MAKALAH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Tentang
PEDOMAN BERACARA DI PENGADILAN AGAMA
Oleh :
AHMAD ADAFI
1313020620
Dosen pembimbing :
Zainal Arifin,
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M
A.
PEDOMAN
BERACARA DI PENGADILAN AGAMA
1.
Pedoman
Umum
a.
Permohonan
(Volunter)
Permohonan/gugatan voluntair
adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang
ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua PN.[1]
1)
Permohonan
diajukan kepada Ketua Pengadilan agama ditempat tinggal Pemohon secara tertulis
yang ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah(pasal 6 ayat (5)
Undang Nomor : 1 tahun 1974.
“Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang
yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini”[2]
2)
Pemohon
yang tidak dapat membaca dan menulis mengajukan permohonannya secara lisan
dihadapan ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut dicatat oleh Ketua atau
hakim yang ditunjuk (Pasal 144 RBg).
“bilamana penggugat buta huruf
maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”.[3]
3)
Perkara
Permohonan diputus oleh Hakim dalam bentuk penetapan.
4)
Pengadilan
Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara Permohonan sepanjang ditentukan
oleh peraturan Perundang-undangan dan atau/ jika ada kepentingan hukum.
5)
Jenis
Permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Agama adalah:
a)
Permohonan
Pengangkatan wali bagi anak yang belum
berrumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua (pasal 50 Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1074
Tentang Perkawinan).
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.[4]
b)
Permohonan
pengangkatan wali/pengampu bagi orang
dewasa yang kurang ingatan atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya
lagi, misalnya karena pikun (pasal 262 RBg).
c)
Permohonan
dispensasi kawin bagi peria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita
yang belum mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan).
“Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita”.[5]
d)
Permohonan
izin kawin bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (pasal 6 ayat (5)
Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan).
Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini.
e)
Permohonan
Pengangkatan anak (penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor: 3 tahun 2006).
Penyelesaian sengketa
tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang
ekonomi syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela
kepada hukum Islam mengenai halhal yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.[6]
f)
Permohonan
untuk menunjuk seorang atau beberapa orang
wasit (arbiter) (pasal 13 dan 14 Undang-Undang nomor : 30 tahun 1999
Tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian sengketa).
Arbitrase yang diatur dalam undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, akan tetapi
tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak
yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka/kedua belah pihak.
g)
Permohonansita
atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami
isteri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan
perbuatan yang merugikan dan membahayakan
harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.[7]
h)
Permohonan
izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untu kepentingan
keluarga (pasal 95 ayat (2) KHI).
Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama
untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
i)
Permohonan
agar seseorang dinyatakan mafqud ( pasal 96 ayat (2) KHI).
Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang
isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama
j)
Permohonan
penetapan ahli waris, (penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor: 3 tahun 2006).
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing
ahli waris.
b.
Gugatan
1)
Gugatanan
diajukan kepada Ketua Pengadilan gama ditempat tinggal Penggugat secara
tertulis yang ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah(pasal 142
ayat (1) RBg).
Gugatan harus diajukan kepada pengadilan
negeri di tempat tergugat tinggal (Actor sequitor forum rei) . Contohnya jika penggugat di
Yogyakarta dan tergugat berada di Bandung maka gugatan diajukan di PN bandung
2)
Penggugat
yang tidak dapat membaca dan menulis mengajukan gugatannya secara lisan
dihadapan ketua Pengadilan Agama, gugatan tersebut dicatat oleh Ketua atau
hakim yang ditunjuk (Pasal 144 RBg).
Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk
mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
untuk mengadili suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam
Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf
maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan
lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta
huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan
peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa
seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua
Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk
membuatkan gugatan yang diinginkannya. [8]
3)
Gugatan
disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama dan dicatat dalam buku Regster
setelah Penggugat membayar Panjar biaya perkara (pasal 45 ayat (4) RBg).
B.
BERACARA
SECARA PRODEO (BERACARA SECARA CUMA-CUMA)
1)
Penggugat/Pemohon
yang tidak mampu dapat mengajukan permohon berperkara secara prodeo bersamaan
dengan surat gugatan/permohonan, baik secara tertulis atau lisan.
2)
Apabila
Tergugat/Termohon selain dalam bidang perkawinan juga mengajukan permohonan
secara prodeo, maka permohonan itu disampaikan pada wktu mengajukan jawaban
atas gugatan Penggugat (pasal 274 ayat (2) RBg).
3)
Permohonan
berperkara secara prodeo tersebut harus melampirkan surat keterangan tidak
mampu dari kepala daerah, Lurah atau yang setingkat (pasal 60 B Undang-Undang
Nomor: 50 tahun 2009, atau surat keterangan lainya seperti: surat Keterangan
Miskin (KKM), Jamkesmas Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung
tunai (BLT).
4)
Majelis
yang telah ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama/Mahkamah syar’iyah melakukan
sidang insidenil (lihat PERMA Nomor: 1 tahun 2014).
5)
Didalam
sidang tersebut hakimmemberi kesempatan kepaada pihak lawan untuk menanggapi.
6)
Majelis
hakim membuat Putusan Sela tentang dikabulkan atau ditolaknya permohonan
berperkara secara prodeo.
7)
Putusan
sela tersebuat secara lengkap dalam Berita Acara persidangan.
8)
Dalam
perkara prodeo tidak dikabulkan, Penggugat/Pemohon diperintahkan membayar biaya
perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkannya putusan sela.
9)
Jika
tidak dipenuhi maka gugatan/permohonan dicoret dari daftaran perkara.
10) Contoh amar putusan sela:
a.
Permophonan
Perkara Prodeo dikabulkan:
- Memberi izin kepada Pemohon/penggugat untuk berperkara secara
prodeo;
- Memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara.
b.
