MAKALAH
SOSIOLOGI AGAMA
Tentang
TEORI FUNGSIONAL MENGENAI AGAMA DAN
AGAMA DALAM TEORI PEMIKIR SOSIOLOGI
Oleh :
Kelompok III
Riskatu Asra : 1512040006
Suhardi :
15120400
Uci Pertiwi : 15120400
Dosen Pembimbing :
Prof.Dr.H. Tamrin Kamal,M.S
Muhammad Fauzi,M.Ag
JURUSAN
FAKULTAS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Agama dan perilaku keagamaan di anggap
sebagai gejala yang merupakan faktor yang tak tetap dan tergantung (dependent
variabel). Tujuan pendekatan institusional memperlihatkan bagaimana
pelbagai struktur dari institusi dapat menjelaskan perilaku keagamaan.
Masyarakat alami adalah masyarakat yang di
bentuk atau didirikan di atas dasar yang alami, mengikuti hukum dan ketentuan
alam yang diturunkan ke dalam ini dengan tidak sewenang-wenang, tidak
kontradiktif dan tidak berlawanan.
Pernyataan tersebut tidaklah di pahami
bahwa masyarakat alami adalah masyarakat yang membebaskan dirinya dari suatu
ikatan yang dapat mengungkungnya. Ia tidak terikat oleh suatu belenggu yang
mengekangnya, dan ia tidak berusaha memperbaiki ketidakserasian alam dan mengembalikannya
dari penyimpangan.
Pemahaman seperti ini mesti di jauhkan,
karena hukum-hukum alam itu sendiri akan melepaskan diri pada tatanan yang
bersifat fitrah (alami) tanpa ada satupun pengekangan, melainkan hanya
mengarahkan tatanan tersebut kepada tujuan akhirnya. Alam ini sebenarnya
memperkenalkan untuk memperbaikinya dan mengubur tatanan yang mengekangnya.
Seandainya alam itu tidak mau menentang dan menolaknya dan mengharuskannya
untuk melakukan sesuatu yag tidak sesuai, maka tidaklah berani
ia menyimpang dari jalannya
BAB II
PAMBAHASAN
A. Teori-teori
fungsional mengenai agama
Sosiologi agama adalah suatu cabang
sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[1]
Sebelum kita membahas tentang fungsi-fungsi
sosiologi agama, hendaknya kita pahami terlebih dahulu fungsi-fungsi agama
terhadap masyarakat. Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat.
Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan
hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal. Kedua, agama berfungsi memenuhi
sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa
kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya
para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi
antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan kewajiban
sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan
landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka
pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan
yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari
sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena
penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima dan
menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri kekurangberhasilannya di
dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran kepribadian. Maka harus
ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.[2]
Fungsi agama( fungsional agama) yang tidak hanya didasarkan pada logika
rasional, tetapi juga pada logika empiris( menurut para sosiolog), fungsi agama
dalam masyarakat meliputi tiga aspek yaitu
kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan
kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku
manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam
memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu
sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi
melakukan fungsinya. Pertanyaan
itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai
fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Beberapa tokoh memaparkan asumsi
teori-teori fungsi (fungsional) agama yang berbeda-beda. Berikut ini asumsi
tokoh-tokoh tersebut [3]
1.
Asumsi
teori fungsional E. Durkheim
Agama merupakan lambang collective
representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat
kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama.Orang yang terlibat dalam upacara
keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin
bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin
lemah kembali..
2.
Asumsi teori fungsional Berger
Bahwa setiap system makna tergantung pada
struktur rasionalitasnya, namun pandangan ini tidak boleh dianggap sama dengan
agama merupakan selalu epifonomen. Menurut Berger fungsi agama untuk
memperkuat dan menimbulkan solidaritas social justeru secara fundamental,
artinya agama merupakan salah satu benteng pertahanan untuk menghadapi anomie (
kericuhan ) sepanjang sejarah manusia.[4]
3.
