Sabtu, 08 Oktober 2016

HUKUM ADAT-ADAT BASANDI SYARA’ SYARA’ BASANDI KITABULLAH

MAKALAH
HUKUM ADAT
Tentang
ADAT BASANDI SYARA’
SYARA’ BASANDI KITABULLAH





Oleh :
ARISTION
311.159




Dosen pembimbing :
Afifah Djalal,S.H.,MH





JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M




BAB I
PENDAHULUAN
            Menurut Kahin salah satu ciri pembeda antara suku Minangkabau dengan suku bangsa lain adalah keserasian antara sistem matrilineal dan keteguhan terhadap Islam. Titik temu filsafat kebudayaan Minangkabau dengan nilai-nilai Islam memiliki akar sejarah (Kratz, 2002: ix) yang panjang dan khas yaitu Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabulah’ (Bahar, 2008: Mahmud, 2010:1) dan alam takambang jadi guru. Nilai inilah yang menjadi pedoman dan semangat bagi suku Minangkabau dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di kampung halaman maupun di rantau.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah ungkapan yang lazim di tengah masyarakat Minangkabau. Menurut Thaib (1965:7),
“ Adat Minangkabau ialah suatu susunan peraturan hidup yang diatur dengankato-kato. Adapun kato-kato itu adalah satu istilah adat yang artinya serangkaian perkataan terdiri dari dua kalimat pendek, tetapi daam artinya luas pahamnya, misalnya hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Artinya segala tingkah laku yang fi’il perbatan yang merupakan sikap hidup dalam kelompok-kelompok kesatuan masyarakat haruslah menurut peraturan adat yang dilahirkam oleh norma-norma yang dikandung kato-kato.”





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah
Pepatah yang berbunyi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, merupakan ungkapan kehidupan orang Minangkabau. Pernyataan adat ini mengandung makna bahwa adat yang berlaku di Minangkabau adalah adat Islamiyah (adat yang diatur menurut norma-norma dan aturan/sistem Islam) bukan adat jahiliah, disamping itu juga mengindikasikan bahwa setiap orang Minangkabau beragama Islam, jika tidak beragama Islam, maka orang tersebut bukanlah orang Minang.
Pepatah ini diungkap pertama kali pada pertemuan akbar para pemuka adat dan alim ulama se-Alam Minangkabau di puncak bukit Marapalam Batusangkar. Pepatah ini muncul setelah mengalami proses sejarah yang panjang semenjak Islam masuk ke Ranah Minang.[1]
Sebagai ummat Islam yang berasal dari Minangkabau, yang juga merupakan bagian dari ummat Islam di seluruh dunia, haruslah menyadari bagaimana sulitnya perjuangan para pendahulu kita demi tegaknya syari’at Islam seperti yang tergambar dalam pepatah tersebut, walaupun baru dalam bentuk wacana dan kesepakatan.
Kalau kita kaji kembali secara mendalam, pengertian dari pepatah tersebut adalah harus dilakasanakan hukum Islam secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan walau barang sedikitpun. Oleh karena itu apakah mungkin dalam kehidupan seperti saat ini yang didominasi oleh alam pikir Sekularisme yang digembor-gemborkan oleh penjajah Barat ke seluruh dunia Islam akan dapat melihat kebenaran pepatah adat tersebut ?? Tentu kita tidak akan pernah melihat, sebab adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah hanya akan dapat kita lihat dalam naungan Islam (Sistem Islam) yaitu Daulah Khilafah atas manhaj kenabian, sebagaimana yang telah pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya hingga hancurnya pada tanggal 24 Maret 1924. Semenjak hancurnya hingga saat ini kita tidak menemukan satupun negara di dunia yang melaksanakan sistem Islam.
Definisi Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah adalah adat yang didasarkan/ditopang oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Quran dan Hadist.
Adat dalam minangkabau terbagi bagi 4 :[2]
1.      Adat Nan Sabana Adat
yaitu adat asli, yang tak berubah, tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh. Adat Nan Sabana Adat ini diungkapkan kata pepatah petitih berkaitan dengan “Hukum Alam”
2.      Adat Nan diadatkan
seperti Undang-undang luhak dan rantau. Disini berlaku seumpama : “jiko dicabuik mati, jiko diasak layua”
3.      Adat Nan Teradat
merupakan aturan yang lahir dari hasil musyawarah mufakat/ konsensus ; seperti ungkapan : “Patah tumbuah hilang baganti”
4.      Adat Istiadat
yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat umum atau setempat, seperti acara seremonial, pergaulan sehari-hari yang sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Dalam mamangmya, Adat istiadat itu “gadangnyo dek diambak, tingginyo dek dianjuang” , hanya tumbuh apabila dirawat dengan baik.
Dalam pepatah petitih adat itu diungkapkan sebagai berikut :
Si Amaik mandi ka luak
Luak parigi paga bilah
Bilah bapilah kasadonyo
Adaik basandi syarak
Syarak basandi kitabullah
Sanda manyanda kaduonyo
Pinang masak bungo bakarang
Timpo batimpo saleronyo
Jatuah baserak daun sungkai
Tiang batagak sandi dalang
Kokoh-mangokoh kaduonyo
Adaik jo syarak takkan bacarai
Adaik basandi syarak
Syarak basandi Kitabullah
Syarak mangato-adaik mamakai
Camin nan indak kabua
Palito nan indak padam
Alam takambang jadi guru
Adaik basandi syarak
Syarak basandi Kitabullah
Hiduik batampek-mati bakubua
Kuburan hiduik dirumah gadang
Sakik basilau-mati bajanguak
Nan tuo dihormati
Nan ketek dikasiahi
Samo gadang bao bakawan
Ibu-bapak lebih sekali
Kalau dibalun sabalun kuku
Kalau dikambang saleba alam
Walau sagadang biji labu
Bumi jo langik ado disitu
Sakali aia gadang
Sakali tapian baranjak
Sakali musim batuka
Sakali caro baganti
Nan adaik barubah indak

