MAKALAH
Pengantar Studi Hukum Islam
Pengantar Studi Hukum Islam
Tentang
Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama
O l e h:
Kelompok X
Dosen Pembimbing
Hamda
Sulfinadia, M.Ag
JURUSAN MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL
PADANG
1437 H/ 2016 M
KATA
PENGANTAR
ÉOó¡Î0
«!$#
Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$#
Puji
dan syukur dipersembahkan kepada ALLAH SWT, Tuhan seru sekalian alam, karena
limpahan rahmat, hidayah serta kasih sayang-Nya kepada pemakalah sehingga dapat menyelesaikan makalah ini,
yang berjudul “Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama”. Salawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus membawa syariah yang
mudah sebagai jalan dalam menempuh kebahagiaan dunia dan akhirat menuju
keridhaan-Nya.
Selanjutnya
penulis menyampaikan rasa terima kasih Kepada Ibu Hamda Sulfinadia, M.Ag Pengampu
Mata Kuliah Pengantar Studi Hukum Islam yang telah membimbing pemakalah
dalami mata kuliah ini.
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
KATA PENGATAR.........................................................................................
i
DAFTAR ISI......................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
1
A.
Latar
Belakang Masalah..........................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah....................................................................................
1
BAB I PEMBAHASAN....................................................................................
2
A.
Perbedaan
Dalam Menggunakan Dan Memahami Ayat Al-Qur’an
Dan Fiqih Yang Dihasilkan.....................................................................
2
B.
Perbedaan
Dalam Menggunakan Dan Memahami Sunnah
Serta Fiqih Yang Dihasilkan....................................................................
7
BAB III KESIMPULAN.................................................................................
10
A.
Kesimpulan.............................................................................................
10
B.
Kritik
Dan Saran.....................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat mengenai
penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau
masih hidup. Tetapi berbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan
mengembalikannya kepada Rasululloh SAW. Setelah beliau wafat, maka sering
timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Salah
satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para
ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari
perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati
daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama
Dalam makalah ini akan
dijelaskan para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum Dalam peta
keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang,
sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki
perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna
Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga
tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam
penafsiran Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke
zaman.
B.
Rumusan Masalah
1.
Perbedaan
Dalam Menggunakan Dan Memahami Ayat Al-Qur’an Dan Fiqh Yang Dihasilkan
2.
Perbedaan
Dalam Menggunakan Dan Memahami Sunnah serta Fiqh Yang Dihasilkan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERBEDAAN DALAM MENGGUNAKAN DAN MEMAHAMI AYAT AL-QUR’AN DAN FIQH
YANG DIHASILKAN
1.
Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.
Al-Qur'an
adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka
seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a)
Ada
sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan
"suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat
perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar)
memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka
baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa
dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun
belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal
ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata
"quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya.
Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah
dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah
memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
b)
Susunan
ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf
"fa", "waw", "aw", "illa",
"hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya.
Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi.
Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib
dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf
"FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi"
(susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami
setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur
dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh
talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri
(untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c)
Perbedaan
memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan
nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga
membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak
ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui
(misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi
ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh
jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas
yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata
"amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat
(makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh
yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan
"ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah"
itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke
dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Nah,
persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:
1)
lafaz
umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
2)
lafaz
umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
3)
lafaz
khusus dan memang maksudnya khusus; atau
4)
lafaz
khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga
perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama
memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir
pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan
merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d)
Perbedaan
dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk
"amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:
a)
al-aslu
fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk
dilakukan)
b)
al-aslu
fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk
dilakukan)
c)
al-aslu
fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk
dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah)
menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz
"fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg
kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang
bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur
ulama).
2.
Fiqih yang dihasilkan
Sedangkan dalam
hukum (ilmu fikih) lahir beberapa mazhab, di antaranya, mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali (keempat mazhab ini adalah mazhab besar), serta
mazhab-mazhab lainnya yang termasuk mazhab kecil, yaitu mazhab at-Tauri,
an-Nakha’i, at-Tabari, al-Auza’idan az-Zahiri.Khusus dalam bidang hukum Islam
(fikih), hal tersebut di atas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
perbedaan pendapat. Masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya
perbedaan pendapat dalam fikih. Faktor-faktor lain inilah yang penulis ingin
bahas dalam makalah ini.
Faktor Penyebab
Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam. Jika kita memasuki kawasan
hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya perbedaan
pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyekbahasan fikih biasanya
adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yanguntuk menentukan hukumnya
harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.
Sebagai contoh,
Dalam masalah hukum membaca Quran bagi orang yang sedang haid,
terjadiperbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya
tidakboleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia dalam keadaan
tidaksuci dan ada Hadis yang melarangnya.
Ada pula yang
membolehkannya, dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkanketidakbolehannya.Contoh
lainnya adalah: Ada sebagaian ulama mensyahkan thalaq dengan ucapan marah
apalagi tanpa marah tanpa melalui rukun2 nya yang disyariatkan ALLAH SWT dalam
hukum Nya (al-qur'an) ,sementara yang lain berpendapat bahwa sebagaimana Nikah
ada rukun nya demikianjuga dengan Thalaq ada rukun2 nya yang telah ALLAH
tentukan di dalam hukum nya (Al Quran), kalau tidak mengikuti rukun-rukun
dimaksud akan timbul banyak modhurat nya, akan banyak Istri dan anak-anak bisa menjadi korban
pendzaliman dari para suami, kalau suami se-enak nya saja ucapkan thalaq dan
disyahkan oleh ulama , contoh mau menikah lagi , istri yang mau dinikahi minta
dia menceraikan dulu, dan suami mengikuti permintaan dzalim perempuan itu ,
atau sudah punya istri empat mau menikah lagi maka salah satu istri diceraikan
, ketika terjadi keributan diantara pasangan suami istri dan setan yang
bertugas menceraikan pasangan suami istri ikut peran, suami menalak istri dalam
keadaan marah tak terkendali ada ulama yang mengatakan syah cerai nya tanpa
mengikuti rukun-rukun yang ALLAH SWT tentukan, ada maszhab yang mensyahkan dan ada
juga maszhab lain yang tidak mensyahkan kata cerai yang terlontar dalam kondisi
amarah tsb.
Para ulama yang
shahih berpendapat bahwa thalaq itu
harus di persiapkan dan diucapkan dengan tekad yang sungguh–sungguh (berazham)
,dalam keadaan sadar , jelas alasan sar’i nya, di masa suci sebelum di gauli
(atau sedang tidak sedang haid) , adanya 2 saksi yang adil dll. ( ath Thalaq,
1) dan itu pun sebelum nya harus ada hakim diantara kedua pasangan itu untuk
lebih dulu menyelesaikan problem pasangan itu.
Contoh lain :
Seorang istri
yang ditalak tiga oleh suaminya dengan mengikuti rukun2 yang ditentukan Alloh
dlm hukum2 Nya ( Al Qur'an). (Setelah ke -1 dan ke-2) Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak
boleh dirujuk oleh suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan
suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapka
oleh Allah dalam Quran surat al-Baqarah (2): 230
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù yy$uZã_ !$yJÍkön=tæ br& !$yèy_#utIt bÎ) !$¨Zsß br& $yJÉ)ã yrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# $pkß]Íhu;ã 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇËÌÉÈ bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù yy$uZã_ !$yJÍkön=tæ br& !$yèy_#utIt bÎ) !$¨Zsß br& $yJÉ)ã yrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# $pkß]Íhu;ã 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇËÌÉÈ
Artinya ; Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) Mengetahui.
Yang
diperselisihkan adalah : apakah istri dan suaminya yang baru itu harus
melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka bercerai.
Sebagian besar
ulama berpen-dapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus disetubuhi dahulu oleh
suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat bahwa suami
pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah diceraikan oleh suami
barunya, walaupun belum disetubuhi.Kedua contoh ini merupakan masalah yang
masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya
tidak luput dari terjadinya perbedaan pendapat. Faktor penyebab terjadinya
perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak, sehingga di antara para ulama
terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab
terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih.
B.
PERBEDAAN DALAM MENGGUNAKAN DAN MEMAHAMI SUNNAH SERTA FIQH YANG
DIHASILKAN
1.
Kedudukan hadis
Para ulama
sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi
kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam
memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang
banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang,
yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada
pula yang mengatakan tujuh puluh orang.
Artinya,
walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka
berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh
jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang
tidak mutawtir oleh ulama yang lain.
Begitu pula
halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis
itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya
saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr
menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim
memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun
Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini.
Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah
(kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya,
walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan
shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka
berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis
dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg
syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain
(karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).
Persoalan lain
adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat)
diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama
mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat
umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.
Bagaimana bila
teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama
langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan
mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan
tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat,
sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya
(ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari
emas).
2.
Makna suatu hadis
Hadis Nabi
mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan
wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis
diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya.
Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan
perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya
itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat
adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa
wali.
Contoh lain,
apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama
mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu
ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga
terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa
hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada
setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang
menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia
kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang
cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis
yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.
Hal terakhir
ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun
ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi
tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian
ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi
memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena
tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Keimpulan
Demikianlah
sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada
dua sebab utama: Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis
serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka. Sebab eksternal, yaitu
perbedaan sosio-kultural dan geografis. Persoalannya sekarang, bagaimana kita
mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa
keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka
silahkan Kita pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah
cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah ini pemakalah buat, pemakalah menyadari bahwa banyak terdapat
kekuarangan baik dari segi penulisan maupun dari segi sumbernya, mak dari itu
pemakalah berharap saran dan tamabahan dari pembaca dan dari dosen pengampu
mata kuliah ini. Atas perhatiannya pemakalah ucapakan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Nadirsyah Hosen,
Artikel, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Abuzahrah
Muhammad, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakankesepuluh)
2007
DjazuliH.A., Ilmu
Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:PT.
Prenada Meia 2005
M. Taqiy
al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)