Jumat, 21 Oktober 2016

TEORI FUNGSIONAL MENGENAI AGAMA DAN AGAMA DALAM TEORI PEMIKIR SOSIOLOGI

MAKALAH
SOSIOLOGI AGAMA
Tentang
TEORI FUNGSIONAL MENGENAI AGAMA DAN
AGAMA DALAM TEORI PEMIKIR SOSIOLOGI

Description: D:\Documents\LAMBANG\Logo Campus\Logo-IAIN-Imam-Bonjol-Padang.jpg




Oleh :
Kelompok III
Riskatu Asra              : 1512040006
Suhardi                      : 15120400
Uci Pertiwi                 : 15120400


Dosen Pembimbing :
Prof.Dr.H. Tamrin Kamal,M.S
Muhammad Fauzi,M.Ag


JURUSAN
FAKULTAS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M

BAB I
PENDAHULUAN

Agama dan perilaku keagamaan di anggap sebagai gejala yang merupakan faktor yang tak tetap dan tergantung (dependent variabel). Tujuan pendekatan institusional memperlihatkan bagaimana pelbagai struktur dari institusi dapat menjelaskan perilaku keagamaan.
Masyarakat alami adalah masyarakat yang di bentuk atau didirikan di atas dasar yang alami, mengikuti hukum dan ketentuan alam yang diturunkan ke dalam ini dengan tidak sewenang-wenang, tidak kontradiktif dan tidak berlawanan.
Pernyataan tersebut tidaklah di pahami bahwa masyarakat alami adalah masyarakat yang membebaskan dirinya dari suatu ikatan yang dapat mengungkungnya. Ia tidak terikat oleh suatu belenggu yang mengekangnya, dan ia tidak berusaha memperbaiki ketidakserasian alam dan mengembalikannya dari penyimpangan.
Pemahaman seperti ini mesti di jauhkan, karena hukum-hukum alam itu sendiri akan melepaskan diri pada tatanan yang bersifat fitrah (alami) tanpa ada satupun pengekangan, melainkan hanya mengarahkan tatanan tersebut kepada tujuan akhirnya. Alam ini sebenarnya memperkenalkan untuk memperbaikinya dan mengubur tatanan yang mengekangnya. Seandainya alam itu tidak mau menentang dan menolaknya dan mengharuskannya untuk melakukan sesuatu yag tidak sesuai, maka tidaklah berani ia menyimpang dari jalannya





BAB II
PAMBAHASAN

A.    Teori-teori fungsional mengenai agama
Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[1]
Sebelum kita membahas tentang fungsi-fungsi sosiologi agama, hendaknya kita pahami terlebih dahulu fungsi-fungsi agama terhadap masyarakat. Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal. Kedua, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran kepribadian. Maka harus ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.[2]
Fungsi agama( fungsional agama) yang tidak hanya didasarkan pada logika rasional, tetapi juga pada logika empiris( menurut para sosiolog), fungsi agama dalam masyarakat meliputi tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Beberapa tokoh memaparkan asumsi teori-teori fungsi (fungsional) agama yang berbeda-beda. Berikut ini asumsi tokoh-tokoh tersebut [3]
1.       Asumsi teori fungsional E. Durkheim
Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama.Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembali..
2.      Asumsi teori fungsional Berger
Bahwa setiap system makna tergantung pada struktur rasionalitasnya, namun pandangan ini tidak boleh dianggap sama dengan agama merupakan selalu epifonomen. Menurut  Berger fungsi agama untuk memperkuat dan menimbulkan solidaritas social justeru secara fundamental, artinya agama merupakan salah satu benteng pertahanan untuk menghadapi anomie ( kericuhan ) sepanjang sejarah manusia.[4]
3.      Asumsi teori fungsional Luckmann
Dalam rangka mempertahankan kesadaran dasar mengenai konsep agama, memerlukan transendensi biologic dengan organisme manusia sebagai gejala keagamaan, gejala ini tergantung pada hubungan fungsional antara jiwa dan masyarakat, dan bisa dianggap proses social yang menjurus kepada penbentukan jiwa secara fundamental  bersifat keagamaan merupakan antropologik agama. Agama dalam masyarakat yang statis ( dapat dilihat ) akan selalu berfungsi sebagai suatu ikatan social, akan tetapi jika masyarakat tersebut mengalami perubahan secara cepat, maka akan semakin banyak ubahan dalam fungsi agama.[5]
4.      Asumsi teori fungsional Thomas O’Dea
Agama berkaitan dengan penyesuaian dan identitas perorangan dan berkaitan dengan pengendalian social dengan sakralisasi norma –norma social serta mengkhususkan fungsi profetik yang bersifat positif. Agama juga meritualisasikan optimisme bila terlalu kuat menghambat terjadinya proses terhadap ketidakadilan dan penderitaan – penderitaan yang semestinya tidak perlu terjadi. Dan agama yang melakukan sakralisasi terhadap norma social bisa menghalangi penyesuaian terhadap berbagai aturan dengan lingkungan dan situaasi yang baru.[6]
5.      Asumsi teori fungsional Karl Marx dan Engels
Karl Marx dan Engels berasumsi bahwasannya agama merupakan tatanan social dan system klasifikasi social yang mereka kuasai merupakan pemberian tuhan dan bukan ciptaan manusia. Agama hanyalah sebagai pemisah klasifikasi social.[7]
6.      Asumsi teori fungsional Freud
Agama merupakan fantasi oedipal yang agama berfungsi sebagai landasan kepercayaan terhadap adanya Tuhan yang menuntut penyembahan dan kepatuhan serta penjatuhan hukuman atas perbuatan dosa.[8]

B.     Agama dalam teori Comte dan Marx
Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte.
Comte meyakini juga bahwa pengetahuan seperti ini dihasilkan pada tahapan pertama agama, yaitu pada tahapan teologi, karena manusia pada saat itu senantiasa berfikir secara sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung dapat memberikan sebuah jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk sederhana. Pandangannya mengenai agama.
1.        Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama.
2.        Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai pranata-pranata sosial. Menurut Comte; "setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria militer, tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja dimulai, di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh etika para ilmuan.[9]
3.        Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta.[10]
Dalam pandangan Karl Marx agama adalah sistem sosial yang digunakan untuk menetralisir situasi hati yang kurang menguntungkan. Agama dibutuhkan oleh orang-orang yang kacau. Hal ini sesuai dengan kalimat Marx bahwasanya “Agama adalah Candu bagi masyarakat”.  Menurutnya, karena ajaran agamalah maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Marx melihat kaum buruh pada zaman itu pasrah akan keadaan yang mereka terima. Eksploitasi dari kaum kapitalis diterima dengan dingin tanpa ada usaha untuk melawan. Akhirnya agamalah yang menjadi tempat mereka bersandar sebagai penghiburan dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kehidupan. Agama menjadi tempat pelarian manusia dari kondisi dunia nyata. Kehidupan yang kurang menguntungkan membuat manusia menderita dan mencari obat penenang dalam kehidupan keagamaan.

C.     Agama dalam Teori Emile Durkheim dan Max Weber
Sosiologi agama merupakan salah satu diskursus yang terpenting dalam sosiologi, para pendahulu sosiologi masing-masing dari mereka telah mengkonsepkan agama sebagai sesuatu relitas dalam masyarakat yang ada secara nyata.  Durkheim memandang agama sebagai sesuatu yang bukan hanya ilusi manusia yang abstrak tetapi agama merupakan produk manusia yang dapat dikaji secara empiris. Dalam bukunya "The Elementary Forms of Religious" Durkheim memberikan suatu analisa terperinci mengenai kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual agama totemik orang arunta, suku bangsa primitive di Australia utara.[11]
Durkheim mendefinisikan agama sebagai "Suatu System yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda suci atau benda-benda khusus (terlarang) kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat, semua berhubungan dengan itu. [4]
Durkheim mengabstraksi munculnya agama dalam masyarakat yaitu dengan memisahkan antara yang sacral dan yang profan.

1.      Sakral
Sakral berasal dari ritual-ritual keagamaan yang merubah nilai-nilai moral menjadi symbol-simbol religious dimana dimanifestasikan menjadi sesuatu yang riel. Masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sekral dan sementara yang lain dianggap profan (kejadian yang umum atau biasa), sacral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Misalnya nilai-nilai pengrusakan atau kejahatan manusia dimanifestasikan dalam agama hindu sebagai siwa sebagai dewa perusak. Sehingga dapat dikatakan Tuhan tak lebih dari sekedar hasil pengejawantahan wujud Tuhan dan simbolisasiNya (Durkheim 1906/1974:52) artinya masyarakatlah sumber dari kesakralan itu sendiri.
2.      Profan
Profan adalah peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat dikehidupan sehari-harinya yang tidak memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan. Yang profan ini dapat menjadi sakral jikalau masyarakat mengagungkan dan menyucikannya.

3.      Totemisme
Totemisme adalah system agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan dianggap sakral dan dijadikan simbol klan. Menurut Durkheim totemisme merupakan agama yang paling sederhana dan primitive yang juga merupakan bentuk organisasi social yang paling sederhana. Totemisme ini berasal dari representasi klan atau suku, individu mengalami kekuatan social yang sangat erat dan besar ketika mengikuti upaca suku sehingga mereka berusaha mencari penjelasan atas fenomena tersebut dan mewujudkannya dalam suatu lambing totem.
Jadi dapat dikatakan totem adalah representasi material dari kekuatan non material yang menjadi dasarnya, dimana kekuatan nonmaterial itu adalah perasaan individu-individu dalam masyarakat. Sebenarnya masih banyak pembahasan dalam tulisan ini dikarenakan masih banyak agenda yang mesti saya selesaikan ingsallah tulisan ini nantinya akan diedit dan ditambah dilain waktu.[12]
Pandangan Max Weber dalam teori agama diawali dengan esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat. Agama menurut Max Weber adalah sistem sosial yang dapat memperkuat identitas diri masyarakat. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu itu sendiri. Agama adalah apa yang bisa dilihat dari orang lain, bukan yang diyakininya. Seperti pemakaian busana yang tampak sebagai identitas agama yang dianutnya[13]
D.    Agama dalam Teori Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun seorang tokoh dan pemikir muslim, nama lengkapnya Abd al-Rohman (Abu Zaid) bin Muhammad bin Abi Bakar bin Hasan. Ia dilahirkan di Trus pada tanggal 17 Mei 1332 M, dari keluarga Aristokrat yang berasal dari Hadramaut, dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406 M.
Dua buah karyanya yang terbesar yaitu kitab al-Ibrar dan Muqadimah Ibn Khaldun yang selesai di tulis pada tahun 1377 M. Muhsin Mahdi mengemukakan bahwa Ibn Khaldun tidak menulis karya bidang sejarah seperti lazimnya di zaman itu, tetapi menyusun suatu karya bercorak baru yang belum di kenal sebelumnya. Dengan cara ini Ibn Khaldun melakukan perubahan dalam penulisan sejarah dengan melakukan analisis mendalam tentang peristiwa sejarah.[14]
Ibnu Khaldun terkenal pula dengan suatu teori yang disebut “Ashabiyah” yakni adanya persamaan kepentingan sebagai akibat dari adanya saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan tertentu menyebabkan orang bergabung dan bersatu dalam kelompoknya dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Ibn Khaldun mengatakan bahwa Ashabiyah muncul karena empat sebab, yakni :
1.      Ikatan darah atau keturunan dan kerabat
2.      Ikatan perjanjian atau persekuruan
3.      Ikatan yang timbul karena hubungan perlindungan dengan yang dilindungi karena bergabungnya seseorang atau sekelompok dengan kelompok lain dan menyatakan loyal terhadap kelompok yang melindunginya.
4.      Ikatan agama.[15]
Ibn Khaldun adalah seorang yang menonjolkan etnis satu atas etnis yang lain. Dari ras-ras yang ditonjolkan adalah ras Arab, yang berikut ini adalah sebagian dari teorinya mengenai agama itu sendiri .
1.      sesungguhnya Ras Arab dengan ciri pengembara yang ada pada mereka adalah ras perampok dan pemalas. Mereka merampok menurut kemampuan mereka, tanpa penaklukan dan menghindari bahaya.
2.      sesungguhnya, semua itu menjadi naluri dan watak mereka. Mereka merasa enak di luar (tidak terlihat) oleh ketentuan-ketentuan hukum dan tidak terikat oleh politik. Watak ini berbeda jauh dengan watak etnis menetap.
3.      etnis Arab sungguh lebih baik pengembangan dari etnis manapun, sikap ini telah mempengaruhi sebagian pemikir. Pengaruh itu nampak dari pendirian yang berbeda.[16]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Fungsi agama( fungsional agama) yang tidak hanya didasarkan pada logika rasional, tetapi juga pada logika empiris( menurut para sosiolog), fungsi agama dalam masyarakat meliputi tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini di paparkan , kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita sem




DAFTAR PUSTAKA
O’dea Thomas F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990
Agus Bustanuddin, Agama Dalam kehidupan Manusia, Raja Wali Press,Jakarta, 2006
Betty Scharf R, Kajian Sosiologi Agama.. Yogyakarta : Tiara Wacana 1995 1995

Jhonson Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I penerjemah Robert M.Z Lawang  Jakarta Gramedia pustaka Utama, 1990

Depag RI, Ensiklopedi Islam, CV. Anda Utama, Jakarta, 1993

Al-Madani Syaikh Muhammad, Masyarakat Ideal dalam Perspektif Surah an-Nisa’, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002





[1] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990, hal.28
[2] Bustanuddin Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, Raja Wali Press,Jakarta, 2006, hal.69
[3] Scharf R Betty, Kajian Sosiologi Agama.. Yogyakarta : Tiara Wacana 1995 1995 ) h.94

[4] Ibid, h. 98-99
[5] Ibid, h. 103
[6] Ibid, h. 105
[7] Ibid, h. 109
[8] Ibid, h. 118
[9] Kehidupan dan Pemikiran para Pembesar Sosilogi; Terjemahan Muhsin Tsulasi, hal. 30
[10] Tahapan pemikiran dalam sosiologi; Raymon ; terjemahan Baqir Parhom ; hal 118. 
[11] Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I (penerjemah Robert M.Z Lawang  Jakarta Gramedia pustaka Utama, 1990) hlm 196
[12] Ibid, h. 198
[13] Ibid, h. 121
[14] Depag RI, Ensiklopedi Islam, CV. Anda Utama, Jakarta, 1993, hlm. 387
[15] Ibid, hlm. 388
[16] Syaikh Muhammad al-Madani, Masyarakat Ideal dalam Perspektif Surah an-Nisa’, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002, hlm. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)