MAKALAH
HUKUM ADAT
Tentang
ADAT BASANDI SYARA’
SYARA’ BASANDI
KITABULLAH
Oleh :
ARISTION
311.159
Dosen pembimbing :
Afifah Djalal,S.H.,MH
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut
Kahin salah satu ciri pembeda antara suku Minangkabau dengan suku bangsa lain
adalah keserasian antara sistem matrilineal dan keteguhan terhadap Islam. Titik
temu filsafat kebudayaan Minangkabau dengan nilai-nilai Islam memiliki akar
sejarah (Kratz, 2002: ix) yang panjang dan khas yaitu Adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabulah’ (Bahar, 2008: Mahmud, 2010:1) dan alam
takambang jadi guru. Nilai inilah yang menjadi pedoman dan semangat bagi
suku Minangkabau dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di kampung
halaman maupun di rantau.
Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah adalah ungkapan yang lazim di tengah masyarakat Minangkabau. Menurut
Thaib (1965:7),
“ Adat Minangkabau
ialah suatu susunan peraturan hidup yang diatur dengankato-kato.
Adapun kato-kato itu adalah satu istilah adat yang artinya
serangkaian perkataan terdiri dari dua kalimat pendek, tetapi daam artinya luas
pahamnya, misalnya hidup dikandung adat, mati dikandung tanah.
Artinya segala tingkah laku yang fi’il perbatan yang merupakan sikap hidup dalam
kelompok-kelompok kesatuan masyarakat haruslah menurut peraturan adat yang
dilahirkam oleh norma-norma yang dikandung kato-kato.”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah
Pepatah yang berbunyi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,
merupakan ungkapan kehidupan orang Minangkabau. Pernyataan adat ini mengandung
makna bahwa adat yang berlaku di Minangkabau adalah adat Islamiyah (adat yang
diatur menurut norma-norma dan aturan/sistem Islam) bukan adat jahiliah,
disamping itu juga mengindikasikan bahwa setiap orang Minangkabau beragama
Islam, jika tidak beragama Islam, maka orang tersebut bukanlah orang Minang.
Pepatah ini diungkap pertama kali pada pertemuan akbar para pemuka adat dan alim ulama se-Alam Minangkabau di puncak bukit Marapalam Batusangkar. Pepatah ini muncul setelah mengalami proses sejarah yang panjang semenjak Islam masuk ke Ranah Minang.[1]
Pepatah ini diungkap pertama kali pada pertemuan akbar para pemuka adat dan alim ulama se-Alam Minangkabau di puncak bukit Marapalam Batusangkar. Pepatah ini muncul setelah mengalami proses sejarah yang panjang semenjak Islam masuk ke Ranah Minang.[1]
Sebagai ummat Islam yang berasal dari Minangkabau, yang juga merupakan
bagian dari ummat Islam di seluruh dunia, haruslah menyadari bagaimana sulitnya
perjuangan para pendahulu kita demi tegaknya syari’at Islam seperti yang
tergambar dalam pepatah tersebut, walaupun baru dalam bentuk wacana dan
kesepakatan.
Kalau kita kaji kembali secara mendalam, pengertian dari pepatah tersebut
adalah harus dilakasanakan hukum Islam secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan
walau barang sedikitpun. Oleh karena itu apakah mungkin dalam kehidupan seperti
saat ini yang didominasi oleh alam pikir Sekularisme yang digembor-gemborkan
oleh penjajah Barat ke seluruh dunia Islam akan dapat melihat kebenaran pepatah
adat tersebut ?? Tentu kita tidak akan pernah melihat, sebab adat basandi
syara’, syara’ basandi Kitabullah hanya akan dapat kita lihat dalam naungan
Islam (Sistem Islam) yaitu Daulah Khilafah atas manhaj kenabian, sebagaimana
yang telah pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya hingga
hancurnya pada tanggal 24 Maret 1924. Semenjak hancurnya hingga saat ini kita
tidak menemukan satupun negara di dunia yang melaksanakan sistem Islam.
Definisi Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah adalah adat yang didasarkan/ditopang oleh syariat agama Islam yang
syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Quran dan Hadist.
Adat dalam
minangkabau terbagi bagi 4 :[2]
1.
