BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan bahasa Arab, yang mana
pemahaman hukum dari nash-nash tersebut hanya akan benar apabila dilihat dari
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bahasa Arab. Singkatnya, pemahaman makna
dan hukum-hukum daripada nash-nash tersebut bisa dimengerti apabila kita
mengetahui dan menggunakan cara-cara pemahaman masyarakat Arab dalam memahami
lafazh-lafazh terkait.
Sehingga dalam makalah ini, penulis akan memaparkan metode tekstual
(pendekatan kebahasaan), yaitu dari segi dilâlah yang dapat
digunakan untuk memahami hukum-hukum yang ada dalam nash-nash Al Qur’an dan as
Sunnah.
B.
Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah
pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Usshul Fiqh” yang
dibimbing oleh Bapak Dr. Efrinaldi, M.Ag
C.
Batasan Makalah
Makalah Muqaran Mazahib fil Ushul II ini penulis batasi
supaya tidak melenceng kepada pembahsan berikutnya. Penulis membahas tentang “dalalah lafziyah
dan dalalah Ghairu lafziyyah di kalangan hanafiyyah dan Syafi’iyyah”
1.
Pengertian Dalalah dan macam-macam Dalalah
2.
Dalalah dalam perspektif Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyah
BAB II
PEMBAHASAN
DALALAH LAFZHIYAH DAN GHAIRU LAFZHIYYAH
A.
Pengertian Dilalah
Dalalah atau dalalah secara bahasa
berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul al-Fiqh
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag ditunjuki oleh lafazh.”
الدلالة هى مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
Menurut Ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan memahami lafazh-lafazh
al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui pemahaman dalalah lafzhiyah dan dilâlah
ghairu lafzhiyah.[1]
B.
Dalalah Lafziyah dan Pembagianya
Dalalah lafzhiyah الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dalalah dengan dalil yang digunakan untuk
memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan
demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu itu
diketahui melalui tiga hal:
1.
Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menujukan kepada maksud tertentu
yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam. Umpamanya ‘rintihan”
yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang
mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan,
maka semua orang mengetahui bahwa itu sakit, meskipun tidak pernah menyatakan
bahwa ia sedang kesakitan. Petunjukan dalalah seperti disebut “thabi
‘yyah (طبيعيه),secara lengkap biasa disebut dalalah lafzhiyyah
thabi ‘yyah (الدلالة اللفظية الطبعيه) [2]
2.
Melalui Akal
Maksudnya adalah dengan
perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang
didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan
dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa
suara itu adalah suara kendaraan jenis tertetu, meskipun kendaraan tersebut
belum dilihat secara nyata. Penunjukan sacara suara tersebut dinamai
“aqliyah” (عقليه) secara lengkap biasa disebut dalalahlafzhiyah
‘aqliyah” (دلالة لفظية عقلية) [3]
3.
Melalui Istilah
Dapat dipahami
bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang
yang mengeong” kita akan mengetahui apa maksud ucapan itu, yaitu ‘kucing”. Hal
ini dimungkinkan kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang
mengeong” itu untuk memberi istilah kepada ‘kucing”. Penunjukan bentuk ini
disebut “wadhi’yah (وضعية), secara lengkap biasa
disebut dalalah lafdhiyyah wadhi’yyah (الدلالة اللفظية الو
ضعية)
Para Ahli membagi
dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah menjadi 3 macam yaitu:
1.
Mutahabaqiyah yaitu dilala lafazd (petunjuk kata) kepada makna
selengkapnya.
Contohmya:
Kata rumah memberi
petunjuk (dilalah) kepada bangunan lengkap yang terdiri dari dinding, jendela,
pintu, atap dan lain-lainya, sehingga bisa dijadikan tempat tinggal yan nyaman.
2.
Tadhamuniyyah (dalalah lafzhiyah wadh’iyyah tdhammuniyyah) yaitu, dilalah
lafazd kepad bagian-bagian maknanya.
contohnya:
ketika anda
mengucapkan kata rumah, kadang-kadang
yang anda maksudkan adalah bagian-bagianny saja.
Jika anda, minsalnya,
menyuruh tukang memperbaiki rumah maka yang anda mksud bukanlah seluruh rumah,
tetapi bagian-bagiannya yang rusak saja.
3.
Iltizamiyyah (dilalah lafzhiyyah wadh’iyyah iltizamiyyah), yaitu dilalah
lafazh kepada bagian-bagian maknanya.
Contohnya:
Jika anda menyuruh
tukang memperbaiki asbes loteng rumah anda yang runtuh, maka yang anda
maksudkan bukanlah sbes saja, tetapi juga kayu-kayu tempat asbes itu melekat
yang kebetulan sudah patah-patah. Asbes dengan kayu yang menjadi tulangnya
terkait amat erat (iltizam). Dan jika kerusakan asbes itu disebabkan kebocoran
di atap maka perbaikan atap iltizam (menjadi keharusan yang terkandung dan
terkait) kepada printah memperbaiki asbes loteng tadi.
Dilalah Ghairu Lafzhiyah
Dilalah Ghairu
Lafzhiyah adalah petunjuk yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini
terbagi 3 :
1.Thabi`iyah (
dilalah ghairu lafzhiyah) yaitu :dilalah (petunjuk) bukan kata atau suara yang
berupa sifat alami.
Contoh :
Wajah cerah menjadi
dilalah bagi hati yang senang
Menutup hidung
menjadi dilalahmenghindarkan bau kentut atau bangkai yang busuk.
2.`Aqliyah (dilalah ghairu lafzhiyah `aqliyah), yaitu dilalah (petunjuk)
bukan kata atau suara yang berupa pemahaman melalui akal pikir.
Contoh:
Hilangnya
barang-barang di dalam rumah menjadi dilalah bagi adanya orang yang mencuri.
Terjadinya kebakaran
di gunung menjadi dilalah bagi adanya orang yang membawa apai kesana.
3.Wadhiyah (dilalah
ghairu wadh`iyah), yaitu dilalah
(petunjuk) bukan kata atau suara yang bisa berbentuk tanda-tanda yang dengan dasar kesepakatan,
sengaja dibuat untuk menjadi isyarat bagi pengertian yang dikandungnya.
Contoh:
Secarik kain hitam
yang dilekatkan di lengan kiri orang Cina adalah dilalah bagi kesedihan/berduka
cita, karena ada anggota keluarganya yang meninggal.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah
Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Dalalah lafzhiyah merupakan dalalah yang ditunjukkan secara jelas oleh lafazhnya. Ulama Hanafiyah membagi dalalah lafzhiyah ini menjadi empat bagian, yakni:
a.
Ibarah Nash
Ulama ushul fikih mendefinisikan ‘ibarah nash ini
bermacam-macam. Definisi-definisi tersebut dapat dikemukakan disini antara
lain:
1)
Menurut Abu Zahrah:
‘‘Ibarah Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik itu lafazh
zharir atau lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan muhkam.”
2)
Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas makna yang
dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh
yang tersusun dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang
mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah
nash mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan
lafazhnya.
Contoh lafazh ‘ibarah
nash:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa’-3)
Pengertian asli dari nash ini adalah pembatasan jumlah maksimal wanita yang
boleh dikawini, yaitu empat orang. Adapun pengertian tidak asli disini bahwa
adanya anjuran/ pembolehan kawin dengan wanita yang disenangi.
b.
Isyarat Nash
Dalalah isyarat nash atau isyarat al-Nash adapun yang dimaksud dengan
dalalah isyarat nash adalah petunjuk lafazh yang diperbolehkan dari apa yang
tersirat dalam nash.
Contoh:
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4
£`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ (
$)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
Artinya: Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.(Al-Baqarah-236)
Dari ayat ini, bahwa berdasarkan ibarah nash, boleh menceraikan istri
sebelum bercampur dan sebelum menentukan maharnya. Akan tetapi, arti yang lazim
dan tidak bisa dipisahkan dari nash ialah sah mengadakan aqad perkawinan tanpa
menentukan maharnya lebih dahulu. Sebab talak (perceraian) tidak akan terjadi
(tidak pernah ada) sebelum adanya akad nikah. Inilah yang disebut dalalah nash.
c.
Dalalah Nash (Petunjuk Nash)
Dalalah nash (Petunjuk Nash) adalah petunjuk lafazh nash atau suatu
ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan kerena
terdapat persamaan illat keduanya.
Jika nash itu ungkapannya
menunjukkan pada hukum suatu kejadian karena ‘illat yang
menjadi dasar hukum itu, kemudian didapati kejadian yang sama ‘illat hukumnya
atau lebih utama daripadanya, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash itu
mencakup dua kejadian tersebut.
Contoh lafazh:
4Ó|Ós%ur
y7/u
wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î)
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4
$¨BÎ) £`tóè=ö7t
x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°;
7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya: Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia (Q.S. al-Isra’ 23)
Pengertian secara dalalah nash bahwa semua perkataan atau perbuatan
yang menyakitkan kedua hati orang tua itu dilarang.
Contoh lain:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya.”(Q.S. An Nisa’: 10)
Pengertian secara dalalah nash bahwa membakar, membuang harta anak yatim, serta memberikannya kepada
orang lain juga dilarang.
d.
Iqtidha Nash (Kehendak Nash)
Kehendak nash adalah makna atau pengertian yang mana kalimat itu
tidak dapat dimengerti kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian tersebut.
Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi kebenaran kalimat dan maknanya
membutuhkan pengertian itu.
Seperti dalam firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهاَ
تُكُمْ وَبَناَتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, dan anak-anakmu yang perempuan.” (Q.S.
An Nisa’: 23)
Pengertian secara iqtidha nash pada ayat ini adalah
“mengawini mereka”, karena menyandarkan keharaman kepada pribadi ibu dan anak
adalah tidak tepat. Maka diperkirakanlah lafazh yang sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh nash tersebut yakni kata mengawini.
C.
Dalalah Menurut Pandangan Ulama
1.
Dalalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalab kepada dua macam, yaitu dilalah la
fzhiyah dan dilalah ghairu lafazhiyah. Dilalah lafaziyah
dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya.
Dilalab ghairu la fazhiyah ialah yang menjadi dalil buka melalui lafaz menurut
lahirnya. Dilalah ghairu lafazhiyah ini dialangan Hanafiyah disebut “Dilalah
Sukut” (دلالة السكوت ) atau disebut juga “bayan
Al-Dharurah”.[4]
a.
Dalalah Lafzhiyah
Dilalah Lafzhiyah terbagi empat macam yang berbeda tingkat kekuatannya:
1)
Dalalah ibarah atau disebut jug ibarat nash yaitu:
Menurut abu Zahrah: makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam
Lafadz, baik dalam bentuk nash maupun zahir. Menurut Penulis kitab Al-Tahrir penunjukan lafaz atas makna dalam
keadaan sesuai dengan yang dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim
(lafaz dalam bentuk ini lah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash)
atau bukan dalam bentuk asli.
Pemahaman Lafz dalam bentuk ini
adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafaz itu. Pemahamannya secara
tersurat dalam lafaz contoh firman Allah dalam ssurah An-Nisa’ ayatr 3 :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
Dan jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat.
Ayat ini menurut ibarat nash
atau menurut yang tersurat, sesuai dengan tujuan semula, yaitu bolehnya
mengawini perempuan sampai empat orang, bila terpenuhi syarat adil. Lafazd dalam
ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukan hal tersebut.
b.
Dalalah isyarah (دِلَالَةُ الاِشَارَةُ)
Dilalah isyarah adalah lafaz yang dilalahnya terdapat
sesuatu tidak dimaksud untuk itu menurut asalnya. Contohnya Surat Al-Baqarah
Ayat: 233:
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara ma'ruf”.
Ibarat lafaz dalam ayat di atas menunjukan kewajiban si
ayah untuk memberi nafkah dan pakaian yang layak untuk istrinya atau jandanya
dalam masa iddah. Ungkapan المولودله)) yang berarti ayah sebagai pengganti dari lafaz الابyang digunakan Allah dalam ayat ini
oleh sebagian mujtahid yang teliti titik perhatian. Ungkapan (المولودله) arti sebenarnya adalah “anak untuk ayah” tapi menurut
penelitian para mujtahid maksudnya adalah “anak adalah kepunyaan ayahnya” atau
dalam istilah hukum “anak dinisbatkan kepada ayahnya”.
Dengan pemahaman tersebut terkihat bahwa ayat tersebut yang
menurut ibaratnya mengandung maksud tertentu, juga mengisyaratkan pada maksud
lain yaitu “hubungan nasab adalah kepada ayahnya” bukan kepada ibunya.
c. Dalalah nash (دِلَالَةُ النَّصُّ)
دلَالَةُ اللَّفْظ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ مَاذُكِرَ لِمَا
سُكِتَ عَنْهُ لِفَهْمِ الْمَنَاطِ بِمُجَرَّدِفَهْمِ اللُّغَةِ
Dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum untuk
yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan
pemahaman dari segi bahasa.
Atau dapat dikatakan dilalah nash adalah penunjukan oleh
lafadz yang “tersurat” terhadap apa yang “tersirat” di balik lafadz tersebut.
Contoh
Q.S. Al-Isra’ Ayat 23:
*
4Ó|Ós%ur y7/u wr&
(#ÿrßç7÷ès?
HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã
uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ.
xsù @à)s?
!$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s?
@è%ur $yJßg©9
Zwöqs%
$VJÌ2 ÇËÌÈ
Janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”
Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan
kata-kata kasar dan menghardik pada Ibu Bapak. Jadi, Hukum “tidak boleh” itu
berlaku pula pada perbuatan “memukul orang tua” yang tingkatanya dinilai lebih
kasar, karena sifat “menyakiti” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan
kasar. Dan “memukul” dinilai lebih kuat pada perbuatan “menghardik”.
d. Dalalah al-iqtidha’ (دِلَالَةُ
الِاقْتِضَاءُ)
اِنْ دَلَّ اللَّفْظُ عَلَى مَسْكُوْتٍ يَتَوَقَّفُ
صِدْقَهُ عَلَيْهِ اَوْ صِحَّتَهُ
Dilalah iqtidha’ adalah lafaz yang menunjukkan kepada
sesuatu yang tidak disebutkan, yang makna kebenaran dan keshahihannya
tergantung pada yang tidak disebutkan itu. Contoh firman Allah dalam surat
Yusuf: 82:
È@t«óur sptös)ø9$# ÓÉL©9$# $¨Zà2 $pkÏù uÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkÏù ( $¯RÎ)ur cqè%Ï»|Ás9 ÇÑËÈ
Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.”
Menurut dzahir, ungkapan ayat tersebut terasa ada yang
kurang karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung” yang tidak berakal.
Karenanya dirasakan perlu memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu
menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk”, sehingga
menjadi “penduduk kampung” yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu,
juga dianggap perlu memunculkan kata orang-orang dalam “kafilah”, sehingga
menjadi “orang-orang dalam kafilah”, yang dapat ditanya dan memberi jawaban.
Dalam pandangan Ulama Hanafiyah, dari keempat macam cara
penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat
adalah dilalah “ibarat al-nash”, kemudian menyusul “isyarat” dan setelah itu
baru “dilalat al-nash” dan yang terakhir adalah “iqtidha’”. Sebagaimana
dijelaskan Abu Zahrah bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibarat
dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyarat, maka
ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibarat lebih didahulukan dari pada
isyarat. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan
berdasarkan ibarat nash atau isyarat dengan dilalat al-nash, maka lebih
didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilalat al-nash. Bila terjadi
pertentangan antara dilalat al-nash dengan iqtidha’, maka dilalat al-nash lebih
didahulukan atas iqtidha’. Seperti contoh firman Allah Q.S. al-Baqarah 178:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ
ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/
ßö6yèø9$#ur
Ïö7yèø9$$Î/
4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB
ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/
3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB
öNä3În/§
×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$#
y֏t/
y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã
ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Artinya :Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat
pedih.
Ayat ini dengan cara isyarat menunjukkan batas ketiadaan
wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan
dengan ayat sebelumnya yang secara ibarat nash mewajibkan qishash atas
pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibarat
nash lebih diutamakan dari pada isyarat nash, dalam hal ini wajibnya qishash
bagi pembunuhan sengaja.
2.
Dalalah dalam Pandangan Ulama Syafi’iyah
Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah di bagi
menjadi dua macam, yaitu: dilalah manthuq dan dilalahmafhum.
a.
Dalalah
Manthuq (المنطوق)
Dilalah manthuq dalam pandangan ulama syafi’iyah
adalah:
دلالة اللفظ في محل النطق على حكم
المذكور
Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum
menurut yang disebut dalam lafaz itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa
bila kita memahami “sesuatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam
lafazitu, maka disebut pemahaman secara “ mantuq”.
Seperti contoh Firman Allah dalam surat an-Nisa’ 23:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
Artinya: Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Ayat ini menurut mantuq-nya menunjukkan haramnya
menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah di
gauli. Apa yang di tunjuk di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat
dalam ayat tersebut. Penunjukan begitu jelas dan tidak memerlukan pejelasan di
balik yang tersurat itu.
b.
Dalalah
Mafhum (المفهوم)
Dilalah mafhum adalah:
دلالة اللفظ في محل النطق على ثبوت
حكم ماذكر لما سكت عنه او على نقيء الحكم عنه
Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas
berlakunya hukum yang sisebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan. Atau
dalam definisi yang lebih sederhana:
ما فهم من اللفظ في محل النطق
Apa
yang dapat dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan.
Contohnya,
firman Allah dalam surat al-Isra’ 23:
فَلَا
تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Jangan kamu mengucapkan
kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Hukum yang tersurat dalam
ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata-kata kasar atau ”uf” dan
menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan itu, juga dapat dipahami adanya
ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu
haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalalah atau dalalah secara bahasa berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul
al-Fiqh.
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag ditunjuki oleh lafazh.”
Dalalah lafzhiyah/الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dalalah dengan
dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz,
suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada
maksud tertentu.
Dalalah ghairu lafzhiyah merupakan dilalah yang ditunjukkan secara tidak
jelas oleh lafazhnya. Hanafiyah membagi dalalah ghairu lafzhiyah menjadi empat macam. Mereka menamakan dengan Bayan Dharurah (penjelasan
secara darurat). Keempat macam dilâlah itu memberi petunjuk dengan cara sukut/diam
Dilalah lafzhiyah
-
Dilalah Lafzhiyah Thabi`iyah
-
Dilalah Lafzhiyah `Aqliyah
-
Dilalah Lafzhiyah Whadi`iyah, terbagi 3 :
·
Muthabaqiyah
·
Tadamuniyah
·
Iltizamiyah
Dilalah ghairu lafzhiyah
-
Dilalah Ghairu Lafzhiyah Tabi`iyah
-
Dilalah Ghairu Lafzhiyah `Aqliyah
-
Dilalah Ghairu Lafzhiyah Wadhi`iyah
Dilalah dalam perspektif ulama Hanafi dan Syafi`iyah
Menurut hanafiyah ada 4 : Dilalah ibarah, dilalah isyarah, dilalah nash,
dilalah iqtida. Menurut syafi`iyah : Dilalah mantuq dan dilalah Mafhum.
B.
SARAN
Semoga dengan mempelajari dilalah lafzhityah dan dilalah ghiru lafzhiyah
ini kita bisa mengetahui dan paham. Dan semoga ilmunya bermanfaat bagi kita
semua, saya mohon maaf apabila ada kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah,
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta: Kencana, 2009
Baihaqi. A. K, Ilmu
Mantik, (Jakarta: Darul Ulum Pres, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)