Jumat, 21 Oktober 2016

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERKAWINAN - makalah HPII

MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Tentang
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERKAWINAN


Oleh :
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Dosen pembimbing :
Prof. Dr. Amir Syarifuddin



JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1438 H / 2016 M

 


BAB I
PENDAHULUAN
Perceraian adalah berakhirnya perkainan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.
Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan “yang menyakitkan” yang harus dijalani. Itulah alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi, maka perceraian yang diambil.
Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia,kekal dan abadi sampai akhir hayat. Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan berakhir di tengah jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusnya perkawinan.
Secara garis besar menurut Kompilasi Hukum Islam dan UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan oleh beberpa hal, yaitu: kematian, perceraian dan keputusnya pengadilan. Perceraian itu sendiri merupakan hal yang dibolehkan namun dibenci oleh Allah SWT. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya disebabkan oleh talaq atau berdasarkan gugatan cerai.



BAB II
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERKAWINAN
A.    Perkawinan
Secara Etimologi  Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata bahasa arab yaitu Nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan ; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan.Secara etimologi juga, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya adalah mendekap atau berkumpul.[1]
Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang laki-laki.
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
B.     Penyebab perselisihan perkawinan
Pada penyebab perselisihan perkawinan, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada dasarnya secara syar’i, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi.
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu :[3]
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a.        Zina.
b.        Ditinggalkan dengan sengaja.
c.        Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d.       Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 B.W.).[4]
Undang-undang perkawinan Pasal 19 PP 9/1975  menambah dua alasan, yaitu:
a.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b.      Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19 :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

C.    Penyelesaian perselisihan perkawinan
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.[5]
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
a.       Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA :
(1)   Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2)   Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3)   Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4)   Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
(5)   Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[6]
Sesudah permohonan cerai talak diajukan kepengadilan agama, pengadilan agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut, sebagai mana tersebut dalam :
Pasal 68
(1)   Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
(2)   Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[7]
Pasal 131 KHI
(1)   Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2)   Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3)   Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
(4)   Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak  baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5)   Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[8]
b.    Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam :
Pasal 73 UUPA
(1)   Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2)   Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)   Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[9]
Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
a.       Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
b.      Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[10]
c.       Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76 ayat (2) UUPA ).[11]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggungat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah, Menurut pasal 77 UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin dapat atas permohonan istri atau pertimbangan pengadilan sendiri.[12]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat :
a.        Menerima nafkah yang ditanggung suami.
b.        Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c.        Menemukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).[13]
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksudkan memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.[14]
Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan dikepaniteraan (pasal 80 ayat (1) UUPA). untuk menghindarkan ketidak hadiran pihak-pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat yang dijelaskan dalam Pasal 82 UUPA yang merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
(1)   Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(2)   Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.[15]
Kalau sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan keputusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).[16]
Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84 UUPA :
(1)   Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2)   Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3)   Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4)   Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.[17]
Apabila terjadi kelalaian pengiriman salinan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari bebagai pihak yang membutuhkannya.[18]
Pencatatan dan pengawasan talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping pencatatan kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[19]
Adapun pada BAB IV bagian kedua, paragraph 4 terdapat pada pasal 87 dan 88 UUPA mengatur tata cara pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan zina. Tata cara diatur dalam paragraph ini meliputi perkara cerai talak maupun cerai gugat dan difokuskan pada tata cara pembuktian dalil zina dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Upaya pembuktian yang bagaimana dan cara bagaimana menerapkan pembuktian tersebut oleh para pihak :[20]
Pasal 87 UUPA
(1)   Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atas gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatanya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2)   Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.[21]
Perceraian berdasarkan zina tersebut merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila diperhatikan Al-Qur’an, dijelaskan bahwa seorang yang menuduh perempuan lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak mendatangkan empat orang saksi maka dia diancam hukum had sebanyak 80 kali cambuk, hal ini didasarkan surat An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinnya :
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)
      Ketentuan yang terkandung dalam surat An-Nur mengandung asas in flagrante Delicto, keterbuktian suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada seseorang, pembuktiannya berupa alat bukti saksi. Supaya kesaksian tersebut mempunyai nilai kekuatan pembuktian, para saksi yang bersangkutan harus benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang didakwa berada dalam keadaan “tertangkap basah” sedang berhubungan kelamin secara fisik dan biologis.[22]
Apabila ayat tersebut dianalisis, dapat diketahui bahwa sanksi hukum bagi orang yang menuduh zina tanpa disertai saksi sangat tipis perbedaanya dengan pelaku zina itu bila terbukti berbuat zina yang disaksikan oleh empat orang saksi. Namun apabila tuduhan itu dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga tergolong dalam pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak  berupa hukuman dera, melainkan talak ba’in kubra yang antara keduanya tidak boleh menikah lagi untuk selama-lamanya. Pembuktianya adalah mengucapkan sumpah empat kali, dan kelima ikrar yang menyatakan kesediaanya untuk menerima laknat Allah, apabila tuduhannya itu bohong. Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan untuk menyanggah tuduhan suaminya itu dengan mengucapkan empat kali sumpah dan kelimanya menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara inilah yang disebut dengan li’an (mula’anah). Sanksi hukuman yang lain adalah hukuman moral kepribadianya, yaitu persaksianya tidak diterima untuk selama-lamanya. Sebab ia termasuk orang fasik, bila ia tidak membuktikan tuduhanya.[23]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak, pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak.
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan zina.
B.    Kritik dan saran
Demikianlah makalah tentang putus perkawinan dan akibat hukumnya serta tatacara perceraian yang telah penulis paparkan guna memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita sem



DAFTAR PUSTAKA


Komariah, Hukum Perdata Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002

Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976

Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 1989

Ali Zainuddin. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2006

Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. Jakarta : Departemen agama RI, 1991

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . Jakarta : Akademika, 1992

Harahap Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989.  Jakarta : Sinar Grafika, 2003

Undang-undang Republik Indonesia No. 7 TAHUN 1989 tentang Peradilan Pasal 79-80

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Soedarsono Sidik. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. Jakarta : Fa. Dara, 1964





[1] Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002)
[2] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976) h.4
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm.227.
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), hlm.43
[5] Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal. 80
[6] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991). Hal. 22-23
[7] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ibid. Hal. 23
[8] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992) Hal. 143-144
[9] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25

[10] Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 ). Hal. 240-241.
[11] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25.
[12] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 256
[13] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 26
[14] Undang-undang Republik Indonesia No. 7 TAHUN 1989 tentang Peradilan Pasal 79-80
[15] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[16] Abdurrahman. Op.Cit. Hal. 147-148
[17] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 27-28
[18] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.cit. Hal. 27
[19] Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964) Hal. 86
[20] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 289

[21] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. 28-29
[22] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 290
[23] Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 80-87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)