Adat Nan
Sabana Adat
yaitu
adat asli, yang tak berubah, tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh. Adat
Nan Sabana Adat ini diungkapkan kata pepatah petitih berkaitan dengan “Hukum
Alam”
2. Adat Nan diadatkan
seperti Undang-undang luhak dan rantau. Disini
berlaku seumpama : “jiko dicabuik mati, jiko diasak layua”
3. Adat Nan Teradat
merupakan aturan yang lahir dari hasil
musyawarah mufakat/ konsensus ; seperti ungkapan : “Patah tumbuah hilang
baganti”
4. Adat Istiadat
yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat umum
atau setempat, seperti acara seremonial, pergaulan sehari-hari yang sangat
bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Dalam mamangmya, Adat
istiadat itu “gadangnyo dek diambak, tingginyo dek dianjuang” , hanya tumbuh
apabila dirawat dengan baik.
Dalam pepatah petitih adat itu diungkapkan
sebagai berikut :
Si Amaik mandi
ka luak
Luak parigi
paga bilah
Bilah bapilah
kasadonyo
Adaik basandi
syarak
Syarak basandi
kitabullah
Sanda manyanda
kaduonyo
Pinang masak bungo bakarang
Timpo batimpo saleronyo
Jatuah baserak daun sungkai
Tiang batagak sandi dalang
Kokoh-mangokoh kaduonyo
Adaik jo syarak takkan bacarai
Adaik basandi
syarak
Syarak basandi
Kitabullah
Syarak
mangato-adaik mamakai
Camin nan
indak kabua
Palito nan
indak padam
Alam takambang
jadi guru
Adaik basandi syarak
Syarak basandi Kitabullah
Hiduik batampek-mati bakubua
Kuburan hiduik dirumah gadang
Sakik basilau-mati bajanguak
Nan tuo
dihormati
Nan ketek
dikasiahi
Samo gadang
bao bakawan
Ibu-bapak
lebih sekali
Kalau dibalun sabalun kuku
Kalau dikambang saleba alam
Walau sagadang biji labu
Bumi jo langik ado disitu
Sakali aia
gadang
Sakali tapian
baranjak
Sakali musim
batuka
Sakali caro
baganti
Nan adaik
barubah indak
Sebagai pemuda dan pemudi Islam yang tidak terbatas hanya di alam
Minangkabau, tentu kita harus memperjuangkan adat basandi syara’ basandi
kitabullah di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu kita harus mengetahui
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan Daulah Islam tersebut, hal
ini kita lakukan dengan cara mengikuti contoh dan tauladan Rasulullah Saw
ketika mendirikan daulah Islam di Madinah.
Harus diketahui dan dipahami bahwa perjuangan dalam rangka mewujudkan
sistem Islam tersebut, tidak mungkin dilakukan secara individual, akan tetapi
harus dilakukan secara jamaah. Oleh karena itu harus ada sebuah jamaah yang
secara konsisten memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam di permukaan bumi
ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Imran ayat 104 yang berbunyi :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada
diantara kalian segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan (Islam), yang
senantiasa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan merekalah golongan yang
menang”. (Q.S. 3 : 104)
Perjuangan mendirikan khilafah merupakan perjuangan politik, oleh karena
itu jamaah tersebut haruslah berbentuk partai politik yang senantiasa melakukan
aktivitas politik dalam rangka mewujudkan sistem Islam tersebut. Sebab tanpa
melakukan aktifitas politik, maka memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang
merupakan lembaga poilitik akan sia-sia.
Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani seorang pendiri dan pemimpin Hizbut
Tahrir (Partai Politik yang bertujuan mendirikan Khilafah Islamiyah),
langkah-langkah yang ditempuh Rasul dalam mendirikan Daulah Islam tersebut
adalah sebagai berikut :[3]
1.
