MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Tentang
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERKAWINAN
Oleh :
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Dosen pembimbing :
Prof. Dr. Amir Syarifuddin
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1438 H / 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
Perceraian adalah berakhirnya perkainan yang
telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal
seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat
sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri
kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.
Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan
seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan
sakit akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian
tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika
perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai
kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan “yang menyakitkan”
yang harus dijalani. Itulah alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi, maka
perceraian yang diambil.
Suatu perkawinan tentunya
dibangun dengan harapan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia,kekal dan abadi
sampai akhir hayat. Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang
tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan
berakhir di tengah jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan
putusnya perkawinan.
Secara garis besar menurut Kompilasi Hukum
Islam dan UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan
oleh beberpa hal, yaitu: kematian, perceraian dan keputusnya pengadilan. Perceraian
itu sendiri merupakan hal yang dibolehkan namun dibenci oleh Allah SWT.
Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya disebabkan oleh
talaq atau berdasarkan gugatan cerai.
BAB II
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
PERKAWINAN
A.
Perkawinan
Secara Etimologi
Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata bahasa
arab yaitu Nikkah (bahasa Arab: النكاح )
yang berarti perjanjian perkawinan ; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu
kata nikah (bahasa Arab: نكاح)
yang berarti persetubuhan.Secara etimologi juga, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab
artinya adalah mendekap atau berkumpul.[1]
Sedangkan secara
terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’
yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk
bersenang-senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk
bersenang-senang dengan seorang laki-laki.
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan
bahwa: Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
B. Penyebab perselisihan perkawinan
Pada penyebab perselisihan perkawinan,
pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan
talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada
alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (2), dimana salah satu
pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah
secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai.
Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya,
maka talak satu yang diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di
depan pengadilan. Karena pada dasarnya secara syar’i, talak tidak boleh
diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga, melalui proses legalisasi di depan
pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak
yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi.
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan
terdiri dari 3 ayat, yaitu :[3]
a. Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai
suami istri.
c. Tata cara perceraian di depan
sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di
tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai
Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan
setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang
ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan
kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap
berlangsung.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami
dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam
:
a.
Zina.
b.
Ditinggalkan dengan sengaja.
c.
Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan.
d.
Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 B.W.).[4]
Undang-undang
perkawinan Pasal 19 PP 9/1975 menambah dua alasan, yaitu:
a.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b.
Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2
Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19 :
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.
Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
C. Penyelesaian
perselisihan perkawinan
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang
dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk
mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan
perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah
perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
(selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.[5]
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum
atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek
yaitu :
a. Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai)
Apabila suami yang mengajukan
permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri
menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA :
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri,
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di
luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama
Jakarta pusat.
(5) Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah
istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[6]
Sesudah permohonan cerai talak
diajukan kepengadilan agama, pengadilan agama melakukan pemeriksaan mengenai
alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut, sebagai mana
tersebut dalam :
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh
majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
Pasal 131 KHI
(1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati
kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan
agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap,
suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh
istri atau kuasanya.
(4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6
(enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan
agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan
bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar
talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan
kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[8]
b.
Cerai
gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
Cerai gugat adalah ikatan
perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri
kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga
pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu khulu’
termasuk cerai gugat. Khulu’adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada
dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam :
Pasal 73 UUPA
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,
kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri,
gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman
diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[9]
Mengenai
alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
a. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan
perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan
pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74
UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan
pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau
“premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar
gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana
mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
b. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat
untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[10]
c. Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang
sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari
keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76
ayat (2) UUPA ).[11]
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggungat atau tergugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan
suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah, Menurut pasal 77
UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin dapat atas permohonan istri
atau pertimbangan pengadilan sendiri.[12]
Selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat :
a.
Menerima
nafkah yang ditanggung suami.
b.
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c.
Menemukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).[13]
Gugatan tersebut gugur apabila
suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan
perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat
sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksudkan memungkinkan terjadi,
mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat
diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian,
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.[14]
Mengenai pelaksanaan sidang
pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan dikepaniteraan (pasal
80 ayat (1) UUPA). untuk menghindarkan ketidak hadiran pihak-pihak yang berperkara
baik penggugat maupun tergugat yang dijelaskan dalam Pasal 82 UUPA yang
merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9 Tahun 1975 sebagai
berikut :
(1) Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu
diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(2) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini
dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan
perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya
gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.[15]
Kalau sidang pemeriksaan
perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta
segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau
wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara
dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam
sidang terbuka untuk umum, maka salinan keputusan dikirim kepada pihak-pihak
yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).[16]
Selain salinan putusan dikirim
kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84 UUPA :
(1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu
helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat
kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam
sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda
dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka
satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai
pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat
nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka
satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di
Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai
surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung
setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan
kepada para pihak.[17]
Apabila terjadi kelalaian
pengiriman salinan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84 menjadi
tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau
istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman salinan putusan
dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari bebagai pihak yang
membutuhkannya.[18]
Pencatatan dan pengawasan talak
amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping pencatatan kelahiran,
kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[19]
Adapun pada BAB IV bagian kedua,
paragraph 4 terdapat pada pasal 87 dan 88 UUPA mengatur tata cara pemeriksaan
perkara perceraian dengan alasan zina. Tata cara diatur dalam paragraph ini
meliputi perkara cerai talak maupun cerai gugat dan difokuskan pada tata cara
pembuktian dalil zina dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Upaya pembuktian
yang bagaimana dan cara bagaimana menerapkan pembuktian tersebut oleh para
pihak :[20]
Pasal 87 UUPA
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan alasan
atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina,
sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan
termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa
permohonan atas gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya
peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau
penggugat ataupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatanya dapat
menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula
untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.[21]
Perceraian berdasarkan zina
tersebut merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan perundang-undangan.
