MAKALAH
USHUL FIQH II
Tentang
LAFAZ SHARIH DAN KINAYAH
Oleh :
Dosen pembimbing :
Dr. Efrinaldi,M.Ag
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H /2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk
menginterpretasikan Al Qur‘an dan sunah dalam upaya mendeduksi
ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-petunjuk yang diberikannya.
Bahasa Al Qur’an dan Sunah harus dipahami secara benar agar dapat
menggunakan sumber-sumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan
implikasi-implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini para ulama’ ushul fiqh
memasukkan klasifikasi kata kata dan pemakaian-pemakaiannya kedalam
metodelogi Ushul Al Fiqh.
Biasanya mujtahid tidak akan
melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah merupakan dalil yang jelas.
Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan yang
dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad, sebagai mana nanti akan
didiskusikan.
Dari sudut pemakaian yang
sesunguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan dalam makna utamanya, makna
harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang lazim, kata-kata juga
diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: harfiyah (haqiqi) dan metaforsis
(majazi). Disini kita hanya akan membahas tentang apa
itu sharih dan qinayah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sharih
Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati ‘’terang’’
ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan
yang seterang mungkin. Menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang
dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami
tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain dalam pengertian istilah
hukum, sharih berarti ;
كل لفظ مكشو ف المعنى
والمراد حقيقة او مجا ز ا
“Setiap lafaz yang terbuka makna dan
maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz”[1]
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan.menurut abdul azhim
bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat
yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain. [2]
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang
perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak
atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
1.
Aku ceraikan kau dengan talak satu.
2.
Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
3.
Hari ini aku ceraikan kau
Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang
"Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa
niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau
berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.[3]
Selan itu, Jumhur Ulama’ sepakat berpendapat bahwa
Talak yang sharih ialah lafadz yang jelas dari segi maknanya dan kebiasaannya
membawa arti talak. Contohnya, seorang suami berkata kepada isterinya, “Saya
ceraikan engkau”.[4] Lafaz tersebut memberi
kesan jatuh talak walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat para ulama diatas, bahwa yang
dikatakan talak sharih didalam pengucapanya terdapat tiga perkataan seperti
halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan segolongan fuqaha Dzahiri.
Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah), sarah (lepas). Maka apabila
seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga kata tersebut maka jatuhlah
talak terhadap istrinya.
Berikut firman Allah SWT.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ
إِلَى
اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya:Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila.Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Q.S. Al-Baqarah:3)
وَاِنْ
خِتُمْ اَلاّ تُقْسِطًوْا فِى الْيٰتٰمٰى فَنْكِحُوْا مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ
النِّسَآءِ
مَثْنٰى
وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ فَاِنْ اَلاَّ
تَعْدِ لُوْا فَوَا حِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ
ذٰلِكَ
اَدْنٰى اَلاَّ تَعْلُوْا
Artinya:“Dan jika kalian khawatir tidak akan
dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian
menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka
nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.
Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (Q.S
An-Nisa: 3)
Jadi Berdasarkan pengertian di
atas dapat kita pahami bahwa lafadz sharih adalah lafadz yang di ucapkan secara
tegas dan pasti, tidak memerlukan penjelasan lagi. Selain itu lafaz sharih juga
suatu kalimat yang langsung dapat di pahami makna sebenarnya. Lawan dari lafaz
sharih yaitu kinayah yang selanjutnya akan di jelaskan berikut ini.
B.
Pengertian Kinayah
Dalam pengertian istilah
hukum, kinayah adalah :
ما يكو ن المرا د
باللفظ مستو را ا لى ان يتبين با لد ليل
“Apa yang dimaksud dengan suatu
lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”.
Setiap lafadz yang pemahaman
artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya
termasuk dalam arti kinayah, karena masih memerlukan penjelasan
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur
Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan
kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat
dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[5]
Sementara Kinayah pula membawa
maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih
pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan,
sebagai contah kinayah sebagai berikut:
1.
Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.
2.
Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.
3.
Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi.
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak
terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya
pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali
mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami
melafadzkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak.
Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh
talaknya apabila dengan adanya niat.[6]
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali
dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami
dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud
mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[7]
Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah
tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti
ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat
dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak
berlaku kecuali dia menghendakinya.[8] Beliau berargumen
bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat.
Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi
tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[9]
Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan
makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia
ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat
i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.[10]
Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata
ganti-nama termasuk kinayah. Kalau dikatakan “Si Ahmad sedang
sholat dengan tekun,” akan mudah orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia
sedang shalat dengan tekun,” orang akan bertanya, “siapa yang sedang shalat
itu?”.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman
maksud, termasuk kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada
isterinya, “pulanglah kau ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa
maksud: dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang sementara. Bila seseorang
menggunakan ucapan tersebut kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya
itu untuk cerai, berarti ia menggunakan lafaz kinayah untuk
“cerai”.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau
suatu lafaz bukan menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu
sama dengan majaz. Tetapi di antara keduanya terdapat
perbedaan, yaitu : Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud
oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya
orang “pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa
keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai seseorang
dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda
dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya pemberani
dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah akan dinamai Abu
Suja’. Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah
tersebut, tidak ada keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang
sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafadz sharih
dalam ucapan adalah berlakunya apa yang disebut dalam lafadz itu dengan
sendirinya, tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu
pula menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai”
untuk memutuskan hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz
itu diucapkan, maka berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan
engkau”, “hai, cerai”, “kita bercerai”, atau kata lain yang
sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah adalah
bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu
diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati ; atau cara lain yang sama
artinya dengan itu.[11]
Jadi dari penjelasan di atas dapat di pahami
bahwasanya kinayah adalah lafaz atau perkataan yang memerlukan penjelasan lebih
mendalam untuk mendapatkan suatu pengertian dari sebuah perkataan atau
ungkapan. Terkadang lafaz itu di jelaskan melalui kata lain atau lafadz lain
untuk dapat memahami pengertian dari lafaz yang pertama.Kinayah berbeda
dengan majaz, jika majaz atara perkataan pertama
dengan apa yang di umpamakan sama bentuk sifatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati ‘’terang’’ ia
menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang
seterang mungkin Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan.menurut
abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah
suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak
mengandung makna lain
Adapun Contoh lafaz
yang Sharih diantaranya:
ü
Aku ceraikan kau dengan talak satu.
ü
Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
ü
Hari ini aku ceraikan kau
Kinayah adalah lafaz atau
perkataan yang memerlukan penjelasan lebih mendalam untuk mendapatkan suatu
pengertian dari sebuah perkataan atau ungkapan
Contoh kinayah sebagai berikut:
ü Kau boleh pulang ke
rumah orang tua mu.
ü Pergilah engkau dari
sini, ke mana engkau suka.
ü Kita berdua sudah
tidak ada hubungan lagi.
B.
Saran
Makalah yang telah dipaparkan diatas tadi, pemakalah berharap apa yang
dibaca baik itu penulis maupun pembaca semoga bisa menambah wawasan kita dan berguna dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000
Bakry Nazar, Fiqih
dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
Karim Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia,
2001
Syarifuddin
Amir, Ushul fiqh,jilid 2,cet 5, Jakarta:Kencana 2008
______________, Ushul Fiqih.
Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001
[4] Ibid hlm 121
[5] Syafi’i
Karim, Fiqih-Ushul
Fiqih, Cet. II, (Bandung:
Pustaka Satia, 2001,)hlm, 180.
[6] A
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul
Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet.
1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 412.
[7] Ibid., hlm. 425
[8] Sidi
Nasa Bakry, Op.cit,hlm,131
[9] Ibid.
[10] bid., hlm.
134
[11] Prof.
Dr. H.Amir Syarifudin. Ushul
Fiqih. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001),
hlm.25-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)