pada masyarakat Amerika Serikat yang modern, perselisihan antara keluarga, lebih kurang diajukan ke pengadilan apabila dibandingkan dengan jenis-jenis perselisihan lainnya. Polisi, misalnya, lebih banyak menerima laporan mengenai kejahatan yang terjadi di luar keluarga. Apabila diterima pula laporan semacam itu, maka ada kecenderungan bahwa laporan tersebut datang dari orang luar, sedangkan keluarga yang ber- ' sangkutan cenderung untuk tidak mengakuinya baik secara lisan maupun secara tertulis, sehingga tidak terjadi penindakan-penindakan.
Keadaan-keadaan lain dapat dijumpai di Taiwan, misalnya, di mana pengendalian oleh keluarga (luas) semakin berpudar. Hat itu terutama disebabkan, karena terjadi perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan, ekonomi (terutama yang mengenai pemilikan tanah) di daerah pedesaan. Dengan demikian, maka para petani cenderung untuk pergi ke lembaga-lembaga hukum yang dibentuk atas dasar peraturan perundang-undangan.
Tentang Minangkabau, P.E. de Josselin de Jong pernah menyatakan, hahwa terdapat kecendetungan, keluarga-keluarga batih mempunyai rumah tangga sendiri (yang berdiri sendiri). Selanjutnya dikatakan, bahwa (RE. de Josselin de Jong 1960: 120).
Pernah diadakan penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas ;' pada tahun 1977. Hasilnya adalah antara lain, sebagai berikut (FakultasHukum Universitas Andalas 1978; 60, 61):
1.      Oleh karena tertinggalnya ninik-mamak di bidang pendidikan formal, dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh anak kemenakan dewasa ini, maka pengaruh ninik-mamak terhadap, anak-kemenakan menjadi berkurang.
2.      Dalam rangka terjadinya perubahan sosial, khusus dalam strukr ,: tur keluarga, di mana kedudukan ayah semakin menonjol pengaruh ninik-mamak pun semakin berkurang dalam kaumnya.
3.      Meskipun pengaruh mamak terhadap kemenakan semakin mundur, akibat menonjolnya ayah dalam keluarga, namun kedudukan ninik-mamak dalam kaum dan suku tetap penting, karena adanya "kaum" dan "suku" masih merupakan kenyataan dalam masyarakat Minangkabau.
4.      Selama masih utuhnya "kaum" dan "suku" sebagai organisasi kemasyarakatan, selama itu pula peranan ninik-mamak penting dalam prosedur penyelesaian sengketa secara damai di Nagarinagari.
5.      Pengikut-pengikut ninik-mamak dalam setiap kegiatan pembangunan maupun pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, akan memperlancar jalannya pelaksanaan pembangunan maupun, pekerjaan-pekerjaan lainnya di Nagari."
Kiranya perlu juga disajikan suatu contoh dari Jepang, yakni dari auatu "buraku" atau desa tradisional yang masih tetap hidup di dalam proses modernisasi yang begitu pesatnya di Jepang (Robert J. Smith: 1961). Contoh yang akan disajikan sangat erat hubungannya dengan "ostracism", yakni (Henry Pratt Fairchild 1976:210,211):
Dengan demikian, maka peranan hukum sebagai sarana pengendalian sosial, kurang apabila dibandingkan dengan ostracism, khususnya buraku sebagaimana dijelaskan di muka. Suatu masalah lain yang perlu pula untuk dibahas; adalah masalah stigmatisasi. Stigmatisasi terjadi, kalau perbuatan-perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja ditonjolkan keburukannya. Artinya, kedudukan dan peranan seseorang yang mel'akukan penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikian rupa, sehingga dia kehilangan identitas sosialnya. (Soerjono Soekanto 1981: 158). Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa stigmatisasi merupakan (Edwin M. Lemert 1967:42)
"Risk taking" ini memang merupakan suatu jalan keluar, untuk mengatasi kemelut yang dialami oleh seseorang, yang terutama disebabkan terjadinya konflik di dalam dirinya. Konflik di dalam dirinya timbul, oleh karena tidak ada pegangan pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang pada suatu waktu sedang berlaku. Kemungkinan semacam ini dapat terjadi, apabila misalnya, ada halangan untuk melakukan perkawinan, sehingga ditempuh jalan dengan kawin lari. Sudah tentu bahwa proses stigmatisasi akan terjadi, apabila perbuatan tersebut dianggap merusak keseimbangan kosmis, oleh karena sebagaimana pernah dinyatakan oleh Soeporno, maka (Soepomo 1977:11)
Artinya adalah, semakin hormat kedudukan seseorang, semakin besar pula kuantita hukumnya. Misalnya, seorang bekas narapidana sangat besar kemungkinannya tidak akan melaporkan tindakan sesama bekas narapidana, kepada polisi. Demikian juga halnya dengan para penjudi, pelacur, kelompok homoseksual, dan seterusnya. Penodongan terhadap seorang pemabuk, misalnya, lebih kurang seriusnya daripada penodongan terhadap warga masyarakat yang lebih terhormat. Menurut La Fave, maka (Wayne R. IaFace 1965: 124)
 Hipotesa tersebut di atas berasumsi, bahwa semakin kurang kehormatan seseorang (dalam arti kedudukannya dalam masyarakat), semakin banyak hukum yang mengaturnya. Artinya, interaksi antara orang-orang yang kurang terhormat kedudukannya lebih banyak terikat oleh hukum daripada dalam proses interaksi antara orang-orang yang lebih terhormat. Apabila terjadi sengketa antara pihak yang terhormat dengan yang kurang terhormat, maka ada kecenderungan bahwa akibatnya positif bagi yang terhormat kedudukannya. Untuk lebih jelasnya, dikutipkan apa yang ditulis oleh Black, sebagai berikut (Donald Black 1976: 114):