Sebagai pemuda dan pemudi Islam yang tidak terbatas hanya di alam Minangkabau, tentu kita harus memperjuangkan adat basandi syara’ basandi kitabullah di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu kita harus mengetahui langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan Daulah Islam tersebut, hal ini kita lakukan dengan cara mengikuti contoh dan tauladan Rasulullah Saw ketika mendirikan daulah Islam di Madinah.
Harus diketahui dan dipahami bahwa perjuangan dalam rangka mewujudkan sistem Islam tersebut, tidak mungkin dilakukan secara individual, akan tetapi harus dilakukan secara jamaah. Oleh karena itu harus ada sebuah jamaah yang secara konsisten memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam di permukaan bumi ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Imran ayat 104 yang berbunyi :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan (Islam), yang senantiasa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan merekalah golongan yang menang”. (Q.S. 3 : 104)
Perjuangan mendirikan khilafah merupakan perjuangan politik, oleh karena itu jamaah tersebut haruslah berbentuk partai politik yang senantiasa melakukan aktivitas politik dalam rangka mewujudkan sistem Islam tersebut. Sebab tanpa melakukan aktifitas politik, maka memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang merupakan lembaga poilitik akan sia-sia.
Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani seorang pendiri dan pemimpin Hizbut Tahrir (Partai Politik yang bertujuan mendirikan Khilafah Islamiyah), langkah-langkah yang ditempuh Rasul dalam mendirikan Daulah Islam tersebut adalah sebagai berikut :[3]
1.      Tahap Tastqif wa Takwin
Tahap ini merupakan tahap pembentukan pondasi gerakan, hal ini telah di lalui Rasulullah selama tiga tahun ketika berdakwah secara sirriyah (rahasia) yang dikumpulkan di rumah Arqam bin Abi Arqam. Pada saat ini partai mulai membina orang-orang yang bersedia menjadi anggota dengan tsaqafahnya. Perlu diketahui bahwa pembinaan yang dilakukan pada tahap ini bukan berupa ta’lim, akan tetapi sesuatu yang dipelajari harus dilaksanakan dan diterapkan. Sehingga setiap orang dibina akan memiliki fikrah dan nafsiah yang sangat membekas ke dalam jiwanya, mereka akan menjadi orang-orang yang mempunyai syakhsiyah Islamiyah yang agung dan siap mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia serta siap menghadapi rintangan seberat apapun. 
2.      Tahap Interaksi dan Perjuangan
Pada tahapan ini terjadi interaksi dengan masyarakat tempat partai itu hidup, sampai idiologinya menjadi kebiasaan umum sebagai hasil dari kesadaran masyarakat akan idiologi itu hingga masyarakat menganggap bahwa ideologi partai itu merupakan idiologi mereka, sehingga mereka mau membelanya bersama-sama. Hal ini seperti tampak dalam sejarah Rasul, ketika beliau diperintahkan untuk menyeru umat secara terang-terangan, dan menyeru keluarganya yang terdekat terlebih dahulu setelah melakukan pembinaan kepada pengikutnya selama tiga tahun. Tahapan ini penuh dengan perjuangan, karena akan terjadi pergolakan antara umat dan orang-orang yang akan menghalangi diterapkannya Islam yaitu para penjajah dan orang-orang yang mereka rancang untuk menghalangi penerapan Islam itu, seperti kelompok-kelompok penguasa, orang-orang zhalim dam para pengikut tsaqafah asing.
3.      Tahap Pengambil Alihan Kekuasaan
Tahapan pengambil alihan kekuasaan ini dilakukan melalui umat, sehingga Islam dapat diterapkan kepada umat. Dari tahapan ini kelompok dakwah mulai melakukan amaliah praktis dalam medan kehidupan. Dakwah kepada Islam merupakan tugas utama negara dan kelompok dakwah, karena Islam adalah idiologi yang wajib diemban oleh negara dan ummat. Hal ini telah pernah dicontohkan oleh Rasulullah, setelah beliau melakukan thalabun nushrah (meminta pertolongan) kepada kabilah-kabilah yang ada di jazirah Arab. Ajakan beliau ini disambut oleh kabilah Aus dan Khajraj hingga mereka melakukan sumpah setia pada baiat Aqabah I dan II. Semenjak saat itu Islam telah diterapkan secara sempurna sesuai dengan turunnya ayat, kemudian mulailah dilakukan upaya penyebaran Islam dengan jihad fisabilillah yaitu dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang ada di sekitar Daulah Islam.