Apabila diperhatikan Al-Qur’an, dijelaskan bahwa seorang yang menuduh perempuan
lain yang baik-baik berbuat zina kemudian dia tidak mendatangkan empat orang
saksi maka dia diancam hukum had sebanyak 80 kali cambuk, hal ini didasarkan
surat An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinnya :
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)
Ketentuan yang
terkandung dalam surat An-Nur mengandung asas in flagrante
Delicto, keterbuktian suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada
seseorang, pembuktiannya berupa alat bukti saksi. Supaya kesaksian tersebut
mempunyai nilai kekuatan pembuktian, para saksi yang bersangkutan harus
benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang didakwa
berada dalam keadaan “tertangkap basah” sedang berhubungan kelamin secara fisik
dan biologis.[22]
Apabila ayat tersebut dianalisis,
dapat diketahui bahwa sanksi hukum bagi orang yang menuduh zina tanpa disertai
saksi sangat tipis perbedaanya dengan pelaku zina itu bila terbukti berbuat
zina yang disaksikan oleh empat orang saksi. Namun apabila tuduhan itu
dilakukan terhadap istri sendiri, walaupun istri juga tergolong dalam
pengertian al-muhsanat pada ayat tersebut, dan tidak dapat
menghadirkan empat orang saksi, maka ancaman hukumannya tidak berupa
hukuman dera, melainkan talak ba’in kubra yang antara keduanya tidak boleh
menikah lagi untuk selama-lamanya. Pembuktianya adalah mengucapkan sumpah empat
kali, dan kelima ikrar yang menyatakan kesediaanya untuk menerima laknat Allah,
apabila tuduhannya itu bohong. Demikian juga pihak istri, diberikan kesempatan
untuk menyanggah tuduhan suaminya itu dengan mengucapkan empat kali sumpah dan
kelimanya menerima laknat Allah apabila tuduhan suaminya benar. Cara inilah
yang disebut dengan li’an (mula’anah). Sanksi hukuman yang lain
adalah hukuman moral kepribadianya, yaitu persaksianya tidak diterima untuk
selama-lamanya. Sebab ia termasuk orang fasik, bila ia tidak membuktikan
tuduhanya.[23]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan
antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Perkawinan dapat putus
karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika
putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat
beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun
yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak,
pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang
apabila putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak.
Tatacara perceraian bila dilihat
dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi
dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan oleh pihak suami) dan cerai
gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng diatur dalam pasal 66
dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73,
74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian
yang berdasarkan alasan zina.
B.
Kritik dan saran
Demikianlah
makalah tentang putus perkawinan dan akibat hukumnya serta tatacara perceraian
yang telah penulis paparkan guna memenuhi tugas ujian akhir semester. Kami
menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah,
semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita sem
DAFTAR PUSTAKA
Komariah, Hukum Perdata Malang; UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang, 2002
Saleh K. Wantjik, Hukum
Perkawinan Indonesia, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Jakarta : Kencana, 2009
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Jakarta : PT Intermasa, 1989
Ali Zainuddin. Hukum
Perdata Islam Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan
Agama. Jakarta : Departemen agama RI, 1991
Abdurrahman. Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia . Jakarta : Akademika, 1992
Harahap Yahya. Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989. Jakarta :
Sinar Grafika, 2003
Undang-undang Republik Indonesia
No. 7 TAHUN 1989 tentang Peradilan Pasal 79-80
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Soedarsono Sidik. Masalah
Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. Jakarta : Fa.
Dara, 1964
[1] Komariah, Hukum
Perdata (Malang; UPT
Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002)
[2] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan
Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976) h.4
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2009), hlm.227.
[4] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
(Jakarta : PT Intermasa, 1989), hlm.43
[6] Direktorat jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan
Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991). Hal. 22-23
[10] Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No
7 Tahun 1989. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 ). Hal. 240-241.
[15] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[19] Sidik Soedarsono. Masalah
Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa.
Dara, 1964) Hal. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)