Hipotesa tersebut di atas secara asumtif juga berlaku di Indonesia, terutama utama apabila ditekankan soal kedudukan yang terhormat tersebut. Hal ' ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut "shame culture" yang teruta- , ma menjadi dasar mentalitas priyayi. Intinya adalah sebagai berikut ''(Koentjaraningrat 1969: 40)
Apa yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat tersebut di atas, sebenarnya juga pernah dikemukakan oleh Hazairin di dalam konteks yang berada. Di dalam pidato pengangkatan sebagai guru besar di Universitas Indonesia, Hazairin menyatakan sebagai berikut:
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa peranan hukum adat (dan hukum tertulis) di dalam pengendalian sosial, sangatlah tergantung pada persepsi warga masyarakat mengenai hukum dan juga penegak hukumnya. Kecuali dari itu, apabila dalam konteks-konteks sosial tertentu, ternyata sarana pengendalian sosial lainnya lebih efektif, maka peranan hukum berkuranp.
D.    MASYARAKAT HUKUM ADAT
Sebagaimana telah dikemukakan' di dalam Bab I, maka suatu masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.
Dengan mengutip pendapat van Vollenhoven yang dikemukakan pada pidatonya tertanggal 2 Oktober 1901, maka Soepomo menyatakan (Soepomo 1977-49). Hal-hal yang dijelaskan di dalam bagian A, B, clan C dari Bab II ini, tidak akan mungkin terjadi apabila tidak ada masyarakat (hukum adat). Oleh karena itu dianggap penting, untuk juga memberikan sajian mengenai masalah tersebut. Maksudnya bukanlah untuk mengulangi apa yang pernah disajikan di dalam buku-buku hukum adat lainnya, akan tetapi untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan demikian diharapkan, bahwa para peminat hukum adat akan memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap lagi.
Penelitian atau hasil karya lainnya. Di dalam bukunya yang berjudul "Beginselen en Stelsel van het Adatrecht", ter Haar merumuskan masyarakat hukum adat, sebagai (B ter Haar Bzn 1950. A Hazairin memberikan suatu uraian yang relatif panjang mengenai masyarakat hukum adat, sebagai berikut (Hazairin 1970: 44)
"Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berclasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya... Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan clan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak clan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri; komunal, di mana gotong royong, tolong menolong, serasa clan semalu mempunyai peranan yang besar."
Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama maka masing-masing mempunyai dasar dan bentuknya. Menurut. Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hokum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golonpn menurut dnsar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (territorial kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut di atas (Soepomo 1977: 51)
1.      Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi clan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil, Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek clan locaje rechtsge meenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
2.      Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen clan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun clan marga di Palembang clan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Apabila pembicaraan dibatasi pada masyarakat hukum adat genealogis dan teritorial maka menurut Soepomo ada lima jenis masyarakat hukum adat semacam itu, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soepomo 1977: 55, 56, 57):
1.      Suaru daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian golongan (clandeel).  ada golongan lain yang tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian clan.
2.      Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: Bagianbagian clan (marga) masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu.
3.      Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat genealogis-teritorial, ialah yang kita dapati di Sumba Tengah clan Sumba Timur. Di situ terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain, yang masuk ke daerah tersebut clan merebut kekuasaan pemerintah.
4.      Jenis keempat dari susunan rakyat yang bersifat genealogisteritorial kita dapati di beberapa nagari di Minangkabau dan dibeberapa marga (dorp) di Bengkulu.
5.      Jenis yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat genealogis- ' territorial adalah terdapat di nagari-nagari lain di Minangkabau ~ clan pada dusun di daerah Rejang (Bengkulen), di mana dalarn satu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan, yang satu sama lain tidak bertalian famili.
