MAKALAH
PSIKOLOGI
KOMUNITAS
Tentang
KOMUNITAS DAN
MASYARAKAT
O l e h
TANPA NAMA
1512040000006
Dosen Pembimbing
Dr. Wanda Fitri, M.Si
JURUSAN
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKAWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2016 M
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Melalui Pendekatan Historis
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo
telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam,
menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai pada satu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.[1]
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita
mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada
pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik,
aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah
atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep
yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an, atau bias jadi
merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya
konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu
kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian,
lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak
sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,
Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak.
Sedangkan konsep tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep,
al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an
ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.[2]
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak
untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu
peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar
misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut
dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat
al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang
terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan
untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
B.
Pendekatan Melalui Pendekatan
Fenomenologis
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan
fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk
memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan
preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam
dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan
menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang
lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.[3]
Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah
fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap
tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan
(intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari
pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih
baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan
dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi
bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat
reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan
kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan
dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang
dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta
bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi
fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial,
doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan
disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi
sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan
deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data
dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur
dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang
menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji
Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai
kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini
agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan
melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.[4]
Aspek Kedua dari
pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk
mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche.
Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari
kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini
pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk
prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan
manusia secara menyeluruh.[5]
Pendekatan
fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini
karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya
untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut
Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian
keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan
pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya
pada agama primitif dan agama kuno.
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang
lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang
mempelajari masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh dalam tujuannya
psikologi agama dan ilmu perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh
berbeda, yakni mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metode-
C. Pendekatan Melalui Pendekatan Psikologis
Metode penelitian yang bertipe bukan agama dan
bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung
memusatkan perhatiannya pada agama-agama primitive dan eksotis tujuannya adalah
untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama
lainnya. Sebaliknya, psikologi agama seperti pernyataan Robert H. Thouless,
memusatkan kajiannya terpusat pada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok
atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap prilaku
keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Menurut Zakiat Darajat, ruang lingkup yang menjadi
lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:
1.
Bermacam-macam emosi yang
menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang umum.
Misalnya; rasa lega dan tentram sehabis sembahyang.
2.
Bagaimana perasaan dan
pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, seperti, rasa tentram
dan kelegaan hati.
3.
Mempelajari, meneliti dan
menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (sesudah
akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.
Meneliti dan mempelajari
kesadaran serta perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan
syurga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap
sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.[6]
Sebagai salah satu cabang dari psikologi metode
yang digunakan dalam mengakaji agama tidak berbeda dengan psikologi pada
umumnya. Psikologi agama berusaha untuk menjelaskan pekerjaan pikiran dan
perasaan seseorang terhadap agama, baik Ia orang yang tahu beragama, acuh tak
acuh, maupun yang anti agama.
D. Pendekatan Melalui Sosiologi
Sosiologi adalah Ilmu
yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain, interaksi seseorang induvidu dengan
individu yang lain, atau individu dengan kelompok
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan
rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang
sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan
meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik
terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika
Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek
tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan
berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi
agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa
yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan
sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan
ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit.
Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial
sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama
pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang
wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu
sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog
membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi
dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan
sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang
berlainan.[7]
Asumsi dalam diri
ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori
kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat
didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati
dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan
pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka
objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan
masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk
menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan
ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan
deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan
pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori,
misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah
mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak
diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali
lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai
pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan
sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak
jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena
agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau
stimulus and respons.
Namun, terdapat
kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji
manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau
variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan
sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi
sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai
akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode
masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan
ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa
telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.[8]
Meskipun demikian,
harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan
studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial dengan menggunakan
salah satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan
antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim.
Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap
Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan
misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan
orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari
perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari
realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial
ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah
satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam
yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya
bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi
bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit
memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis
mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau
Historisitas, Yogyakarta;1996
Abdullah, Taufik dan M Rusli Karim, (ed.),
Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta; Tiara Wacana
Yogyakarta, 1990
Abdullah, Taufik, (ed.), Sejarah dan Masyarakat,
Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, tt
Babbie, Earl, The Practice of Social Research,
California: Wadasworth Publishing Co., 1986
Jalaluddin, Psikologi Agama
Romdon. 1996. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama.
Jakarta; Raja Grafindo Persada
Sumardi, Mulyanto, (ed.), Penelitian Agama,
Jakarta: Sinar Harapan, 1982
[1]Abdullah, M. Amin, Studi
Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta;1996
[2]Romdon. 1996. Metodologi
Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta; Raja Grafindo Persada, h. 125
[3] Praja, Juhaya S., Filsafat
dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju,
2002, h. 265
[4]Ibid
[5]Ibis
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama,
hlm. 15-16
[7]Abdullah, Taufik, (ed.),
Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987
[8]Ibid
[9]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)