Tahap Tastqif wa Takwin
Tahap ini merupakan
tahap pembentukan pondasi gerakan, hal ini telah di lalui Rasulullah selama
tiga tahun ketika berdakwah secara sirriyah (rahasia) yang dikumpulkan di rumah
Arqam bin Abi Arqam. Pada saat ini partai mulai membina orang-orang yang
bersedia menjadi anggota dengan tsaqafahnya. Perlu diketahui bahwa pembinaan yang
dilakukan pada tahap ini bukan berupa ta’lim, akan tetapi sesuatu yang
dipelajari harus dilaksanakan dan diterapkan. Sehingga setiap orang dibina akan
memiliki fikrah dan nafsiah yang sangat membekas ke dalam jiwanya, mereka akan
menjadi orang-orang yang mempunyai syakhsiyah Islamiyah yang agung dan siap
mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia serta siap menghadapi rintangan
seberat apapun.
2.
Tahap Interaksi dan Perjuangan
Pada tahapan ini
terjadi interaksi dengan masyarakat tempat partai itu hidup, sampai idiologinya
menjadi kebiasaan umum sebagai hasil dari kesadaran masyarakat akan idiologi
itu hingga masyarakat menganggap bahwa ideologi partai itu merupakan idiologi
mereka, sehingga mereka mau membelanya bersama-sama. Hal ini seperti tampak
dalam sejarah Rasul, ketika beliau diperintahkan untuk menyeru umat secara
terang-terangan, dan menyeru keluarganya yang terdekat terlebih dahulu setelah
melakukan pembinaan kepada pengikutnya selama tiga tahun. Tahapan ini penuh
dengan perjuangan, karena akan terjadi pergolakan antara umat dan orang-orang
yang akan menghalangi diterapkannya Islam yaitu para penjajah dan orang-orang
yang mereka rancang untuk menghalangi penerapan Islam itu, seperti
kelompok-kelompok penguasa, orang-orang zhalim dam para pengikut tsaqafah
asing.
3.
Tahap Pengambil Alihan Kekuasaan
Tahapan pengambil
alihan kekuasaan ini dilakukan melalui umat, sehingga Islam dapat diterapkan
kepada umat. Dari tahapan ini kelompok dakwah mulai melakukan amaliah praktis
dalam medan kehidupan. Dakwah kepada Islam merupakan tugas utama negara dan
kelompok dakwah, karena Islam adalah idiologi yang wajib diemban oleh negara
dan ummat. Hal ini telah pernah dicontohkan oleh Rasulullah, setelah beliau
melakukan thalabun nushrah (meminta pertolongan) kepada kabilah-kabilah yang
ada di jazirah Arab. Ajakan beliau ini disambut oleh kabilah Aus dan Khajraj
hingga mereka melakukan sumpah setia pada baiat Aqabah I dan II. Semenjak saat
itu Islam telah diterapkan secara sempurna sesuai dengan turunnya ayat,
kemudian mulailah dilakukan upaya penyebaran Islam dengan jihad fisabilillah
yaitu dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang ada di sekitar Daulah Islam.
B. Sejarah Munculnya Pepatah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah
Sebagaimana ungkapan pepatah adat : Syara’ mandaki adat menurun, artinya
syara’ munculnya dari pesisir menuju ke pedalaman, sedangkan adat munculnya
dari pedalaman menuju pantai. Dalam perjalanan keduanya tentu mengalami
benturan-benturan yang kadang kala menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat.
Syara’ yang datang kemudian dan memperjuangkan kebenaran yang datang dari Ilahi
ingin mendominasi keadaan masyarakat yang sudah mapan dengan adat jahiliyah
(Hindu). Hal itu tentu tidak dapat diterima begitu saja oleh kaum adat yang
merasa telah mapan dengan kebenaran yang mereka miliki.
Pada mulanya adat dan syara’ di Minangkabau berjalan sejajar ibarat rel
kereta api yang tidak pernah bertemu dan masing-masing melaksanakan fungsinya,
serta tidak ikut campur dalam urusan yang bukan urusannya, hal ini sebagaimana
tergambar dalam pepatah adat yang berbunyi : Adat basandi alur dan patut,
syara’ basandi kitabullah. Pada tahap selanjutnya adat dan syara’ saling
bersentuhan, sehingga diantara keduanya saling melengkapi, hal ini tampak dalam
pepatah adat yang berbunyi : Adat basandi syara’ syara’ basandi adat. Jika kita
cermati maka tersirat makna bahwa di antara keduanya memiliki kekurangan,
sehingga masing-masing saling memberi dan menerima (simbiosis Mutualisme).
Inilah yang disebut prinsip Sekularisme. Sampai akhirnya datang ulama yang
bertiga dari tanah suci Makkah. Mereka telah terpengaruh oleh paham Wahabi yang
sedang marak di Jazirah Arab.
Mereka berusaha untuk merubah seluruh hal yang bertentangan dengan ajaran
Islam agar sesuai dengan ajaran Islam. Usaha mereka mengalami pertentangan yang
sangat besar di tengah masyarakat, ditambah lagi pada saat itu telah berlaku
pepatah adat yang berbunyi adat basandi syara’, syara’ basandi adat, Akan
tetapi hingga meletusnya perang paderi, syara’ semakin mendominasi kehidupan di
Alam Minangkabau, dan menjadi hal yang sangat diperhitungkan serta menjadi api
semangat perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda, Pada akhirnya
disepakatilah pepatah adat yang dirumuskan di puncak Bukit Marapalam yang
berbunyi Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah.
C. Implementasi Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
Di
Minang dikenal empat macam adat yang
menjadi hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagai dampak dari adanya asimilasi
hukum Islam dalam hukum adat setempat. Adapun adat tersebut adalah :
Pertama,
adat nan sabana
adat yaitu segala
sesuatu yang telah
demikian terjadi menurut kehendak Allah merupakan undang -undang
Alam yang merupakan hukum kodrat (lex
naturalis) ,ke dalam nan sabana adat ini juga dimasukkan segala yang diterima
Nabi Muhammad SAW menurut aturan aturan yang tertera dalam Alquran serta menurut nan
sepanjang syarak tentang sah atau batalnya serta halal atau haramnya sesuatu
,atau juga disebut adat yang datang dari
Allah.
Kedua,
adat nan diadatkan Adat yang dibuat
oleh pemerintah nagari yang merupakan aturan yang
hidup dalam suatu
nagari yang melaraskan
diri dengan perkembangan
anak nagari.
Ketiga, adat nan teradat adalah adat yang
merupakan aturan yang
disesuaikan dengan tempat dan
kondisi.
Keempat, adat istiadat adalah adat yang harus ditaati seseorang dan disesuaikan dengan
keadaan setempat (seseorang harus
mematuhi
adat setempat)[4]
Jika dikaji secara mendalam, pepatah ini memiliki arti yang sangat mendalam
dan sangat fundamental, yang akan merubah seluruh sendi-sendi adat dan perilaku
seluruh putera-putera Minangkabau agar sesuai dengan syari’at Islam. Seluruh
hal-hal yang tidak sesuai dengan syara’ akan dibuang dan seluruh hal-hal yang
sesuai dengan syara’ akan diterima dan di amalkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pepatah adat tersebut semenjak disepakati sampai saat ini, belum pernah
benar-benar terlaksana dalam kehidupan, kecuali hanya sebagian saja. Apalagi
semenjak Minangkabau di taklukkan Belanda (1837), penerapan pepatah adat
tersebut semakin jauh dari kenyataan. Meskipun demikian, cita-cita untuk
mewujudkan tegaknya hukum Islam tidak pernah padam dalam hati sanubari
putera-putera Minangkabau.
Muncullah generasi penerus anak cucu tokoh-tokoh perang paderi seperti
Syekh Ahmad Khatib anak seorang regent di Bukittinggi, Syeikh Taher Jalaluddin
dan lain sebagainya yang menghembuskan pergerakan Islam untuk kedua kalinya di
Alam Minangkabau. Murid-murid kedua orang tersebut seperti Haji Abdul Karim
Amrullah (HAKA), Syeikh Jamil Jambek, Syeikh Jamil Jaho dan sebagainya. Mereka
melakukan pembaharuan pergerakan Islam sehingga cita-cita adat basandi syara’,
syara’ basandi kitabullah dapat tercapai.
Walaupun demikian sampai saat ini kita belum melihat pepatah adat tersebut
betul-betul terlihat di Alam Minangkabau kecuali hanya sebagian saja, sehingga
praktek-praktek sekularisme masih merajalela di kalangan pemuda dan pemudi
Minangkabau. Bahkan cita-cita dari pepatah tersebut semakin jauh dari
kenyataan, terbukti dengan semakin maraknya kehidupan materialisme di
tengah-tengah putera-putera Minangkabau, baik yang ada di perantauan maupun di
kampung halaman. Dan semakin banyak diantara mereka yang tidak bisa baca tulis
Al Quran.
Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah di masyarakat Minang yang
menjadi identitas, lahir dari sebuah kesadaran sejarah dan pergumulan tentang
perjuangan dan hidup. Masuknya agama Islam dan berpadu dengan adat istiadat
setempat melahirkan kesepakatan luhur. Bahwa sesungguhnya seluruh alam merupakan
ciptaan Allah SWT dan menjadi ayat-ayat yang menjadi tanda kebesaran-Nya,
memaknai eksistensi manusia sebagai khalifatullah di dunia.
Adat disebut juga 'uruf, yang berarti sesuatu yang dikenal, diketahui dan
berulang-ulang menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Adat telah berusia tua dan
menjadi bagian turun-temurun umat manusia sehingga menjadi identitas.'Uruf bagi
umat Islam ada yang baik adapula yang buruk. Pengukuhan adat yang baik dan
menghapus yang buruk menjadi tugas dan tujuan kedatangan agama dan syariat
Islam.
Proses dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minang telah
membentuk masyarakat Minangkabau yang memiliki karakter, watak dan sikap yang
jelas dalam menghadapi kehidupan. Karakter tersebut diantaranya yaitu :
1.
Penekanan terhadap nilai-nilai keadaban dan menjadikan kekuatan
budi dalam menjalani kehidupan
2.
Etos kerja yang didorong oleh penekanan terhadap kekuatan budi yang mendasari
setiap orang untuk dapat melakukan hal-hal berguna bagi semua orang
3.
Kemandirian. Etos kerja dalam melaksanakan amanah sebagai khalifah menjadi kekuatan
bagi orang Minang untuk dapat hidup mandiri tanpa harus tergantung dengan orang
lain.
4.
Toleransi dan Kesamaan Hati. Meskipun terdapat kompetisi, namun adanya rasa
kesamaan menimbulkan toleransi khususnya dalam memandang komunitas
5.
Kebersamaan, Adanya toleransi dan kesamaan hati terhadap komunitas menyebabkan
tumbuhnya kesadaran sosial untuk dapat hidup dan menjalani hidup secara
bersama-sama
6.
Visioner. Adanya budi pekerti, etos kerja yang tinggi dan kemandirian diiringi
semangat kebersamaan dan toleransi yang tinggi menimbulkan pandangan jauh ke
depan.
Perpaduan adat dan agama yang mendasari semangat
hidup hendaknya dapat dijadikan dasar berkehidupan yang baik, baik dalam
komunitas adat itu sendiri, maupun dengan masyarakat dari komunitas lainnya
D.
Memahami Bimbingan Syarak dalam
Kaedah Adat
Masyarakat adat berpegang adat bersendi syariat
dan syariat yang bersendikan Kitabullah, sebenarnya memahami bahwa
kaedah-kaedah adatdipertajam makna dan fungsinya oleh kuatnya peran
syariat. Pelajaran-pelajaran sesuai syara’ itu, antara lain dapat di
ketengahkan ;[5]
1.
Mengutamakan prinsip hidup
berkeseimbangan
Ni’mat Allah, sangat banyak. “Dan
jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha
Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18). Keseimbangan ini semakin jelas
wujud dalam kemakmuran di ranah ini, seperti ungkapan ;
“Rumah gadang gajah maharam,
Lumbuang baririk di halaman,
Rangkiang tujuah sajaja,
Sabuah si bayau-bayau,
Panenggang anak dagang lalu,
Sabuah si Tinjau lauik,
Birawati lumbuang nan banyak,
Makanan anak kamanakan. “
“Manjilih ditapi aie,
Mardeso di paruik kanyang.”
Sesuai bimbingan
syara’, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok
dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup selama-lamanya” (Hadist).
2.
Kesadaran kepada luasnya bumi
Allah, merantaulah
Allah telah
menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah di atas permukaan bumi,
dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah tempat kamu kembali. “Maka
berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah karunia Allah dan (di samping itu)
banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu mencapai kejayaan“, (QS.62, Al Jumu’ah
: 10).
