Selasa, 19 April 2016

USHUL FIQH II-LAFAZ SHARIH DAN KINAYAH



MAKALAH
USHUL FIQH II
Tentang
LAFAZ SHARIH DAN KINAYAH








Oleh :




Dosen pembimbing :
Dr. Efrinaldi,M.Ag



JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H /2016 M

BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menginterpretasikan Al Qur‘an dan sunah dalam upaya mendeduksi ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Bahasa Al Qur’an dan Sunah harus dipahami secara benar agar dapat menggunakan sumber-sumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan implikasi-implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini para ulama’ ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata kata dan pemakaian-pemakaiannya kedalam metodelogi Ushul Al Fiqh.
Biasanya mujtahid tidak akan melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah merupakan dalil yang jelas. Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad, sebagai mana nanti akan didiskusikan.
Dari sudut pemakaian yang sesunguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan dalam makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang lazim, kata-kata juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: harfiyah (haqiqi) dan metaforsis (majazi). Disini kita hanya akan membahas tentang apa itu sharih dan qinayah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sharih
Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati ‘’terang’’ ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin. Menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain dalam pengertian istilah hukum, sharih berarti ;
كل لفظ مكشو ف المعنى والمراد حقيقة او مجا ز ا
 Setiap lafaz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz”[1]
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan.menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain. [2]
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
1.         Aku ceraikan kau dengan talak satu.
2.         Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
3.         Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.[3]
Selan itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafadz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”.[4] Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.
Berikut firman Allah SWT.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
 مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
 وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
 إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya:Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Q.S. Al-Baqarah:3)


 وَاِنْ خِتُمْ اَلاّ تُقْسِطًوْا فِى الْيٰتٰمٰى فَنْكِحُوْا مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ
 مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ  فَاِنْ اَلاَّ تَعْدِ لُوْا فَوَا حِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ
 ذٰلِكَ اَدْنٰى اَلاَّ تَعْلُوْا
Artinya:“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (Q.S An-Nisa: 3)

Jadi Berdasarkan pengertian di atas dapat kita pahami bahwa lafadz sharih adalah lafadz yang di ucapkan secara tegas dan pasti, tidak memerlukan penjelasan lagi. Selain itu lafaz sharih juga suatu kalimat yang langsung dapat di pahami makna sebenarnya. Lawan dari lafaz sharih yaitu kinayah yang selanjutnya akan di jelaskan berikut ini.
B.     Pengertian Kinayah
Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah :
ما يكو ن المرا د باللفظ مستو را ا لى ان يتبين با لد ليل
 “Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”.
Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih memerlukan penjelasan Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[5]
Sementara Kinayah pula membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah kinayah sebagai berikut:
1.      Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
2.      Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
3.      Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi. 
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafadzkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.[6]
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[7] 
Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.[8] Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[9] 
Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.[10]
 Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk kinayah. Kalau dikatakan “Si Ahmad sedang sholat dengan tekun,” akan mudah orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia sedang shalat dengan tekun,” orang akan bertanya, “siapa yang sedang shalat itu?”.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya, “pulanglah kau ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa maksud: dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang sementara. Bila seseorang menggunakan ucapan tersebut kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya itu untuk cerai, berarti ia menggunakan lafaz kinayah untuk “cerai”.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz. Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu : Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang “pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya pemberani dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja’. Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafadz sharih dalam ucapan adalah berlakunya apa yang disebut dalam lafadz itu dengan sendirinya, tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan, maka berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan engkau”, “hai, cerai”, “kita bercerai”, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati ; atau cara lain yang sama artinya dengan itu.[11]
Jadi dari penjelasan di atas dapat di pahami bahwasanya kinayah adalah lafaz atau perkataan yang memerlukan penjelasan lebih mendalam untuk mendapatkan suatu pengertian dari sebuah perkataan atau ungkapan. Terkadang lafaz itu di jelaskan melalui kata lain atau lafadz lain untuk dapat memahami pengertian dari lafaz yang pertama.Kinayah berbeda dengan majaz, jika majaz atara perkataan pertama dengan apa yang di umpamakan sama bentuk sifatnya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati ‘’terang’’ ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan.menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain
Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
ü  Aku ceraikan kau dengan talak satu.
ü  Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
ü  Hari ini aku ceraikan kau
Kinayah adalah lafaz atau perkataan yang memerlukan penjelasan lebih mendalam untuk mendapatkan suatu pengertian dari sebuah perkataan atau ungkapan
Contoh kinayah sebagai berikut:
ü  Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
ü  Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
ü  Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi. 

B.     Saran
Makalah yang telah dipaparkan diatas tadi, pemakalah berharap apa yang dibaca baik itu penulis maupun pembaca semoga bisa menambah wawasan kita dan  berguna dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA


A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000

Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003

Karim Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001

Syarifuddin Amir, Ushul fiqh,jilid 2,cet 5, Jakarta:Kencana 2008

______________, Ushul Fiqih. Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001




[1] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,jilid 2,cet 5, Jakarta:Kencana 2008, hal 37
[2] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, h. 253
[3] Ibid., h. 115
[4] Ibid hlm 121
[5] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, (Bandung: Pustaka Satia, 2001,)hlm, 180.
[6] A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 412.
[7]  Ibid., hlm. 425
[8] Sidi Nasa Bakry, Op.cit,hlm,131
[9] Ibid.
[10] bid., hlm. 134
[11] Prof. Dr. H.Amir Syarifudin. Ushul Fiqih. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001), hlm.25-37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog