Jumat, 21 Oktober 2016

Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama

MAKALAH
Pengantar Studi Hukum Islam


Tentang 
Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama


Description: D:\Logo Campus\Logo-IAIN-Imam-Bonjol-Padang.jpg
O l e h:
Kelompok X






Dosen Pembimbing
Hamda Sulfinadia, M.Ag









JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
1437 H/ 2016 M
 


KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
Puji dan syukur dipersembahkan kepada ALLAH SWT, Tuhan seru sekalian alam, karena limpahan rahmat, hidayah serta kasih sayang-Nya kepada pemakalah  sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul “Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama”. Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus membawa syariah yang mudah sebagai jalan dalam menempuh kebahagiaan dunia dan akhirat menuju keridhaan-Nya.
Selanjutnya penulis menyampaikan rasa terima kasih Kepada Ibu Hamda Sulfinadia, M.Ag Pengampu Mata Kuliah Pengantar Studi Hukum Islam yang telah membimbing pemakalah dalami mata kuliah ini.
Text Box: i

 


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
KATA PENGATAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.    Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 1
BAB I PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A.    Perbedaan Dalam Menggunakan Dan Memahami Ayat Al-Qur’an
Dan Fiqih Yang Dihasilkan..................................................................... 2
B.     Perbedaan Dalam Menggunakan Dan Memahami Sunnah
Serta Fiqih Yang Dihasilkan.................................................................... 7
BAB III KESIMPULAN................................................................................. 10
A.    Kesimpulan............................................................................................. 10
B.     Kritik Dan Saran..................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

Text Box: ii
 











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup. Tetapi berbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan mengembalikannya kepada Rasululloh SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama
 Dalam makalah ini akan dijelaskan para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum Dalam peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman.
B.     Rumusan Masalah
1.      Perbedaan Dalam Menggunakan Dan Memahami Ayat Al-Qur’an Dan Fiqh Yang Dihasilkan
2.      Perbedaan Dalam Menggunakan Dan Memahami Sunnah serta  Fiqh Yang Dihasilkan



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERBEDAAN DALAM MENGGUNAKAN DAN MEMAHAMI AYAT AL-QUR’AN DAN FIQH YANG DIHASILKAN
1.      Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a)      Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata "quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
b)      Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c)      Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sbb:
1)      lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
2)      lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
3)      lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
4)      lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d)     Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga kemungkinan:
a)      al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk dilakukan)
b)      al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk dilakukan)
c)      al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'" (nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
2.      Fiqih yang dihasilkan
Sedangkan dalam hukum (ilmu fikih) lahir beberapa mazhab, di antaranya, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali (keempat mazhab ini adalah mazhab besar), serta mazhab-mazhab lainnya yang termasuk mazhab kecil, yaitu mazhab at-Tauri, an-Nakha’i, at-Tabari, al-Auza’idan az-Zahiri.Khusus dalam bidang hukum Islam (fikih), hal tersebut di atas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Faktor-faktor lain inilah yang penulis ingin bahas dalam makalah ini.
Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam. Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyekbahasan fikih biasanya adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yanguntuk menentukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.
Sebagai contoh,
Dalam masalah hukum membaca Quran bagi orang yang sedang haid, terjadiperbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya tidakboleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia dalam keadaan tidaksuci dan ada Hadis yang melarangnya.
Ada pula yang membolehkannya, dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkanketidakbolehannya.Contoh lainnya adalah: Ada sebagaian ulama mensyahkan thalaq dengan ucapan marah apalagi tanpa marah tanpa melalui rukun2 nya yang disyariatkan ALLAH SWT dalam hukum Nya (al-qur'an) ,sementara yang lain berpendapat bahwa sebagaimana Nikah ada rukun nya demikianjuga dengan Thalaq ada rukun2 nya yang telah ALLAH tentukan di dalam hukum nya (Al Quran), kalau tidak mengikuti rukun-rukun dimaksud akan timbul banyak modhurat nya, akan banyak  Istri dan anak-anak bisa menjadi korban pendzaliman dari para suami, kalau suami se-enak nya saja ucapkan thalaq dan disyahkan oleh ulama , contoh mau menikah lagi , istri yang mau dinikahi minta dia menceraikan dulu, dan suami mengikuti permintaan dzalim perempuan itu , atau sudah punya istri empat mau menikah lagi maka salah satu istri diceraikan , ketika terjadi keributan diantara pasangan suami istri dan setan yang bertugas menceraikan pasangan suami istri ikut peran, suami menalak istri dalam keadaan marah tak terkendali ada ulama yang mengatakan syah cerai nya tanpa mengikuti rukun-rukun yang ALLAH SWT tentukan, ada maszhab yang mensyahkan dan ada juga maszhab lain yang tidak mensyahkan kata cerai yang terlontar dalam kondisi amarah tsb.
Para ulama yang shahih  berpendapat bahwa thalaq itu harus di persiapkan dan diucapkan dengan tekad yang sungguh–sungguh (berazham) ,dalam keadaan sadar , jelas alasan sar’i nya, di masa suci sebelum di gauli (atau sedang tidak sedang haid) , adanya 2 saksi yang adil dll. ( ath Thalaq, 1) dan itu pun sebelum nya harus ada hakim diantara kedua pasangan itu untuk lebih dulu menyelesaikan problem pasangan itu.
Contoh lain :
Seorang istri yang ditalak tiga oleh suaminya dengan mengikuti rukun2 yang ditentukan Alloh dlm hukum2 Nya ( Al Qur'an). (Setelah ke -1 dan ke-2)  Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapka oleh Allah dalam Quran surat al-Baqarah (2): 230
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇËÌÉÈ bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇËÌÉÈ
Artinya            ; Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.
Yang diperselisihkan adalah : apakah istri dan suaminya yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka bercerai.
Sebagian besar ulama berpen-dapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi.Kedua contoh ini merupakan masalah yang masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari terjadinya perbedaan pendapat. Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak, sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih.
B.     PERBEDAAN DALAM MENGGUNAKAN DAN MEMAHAMI SUNNAH SERTA FIQH YANG DIHASILKAN
1.      Kedudukan hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang.
Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.
Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus (nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain bersifat mengecualikan keumuman itu.
Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari emas).
2.      Makna suatu hadis
Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang pada hadis Salim.
Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.







BAB III
PENUTUP
A.    Keimpulan
Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama: Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun metode ijtihad mereka. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural dan geografis. Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan Kita pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini pemakalah buat, pemakalah menyadari bahwa banyak terdapat kekuarangan baik dari segi penulisan maupun dari segi sumbernya, mak dari itu pemakalah berharap saran dan tamabahan dari pembaca dan dari dosen pengampu mata kuliah ini. Atas perhatiannya pemakalah ucapakan terima kasih.







DAFTAR PUSTAKA
Nadirsyah Hosen, Artikel, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Abuzahrah Muhammad, ushul fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firadaus (cetakankesepuluh) 2007
DjazuliH.A., Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:PT. Prenada Meia 2005
M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)