B.     Sejarah Munculnya Pepatah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah
Sebagaimana ungkapan pepatah adat : Syara’ mandaki adat menurun, artinya syara’ munculnya dari pesisir menuju ke pedalaman, sedangkan adat munculnya dari pedalaman menuju pantai. Dalam perjalanan keduanya tentu mengalami benturan-benturan yang kadang kala menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat. Syara’ yang datang kemudian dan memperjuangkan kebenaran yang datang dari Ilahi ingin mendominasi keadaan masyarakat yang sudah mapan dengan adat jahiliyah (Hindu). Hal itu tentu tidak dapat diterima begitu saja oleh kaum adat yang merasa telah mapan dengan kebenaran yang mereka miliki.
Pada mulanya adat dan syara’ di Minangkabau berjalan sejajar ibarat rel kereta api yang tidak pernah bertemu dan masing-masing melaksanakan fungsinya, serta tidak ikut campur dalam urusan yang bukan urusannya, hal ini sebagaimana tergambar dalam pepatah adat yang berbunyi : Adat basandi alur dan patut, syara’ basandi kitabullah. Pada tahap selanjutnya adat dan syara’ saling bersentuhan, sehingga diantara keduanya saling melengkapi, hal ini tampak dalam pepatah adat yang berbunyi : Adat basandi syara’ syara’ basandi adat. Jika kita cermati maka tersirat makna bahwa di antara keduanya memiliki kekurangan, sehingga masing-masing saling memberi dan menerima (simbiosis Mutualisme). Inilah yang disebut prinsip Sekularisme. Sampai akhirnya datang ulama yang bertiga dari tanah suci Makkah. Mereka telah terpengaruh oleh paham Wahabi yang sedang marak di Jazirah Arab.
Mereka berusaha untuk merubah seluruh hal yang bertentangan dengan ajaran Islam agar sesuai dengan ajaran Islam. Usaha mereka mengalami pertentangan yang sangat besar di tengah masyarakat, ditambah lagi pada saat itu telah berlaku pepatah adat yang berbunyi adat basandi syara’, syara’ basandi adat, Akan tetapi hingga meletusnya perang paderi, syara’ semakin mendominasi kehidupan di Alam Minangkabau, dan menjadi hal yang sangat diperhitungkan serta menjadi api semangat perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda, Pada akhirnya disepakatilah pepatah adat yang dirumuskan di puncak Bukit Marapalam yang berbunyi Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah.