Asumsi teori fungsional Luckmann
Dalam rangka mempertahankan kesadaran dasar
mengenai konsep agama, memerlukan transendensi biologic dengan organisme
manusia sebagai gejala keagamaan, gejala ini tergantung pada hubungan
fungsional antara jiwa dan masyarakat, dan bisa dianggap proses social yang
menjurus kepada penbentukan jiwa secara fundamental bersifat keagamaan
merupakan antropologik agama. Agama dalam masyarakat yang statis ( dapat
dilihat ) akan selalu berfungsi sebagai suatu ikatan social, akan tetapi jika
masyarakat tersebut mengalami perubahan secara cepat, maka akan semakin banyak
ubahan dalam fungsi agama.[5]
4.
Asumsi teori fungsional Thomas O’Dea
Agama berkaitan dengan penyesuaian dan identitas
perorangan dan berkaitan dengan pengendalian social dengan sakralisasi norma
–norma social serta mengkhususkan fungsi profetik yang bersifat positif. Agama
juga meritualisasikan optimisme bila terlalu kuat menghambat terjadinya proses
terhadap ketidakadilan dan penderitaan – penderitaan yang semestinya tidak
perlu terjadi. Dan agama yang melakukan sakralisasi terhadap norma social bisa
menghalangi penyesuaian terhadap berbagai aturan dengan lingkungan dan situaasi
yang baru.[6]
5.
Asumsi teori fungsional Karl Marx dan Engels
Karl Marx dan Engels berasumsi bahwasannya agama
merupakan tatanan social dan system klasifikasi social yang mereka kuasai
merupakan pemberian tuhan dan bukan ciptaan manusia. Agama hanyalah sebagai
pemisah klasifikasi social.[7]
6.
Asumsi teori fungsional Freud
Agama merupakan fantasi oedipal yang agama
berfungsi sebagai landasan kepercayaan terhadap adanya Tuhan yang menuntut
penyembahan dan kepatuhan serta penjatuhan hukuman atas perbuatan dosa.[8]
B.
Agama dalam teori Comte dan Marx
Comte
dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama,
menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte
melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama
sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian
masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat.
Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama
pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan
masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh
Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud
spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya,
Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan
pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai
titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte.
Comte meyakini juga bahwa
pengetahuan seperti ini dihasilkan pada tahapan pertama agama, yaitu pada
tahapan teologi, karena manusia pada saat itu senantiasa berfikir secara
sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung dapat memberikan sebuah
jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk sederhana. Pandangannya mengenai
agama.
1.
Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah
manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada
agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama
berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan
sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada
sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal,
yang hanya dapat diberikan oleh agama.
2.
Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan
yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai
pranata-pranata sosial. Menurut Comte; "setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan
sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan
teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria
militer, tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains,
yang didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja
dimulai, di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh
etika para ilmuan.[9]
3.
Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme,
seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan
hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah melupakannya sama sekali.
Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai
agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal
mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada
sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa
dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama modern, manusia
tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja
letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta.[10]
Dalam pandangan Karl Marx agama
adalah sistem sosial yang digunakan untuk menetralisir situasi hati yang kurang
menguntungkan. Agama dibutuhkan oleh orang-orang yang kacau. Hal ini sesuai
dengan kalimat Marx bahwasanya “Agama adalah Candu bagi masyarakat”. Menurutnya, karena ajaran agamalah maka
rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat
sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Marx melihat kaum buruh pada zaman itu
pasrah akan keadaan yang mereka terima. Eksploitasi dari kaum kapitalis
diterima dengan dingin tanpa ada usaha untuk melawan. Akhirnya agamalah yang
menjadi tempat mereka bersandar sebagai penghiburan dengan menjanjikan
kebahagiaan di alam sesudah kehidupan. Agama menjadi tempat pelarian manusia
dari kondisi dunia nyata. Kehidupan yang kurang menguntungkan membuat manusia
menderita dan mencari obat penenang dalam kehidupan keagamaan.
C.
Agama dalam Teori Emile Durkheim dan Max Weber
Sosiologi agama
merupakan salah satu diskursus yang terpenting dalam sosiologi, para pendahulu
sosiologi masing-masing dari mereka telah mengkonsepkan agama sebagai sesuatu
relitas dalam masyarakat yang ada secara nyata. Durkheim memandang agama
sebagai sesuatu yang bukan hanya ilusi manusia yang abstrak tetapi agama
merupakan produk manusia yang dapat dikaji secara empiris. Dalam bukunya
"The Elementary Forms of Religious" Durkheim memberikan suatu analisa
terperinci mengenai kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual agama totemik
orang arunta, suku bangsa primitive di Australia utara.[11]
Durkheim mendefinisikan agama
sebagai "Suatu System yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan
praktek-praktek yang berhubungan dengan benda suci atau benda-benda khusus
(terlarang) kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu
komunitas yang disebut umat, semua berhubungan dengan itu. [4]
Durkheim mengabstraksi munculnya
agama dalam masyarakat yaitu dengan memisahkan antara yang sacral dan yang
profan.
1. Sakral
Sakral berasal dari
ritual-ritual keagamaan yang merubah nilai-nilai moral menjadi symbol-simbol
religious dimana dimanifestasikan menjadi sesuatu yang riel. Masyarakat
menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang
sekral dan sementara yang lain dianggap profan (kejadian yang umum atau biasa),
sacral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa
sehari-hari yang membentuk esensi agama. Misalnya nilai-nilai pengrusakan atau
kejahatan manusia dimanifestasikan dalam agama hindu sebagai siwa sebagai dewa
perusak. Sehingga dapat dikatakan Tuhan tak lebih dari sekedar hasil
pengejawantahan wujud Tuhan dan simbolisasiNya (Durkheim 1906/1974:52) artinya
masyarakatlah sumber dari kesakralan itu sendiri.
2. Profan
Profan adalah
peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat dikehidupan sehari-harinya yang
tidak memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan. Yang profan ini dapat menjadi
sakral jikalau masyarakat mengagungkan dan menyucikannya.
3. Totemisme
Totemisme adalah
system agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan dianggap sakral dan
dijadikan simbol klan. Menurut Durkheim totemisme merupakan agama yang paling
sederhana dan primitive yang juga merupakan bentuk organisasi social yang
paling sederhana. Totemisme ini berasal dari representasi klan atau suku,
individu mengalami kekuatan social yang sangat erat dan besar ketika mengikuti
upaca suku sehingga mereka berusaha mencari penjelasan atas fenomena tersebut
dan mewujudkannya dalam suatu lambing totem.
Jadi dapat dikatakan
totem adalah representasi material dari kekuatan non material yang menjadi
dasarnya, dimana kekuatan nonmaterial itu adalah perasaan individu-individu
dalam masyarakat. Sebenarnya masih banyak pembahasan dalam tulisan ini
dikarenakan masih banyak agenda yang mesti saya selesaikan ingsallah tulisan
ini nantinya akan diedit dan ditambah dilain waktu.[12]
Pandangan
Max Weber dalam teori agama diawali dengan esai etika protestan dan semangat
kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan
antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam
kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta
pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa
budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian
menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan)
memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika
Serikat. Agama menurut Max Weber adalah sistem sosial yang dapat memperkuat
identitas diri masyarakat. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara
doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama
dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai,
dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu itu sendiri. Agama
adalah apa yang bisa dilihat dari orang lain, bukan yang diyakininya. Seperti
pemakaian busana yang tampak sebagai identitas agama yang dianutnya[13]
D.
Agama dalam Teori Ibnu Khaldun
Ibnu
Khaldun seorang tokoh dan pemikir muslim, nama lengkapnya Abd al-Rohman (Abu
Zaid) bin Muhammad bin Abi Bakar bin Hasan. Ia dilahirkan di Trus pada tanggal
17 Mei 1332 M, dari keluarga Aristokrat yang berasal dari Hadramaut, dan wafat
di Kairo pada 17 Maret 1406 M.
Dua
buah karyanya yang terbesar yaitu kitab al-Ibrar dan Muqadimah Ibn
Khaldun yang selesai di tulis pada tahun 1377 M. Muhsin Mahdi mengemukakan
bahwa Ibn Khaldun tidak menulis karya bidang sejarah seperti lazimnya di zaman
itu, tetapi menyusun suatu karya bercorak baru yang belum di kenal sebelumnya.
Dengan cara ini Ibn Khaldun melakukan perubahan dalam penulisan sejarah dengan
melakukan analisis mendalam tentang peristiwa sejarah.[14]
Ibnu
Khaldun terkenal pula dengan suatu teori yang disebut “Ashabiyah” yakni
adanya persamaan kepentingan sebagai akibat dari adanya saling ketergantungan
dalam memenuhi kebutuhan tertentu menyebabkan orang bergabung dan bersatu dalam
kelompoknya dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Ibn
Khaldun mengatakan bahwa Ashabiyah muncul karena empat sebab, yakni :
1. Ikatan darah atau keturunan dan kerabat
2. Ikatan perjanjian atau persekuruan
3. Ikatan yang timbul karena hubungan perlindungan dengan
yang dilindungi karena bergabungnya seseorang atau sekelompok dengan kelompok
lain dan menyatakan loyal terhadap kelompok yang melindunginya.
4.
Ikatan agama.[15]
Ibn Khaldun adalah seorang yang menonjolkan
etnis satu atas etnis yang lain. Dari ras-ras yang ditonjolkan adalah ras Arab,
yang berikut ini adalah sebagian dari teorinya mengenai agama itu sendiri .
1. sesungguhnya Ras Arab dengan ciri
pengembara yang ada pada mereka adalah ras perampok dan pemalas. Mereka
merampok menurut kemampuan mereka, tanpa penaklukan dan menghindari bahaya.
2. sesungguhnya, semua itu menjadi naluri dan
watak mereka. Mereka merasa enak di luar (tidak terlihat) oleh
ketentuan-ketentuan hukum dan tidak terikat oleh politik. Watak ini berbeda
jauh dengan watak etnis menetap.
3. etnis Arab sungguh lebih baik pengembangan
dari etnis manapun, sikap ini telah mempengaruhi sebagian pemikir. Pengaruh itu
nampak dari pendirian yang berbeda.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fungsi agama(
fungsional agama) yang tidak hanya didasarkan pada logika rasional, tetapi
juga pada logika empiris( menurut para sosiolog), fungsi agama dalam masyarakat meliputi tiga aspek yaitu kebudayaan,
sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks
fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia,
sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara
sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan
sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan
fungsinya. Pertanyaan itu
timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai
fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini di paparkan , kami menyadari
makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita sem
DAFTAR PUSTAKA
O’dea Thomas F., Sosiologi Agama
Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990
Agus Bustanuddin, Agama
Dalam kehidupan Manusia, Raja Wali Press,Jakarta, 2006
Betty Scharf R, Kajian Sosiologi Agama.. Yogyakarta :
Tiara Wacana 1995 1995
Jhonson Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I
penerjemah Robert M.Z Lawang Jakarta Gramedia pustaka Utama, 1990
Depag RI, Ensiklopedi Islam,
CV. Anda Utama, Jakarta, 1993
Al-Madani Syaikh Muhammad, Masyarakat
Ideal dalam Perspektif Surah an-Nisa’, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002
[1]
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali
Press, Jakarta, 1990, hal.28
[2]
Bustanuddin Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, Raja Wali
Press,Jakarta, 2006, hal.69
[4]
Ibid, h. 98-99
[5]
Ibid, h. 103
[6]
Ibid, h. 105
[7]
Ibid, h. 109
[8]
Ibid, h. 118
[9]
Kehidupan dan Pemikiran para Pembesar Sosilogi; Terjemahan Muhsin Tsulasi, hal.
30
[10]
Tahapan pemikiran dalam sosiologi; Raymon ; terjemahan Baqir Parhom ; hal
118.
[11]
Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I
(penerjemah Robert M.Z Lawang Jakarta Gramedia pustaka Utama, 1990) hlm
196
[12] Ibid,
h. 198
[13] Ibid,
h. 121
[16] Syaikh
Muhammad al-Madani, Masyarakat Ideal dalam Perspektif Surah an-Nisa’,
Pustaka Azzam, Jakarta, 2002, hlm. 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)