Selasa, 19 April 2016

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA



PENDAHULUAN
بِسْمِ الَّلهِ الرَّ حْمَنِ الرَّحِيْمٌ
Puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Karena itu setiap orang yang beriman, setiap orang islam yang mukallaf wajib melaksanakannya. Melaksanakan ibadah puasa ini selain untuk mematuhi perintah Allah adalah juga untuk menjadi tangga ke tingkat takwa, karena takwalah dasar keheningan jiwa dan keluruhan budi dan akhlak.
Untuk ini semua, perlu diketahui segala sesuatu yang berkenaan dengan puasa, dari dasar hukum, syarat-syarat, rukun puasanya dan lain sebagainya.
Makalah ini kami sajikan sebagai suatu sumbangan kecil kepada para pembaca untuk maksud tersebut di atas dengan harafan ada faedahnya.
Tegur sapa, kritik dan saran dalam usaha menyempurnakan makalah ini kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah Swt. mengiringi kita semua dengan taufik dan hidayah-Nya. Aamiin.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Beberapa perkara atau hal yang membatalkan puasa dan pahalanya dan berlaku untuk semua puasa baik wajib seperti di bulan ramadhan  maupun sunnah, oleh karenanya dalam melaksanakan ibadah puasa perlu sikap hati-hati agar terhindar dari segala hal atau perkara yang dapat membatalkan maupun hal yang dapat mengurangi kesempurnaan nilai ibadah yang dijalankan sehingga bisa mendapat pahala yang berlimpah terlebih di bulan ramadhan, bulan yang penuh rahmah dan ampunan.
Yang membatalkan puasa
1.      Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja, seperti makan, minum, merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau ke dalam hidung hingga melewati pangkal hidungnya. Tetapi jika karena lupa, tiadalah yang demikian itu membatalkan puasa. Suntik di lengan, di paha, di punggung atau lainnya yang serupa, tidak membatalkannya, karena di paha atau punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.
2.      Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkanny.
3.      Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.
4.      Jima’ pada siang hari.
5.      Gila walaupun sebentar.
6.      Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
7.      Murtad, yakni keluar dari agama Islam.
Perlu diterangkan disini tentang sangsi orang yang jima’ (bercampur) pada siang hari di bulan Ramadhan; Orang yang berjima’ (melakukan hubungan kelamin) pada siang hari bulan Ramadhan, puasanya batal. Selain itu ia wajib membayar denda atau kifarat, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Saw. :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا وَقَعَ بِامْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ فَاسْتَفْتَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذلِكَ٬ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً ؟ قَالَ: لَا. وَهَلْ تَسْتَطِيْعُ صِيَامَ شَهْرَيْنِ ؟ قَالَ: لَا. فَأَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا. (رواه مسلم(.
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya seorang laki-laki pernah bercampur dengan istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, lalu ia minta fatwa kepada Nabi Saw. : “Adakah engkau mempunyai budak ?. (dimerdekakan). Ia menjwab : Tidak. Nabi berkata lagi : “Kuatkah engkau puasa dua bulan berturut-turut ?”. Ia menjawab : Tidak. Sabda Nabi lagi : “Kalau engkau tidak berpuasa, maka berilah makan orang-orang miskin sebanyak enam puluh orang”. (HR.Muslim).

Puasa dalam bahasa Arab  (صوم /shaum) berarti “Menahan Diri” dari makan dan minum serta dari semua perkara yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar shidiq (subuh) sampai terbenam matahari (maghrib).
Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa
1.      Menelan ludah sendiri
2.      Berkumur saat sedang puasa (perlu berhati-hati)
3.      Sikat Gigi tengah hari (makruh)
4.      Mencium aroma masakan
5.      Keluar darah dari luka tidak sengaja kecuali menimbulkan rasa pusing dan lemas
6.      Muntah tidak dengan disengaja seperti sakit, mabuk perjalanan
7.      Keluar sperma tanpa sengaja seperti mimpi
8.      Pingsan jika sempat sadar disiang hari
Hal Yang Membatalkan Pahala Puasa
1.      Mengucapkan kata-kata dusta atau bohong
2.      Menggunjing (membicarakan kejelekan orang lain), adu domba dsb
3.      Memberi kesaksian tidak benar (palsu)
4.      Mengucapkan kata-kata kotor atau keji, sumpah serapah, ungkapan kotor akibat marah
5.      Mengucapkan kata-kata yang tidak membwa manfaat
6.      Ucapan lantang (teriakan), adu mulut dalam pertikaian
7.      Berbuat hasud (dengki) yang dapat merugikan orang lain
8.      Melihat perempuan lalu timbul nafsu
9.      Mencium perempuan bukan muhrimnya
10.  Melakukan pencurian dan sebagainya

B.     KETENTUAN-KETENTUAN BAGI ORANG YANG BATAL PUASANYA
1.      Bepergian (Safar)
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi :
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ  


”Maka barang siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian maka dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dihari lain”.

Safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal kira-kira 89 km. Safar ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama, harus dilakukan sebelum terbitnya matahari. Jika dia telah berpuasa saat memulai perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis Subuh), maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Kendati begitu jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqadha’nya, sebagaimana hadis riwayat Jabir: “Bahwasanya Rasulullah berangakat menuju Makkah pada ‘Aam al-Fath. Sampai masuk kawasan Kurâ’ al-Ghamîm (nama sebuah jurang di Asfân, dataran tinggi Madinah) Nabi masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpusasa. Kemudian Rasul mendengar laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat untuk meneruskan puasa, hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul”. Maka lantas Rasul mengajak meminum air sehabis Asar. Anggota rombongan pada memperhatikannya, ada sebagian yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian lain ada yang masih tetap bertahan meneruskan puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada yang berpuasa, maka Rasul pun bersabda: “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras”. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang musafir boleh berbuka dalam perjalanannya sekalipun dia sudah memulai puasanya pada hari itu.
Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru memulai perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud dari Abu Bashrah Al-Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam perjalanan, dan ia berkata bahwa “hal itu merupakan sunnah Rasul.”
Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang bepergian tersebut bukan termasuk orang yang selalu bepergian seperti sopir. Dia tidak boleh berbuka kecuali jika dia betul-betul menemui masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.
Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu:
Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. (Hanafiyah memperbolehkan membatalkan puasa sekalipun perjalanan itu demi kemaksiatan)
Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.
Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak berpuasa pada malam harinya.Seandainya seorang musafir telah memulai puasanya sampai pagi hari, lantas ia hendak membatalkannya? Menurut jumhur ulama hal itu tidak jadi soal dan dia tidak berdosa. Namun tetap wajib mengqadha’nya sebagaimana Rasul pernah melakukan hal yang sama, seperti yang ditunjukkan hadis di atas. Sementar ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa hal itu tidak boleh dan ia berdosa jika melakukannya serta wajib mengqadha’nya dan membayar kafarat.
Mana yang lebih baik bagi musafir, berpuasa atau tidak? Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, berpuasa lebih baik jika tidak ada sebab yang mendesak untuk membatalkan puasa.
Hanafiyah menambahkan, bila sesama rombongan musafir pada membatalkan puasa, atau bekal mereka jadi satu, maka lebih baik membatalkan puasanya. Namun jika keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan puasa maka wajib hukumnya membatalkan puasa. Dalil yang melandasi pendapat mereka adalah firman Allah: “Dan berpuasalah karena itu lebih baik bagi kalian”.
Lain lagi dengan Hanbaliyah yang men-sunnatkan untuk membatalkan puasa dan memakruhkan berpuasa sekalipun tidak ada masyaqqah sama sekali, berdasar sabda Rasulullah (dalam hadis di atas) “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang yang keras.” Diperkuat lagi dengan riwayat Syaikhain Bukhari dan Muslim bahwa Rasul bersabda: “Berpuasa dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan yang baik”.
Kalaupun musafir itu memperoleh rukhsah (kemudahan) tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan, secara implisit hal itu menunjukkan ia juga tidak boleh berpuasa wajib selain Ramadhan. Karena diperbolehkannya ia tidak berpuasa Ramadhan, itu sekedar kemurahan/kemudahan (rukhsah). Maka jika ia tidak mau mengambil kesempatan rukhsah tersebut ia harus kembali pada hukum asalnya: wajib berpuasa Ramadhan. Sehingga, jika seorang musafir atau orang sakit melakukan puasa selain Ramadhan pada saat itu, maka puasanya batal.

Beda dengan Hanafiyah, jika yang dilakukan adalah puasa wajib maka sah, karena jika musafir itu boleh berbuka maka dia juga berhak untuk melakukan puasa lain yang wajib atasnya.
Jika seorang musafir atau orang sakit tidak mau mengambil kesempatan rukhsahnya, lantas ia berpuasa dalam safarnya atau dalam keadaan sakitnya, apakah puasanya sah? Menurut keempat madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, puasanya diangap sah. Sementara ulama Dhahiriyah berpendapat bahwa puasanya dianggap batal.
2.      Sakit
Sakit merupakan ‘udzur, sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian. Maka jika seseorang menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh membatalkan puasanya. Dan seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila puasa akan menjadi sakit menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah (berbeda dari Syafi’iyah dan Hanbaliyah), dia dihukumi sama dengan orang sakit. Demikian pula jika seseorang mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi salah satu panca inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan puasanya.
Ulama Hanafiyah menambahkan, dalam peperangan yang melelahkan seseorang boleh tidak berpuasa agar bisa menghadapi musuh dengan kondisi yang fit. Sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul pada ‘Aam al-Fath (penaklukan kota makkah).
Menurut jumhur ulama orang yang sakit tidak diwajibkan niat berbuka. Lain dengan ulama Syafi’iyah yang mewajibkan hal itu. Namun jika orang yang sakit tersebut tetap berpuasa maka puasanya dianggap sah.Manakah yang lebih baik bagi orang yang sakit, tetap berpuasa atau boleh berbuka?
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah mereka boleh berbuka atau tetap berpuasa, sementara menurut Hanbaliyah sunnat bagi mereka berbuka dan makruh berpuasa. Di pihak lain Malikiyah mengatakan ada 4 ketentuan bagi puasanya orang sakit :
1)      Jika ia tidak bisa sama sekali berpuasa, atau puasanya akan memperparah keadaan, atau bahkan menyebabkan kematiannya maka wajib baginya untuk berbuka.
2)      Jika ia bisa berpuasa walaupun dengan susah payah maka boleh baginya untuk berbuka.
3)      Jika ia mampu berpuasa namun masih khawatir akan kesehatannya, ada dua pendapat dalam hal ini, antara boleh dan tidak.
4)      Jika ia bisa berpuasa tanpa khawatir sedikitpun, maka menurut jumhur ulama ia tidak boleh berbuka.
5)      Jika seseorang yang sakit /musafir berniat puasa pada pagi harinya dan ternyata di siang hari ‘udzurnya hilang, maka dia tidak boleh berbuka, sementara jika ia tidak berpuasa di pagi harinya maka ia boleh tetap berbuka.
6)      Jika seseorang meninggalkan puasa baik karena sakit atau ‘udzur yang lain dan dia belum mengqadha’nya hingga datang Ramadhan lagi, menurut Syafi’iyah dia wajib mengqadha’ dan membayar kafarah yaitu memberi makan sebanyak 1 mud untuk satu hari puasa yang ditinggalnya kepada orang miskin. Lain halnya jika ‘udzurnya tersebut belum berakhir hingga datang Ramadhan berikutnya, maka diwajibkan mengqadha’ saja.
7)      Dan jika ia meninggal sebelum mengqadha’, puasanya digantikan oleh walinya. Namun jika walinya tidak mampu juga –untuk menggantikan puasanya si mayit– maka dia (wali) harus membayar kafarah dari harta peninggalannya (mayit). Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar ia berkata : “Barang siapa meninggal dan belum mengqadha’ Ramadhan yang ia tinggalkan maka hendaklah ia membayar kafarah.” Dan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Sayidah ‘Aisyah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa meninggal dan mempunyai tanggungan puasa, maka digantikan oleh walinya.”

3.      Hamil dan Menyusui
Seseorang yang hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika ia khawatir akan kesehatan diri dan bayinya. Sama saja apakah bayi yang disusui adalah anak kandungnya atau anak susuan saja. Kekhawatiran disini baik berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman sendiri. Ketentuan seperti ini berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir, dan hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa, mengqashar shalat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil dan yang menyusui.”
Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui) mengkhawatirkan timbulnya sesuatu yang kronis –akibat puasanya– maka haram baginya berpuasa.
Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar fidyah?Hanafiyah: mereka wajib mengqadha’ saja tanpa membayar fidyah.Syafi’iyah dan Hanbaliyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, jika mereka khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka).
Malikiyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang menyusui, dan hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.
4.       Lanjut Usia
Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah “..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78] Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.
5.      Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi.
Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi, sekiranya jika ia berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh membatalkan puasa dan wajib mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan puasanya jika menduga akan menemui madharrat sehingga merusak mekanisme (syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]
((#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  




6.      Dalam keadaan dipaksa
Mayoritas ulama (berbeda dari Syafi’iyah) berpendapat bahwa seseorang yang dipaksa/diperkosa boleh membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadha’nya. Dan jika ada seorang perempuan digauli secara paksa atau dalam keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib mengqadha’nya puasanya.
7.      Pekerja Berat
Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha’nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha’ nya. Sebagaimana firman Allah “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha Peenyayang kepadamu.” [Surat Annisa 29]
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
8.      Penyelamat Seseorang Yang Tenggelam
Ulama Hanbali mengatakan bahwa ia boleh berbuka dan tidak wajib membayar fidyah jika tidak mampu menahan masuknya air, jika ia mampu menahannya maka ia tidak diperbolehkan berbuka.
C.    ORANG–ORANG YANG DISPENSASI UNTUK TIDAK BERPUASA
1.      Anak kecil
Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3 tanda yaitu :
a)      Keluar mani (bagi anak laki-laki)  pada    usia  9  tahun hijriah.
b)      Keluar  darah  haid  usia  9  tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c)      Jika  tidak  keluar  mani  dan  tidak haid  maka  di  tunggu  hingga  umur 15  tahun.  Dan  jika  sudah  genap  15 tahun  maka  ia  telah  baligh  dengan usia yaitu usia 15 tahun.
2.      Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa bahkan seandainya  berpuasa  maka  puasanya pun  tidak  sah.  Namun  dalam  hal  ini ulama  membagi  ada  dua  macam  orang gila yaitu :
a.       Orang  gila  yang  disengaja  jika berpuasa  maka  puasanya  tidak  sah dan wajib mengqodho’. Sebab sebenarnya  ia  wajib  berpuasa  kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya  gila  maka  karena  kesengajaan inilah  ia  wajib  mengqodho’  puasanya setelah sehat akalnya.
b.      Orang  gila  yang  tidak  disengaja, tidak  wajib  berpuasa  bahkan  seandainya  berpuasa  maka  puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqodho’ karena gilanya bukan disengaja.
3.      Sakit

Orang  sakit  boleh  meninggalkan  puasa. Akan  tetapi  di  sini  ada  ketentuan  bagi orang sakit tersebut yaitu: Yaitu  Sakit  parah  yang  memberatkan untuk  berpuasa  yang  berakibat  semakin parahnya  penyakit  atau  lambat  kesembuhannya.  Dan  yang  bisa  menentukan ini adalah:
Catatan:
Dalam  hal  ini  tidak  terbatas  kepada orang  sakit  saja  akan  tetapi  siapapun yang  lagi  berpuasa  lalu  menemukan dirinya  lemah  dan  tidak  mampu  untuk berpuasa  dengan  kondisi  yang membahayakan  terhadap  dirinya  maka saat  itu  pun  dia  boleh  membatalkan puasanya.  Akan  tetapi  ia  hanya  boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib  menahan  diri  dari  makan  dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Akan  tetapi  khusus  orang  seperti  ini (bukan orang sakit).

Sebagaimana firman Allah Dalam Surah Al-Baqarah 185:
Artinya:  (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
4.      Orang tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan  puasa  diperkenankan  untuk meninggalkan puasa.
5.      Bepergian (musafir)
Semua  orang  yang  bepergian  boleh meninggalkan  puasa  dengan  ketentuan sebagai berikut ini :
a.       Tempat  yang  dituju  dari  tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
b.      Di  pagi  (saat  subuh)  hari  yang  ia ingin  tidak  berpuasa  ia  harus  sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan) Misal  seseorang  tinggal  di  Cirebon ingin  pergi  ke  Semarang.  Antara  Cirebon  semarang    adalah  200  km  (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan cirebon  jam  2  malam  (sabtu  dini  hari). Subuh  hari  itu  adalah  jam  4  pagi.  Pada jam 4 pagi  (saat subuh)  ia sudah keluar dari  Cirebon  dan  masuk  Brebes.  Maka di pagi hari sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Catatan:
Seseorang  dalam  bepergian  akan  di hukumi  mukim  (bukan  musafir  lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari  4  hari.  Misal  orang  yang  pergi  ke semarang  tersebut  dalam  contoh  saat  di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai  di  semarang  juga  tetap  boleh berbuka  asalkan  ia  tidak  bermaksud tinggal di semarang lebih dari 4 hari. Dan  jika  ia  berniat  tinggal  di Semarang  lebih  dari  4  hari  maka semenjak  ia  sampai  semarang  ia  sudah disebut  mukim  dan  tidak  boleh meninggalkan  puasa  dan  juga  tidak boleh  mengqosor  sholat.  Untuk  di hukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari  seperti  kesalah  pahaman  yang terjadi  pada  sebagian  orang  akan  tetapi kapan  ia  sampai  tempat  tujuan  yang  ia niat  akan  tinggal  lebih  dari  4  hari  ia sudah di sebut mukim.
6.      Hamil
Orang  hamil  yang  khawatir  akan kondisi :Dirinya, atauJanin (bayinya)
7.      Menyusui
Orang  menyusui  yang  khawatir  akan kondisi :Dirinya atauKondisi  bayi  yang  masih  di  bawah umur  2 tahun hijriyah. Bayi  di  sini  tidak  harus  bayinya  sendiri akan tetapi bisa juga bayi orang lain.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui
8.      Haid
Wanita  yang  lagi  haid  tidak  wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
9.      Nifas
Wanita  yang  lagi  nifas  tidak  wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.Siapa  yang  wajib  mengqodho  atau membayar  fidyah  dari  orang  yang  boleh meninggalkan puasa?

1.      Anak kecil
Anak  kecil  jika  sudah  baligh  maka  ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar  fidyah  atas  puasa  yang ditinggalkannya.
2.      Orang Gila
Gila  yang  disengaja  wajib  meng-qodho’  saja    dan  tidak  wajib  membayar fidyah. Gila  yang  tidak  disengaja  tidak wajib  mengqodho  dan  tidak  wajib membayar fidyah.
3.      Orang  sakit
a.       Sakit  yang  masih  ada  harapan  sembuh wajib mengqodho’ jika sembuh, dan tidak wajib membayar fidyah.
b.      Sakit  yang  menurut  keterangan dokter  sudah  tidak  ada  harapan sembuh  maka  ia  tidak  wajib  meng-qodho’  akan  tetapi  hanya  wajib membayar fidyah setiap hari yang ia tinggalkan  dengan  1  mud  atu  6,7 ons  diberikan  kepada  fakir  miskin dengan makanan Seperti beras.
4.      Orang tua
Orang  tua  disamakan  dengan  orang sakit  yang  tidak  diharapkan  kesembuhannya.  Karena  orang  tua  tidak  akan kembali  muda.  Maka  baginya  tidak wajib  mengqodho’  dan  hanya  wajib membayar  fidyah  1  mud  atau  6,7  ons  diberikan kepada fakir miskin.

5.      Orang Musafir
Orang  yang  bepergian  hanya  wajib mengqodho  saja  dan  tidak  wajib  membayar fidyah.
D.    NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG  DALAM IBADAH PUASA
 M. Shofa Abdillah  1:06 pm
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقو
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah: 183)
Kata Shaum merupakan bentuk masdar dari kata shama yang dikontruksi dari tiga huruf: shad, alif, mim. Seluruh derivasi tersebut memiliki makna menahan diri, berhenti dan tidak bergerak baik dalam bentuk kegiatan fisikk maupun non fisik serta baik dilakukan oleh manusia maupun makhluk lainnya, seperti binatang atau kendaraan. Karena itu motor yang mogok baik karena bensinnya habis atau karena mesinnya rusak disebut motor yang berpuasa (al-darajah al-sha’imah) atau anak kecil yang mogok makan karena makanannya tidak enak disebut anak yang berpuasa.
Dalam bahasa fiqih, puasa didefinisikan dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, bersenggama dan lainnyadari mulai terbit fajar sidiq sampai terbenamnya matahari. Memberhentikan rutinitas makan, minum dan apapun yang halal pada siang hari adalah praktek minimal dari puasa.
Dalam dunia sufi, puasa ternyata bukan hanya dibatasi pada rutinitas lahiriah, seperti tersebut diatas, tapi juga aktifitas batiniah yaitu upaya menahan diri dari menahan nafsu yang negatif. Karena itu, orang yang bisa menahan marah –misalnya– disebut orang yang berpuasa. Dan tampaknya, makna terakhir inilah yang pengertian puasa yang subtantif yang akan memberi implikasi pada transformasi sosial. Dan pengertian ini sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi; “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan palsu atau kotor, maka Allah tidak peduli bahwa orang itu tidak makan dan tidak minum (dalam arti puasa)”. [HR. Muslim] dan “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga saja”.
Karena itu, dalam bahasa modern, puasa merupakan salah satu ekspresi dari orang yang bukan hanya cerdas secara spiritual, tetapi juga secara emosional. Hal ini karena puasa akan membentuk kepribadian pelakunya dan membingkainya dalam perilaku positif seperti sabar, empatik terhadap sesama, memiliki social skill dan lain-lain.
Puasa merupakan syariat semua Rasul sejak Adam hingga Muhammad, hal ini karena puasa merupakan simpul penghubung kesinambungan ajaran universal Allah, tapi juga karena puasa mengandung visi kesuksesan yang selalu diemban oleh para Nabi. Karenanya puasa bukan hanya dimiliki dan menjadi tradisi agama-agama tetapi juga menjadi fenomana kemanusiaan universal sepanjang sejarah. Hal ini seperti yang tersirat dalam penngunaan kalimat pasif dalam ayat (kutiba) dengan tanpa disertai penjelasan mengenai siapa yang diwajibkan. Sebab kalaupun Allah tidak mewajibkan puasa, panyak perilaku dan peristiwa yang mendorong manusia untuk berpuasa tanpa motivasi agama, misalnya agar lebih canti, langsing, sehat dan lainnya. Hal ini diperkuat deng makna esensial puasa yaitu ‘pengendalian diri’ yang diperlukan oleh semua manusia baik secar individu maupun kelompok, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama.
Ibadah puasa tidak sebagaimana ibadah lainnya seperti shalat, zakat dan haji yang lebih berdimensi lahiriah dan bersifat terbuka. Puasa lebih berdimensi personal dan batin, karena itu pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseorang itu berpuasa kecuali Allah dan pelakunya. Dalam hadits qudsi disebutkan bahwa: “puasa adalah untukku dan Akulah yang menanggung pahalanya” dan hadits yang menjelaskan agar orang yang sedang berpuasa memberitahu kepada orang lain ketika ia dimarahi dengan mengatakan: “inni shaimun”. Dengan posisinya yang demikian itu, puasa dapat menjadi pilar atau basis pembentukan mental yang strategis bagi pelakunya sehingga menjadi orang yang berkarakter baik sebagaimana fitrahnya yaitu jujur dengan tanpa kontrol dari orang lain. Karena itu, puasa sering diidentikkan sebagai sebuah gerakan yang mengarah pada back to basic yang berujung pada ‘id al-fithri (kembali ke fitrah) dan syawwal yang berarti menaiki grafik standar kebaikannya. Puasa yang tidak berujung pada hal itu, patut diragukan keberhasilannya.
Puasa yang mengantakan pada ‘kembali ke asal’ memerlukan proses latihan atau pendidikan secara terus menerus, teratur, mengikuti prosedur tertentu sehingga pusanya memiliki nilai transformatif. Karena itu jangkawaktu pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan didesain selama satu bulan agarmenimbulkan efek positif dan mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu taqwa.Allah memastikan seseorang akan mencapai derajat taqwa dengan syarat iabenar-benar menjalankan puasa sesuai ketentuan (prosedural). Prosedurtersebut dalam hadis Rasululah saw disebut dengan Imanan (dilakukandengan penuh kesadaran, taat, ikhlas karena Allah swt) dan ihtisaban(memelihara puasa dari hal yang membatalkan dan merusak pahalanya).
Taqwa adalah kondisi jiwa seseorang yang penuh dengan kesadaranakan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi dalam segenap aktifitasnya,dimana saja dan kapan saja, sehingga mendorong dirinya untuk selalu patuhdan taat mengerjakan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa berasal dari dalam diri, karena itu ia sangat bersifat pribadi. Jadi hanya yangbersangkutanlah yang dapat mengukur kadar taqwa dirinya.
Puasa menjadi sarana efektif penanaman sekaligus pengaplikasiannilai-nilai pendidikan Islam. Beberpa nilai-nilai pendidikan penting yang bisadigali dari pelaksanaan ibadah puasa diantaranya: pertama, puasa mengajarikita untuk senantiasa menahan dan mengendalikan diri. Karakter ini sangatdibutuhkan bukan hanya untuk pejabat, tetapi juga untuk rakyat, pelajar, guru,pegawai, pengusaha, dan sebagainya. Jika karakter ini sudah tertanam dantumbuh subur dalam setiap pribadi bangsa, setidaknya akan meminimalkanpraktek korupsi, kolusi, nepotisme, suap, dan praktek-praktek tercela lainnya.
Kedua, ketika berpuasa kita juga dilatih dan ditempa untuk sabar,peduli akan sesama, rajin dalam beribadah dan aktivitas-aktivitas positiflainnya, disiplin dan peneladanan sifat-sifat Tuhan kepada diri manusia.Karakter sabar, disiplin, rajin dan peduli ini, sangat penting perannya gunamembawa bangsa bangkit dari krisis berkepanjangan. Sikap sabar dan tabahjuga akan menempa setiap pribadi bangsa untuk berlapang dada ketika segenapusaha yang dilakukan, belum menemukan titik keberhasilan.
Ketiga, puasa mengajari kita untuk memiliki kepekaan (sense ofresponsibility) sensibilitas dan tanggung jawab sosial maupun pribadi.Salahsatu hikmah puasa, adalah penanaman solidaritas sosial dengan anjuran berbuatbaik sebanyak-banyaknya, terutama dalam bentuk tindakan menolong beban kaum fakir miskin. Jika hal ini bisa terus berjalan pada waktu lain di luar bulanpuasa, maka akan menjadi karakter bangsa yang patut disyukuri.Tafsir yang lebih luas, solidaritas sosial yang terpancar dalam dirisetiap pribadi muslim, menjadi bukti menyatunya keimanan dan amal saleh (perbuatan kebajikan). Dengan kata lain, puasa yang mulanya merupakanimplementasi dari rukun agama semata, kemudian menjadi sebuah laku sosialyang sangat konstruktif. Karakter utama inilah yang diharapkan mampumenempa setiap pribadi bangsa sehingga menjadi pendulum perubahan danperbaikan.
Keempat, melalui puasa sebulan penuh kita dan umat islam padaumumnya akan dilatih, digembleng mempererat dan memperkokohpersaudaraan, senasip-sepenanggungan, mencintai dan menyayangi keluarga,memakmurkan tempat-tempat ibadah dan sebagainya.
Puasa juga mengajarkan kita agar bersikap optimis dan susah dahulu. Hal ini karena puasa mengajarkan pelakunya untuk rela menderita sementara waktu demi meraih keberhasilan ke depan. Puasa adalah sebuah dorongan untuk latihan produktif, sebab orang yang berpuasa menjadi terhindar dari jeratan hal-hal yang sifatnya temporer, dan instan (captive of here and now). Puasa kemudian berimplikasi pada efisiensi dan pengurangan sikap komsumtif-permissif. Sehingga ketika bulan Ramadhan tidak produktif dan boros –misalnya– maka kita perlu mempertanyakan puasa kita.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Yang membatalkan puasa
1.      Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja
2.      Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkanny.
3.      Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.
4.      Jima’ pada siang hari.
5.      Gila walaupun sebentar.
6.      Mabuk atau pingsan sepanjang hari.
7.      Murtad, yakni keluar dari agama Islam.

B.     Saran
Pemakalah sadar bahwa dalam pengambilan sub bahasan dalam makalah ini masih banyak kekurangan sehingga dalam penyusunan berikutnya dapat dilengkapi dengan materi-materi tambahan sebab keterbatasan referensi yang penulis miliki. Pemakalah juga menyarankan nantinya agar menambahkan perbedaan dari keduannya secara filosofi maksudnya adalah mana yang lebih reel antara individu dengan masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA
Hasan Muhammad Ayyub, 1976, As-Saum Fi Al Islam, Al- Matba`ah Al-Asriyah; Kuwait.
Sayid Sabia, 1992, Fiqh As-Sunnah, Jilid I dan Al-Fikr; Bairut.
Anton M Moeliono, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka; Jakarta.
Abdul Aziz Dahlan et, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Enam Jilid, Ichtiar Baru Van Hoeven; Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)

Arsip Blog