C.     Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Di Minang dikenal empat  macam adat yang menjadi hukum yang hidup  dalam masyarakat sebagai dampak dari adanya  asimilasi hukum Islam dalam hukum adat setempat. Adapun adat tersebut adalah :
Pertama,  adat  nan  sabana  adat  yaitu  segala  sesuatu  yang  telah  demikian  terjadi  menurut kehendak Allah merupakan undang -undang Alam yang merupakan hukum kodrat  (lex naturalis) ,ke dalam nan sabana adat ini juga dimasukkan segala yang diterima Nabi Muhammad SAW menurut aturan aturan yang  tertera dalam Alquran serta menurut nan sepanjang syarak tentang sah atau batalnya serta halal atau haramnya sesuatu ,atau juga disebut adat  yang datang dari Allah.
Kedua,  adat  nan  diadatkan Adat  yang  dibuat oleh pemerintah nagari yang merupakan  aturan  yang  hidup  dalam  suatu  nagari  yang  melaraskan  diri  dengan  perkembangan  anak  nagari.
Ketiga, adat nan teradat adalah adat yang merupakan  aturan  yang  disesuaikan  dengan tempat dan kondisi.
Keempat, adat istiadat adalah adat yang  harus ditaati seseorang dan disesuaikan dengan  keadaan setempat (seseorang harus mematuhi
adat setempat)[4]
Jika dikaji secara mendalam, pepatah ini memiliki arti yang sangat mendalam dan sangat fundamental, yang akan merubah seluruh sendi-sendi adat dan perilaku seluruh putera-putera Minangkabau agar sesuai dengan syari’at Islam. Seluruh hal-hal yang tidak sesuai dengan syara’ akan dibuang dan seluruh hal-hal yang sesuai dengan syara’ akan diterima dan di amalkan dalam kehidupan sehari-hari. 
Pepatah adat tersebut semenjak disepakati sampai saat ini, belum pernah benar-benar terlaksana dalam kehidupan, kecuali hanya sebagian saja. Apalagi semenjak Minangkabau di taklukkan Belanda (1837), penerapan pepatah adat tersebut semakin jauh dari kenyataan. Meskipun demikian, cita-cita untuk mewujudkan tegaknya hukum Islam tidak pernah padam dalam hati sanubari putera-putera Minangkabau.
Muncullah generasi penerus anak cucu tokoh-tokoh perang paderi seperti Syekh Ahmad Khatib anak seorang regent di Bukittinggi, Syeikh Taher Jalaluddin dan lain sebagainya yang menghembuskan pergerakan Islam untuk kedua kalinya di Alam Minangkabau. Murid-murid kedua orang tersebut seperti Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Jamil Jaho dan sebagainya. Mereka melakukan pembaharuan pergerakan Islam sehingga cita-cita adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah dapat tercapai.
Walaupun demikian sampai saat ini kita belum melihat pepatah adat tersebut betul-betul terlihat di Alam Minangkabau kecuali hanya sebagian saja, sehingga praktek-praktek sekularisme masih merajalela di kalangan pemuda dan pemudi Minangkabau. Bahkan cita-cita dari pepatah tersebut semakin jauh dari kenyataan, terbukti dengan semakin maraknya kehidupan materialisme di tengah-tengah putera-putera Minangkabau, baik yang ada di perantauan maupun di kampung halaman. Dan semakin banyak diantara mereka yang tidak bisa baca tulis Al Quran.
Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah di masyarakat Minang yang menjadi identitas, lahir dari sebuah kesadaran sejarah dan pergumulan tentang perjuangan dan hidup. Masuknya agama Islam dan berpadu dengan adat istiadat setempat melahirkan kesepakatan luhur. Bahwa sesungguhnya seluruh alam merupakan ciptaan Allah SWT dan menjadi ayat-ayat yang menjadi tanda kebesaran-Nya, memaknai eksistensi manusia sebagai khalifatullah di dunia. 
Adat disebut juga 'uruf, yang berarti sesuatu yang dikenal, diketahui dan berulang-ulang menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Adat telah berusia tua dan menjadi bagian turun-temurun umat manusia sehingga menjadi identitas.'Uruf bagi umat Islam ada yang baik adapula yang buruk. Pengukuhan adat yang baik dan menghapus yang buruk menjadi tugas dan tujuan kedatangan agama dan syariat Islam. 
Proses dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minang telah membentuk masyarakat Minangkabau yang memiliki karakter, watak dan sikap yang jelas dalam menghadapi kehidupan. Karakter tersebut diantaranya yaitu : 
1.         Penekanan terhadap nilai-nilai keadaban dan menjadikan kekuatan budi dalam menjalani kehidupan
2.         Etos kerja yang didorong oleh penekanan terhadap kekuatan budi yang mendasari setiap orang untuk dapat melakukan hal-hal berguna bagi semua orang
3.         Kemandirian. Etos kerja dalam melaksanakan amanah sebagai khalifah menjadi kekuatan bagi orang Minang untuk dapat hidup mandiri tanpa harus tergantung dengan orang lain.
4.         Toleransi dan Kesamaan Hati. Meskipun terdapat kompetisi, namun adanya rasa kesamaan menimbulkan toleransi khususnya dalam memandang komunitas
5.         Kebersamaan, Adanya toleransi dan kesamaan hati terhadap komunitas menyebabkan tumbuhnya kesadaran sosial untuk dapat hidup dan menjalani hidup secara bersama-sama
6.         Visioner. Adanya budi pekerti, etos kerja yang tinggi dan kemandirian diiringi semangat kebersamaan dan toleransi yang tinggi menimbulkan pandangan jauh ke depan.
Perpaduan adat dan agama yang mendasari semangat hidup hendaknya dapat dijadikan dasar berkehidupan yang baik, baik dalam komunitas adat itu sendiri, maupun dengan masyarakat dari komunitas lainnya
D.    Memahami Bimbingan Syarak dalam Kaedah Adat
Masyarakat adat berpegang adat bersendi syariat dan syariat yang bersendikan Kitabullah, sebenarnya memahami bahwa kaedah-kaedah adatdipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Pelajaran-pelajaran sesuai syara’ itu, antara lain dapat di ketengahkan ;[5]
1.      Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan
Ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Keseimbangan ini semakin jelas wujud dalam kemakmuran di ranah ini, seperti ungkapan ;
“Rumah gadang gajah maharam,
 Lumbuang baririk di halaman,
Rangkiang tujuah sajaja,
Sabuah si bayau-bayau,
Panenggang anak dagang lalu,
Sabuah si Tinjau lauik,
Birawati lumbuang nan banyak,
Makanan anak kamanakan. “
“Manjilih ditapi aie,
Mardeso di paruik kanyang.”
Sesuai bimbingan syara’, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya” (Hadist).
2.      Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah
Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali. “Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan“, (QS.62, Al Jumu’ah : 10).
“Karatau madang di hulu babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun. “ Ditanamkan pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.
3.      Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”
Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat dengan cara amat sederhana sekalipun “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta”. (Hadist).
4.      Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros.
Tawakkal, bukan “hanya menyerahkan nasib” dengan tidak berbuat apa-apa, “Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal“ (Atsar dari Shahabat). Artinya, pemahaman syarak menanamkan dinamika hidup yang tinggi.
5.      Kesadaran kepada ruang dan waktu
Menyadari bahwa peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, adalahhukum alam semata. “Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup“. (QS.78, An Naba’ : 10-11). Ditananamkan kearifan akan adanya perubahan-perubahan. Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”. 
Artinya, pemahaman syarakmenekankan kepada kehidupan yang dinamis, mempunyai martabat (izzah diri), bekerja sepenuh hati, menggerakkan semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai. Tidak berakhir sebelum benar-benar sudah