Suatu contoh masyarakat hukum adat yang diambil berdasar data , primer, adalah masyarakat hukum adat yang Oijumpai di daerah Lampung. Orang-orang Lampung ("Lampung" berasal' dari kata "lampung" yang berarti mengambang di air) menurut cerita-cerita orang-orang tua, berasal dari daerah Segala Berak Pagaruyung yang terletak di dataran Belalau, di kaki Bukit Pesagi di sebelah selatan danau Ranau, Krui. Diceriterakan bahwa pada waktu itu berdiam beberapa clan (kebuayan) di daerah tersebut. Oleh sebab beberapa alasan tertentu, mereka kemudian menyebar dan merantau segenap penjuru daerah yang sekarang dinamakan Lampung, di ujung pulau Sumatera yang lua.mya hampir sama dengan r daerah Jawa Tengah. Dalam penyebaran mereka, orang-orang Lampung  Sistem Hukum Adat mendirikan wilayah-wilayah kediaman yang bersifat sementara yang dipimpin oleh kepala-kepala rakyat yang diberi gelar Ratu. Dapat
Kadang-kadang, sebuah tiyuh didiami oleh dua, sampai sepuluh suku. Suku-suku tersebut masing-masing mencakup beberapa canki yang merupakan keluarga besar, sedangkan canki terbentuk dari beberapa nuwo (yang merupakan keluarga batih). Nuwo, canki maupun suku, dapat mempunyai tanah yang dikerjakan yang dinamakan umbul atau umbulan, tanah mana dikerjakan secara kolektif (tanah yang dikerjakan secara perorangan disebut "umo") Mula-mula umbul atau umbulan bersifat semi permanen, akan tetapi mungkin pula menjadi suatu tempat usaha permanen, sehingga tempat-tempat kediaman di sekitarnya, sesuai dengan patokan menurut hukum adat setempat, dapat diresmikan meniadi canki, suku dan selaniutnya.
Kepala adat yang merupakan kepala dari masyarakat hukumnya, dinamakan Penyimbang, pengertian mana mempunyai dua arti yakni pertama artinya adalah "pengganti" untuk menunjuk pada kepenyimbangan sebagai suatu kedudukan, dan kedua berarti sebagai "yang menimbang" untuk menunjuk pada kepenyimbangan sebagai suatu peranan. Kepe. nyimbangan seseorang diwariskan; putera sulung keluargalah yang mempunyai hak tunggal untuk menjadi penyimbang, sebagai pengganti ayah nya (kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak memungkinkan yang bersangkutan menjadi penyimbang karena sakit, perilaku yang buruk, dan seterusnya).
macam penyimbangan:
1.      Penyimbang pangkat, yakni penyimbang yang telah membentuk pepadon beserta keturunannya (hanya pria). Apabila penyimbang tersebut mengepalai sebuah marga, namanya adalah penyimbang marga, lalu seterusnya ada kepala tiyuh dan kepala suku.
2.      Penyimbang adat, yang merupakan keturunan daripada para pendiri marga, tiyuh dan suku.
Daerah Lampung didiami oleh beberapa suku, yang penyebarannya adalah sebagai berikut (Taher Tjindarbumi tanpa tahun: 5 dan seterusnya):
1.      Di sepanjang pesisir Lampung, tinggallah orang-orang Peminggir, yaitu penduduk yang mendiami pesisir Telukbetung dan sekitarnya, Kalianda dan sekitarnya, serta pesisir Semangka dan sekitarnya. Marga-marga yang terletak di dalam lingkungan ini dinamakan Marga-marga Peminggir, berbeda dengan orang-orang Lampung yang berdiam di bagian Barat yang lazimnya dinamakan oang-orang Lampung Pepadon
Marga liantaran, Marga Ketibung (diakui sejak tahun 1928).  Marga-marga tersebut di atas termasuk wilayah Kalianda atau Ketibang. Selanjutnya di daerah Telukbetung terdapat marga-marga , sebagai berikut:
a.       Marga Telukbetung,
b.      Marga Ratai,
c.       Marga Punduh,
d.      Marga Pedada, dan
e.       Marga Sabumenanga.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jadi pemakalah dapat menyimpulkan : Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan_sistem hukum_adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang –hidup di dalam masyarakat Indonesia.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, jika terdapat kesalahan dari pembuatan makalah ini, pemakalah mengharapkan kritikan, saran serta tambahan dari pembaca terutama dari dosen pembimbing untuk perbaikan makalah ini, untuk menjadi makalah ini lebih baik lagi. Karena pemakalah menyadari bahwa tidak adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena sempurna itu hanya mutlak miliki Allah SWT.







DAFTAR KEPUSTAKAAN
Soekanto Soejono, Hukum Adat Indonesia , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog