PENDAHULUAN
بِسْمِ الَّلهِ الرَّ حْمَنِ
الرَّحِيْمٌ
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Karena itu
setiap orang yang beriman, setiap orang islam yang mukallaf wajib
melaksanakannya. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk mematuhi perintah Allah
adalah juga untuk menjadi tangga ke tingkat takwa, karena takwalah dasar
keheningan jiwa dan keluruhan budi dan akhlak.
Untuk ini semua, perlu diketahui segala sesuatu yang
berkenaan dengan puasa, dari dasar hukum, syarat-syarat, rukun puasanya dan lain
sebagainya.
Makalah ini kami sajikan sebagai suatu sumbangan kecil kepada
para pembaca untuk maksud tersebut di atas dengan harafan ada faedahnya.
Tegur sapa, kritik dan saran dalam usaha menyempurnakan
makalah ini kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah Swt. mengiringi kita semua
dengan taufik dan hidayah-Nya. Aamiin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Beberapa perkara atau hal yang membatalkan puasa dan
pahalanya dan berlaku untuk semua puasa baik wajib seperti di bulan ramadhan maupun sunnah, oleh karenanya dalam
melaksanakan ibadah puasa perlu sikap hati-hati agar terhindar dari segala hal
atau perkara yang dapat membatalkan maupun hal yang dapat mengurangi
kesempurnaan nilai ibadah yang dijalankan sehingga bisa mendapat pahala yang
berlimpah terlebih di bulan ramadhan, bulan yang penuh rahmah dan ampunan.
Yang membatalkan puasa
1.
Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan
sengaja, seperti makan, minum, merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau
ke dalam hidung hingga melewati pangkal hidungnya. Tetapi jika karena lupa,
tiadalah yang demikian itu membatalkan puasa. Suntik di lengan, di paha, di
punggung atau lainnya yang serupa, tidak membatalkannya, karena di paha atau
punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.
2.
Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak
membatalkanny.
3.
Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan
puasa, tetapi wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan
nifas.
4.
Jima’ pada siang hari.
5.
Gila walaupun sebentar.
6.
Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
7.
Murtad, yakni keluar dari agama Islam.
Perlu diterangkan disini tentang sangsi orang yang
jima’ (bercampur) pada siang hari di bulan Ramadhan; Orang yang berjima’
(melakukan hubungan kelamin) pada siang hari bulan Ramadhan, puasanya batal.
Selain itu ia wajib membayar denda atau kifarat, sebagaimana dinyatakan oleh
Rasulullah Saw. :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا وَقَعَ بِامْرَأَتِهِ فِي
رَمَضَانَ فَاسْتَفْتَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
ذلِكَ٬ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً ؟ قَالَ: لَا. وَهَلْ تَسْتَطِيْعُ صِيَامَ
شَهْرَيْنِ ؟ قَالَ: لَا. فَأَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا. (رواه مسلم(.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya seorang laki-laki pernah bercampur dengan
istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, lalu ia minta fatwa kepada Nabi Saw. :
“Adakah engkau mempunyai budak ?. (dimerdekakan). Ia menjwab : Tidak. Nabi
berkata lagi : “Kuatkah engkau puasa dua bulan berturut-turut ?”. Ia menjawab :
Tidak. Sabda Nabi lagi : “Kalau engkau tidak berpuasa, maka berilah makan
orang-orang miskin sebanyak enam puluh orang”. (HR.Muslim).
Puasa dalam bahasa Arab (صوم
/shaum) berarti “Menahan Diri” dari makan dan minum serta dari semua perkara
yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar shidiq (subuh) sampai
terbenam matahari (maghrib).
Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa
1.
Menelan ludah sendiri
2.
Berkumur saat sedang puasa (perlu berhati-hati)
3.
Sikat Gigi tengah hari (makruh)
4.
Mencium aroma masakan
5.
Keluar darah dari luka tidak sengaja kecuali menimbulkan rasa
pusing dan lemas
6.
Muntah tidak dengan disengaja seperti sakit, mabuk perjalanan
7.
Keluar sperma tanpa sengaja seperti mimpi
8.
Pingsan jika sempat sadar disiang hari
Hal Yang Membatalkan Pahala Puasa
1.
Mengucapkan kata-kata dusta atau bohong
2.
Menggunjing (membicarakan kejelekan orang lain), adu domba
dsb
3.
Memberi kesaksian tidak benar (palsu)
4.
Mengucapkan kata-kata kotor atau keji, sumpah serapah,
ungkapan kotor akibat marah
5.
Mengucapkan kata-kata yang tidak membwa manfaat
6.
Ucapan lantang (teriakan), adu mulut dalam pertikaian
7.
Berbuat hasud (dengki) yang dapat merugikan orang lain
8.
Melihat perempuan lalu timbul nafsu
9.
Mencium perempuan bukan muhrimnya
10.
Melakukan pencurian dan sebagainya
B.
KETENTUAN-KETENTUAN BAGI ORANG YANG BATAL PUASANYA
1.
Bepergian (Safar)
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat
185 yang berbunyi :
ãöky tb$ÒtBu
üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$#
Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9
;M»oYÉit/ur z`ÏiB
3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur
4 `yJsù
yÍky ãNä3YÏB
tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù
( `tBur
tb$2 $³ÒÍsD
÷rr& 4n?tã
9xÿy ×o£Ïèsù
ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3
ßÌã ª!$#
ãNà6Î/ tó¡ãø9$#
wur ßÌã
ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
(#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$#
(#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$#
4n?tã $tB
öNä31yyd öNà6¯=yès9ur
crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
”Maka barang siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau
sedang bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dihari
lain”.
Safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang
berjarak minimal kira-kira 89 km. Safar ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama,
harus dilakukan sebelum terbitnya matahari. Jika dia telah berpuasa saat
memulai perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis Subuh), maka dia
tidak boleh membatalkan puasanya. Kendati begitu jika ternyata dia tidak mampu
menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan, maka dia boleh
berbuka dan wajib mengqadha’nya, sebagaimana hadis riwayat Jabir: “Bahwasanya
Rasulullah berangakat menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan
Kurâ’ al-Ghamîm (nama sebuah jurang di Asfân, dataran tinggi Madinah) Nabi
masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpusasa. Kemudian Rasul mendengar
laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat untuk meneruskan puasa, hanya
saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul”. Maka lantas Rasul mengajak
meminum air sehabis Asar. Anggota rombongan pada memperhatikannya, ada sebagian
yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian lain ada yang masih tetap bertahan
meneruskan puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada yang berpuasa, maka
Rasul pun bersabda: “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang
yang keras”. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang musafir boleh berbuka dalam
perjalanannya sekalipun dia sudah memulai puasanya pada hari itu.
Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun
dia baru memulai perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud
dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam perjalanan,
dan ia berkata bahwa “hal itu merupakan sunnah Rasul.”
Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah
orang yang bepergian tersebut bukan termasuk orang yang selalu bepergian
seperti sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui
masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.
Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain
lagi, yaitu:
Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. (Hanafiyah
memperbolehkan membatalkan puasa sekalipun perjalanan itu demi kemaksiatan)
Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.
Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak
berpuasa pada malam harinya.Seandainya seorang musafir telah memulai puasanya
sampai pagi hari, lantas ia hendak membatalkannya? Menurut jumhur ulama hal itu
tidak jadi soal dan dia tidak berdosa. Namun tetap wajib mengqadha’nya
sebagaimana Rasul pernah melakukan hal yang sama, seperti yang ditunjukkan
hadis di atas. Sementar ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa hal itu
tidak boleh dan ia berdosa jika melakukannya serta wajib mengqadha’nya dan
membayar kafarat.
Mana yang lebih baik bagi musafir, berpuasa atau
tidak? Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, berpuasa lebih baik
jika tidak ada sebab yang mendesak untuk membatalkan puasa.
Hanafiyah menambahkan, bila sesama rombongan musafir
pada membatalkan puasa, atau bekal mereka jadi satu, maka lebih baik
membatalkan puasanya. Namun jika keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan
puasa maka wajib hukumnya membatalkan puasa. Dalil yang melandasi pendapat
mereka adalah firman Allah: “Dan berpuasalah karena itu lebih baik bagi
kalian”.
Lain lagi dengan Hanbaliyah yang men-sunnatkan untuk
membatalkan puasa dan memakruhkan berpuasa sekalipun tidak ada masyaqqah sama
sekali, berdasar sabda Rasulullah (dalam hadis di atas) “Mereka yang tidak
membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras.” Diperkuat lagi dengan riwayat
Syaikhain Bukhari dan Muslim bahwa Rasul bersabda: “Berpuasa dalam perjalanan
bukanlah termasuk perbuatan yang baik”.
Kalaupun musafir itu memperoleh rukhsah (kemudahan)
tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan, secara implisit hal itu menunjukkan ia
juga tidak boleh berpuasa wajib selain Ramadhan. Karena diperbolehkannya ia
tidak berpuasa Ramadhan, itu sekedar kemurahan/kemudahan (rukhsah). Maka jika
ia tidak mau mengambil kesempatan rukhsah tersebut ia harus kembali pada hukum
asalnya: wajib berpuasa Ramadhan. Sehingga, jika seorang musafir atau orang
sakit melakukan puasa selain Ramadhan pada saat itu, maka puasanya batal.
Beda dengan Hanafiyah, jika yang dilakukan adalah puasa wajib
maka sah, karena jika musafir itu boleh berbuka maka dia juga berhak untuk
melakukan puasa lain yang wajib atasnya.
Jika seorang musafir atau orang sakit tidak mau
mengambil kesempatan rukhsahnya, lantas ia berpuasa dalam safarnya atau dalam
keadaan sakitnya, apakah puasanya sah? Menurut keempat madzhab Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, puasanya diangap sah. Sementara ulama
Dhahiriyah berpendapat bahwa puasanya dianggap batal.
2.
Sakit
Sakit merupakan ‘udzur, sakit yang membolehkan berbuka
adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi untuk melaksanakan
puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya, memperlambat
kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian. Maka jika seseorang
menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh
membatalkan puasanya. Dan seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir
bila puasa akan menjadi sakit menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah (berbeda
dari Syafi’iyah dan Hanbaliyah), dia dihukumi sama dengan orang sakit. Demikian
pula jika seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan
fungsi salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan
puasanya.
Ulama Hanafiyah menambahkan, dalam peperangan yang
melelahkan seseorang boleh tidak berpuasa agar bisa menghadapi musuh dengan
kondisi yang fit. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul pada ‘Aam al-Fath
(penaklukan kota makkah).
Menurut jumhur ulama orang yang sakit tidak diwajibkan
niat berbuka. Lain dengan ulama Syafi’iyah yang mewajibkan hal itu. Namun jika
orang yang sakit tersebut tetap berpuasa maka puasanya dianggap sah.Manakah
yang lebih baik bagi orang yang sakit, tetap berpuasa atau boleh berbuka?
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah mereka boleh berbuka
atau tetap berpuasa, sementara menurut Hanbaliyah sunnat bagi mereka berbuka
dan makruh berpuasa. Di pihak lain Malikiyah mengatakan ada 4 ketentuan bagi
puasanya orang sakit :
1) Jika ia tidak bisa
sama sekali berpuasa, atau puasanya akan memperparah keadaan, atau bahkan
menyebabkan kematiannya maka wajib baginya untuk berbuka.
2) Jika ia bisa
berpuasa walaupun dengan susah payah maka boleh baginya untuk berbuka.
3) Jika ia mampu
berpuasa namun masih khawatir akan kesehatannya, ada dua pendapat dalam hal
ini, antara boleh dan tidak.
4) Jika ia bisa
berpuasa tanpa khawatir sedikitpun, maka menurut jumhur ulama ia tidak boleh
berbuka.
5) Jika seseorang yang
sakit /musafir berniat puasa pada pagi harinya dan ternyata di siang hari
‘udzurnya hilang, maka dia tidak boleh berbuka, sementara jika ia tidak
berpuasa di pagi harinya maka ia boleh tetap berbuka.
6) Jika seseorang
meninggalkan puasa baik karena sakit atau ‘udzur yang lain dan dia belum
mengqadha’nya hingga datang Ramadhan lagi, menurut Syafi’iyah dia wajib
mengqadha’ dan membayar kafarah yaitu memberi makan sebanyak 1 mud untuk satu
hari puasa yang ditinggalnya kepada orang miskin. Lain halnya jika ‘udzurnya
tersebut belum berakhir hingga datang Ramadhan berikutnya, maka diwajibkan
mengqadha’ saja.
7) Dan jika ia
meninggal sebelum mengqadha’, puasanya digantikan oleh walinya. Namun jika
walinya tidak mampu juga –untuk menggantikan puasanya si mayit– maka dia (wali)
harus membayar kafarah dari harta peninggalannya (mayit). Sebagaimana dalam
riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar ia berkata : “Barang siapa meninggal dan belum
mengqadha’ Ramadhan yang ia tinggalkan maka hendaklah ia membayar kafarah.” Dan
dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Sayidah ‘Aisyah, Rasulullah bersabda:
“Barang siapa meninggal dan mempunyai tanggungan puasa, maka digantikan oleh
walinya.”
3.
Hamil dan Menyusui
Seseorang yang hamil dan menyusui boleh meninggalkan
puasa jika ia khawatir akan kesehatan diri dan bayinya. Sama saja apakah bayi
yang disusui adalah anak kandungnya atau anak susuan saja. Kekhawatiran disini
baik berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman sendiri. Ketentuan seperti ini
berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir, dan hadis Nabi:
“Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak
berpuasa, mengqashar shalat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil dan yang
menyusui.”
Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui)
mengkhawatirkan timbulnya sesuatu yang kronis –akibat puasanya– maka haram
baginya berpuasa.
Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib
mengqadha’ dan membayar fidyah?Hanafiyah: mereka wajib mengqadha’ saja tanpa
membayar fidyah.Syafi’iyah dan Hanbaliyah: wajib mengqadha’ dan membayar
fidyah, jika mereka khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka).
Malikiyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang
yang menyusui, dan hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.
4.
Lanjut Usia
Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut
usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau
lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk
mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada
orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut
Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang
sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu
orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak
diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah “..dan sekali-kali Dia
(Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj
78] Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’
tanpa membayar fidyah.
5.
Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi.
Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak
tertahankan lagi, sekiranya jika ia berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa,
maka ia boleh membatalkan puasa dan wajib mengqadha’nya. Bahkan ia wajib
membatalkan puasanya jika menduga akan menemui madharrat sehingga merusak
mekanisme (syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
ke dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]
((#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡
(#þqãZÅ¡ômr&ur ¡
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
6.
Dalam keadaan dipaksa
Mayoritas ulama (berbeda dari Syafi’iyah) berpendapat
bahwa seseorang yang dipaksa/diperkosa boleh membatalkan puasanya dan ia wajib
mengqadha’nya. Dan jika ada seorang perempuan digauli secara paksa atau dalam
keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib mengqadha’nya puasanya.
7.
Pekerja Berat
Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia
mengkhawatirkan kondisinya karena pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia
boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha’nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan
bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak
mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha’
nya. Sebagaimana firman Allah “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena
sesungguhnya Allah Maha Peenyayang kepadamu.” [Surat Annisa 29]
$ygr'¯»t úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä w
(#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB
`tã <Ú#ts?
öNä3ZÏiB 4
wur (#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr& 4
¨bÎ) ©!$#
tb%x. öNä3Î/
$VJÏmu ÇËÒÈ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
8.
Penyelamat Seseorang Yang Tenggelam
Ulama Hanbali mengatakan bahwa ia boleh berbuka dan
tidak wajib membayar fidyah jika tidak mampu menahan masuknya air, jika ia
mampu menahannya maka ia tidak diperbolehkan berbuka.
C.
ORANG–ORANG YANG DISPENSASI UNTUK TIDAK BERPUASA
1. Anak kecil
Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3
tanda yaitu :
a) Keluar mani (bagi
anak laki-laki) pada usia
9 tahun hijriah.
b) Keluar darah
haid usia 9
tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c) Jika tidak
keluar mani dan
tidak haid maka di
tunggu hingga umur 15
tahun. Dan jika
sudah genap 15 tahun
maka ia telah
baligh dengan usia yaitu usia 15
tahun.
2. Gila
Orang gila tidak wajib
berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka
puasanya pun tidak sah.
Namun dalam hal
ini ulama membagi ada
dua macam orang gila yaitu :
a.
Orang gila yang
disengaja jika berpuasa maka
puasanya tidak sah dan wajib mengqodho’. Sebab sebenarnya ia
wajib berpuasa kemudian ia telah dengan sengaja membuat
dirinya gila maka
karena kesengajaan inilah ia
wajib mengqodho’ puasanya setelah sehat akalnya.
b.
Orang gila yang
tidak disengaja, tidak wajib
berpuasa bahkan seandainya
berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia
tidak berkewajiban mengqodho’ karena gilanya bukan disengaja.
3. Sakit
Orang
sakit boleh meninggalkan
puasa. Akan tetapi di
sini ada ketentuan
bagi orang sakit tersebut yaitu: Yaitu
Sakit parah yang
memberatkan untuk berpuasa yang
berakibat semakin parahnya penyakit
atau lambat kesembuhannya. Dan
yang bisa menentukan ini adalah:
Catatan:
Dalam hal ini
tidak terbatas kepada orang
sakit saja akan
tetapi siapapun yang lagi
berpuasa lalu menemukan dirinya lemah
dan tidak mampu
untuk berpuasa dengan kondisi
yang membahayakan terhadap dirinya
maka saat itu pun
dia boleh membatalkan puasanya. Akan
tetapi ia hanya
boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib menahan
diri dari makan
dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Akan tetapi
khusus orang seperti
ini (bukan orang sakit).
Sebagaimana firman Allah Dalam Surah Al-Baqarah 185:
Artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
4. Orang tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa
diperkenankan untuk meninggalkan
puasa.
5. Bepergian (musafir)
Semua
orang yang bepergian
boleh meninggalkan puasa dengan
ketentuan sebagai berikut ini :
a.
Tempat yang dituju
dari tempat tinggalnya tidak
kurang dari 84 km.
b.
Di pagi (saat
subuh) hari yang
ia ingin tidak berpuasa
ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari
wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan) Misal seseorang
tinggal di Cirebon ingin
pergi ke Semarang.
Antara Cirebon semarang adalah
200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan
cirebon jam 2
malam (sabtu dini
hari). Subuh hari itu
adalah jam 4
pagi. Pada jam 4 pagi (saat subuh)
ia sudah keluar dari Cirebon dan
masuk Brebes. Maka di pagi hari sabtunya ia sudah boleh
meninggalkan puasa.
Catatan:
Seseorang
dalam bepergian akan
di hukumi mukim (bukan
musafir lagi) jika ia niat
tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.
Misal orang yang
pergi ke semarang tersebut
dalam contoh saat
di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di
semarang juga tetap
boleh berbuka asalkan ia
tidak bermaksud tinggal di
semarang lebih dari 4 hari. Dan
jika ia berniat
tinggal di Semarang lebih
dari 4 hari
maka semenjak ia sampai
semarang ia sudah disebut
mukim dan tidak boleh
meninggalkan puasa dan
juga tidak boleh mengqosor
sholat. Untuk di hukumi mukim tidak harus menunggu 4
hari seperti kesalah
pahaman yang terjadi pada
sebagian orang akan
tetapi kapan ia sampai
tempat tujuan yang
ia niat akan tinggal
lebih dari 4
hari ia sudah di sebut mukim.
6. Hamil
Orang hamil
yang khawatir akan kondisi :Dirinya, atauJanin (bayinya)
7. Menyusui
Orang
menyusui yang khawatir
akan kondisi :Dirinya atauKondisi
bayi yang masih
di bawah umur 2 tahun hijriyah. Bayi di
sini tidak harus
bayinya sendiri akan tetapi bisa
juga bayi orang lain.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ
وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan
puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui
8. Haid
Wanita
yang lagi haid
tidak wajib berpuasa bahkan jika
berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
9. Nifas
Wanita
yang lagi nifas
tidak wajib berpuasa bahkan jika
berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.Siapa yang
wajib mengqodho atau membayar
fidyah dari orang yang
boleh meninggalkan puasa?
1.
Anak kecil
Anak kecil jika
sudah baligh maka
ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah
atas puasa yang ditinggalkannya.
2.
Orang Gila
Gila yang disengaja
wajib meng-qodho’ saja
dan tidak wajib
membayar fidyah. Gila yang tidak
disengaja tidak wajib mengqodho
dan tidak wajib membayar fidyah.
3.
Orang sakit
a.
Sakit yang masih
ada harapan sembuh wajib mengqodho’ jika sembuh, dan
tidak wajib membayar fidyah.
b.
Sakit yang menurut
keterangan dokter sudah tidak
ada harapan sembuh maka
ia tidak wajib
meng-qodho’ akan tetapi
hanya wajib membayar fidyah
setiap hari yang ia tinggalkan
dengan 1 mud
atu 6,7 ons diberikan
kepada fakir miskin dengan makanan Seperti beras.
4.
Orang tua
Orang tua
disamakan dengan orang sakit
yang tidak diharapkan
kesembuhannya. Karena orang
tua tidak akan kembali
muda. Maka baginya
tidak wajib mengqodho’ dan
hanya wajib membayar fidyah
1 mud atau
6,7 ons diberikan kepada fakir miskin.
5.
Orang Musafir
Orang yang
bepergian hanya wajib mengqodho saja
dan tidak wajib
membayar fidyah.
D.
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG
DALAM IBADAH PUASA
M. Shofa Abdillah 1:06 pm
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب
على الذين من قبلكم لعلكم تتقو
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa". (QS. Al-Baqarah: 183)
Kata Shaum merupakan bentuk masdar dari kata
shama yang dikontruksi dari tiga huruf: shad, alif, mim. Seluruh derivasi
tersebut memiliki makna menahan diri, berhenti dan tidak bergerak baik dalam
bentuk kegiatan fisikk maupun non fisik serta baik dilakukan oleh manusia
maupun makhluk lainnya, seperti binatang atau kendaraan. Karena itu motor yang
mogok baik karena bensinnya habis atau karena mesinnya rusak disebut motor yang
berpuasa (al-darajah al-sha’imah) atau anak kecil yang mogok makan karena
makanannya tidak enak disebut anak yang berpuasa.
Dalam bahasa fiqih, puasa didefinisikan dengan
menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum,
bersenggama dan lainnyadari mulai terbit fajar sidiq sampai terbenamnya
matahari. Memberhentikan rutinitas makan, minum dan apapun yang halal pada
siang hari adalah praktek minimal dari puasa.
Dalam dunia sufi, puasa ternyata bukan hanya
dibatasi pada rutinitas lahiriah, seperti tersebut diatas, tapi juga aktifitas
batiniah yaitu upaya menahan diri dari menahan nafsu yang negatif. Karena itu,
orang yang bisa menahan marah –misalnya– disebut orang yang berpuasa. Dan
tampaknya, makna terakhir inilah yang pengertian puasa yang subtantif yang akan
memberi implikasi pada transformasi sosial. Dan pengertian ini sesuai dengan
sabda Nabi yang berbunyi; “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan palsu
atau kotor, maka Allah tidak peduli bahwa orang itu tidak makan dan tidak minum
(dalam arti puasa)”. [HR. Muslim] dan “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak
mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga saja”.
Karena itu, dalam bahasa modern, puasa
merupakan salah satu ekspresi dari orang yang bukan hanya cerdas secara
spiritual, tetapi juga secara emosional. Hal ini karena puasa akan membentuk
kepribadian pelakunya dan membingkainya dalam perilaku positif seperti sabar,
empatik terhadap sesama, memiliki social skill dan lain-lain.
Puasa merupakan syariat semua Rasul sejak Adam
hingga Muhammad, hal ini karena puasa merupakan simpul penghubung kesinambungan
ajaran universal Allah, tapi juga karena puasa mengandung visi kesuksesan yang
selalu diemban oleh para Nabi. Karenanya puasa bukan hanya dimiliki dan menjadi
tradisi agama-agama tetapi juga menjadi fenomana kemanusiaan universal
sepanjang sejarah. Hal ini seperti yang tersirat dalam penngunaan kalimat pasif
dalam ayat (kutiba) dengan tanpa disertai penjelasan mengenai siapa yang
diwajibkan. Sebab kalaupun Allah tidak mewajibkan puasa, panyak perilaku dan
peristiwa yang mendorong manusia untuk berpuasa tanpa motivasi agama, misalnya
agar lebih canti, langsing, sehat dan lainnya. Hal ini diperkuat deng makna
esensial puasa yaitu ‘pengendalian diri’ yang diperlukan oleh semua manusia
baik secar individu maupun kelompok, baik untuk kepentingan pribadi maupun
kepentingan bersama.
Ibadah puasa tidak sebagaimana ibadah lainnya seperti
shalat, zakat dan haji yang lebih berdimensi lahiriah dan bersifat terbuka.
Puasa lebih berdimensi personal dan batin, karena itu pada dasarnya tidak ada
yang tahu bahwa seseorang itu berpuasa kecuali Allah dan pelakunya. Dalam
hadits qudsi disebutkan bahwa: “puasa adalah untukku dan Akulah yang menanggung
pahalanya” dan hadits yang menjelaskan agar orang yang sedang berpuasa
memberitahu kepada orang lain ketika ia dimarahi dengan mengatakan: “inni
shaimun”. Dengan posisinya yang demikian itu, puasa dapat menjadi pilar atau
basis pembentukan mental yang strategis bagi pelakunya sehingga menjadi orang
yang berkarakter baik sebagaimana fitrahnya yaitu jujur dengan tanpa kontrol
dari orang lain. Karena itu, puasa sering diidentikkan sebagai sebuah gerakan
yang mengarah pada back to basic yang berujung pada ‘id al-fithri (kembali ke
fitrah) dan syawwal yang berarti menaiki grafik standar kebaikannya. Puasa yang
tidak berujung pada hal itu, patut diragukan keberhasilannya.
Puasa yang mengantakan pada ‘kembali ke asal’
memerlukan proses latihan atau pendidikan secara terus menerus, teratur,
mengikuti prosedur tertentu sehingga pusanya memiliki nilai transformatif.
Karena itu jangkawaktu pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan didesain selama satu
bulan agarmenimbulkan efek positif dan mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu
taqwa.Allah memastikan seseorang akan mencapai derajat taqwa dengan syarat
iabenar-benar menjalankan puasa sesuai ketentuan (prosedural). Prosedurtersebut
dalam hadis Rasululah saw disebut dengan Imanan (dilakukandengan penuh
kesadaran, taat, ikhlas karena Allah swt) dan ihtisaban(memelihara puasa dari
hal yang membatalkan dan merusak pahalanya).
Taqwa adalah kondisi jiwa seseorang yang penuh
dengan kesadaranakan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi dalam segenap
aktifitasnya,dimana saja dan kapan saja, sehingga mendorong dirinya untuk
selalu patuhdan taat mengerjakan segala perintah dan menjauhi laranganNya.
Taqwa berasal dari dalam diri, karena itu ia sangat bersifat pribadi. Jadi
hanya yangbersangkutanlah yang dapat mengukur kadar taqwa dirinya.
Puasa menjadi sarana efektif penanaman
sekaligus pengaplikasiannilai-nilai pendidikan Islam. Beberpa nilai-nilai
pendidikan penting yang bisadigali dari pelaksanaan ibadah puasa diantaranya:
pertama, puasa mengajarikita untuk senantiasa menahan dan mengendalikan diri.
Karakter ini sangatdibutuhkan bukan hanya untuk pejabat, tetapi juga untuk
rakyat, pelajar, guru,pegawai, pengusaha, dan sebagainya. Jika karakter ini
sudah tertanam dantumbuh subur dalam setiap pribadi bangsa, setidaknya akan
meminimalkanpraktek korupsi, kolusi, nepotisme, suap, dan praktek-praktek
tercela lainnya.
Kedua, ketika berpuasa kita juga dilatih dan
ditempa untuk sabar,peduli akan sesama, rajin dalam beribadah dan
aktivitas-aktivitas positiflainnya, disiplin dan peneladanan sifat-sifat Tuhan
kepada diri manusia.Karakter sabar, disiplin, rajin dan peduli ini, sangat
penting perannya gunamembawa bangsa bangkit dari krisis berkepanjangan. Sikap
sabar dan tabahjuga akan menempa setiap pribadi bangsa untuk berlapang dada
ketika segenapusaha yang dilakukan, belum menemukan titik keberhasilan.
Ketiga, puasa mengajari kita untuk memiliki
kepekaan (sense ofresponsibility) sensibilitas dan tanggung jawab sosial maupun
pribadi.Salahsatu hikmah puasa, adalah penanaman solidaritas sosial dengan
anjuran berbuatbaik sebanyak-banyaknya, terutama dalam bentuk tindakan menolong
beban kaum fakir miskin. Jika hal ini bisa terus berjalan pada waktu lain di
luar bulanpuasa, maka akan menjadi karakter bangsa yang patut disyukuri.Tafsir
yang lebih luas, solidaritas sosial yang terpancar dalam dirisetiap pribadi
muslim, menjadi bukti menyatunya keimanan dan amal saleh (perbuatan kebajikan).
Dengan kata lain, puasa yang mulanya merupakanimplementasi dari rukun agama
semata, kemudian menjadi sebuah laku sosialyang sangat konstruktif. Karakter
utama inilah yang diharapkan mampumenempa setiap pribadi bangsa sehingga
menjadi pendulum perubahan danperbaikan.
Keempat, melalui puasa sebulan penuh kita dan
umat islam padaumumnya akan dilatih, digembleng mempererat dan
memperkokohpersaudaraan, senasip-sepenanggungan, mencintai dan menyayangi
keluarga,memakmurkan tempat-tempat ibadah dan sebagainya.
Puasa juga mengajarkan kita agar bersikap
optimis dan susah dahulu. Hal ini karena puasa mengajarkan pelakunya untuk rela
menderita sementara waktu demi meraih keberhasilan ke depan. Puasa adalah
sebuah dorongan untuk latihan produktif, sebab orang yang berpuasa menjadi
terhindar dari jeratan hal-hal yang sifatnya temporer, dan instan (captive of
here and now). Puasa kemudian berimplikasi pada efisiensi dan pengurangan sikap
komsumtif-permissif. Sehingga ketika bulan Ramadhan tidak produktif dan boros
–misalnya– maka kita perlu mempertanyakan puasa kita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang membatalkan puasa
1.
Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja
2.
Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak
membatalkanny.
3.
Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan
puasa, tetapi wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan
nifas.
4.
Jima’ pada siang hari.
5.
Gila walaupun sebentar.
6.
Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
7.
Murtad, yakni keluar dari agama Islam.
B.
Saran
Pemakalah sadar bahwa
dalam pengambilan sub bahasan dalam makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga dalam penyusunan berikutnya dapat dilengkapi dengan materi-materi
tambahan sebab keterbatasan referensi yang penulis miliki. Pemakalah juga
menyarankan nantinya agar menambahkan perbedaan dari keduannya secara filosofi
maksudnya adalah mana yang lebih reel antara individu dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Muhammad Ayyub, 1976, As-Saum Fi Al Islam, Al-
Matba`ah Al-Asriyah; Kuwait.
Sayid Sabia, 1992, Fiqh As-Sunnah, Jilid I dan
Al-Fikr; Bairut.
Anton M Moeliono, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka; Jakarta.
Abdul Aziz Dahlan et, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam,
Enam Jilid, Ichtiar Baru Van Hoeven; Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)