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pepatah yang berbunyi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, merupakan ungkapan kehidupan orang Minangkabau. Pernyataan adat ini mengandung makna bahwa adat yang berlaku di Minangkabau adalah adat Islamiyah (adat yang diatur menurut norma-norma dan aturan/sistem Islam) bukan adat jahiliah, disamping itu juga mengindikasikan bahwa setiap orang Minangkabau beragama Islam, jika tidak beragama Islam, maka orang tersebut bukanlah orang Minang.
Pepatah ini diungkap pertama kali pada pertemuan akbar para pemuka adat dan alim ulama se-Alam Minangkabau di puncak bukit Marapalam Batusangkar. Pepatah ini muncul setelah mengalami proses sejarah yang panjang semenjak Islam masuk ke Ranah Minang
Di Minang dikenal empat  macam adat yang menjadi hukum yang hidup  dalam masyarakat sebagai dampak dari adanya  asimilasi hukum Islam dalam hukum adat setempat. Adapun adat tersebut adalah :
1.      Adat  nan  sabana  adat  
2.      adat  nan  diadatkan Adat   .
3.      adat nan teradat 
4.      adat istiadat  

B.     Saran
Makalah yang kami sajikan ini mudah-mudahan bisa dipahami dan dapat menambah wawasan kita





DAFTAR PUSTAKA


Chairul Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau,Rineka Cipta, Jakarta

Amir,  MS.,  2003, Adat  Minangkabau  Pola dan Tujuan  Hidup  Orang  Minang. PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta

Nusyirwan. 2010. Manusia Minangkabau: Iduik Bajaso Mati Bapusako. Gre Publishing: Jogjakarta




[1] Chairul Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau,Rineka Cipta, Jakarta, hlm 56
[2] Ibid. 69
[3] Amir,  MS.,  2003, Adat  Minangkabau  Pola dan Tujuan  Hidup  Orang  Minang.PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta.h.55
[4] Chairul Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta ,Jakarta, hlm 38
[5] Nusyirwan. 2010. Manusia Minangkabau: Iduik Bajaso Mati Bapusako. Gre Publishing: Jogjakarta, h. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)