“Karatau madang di hulu babuah
babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno balun. “ Ditanamkan
pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek sa-balun abih, Ingek-ingek
nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.
3.
Mencari nafkah dengan “usaha
sendiri”
Memiliki jati diri, self help
dengan tulang delapan kerat dengan cara amat sederhana
sekalipun “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan menjadi beban orang
lain, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi kehutan
belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi keluargamu, itu
adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta”. (Hadist).
4.
Tawakkal dengan bekerja dan tidak
boros.
Tawakkal, bukan “hanya
menyerahkan nasib” dengan tidak berbuat apa-apa, “Bertawakkal lah kamu,
seperti burung itu bertawakkal“ (Atsar dari Shahabat). Artinya,
pemahaman syarak menanamkan dinamika hidup yang tinggi.
5.
Kesadaran kepada ruang dan waktu
Menyadari bahwa peredaran
bumi, bulan dan matahari, pertukaran malam dan siang, menjadi bertukar musim
berganti bulan dan tahun, adalahhukum alam semata. “Kami jadikan
malam menyelimuti kamu (untuk beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu
mencari nafkah hidup“. (QS.78, An Naba’ : 10-11). Ditananamkan kearifan
akan adanya perubahan-perubahan. Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala
sesuatu harus pandai mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan
berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh, Ka
karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh,
Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah salasai mangko-nyo sudah”.
Artinya, pemahaman syarakmenekankan
kepada kehidupan yang dinamis, mempunyai martabat (izzah diri),
bekerja sepenuh hati, menggerakkan semua potensi yang ada, dengan tidak
menyisakan kelalaian ataupun ke-engganan. Tidak berhenti sebelum sampai. Tidak
berakhir sebelum benar-benar sudah
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pepatah yang berbunyi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, merupakan
ungkapan kehidupan orang Minangkabau. Pernyataan adat ini mengandung makna
bahwa adat yang berlaku di Minangkabau adalah adat Islamiyah (adat yang diatur
menurut norma-norma dan aturan/sistem Islam) bukan adat jahiliah, disamping itu
juga mengindikasikan bahwa setiap orang Minangkabau beragama Islam, jika tidak
beragama Islam, maka orang tersebut bukanlah orang Minang.
Pepatah ini diungkap pertama kali pada pertemuan akbar para pemuka adat dan alim ulama se-Alam Minangkabau di puncak bukit Marapalam Batusangkar. Pepatah ini muncul setelah mengalami proses sejarah yang panjang semenjak Islam masuk ke Ranah Minang
Pepatah ini diungkap pertama kali pada pertemuan akbar para pemuka adat dan alim ulama se-Alam Minangkabau di puncak bukit Marapalam Batusangkar. Pepatah ini muncul setelah mengalami proses sejarah yang panjang semenjak Islam masuk ke Ranah Minang
Di
Minang dikenal empat macam adat yang
menjadi hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagai dampak dari adanya
asimilasi hukum Islam dalam hukum adat setempat. Adapun adat tersebut
adalah :
1.
Adat nan
sabana adat
2.
adat nan
diadatkan Adat .
3.
adat nan
teradat
4.
adat
istiadat
B.
Saran
Makalah yang kami
sajikan ini mudah-mudahan bisa dipahami dan dapat menambah wawasan kita
DAFTAR PUSTAKA
Chairul Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat
Minangkabau,Rineka Cipta, Jakarta
Amir, MS., 2003, Adat
Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup
Orang Minang. PT Mutiara
Sumber Widya, Jakarta
Nusyirwan. 2010. Manusia
Minangkabau: Iduik Bajaso Mati Bapusako. Gre Publishing: Jogjakarta
[1] Chairul
Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau,Rineka Cipta, Jakarta, hlm
56
[2]
Ibid. 69
[3]
Amir, MS., 2003, Adat
Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup
Orang Minang.PT Mutiara
Sumber Widya, Jakarta.h.55
[4] Chairul
Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta ,Jakarta, hlm
38
[5] Nusyirwan. 2010.
Manusia Minangkabau: Iduik Bajaso Mati Bapusako. Gre Publishing: Jogjakarta, h. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)