Permohonan
Perkara Prodeo ditolak:
- Tidak memberi izin kepada Pemohon/penggugat untuk berperkara secara
prodeo;
- Memerintahkan Pemohon/penggugat unuk membayar biaya perkara.
11) Dalam hal perkara prodeo dibiayai negara melalui DIPA, maka jumlah
biaya beserta rinciannya harus dicantumkan dalam amar putusan contoh: “Biaya
yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp... dibebankan kepada negara”.
12) Perihal pemberian izin berperkara prodeo ini berlaku untuk
masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-sendiri dan tidak dapat
diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus.
13) Permohonan berperkara secara
prodeo dapat juga diajukan untuk tingkat Banding dan Kasasi.
14) Permohonan berperkara secara prodeo untuk tingkat Banding dilakukan
sebagai berikut:
a)
Permohonan
berperkara secara prodeo diajukan secara lisan atau tulisan kepada ketua
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang memutus perkara dalam tenggang waktu
14 hari setelah putusan dibacakan atau diberi tahukan.
b)
Permohonan
tersebut disertai surat Keterangan
Miskin (KKM), Jamkesmas Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung
tunai (BLT).
c)
Permohonan
tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku daftar tersendiri.
d)
Dalam
tenggang 14 hari semenjak permohon tersebut dicatat Panitera, hakim yang
ditunjuk (hakim yang memutus perkara ditingkat pertama sebelumya) memerintahkan
Juru sita/juru sita pengganti untuk memberi tahukan permohonan tersebut kepada
pihak lawan, dan memerintahkan para pihak berperkara untuk dalam persidangan
yang ditentukan untuk itu.
e)
Hasil
pemeriksaan dituangkan dalam suatu Berita Acara Sidang.
f)
Jika
Pemohon telahdipanggil dengan resmi dan patut untuk diperiksa permohonan
prodeonya dan ternyata tidak hadir, tanpa alasan yang sah dan tenggang waktu
banding sudah habis, maka pemohon dianggap tidak mengajukan banding.
g)
Dalam
waktu paling lambat 7 hari setelah sidang, berita acara sidang Prodeo tersebut,
dilampiri surat permohonan berperkara secara Prodeo, sudah dikirim ke
Pengadilan Tinggi Agama bersama-sama dengan bundel A.
h)
Permohonan
Tersebut dicatat oleh Panitera Pengadilan Tinggi Agama/mahkamah syar’iyah Aceh
dalam daftar khusus dengan nomor yang diambil dari surat umum.
i)
Ketua
Pengadilan Tinggi Agama/mahkamah syar’iyah Aceh menunjuk hakim untuk memeriksa
permohonan tersebut.
j)
Hakim
tingkat Banding memeriksa dan memutus permohonan prodeo tersebut dan dituangkan
dalam bentuk penetapan yang nomorny sama dengan surat penunjukan Hakim.
k)
Setelah
Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah menerima penetapan Pengadilan
Agama/mahkamah syar’iyah Aceh dan permohonan prodeo dikabulkan, Pengadilan
Agama/mahkamah syar’iyah memeberi tahukan penetapan tersebut kepada pemohon.
l)
Dalang
tenggang waktu 14 hari sejak pemberi tahuan, atas permohonan pemohon, panitera
membuat akta permohonan banding dan memperoses lebih lanjut.
m)
Dalam
hal permohon berperkara tidak dikabulkan Pengadilan Tinggi agama, maka Pemohon
harus membayar panjar biaya perkara dalam tenggang waktu 14 hari setelah
penetapan Pengadilan Tinggi agama diberitahukan kepadanya.
n)
Dalam
hal pemohon prodeo tidak membayar panjar biaya perkara dalam tenggang waktu
tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah berkekuatan
hukum tetap.
15) Permohonan berperkara secara prodeo untuk tingkat Kasasi dilakukan
sebagai berikut:
a)
Permohonan
berperkara secara prodeo diajukan secara lisan atau tulisan kepada ketua
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang memutus perkara dalam tenggang waktu
14 hari setelah putusan dibacakan atau diberi tahukan disertai surat Keterangan Miskin (KKM),
Jamkesmas Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung tunai (BLT).
b)
Permohonan
tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku daftar tersendiri.
c)
Dalam
tenggang 14 hari semenjak permohon tersebut dicatat Panitera, hakim yang
ditunjuk (hakim yang memutus perkara ditingkat pertama sebelumya) memerintahkan
Panitera untuk memberi tahukan permohonan tersebut kepada pihak lawan, dan
memerintahkan para pihak berperkara untuk dalam persidangan yang ditentukan
untuk itu.
d)
Hasil
pemeriksaan dituangkan dalam suatu Berita Acara Sidang.
e)
Dalam
waktu paling lambat 7 hari setelah sidang, berita acara sidang Prodeo tersebut,
dilampiri surat permohonan berperkara secara Prodeo, sudah dikirim ke Mahkamah
Agung RI bersama-sama dengan bundel A dan B.
f)
Mahkamah
Agung RI, memeriksa permohonan berperkara secara prodeo bersamaan dengan pokok
perkara yang dituangkan dalam putusn akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Arto A. Mukti,. Praktek
Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2006/3TAHUN2006UUPenj.htm
http://m-alwi.com/kompilasi-hukum-islam-khi.html
http://www.hukumacaraperdata.com/bentuk-gugatan-menurut-hir/#sthash.t0SJSMsw.dpuf
[1] A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek
Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
[2]
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
[3]
http://www.hukumacaraperdata.com/bentuk-gugatan-menurut-hir/
[4] Ibid,
[5]
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
[6]
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2006/3TAHUN2006UUPenj.htm
[7]
http://m-alwi.com/kompilasi-hukum-islam-khi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)