Selasa, 19 April 2016

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA-PEDOMAN BERACARA DI PENGADILAN AGAMA



MAKALAH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Tentang
PEDOMAN BERACARA DI PENGADILAN AGAMA








Oleh :
AHMAD ADAFI
1313020620

Dosen pembimbing :
Zainal Arifin,

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M



 


A.    PEDOMAN BERACARA DI PENGADILAN AGAMA
1.      Pedoman Umum
a.       Permohonan (Volunter)
Permohonan/gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua PN.[1]
1)      Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan agama ditempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah(pasal 6 ayat (5) Undang Nomor : 1 tahun 1974.
“Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini”[2]
2)      Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut dicatat oleh Ketua atau hakim yang ditunjuk (Pasal 144 RBg).
“bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”.[3]
3)      Perkara Permohonan diputus oleh Hakim dalam bentuk penetapan.
4)      Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara Permohonan sepanjang ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan dan atau/ jika ada kepentingan hukum.
5)      Jenis Permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Agama adalah:
a)      Permohonan Pengangkatan wali bagi anak yang belum  berrumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua (pasal 50 Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1074 Tentang Perkawinan).
(1)   Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
(2)   Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.[4]

b)      Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi  orang dewasa yang kurang ingatan atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun (pasal 262 RBg).

c)      Permohonan dispensasi kawin bagi peria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan).
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.[5]
d)     Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan).
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
e)      Permohonan Pengangkatan anak (penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor: 3 tahun 2006).
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal­hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.[6]

f)       Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang  wasit (arbiter) (pasal 13 dan 14 Undang-Undang nomor : 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian sengketa).
Arbitrase yang diatur dalam undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, akan tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka/kedua belah pihak.
g)      Permohonansita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.[7]
h)      Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untu kepentingan keluarga (pasal 95 ayat (2) KHI).
Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
i)        Permohonan agar seseorang dinyatakan mafqud ( pasal 96 ayat (2) KHI).
Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama
j)        Permohonan penetapan ahli waris, (penjelasan pasal 49 Undang-Undang nomor: 3 tahun 2006).
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan  mengenai  harta  peninggalan,  penentuan bagian masing-masing ahli waris,  dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
b.      Gugatan
1)      Gugatanan diajukan kepada Ketua Pengadilan gama ditempat tinggal Penggugat secara tertulis yang ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah(pasal 142 ayat (1) RBg).
Gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (Actor sequitor forum rei) . Contohnya jika penggugat di Yogyakarta dan tergugat berada di Bandung maka gugatan diajukan di PN bandung
2)      Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan ketua Pengadilan Agama, gugatan tersebut dicatat oleh Ketua atau hakim yang ditunjuk (Pasal 144 RBg).
Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.  [8]
3)      Gugatan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama dan dicatat dalam buku Regster setelah Penggugat membayar Panjar biaya perkara (pasal 45 ayat (4) RBg).

B.     BERACARA SECARA PRODEO (BERACARA SECARA CUMA-CUMA)

1)      Penggugat/Pemohon yang tidak mampu dapat mengajukan permohon berperkara secara prodeo bersamaan dengan surat gugatan/permohonan, baik secara tertulis atau lisan.
2)      Apabila Tergugat/Termohon selain dalam bidang perkawinan juga mengajukan permohonan secara prodeo, maka permohonan itu disampaikan pada wktu mengajukan jawaban atas gugatan Penggugat (pasal 274 ayat (2) RBg).
3)      Permohonan berperkara secara prodeo tersebut harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kepala daerah, Lurah atau yang setingkat (pasal 60 B Undang-Undang Nomor: 50 tahun 2009, atau surat keterangan lainya seperti: surat Keterangan Miskin (KKM), Jamkesmas Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung tunai (BLT).
4)      Majelis yang telah ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama/Mahkamah syar’iyah melakukan sidang insidenil (lihat PERMA Nomor: 1 tahun 2014).
5)      Didalam sidang tersebut hakimmemberi kesempatan kepaada pihak lawan untuk menanggapi.
6)      Majelis hakim membuat Putusan Sela tentang dikabulkan atau ditolaknya permohonan berperkara secara prodeo.
7)      Putusan sela tersebuat secara lengkap dalam Berita Acara persidangan.
8)      Dalam perkara prodeo tidak dikabulkan, Penggugat/Pemohon diperintahkan membayar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkannya putusan sela.
9)      Jika tidak dipenuhi maka gugatan/permohonan dicoret dari daftaran perkara.
10)  Contoh amar putusan sela:
a.       Permophonan Perkara Prodeo dikabulkan:
-       Memberi izin kepada Pemohon/penggugat untuk berperkara secara prodeo;
-       Memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara.
b.      Permohonan Perkara Prodeo ditolak:
-       Tidak memberi izin kepada Pemohon/penggugat untuk berperkara secara prodeo;
-       Memerintahkan Pemohon/penggugat unuk membayar biaya perkara.
11)  Dalam hal perkara prodeo dibiayai negara melalui DIPA, maka jumlah biaya beserta rinciannya harus dicantumkan dalam amar putusan contoh: “Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp... dibebankan kepada negara”.
12)  Perihal pemberian izin berperkara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-sendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus.
13)   Permohonan berperkara secara prodeo dapat juga diajukan untuk tingkat Banding dan Kasasi.
14)  Permohonan berperkara secara prodeo untuk tingkat Banding dilakukan sebagai berikut:
a)      Permohonan berperkara secara prodeo diajukan secara lisan atau tulisan kepada ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dibacakan atau diberi tahukan.
b)      Permohonan tersebut  disertai surat Keterangan Miskin (KKM), Jamkesmas Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung tunai (BLT).
c)      Permohonan tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku daftar tersendiri.
d)     Dalam tenggang 14 hari semenjak permohon tersebut dicatat Panitera, hakim yang ditunjuk (hakim yang memutus perkara ditingkat pertama sebelumya) memerintahkan Juru sita/juru sita pengganti untuk memberi tahukan permohonan tersebut kepada pihak lawan, dan memerintahkan para pihak berperkara untuk dalam persidangan yang ditentukan untuk itu.
e)      Hasil pemeriksaan dituangkan dalam suatu Berita Acara Sidang.
f)       Jika Pemohon telahdipanggil dengan resmi dan patut untuk diperiksa permohonan prodeonya dan ternyata tidak hadir, tanpa alasan yang sah dan tenggang waktu banding sudah habis, maka pemohon dianggap tidak mengajukan banding.
g)      Dalam waktu paling lambat 7 hari setelah sidang, berita acara sidang Prodeo tersebut, dilampiri surat permohonan berperkara secara Prodeo, sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama bersama-sama dengan bundel A.
h)      Permohonan Tersebut dicatat oleh Panitera Pengadilan Tinggi Agama/mahkamah syar’iyah Aceh dalam daftar khusus dengan nomor yang diambil dari surat umum.
i)        Ketua Pengadilan Tinggi Agama/mahkamah syar’iyah Aceh menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan tersebut.
j)        Hakim tingkat Banding memeriksa dan memutus permohonan prodeo tersebut dan dituangkan dalam bentuk penetapan yang nomorny sama dengan surat penunjukan Hakim.
k)      Setelah Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah menerima penetapan Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah Aceh dan permohonan prodeo dikabulkan, Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah memeberi tahukan penetapan tersebut kepada pemohon.
l)        Dalang tenggang waktu 14 hari sejak pemberi tahuan, atas permohonan pemohon, panitera membuat akta permohonan banding dan memperoses lebih lanjut.
m)    Dalam hal permohon berperkara tidak dikabulkan Pengadilan Tinggi agama, maka Pemohon harus membayar panjar biaya perkara dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan Pengadilan Tinggi agama diberitahukan kepadanya.
n)      Dalam hal pemohon prodeo tidak membayar panjar biaya perkara dalam tenggang waktu tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah berkekuatan hukum tetap.
15)  Permohonan berperkara secara prodeo untuk tingkat Kasasi dilakukan sebagai berikut:

a)      Permohonan berperkara secara prodeo diajukan secara lisan atau tulisan kepada ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dibacakan atau diberi tahukan  disertai surat Keterangan Miskin (KKM), Jamkesmas Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung tunai (BLT).
b)      Permohonan tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku daftar tersendiri.
c)      Dalam tenggang 14 hari semenjak permohon tersebut dicatat Panitera, hakim yang ditunjuk (hakim yang memutus perkara ditingkat pertama sebelumya) memerintahkan Panitera untuk memberi tahukan permohonan tersebut kepada pihak lawan, dan memerintahkan para pihak berperkara untuk dalam persidangan yang ditentukan untuk itu.
d)     Hasil pemeriksaan dituangkan dalam suatu Berita Acara Sidang.
e)      Dalam waktu paling lambat 7 hari setelah sidang, berita acara sidang Prodeo tersebut, dilampiri surat permohonan berperkara secara Prodeo, sudah dikirim ke Mahkamah Agung RI bersama-sama dengan bundel A dan B.
f)       Mahkamah Agung RI, memeriksa permohonan berperkara secara prodeo bersamaan dengan pokok perkara yang dituangkan dalam putusn akhir.


DAFTAR PUSTAKA

Arto A. Mukti,. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2006/3TAHUN2006UUPenj.htm
http://m-alwi.com/kompilasi-hukum-islam-khi.html
http://www.hukumacaraperdata.com/bentuk-gugatan-menurut-hir/#sthash.t0SJSMsw.dpuf



 


[1] A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
[2] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
[3] http://www.hukumacaraperdata.com/bentuk-gugatan-menurut-hir/
[4] Ibid,
[5] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm
[6] http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2006/3TAHUN2006UUPenj.htm
[7] http://m-alwi.com/kompilasi-hukum-islam-khi.html
[8] http://www.hukumacaraperdata.com/bentuk-gugatan-menurut-hir/#sthash.t0SJSMsw.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog