Jumat, 28 Oktober 2016

SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL (Zaman Yunani, Romawi Kuno, Abad Pertengahan)

TUGAS
HUKUM INTERNASIONAL
Tentang
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL (Zaman Yunani, Romawi Kuno, Abad Pertengahan)
Description: D:\Logo Campus\Logo-IAIN-Imam-Bonjol-Padang.jpg
O l e h:
Kelompok II


Dosen Pembimbing
Neni Vesna Madjid, S.H., M.H.




JURUSAN JINAYAH SYIASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
1437 H/ 2016 M
 


SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL (Zaman Yunani, Romawi Kuno, Abad Pertengahan)
A.    Zaman Yunani
Lingkungan kebudayaan yang juga sudah mengenal aturan yang mengatur berbagai kumpulan manusia ialah lingkungan kebudayaan yunani yang sebagaimana kita ketehaui yunani hidup dalam berbagai Negara-negara kota.menurut hukum Negara-negara kota ini,penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaitu penduduk asli yunani dan penduduk dari luar yunani atau biasa disebut bangsa biadab (barbar). masyarakat yunani sudah mengenal ketentuan perwasitan (arbitrasi) dan diplomat yang tinggi tingkat perkembangannya. Mereka juga menggunakan wakil-wakil dagang yang melakukan banyak tugas yang sekarang disebut konsul. Akan tetapi, sumbangan yang paling berharga dari yunani untuk hukum internasional ialah konsep hukum alam yang secara mutlak berlaku dimana saj dan di Negara-negara mana saja dan bearasal dari rasio atau akal manusia. Konsep hukam ala mini ialah kkonsep yang telah dikembangkan oleh para ahli filsafat yang hidup pada abad II sebelum masehi. Dari yunani, pelajaran hukum alam ini diteruskan ke roma dan romalah yang memeperkenalkan ajaran hukum alam ini kepada dunia hingga saat ini. Sebagaiman kita ketahui, pelajaran hukum ala mini telah memainkan peranan penting dalam sejarah hukum internasional dan setelah terdesak beberapa waktu oleh ajaran kaum positivist, mengalami kebangunan lagi setelah perang dunia II.menurut golongan positivist,hukum yang mengatur hubungan antar Negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan sendiri.
Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara Negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internaasional. Hukum internasional ini pula yang mengatur hubungan anatara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman romawi. Hal ini mungkin mengherankan apabila diingat bahwa semasa kerajaan romawi telah dikenal suatu system hukum yang tinggi tingkat perkembangannya. Tidak berkembangnya hukum bangsa-bangsa yang mangatur hubungan antar bangsa-bangsa disebabkan oleh masyarakat yang merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan romawi. Walaupun demikian hukum romawi ini sangat penting bagi perkembangan hukum internasional selanjutnya. Konsep hukum romawi yang berasal dari hukum perdata kemudian memegang peranan penting dalam hukum internasional ialah konsep seperti occupation,servitut,dan bona fides. Juga asas pacta sunt servanda merupakan warisan kebudayaan romawi yang berharga.
Menurut anggapan anggapan umum selama abad pertangahan tidak dikenal satu system organisasi masyarakat nasional yang terdiri dari Negara-negara merdeka, menurut berbagai banyak penyelidikan yang terakhir anggapan tadi ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar selama abad pertengehan dunia barat di kuasai oleh satu system feudal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan geraja berpuncak pada paus sebagai kepala gereja katolik roma. Masyarakat eropa pada waktu itu satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa Negara yang berdaulat dan takhta suci. Masyarakat eropa inilah yang menjadi pewaris kebudayaan romawi dan yunani.
B.      Romawi Kuno
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu imperium, yaitu Imperium Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi perkembangan hukum pada umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan hukum internasional.
Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar Justinianus.
Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima dalam hukum internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt servanda, Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami perkembangan Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang berdiri sendiri, serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang bersifat feodal, yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya negara-negara merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar bangsa-bangsa. (Ibid: 8-9).
Bangsa Romawi dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui tata cara yang berdasarkan pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta istimewa atau yang disebut Fetiales, tergabung dalam sebuah dewan yang bernama collegium fetialum yang ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang terkait secara khusus dengan upacara-upacara keagamaan dan relasi-relasi internasional. Sedangkan tugas-tugas fetiales dalam kaitannya dengan pernyataan perang, merekalah yang menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bangsa Romawi atau tidak.
C.      Masa Abad Pertengahan
Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci. Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran gereja.
Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang (reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380. (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; op. cit: 34). Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional tidak mengalami perkembangan yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia, Portugal, benih-benih perkembangan hukum internasional mulai bermunculan. Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur peperangan, perdamaian, gencatan senjata dan persekutuan-persekutuan
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan seiring dengan mulai terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin dalam Buku Six Livers De la Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan bagi pembentukan hukum merupakan hak mutlak bagi lahirnya entitas suatu negara. Pada akhir abad pertengahan ini, hukum internasional digunakan dalam isu-isu politik, pertahanan dan militer.
Hukum mengenai pengambilalihan wilayah berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa ahli hukum seperti, Fransisco De Vittoria yang memberikan kuliah di Universitas Salamanca Spanyol bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan Spanyol. Ia menulis buku Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan bangsa Spantol dan Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga dikemukakan bahwa negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, dan ius inter gentes (hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa Eropa tetapi juga bagi semua umat manusia. Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil pemikirannya lainnya adalah studi tentang hukum perang, doktrin perang adil, pembentukan traktat, hak-hak budak dan kebebasan di laut (Ibid: 35-36). Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa pencerahan ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi keagamaan yang telah memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di Eropa dan menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai memperhitungkan evolusi suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan serta menulis tentang berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya serangkaian kaidah untuk mengatur hubungan antar negara-negara tersebut. Andai kata tidak terdapat kaidah-kaidah kebiasaan yang tetap maka para ahli hukum wajib menemukan dan membuat prinsip-prinsip yang berlaku berdasarkan nalar dan analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi untuk dijadikan pokok bahasan studi di Eropa.
Mereka juga menjelaskan preseden-preseden sejarah kuno, hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta hukum alam. (Starke, J.G. ;op. cit.: 11) Diantara penulis-penulis pelopor itu antara lain adalah Hugo De Groot atau Grotius, Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus (1491-1563), Fernando Vasgues de Menchaca (1512-1569), dan Ayala (1548-1617). Tulisan-tulisan para ahli hukum ini yang terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian hukum internasional pada abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam kaitan eropa telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya menyebabkan berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan yang seragam. Francisco Suares (1548-1617), yang menulis buku De Legibus ae Deo Legislatore (on Laws and Good as Legislator) yang mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah objektif yang harus diikuti oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka. Ia juga meletakkan dasar suatu ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh umat manusia.dan gentilis. Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas keadaan hukum internasional moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional.
Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace (de jure Belli ac Pacis) tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis selanjutnya serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan . Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan hukum internasional adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas dari hukum alam, dan mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak negara-negara itu sendiri. Beberapa doktrin Grotius bagi perkembangan hukum internasional moderen adalah pembedaan antara perang adil dan tidak adil, pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu, netralitas terbatas, gagasan tentang perdamaian, konferensi-konferensi periodik antara pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut yang termuat dalam buku Mare Liberium tahun 1609. Samuel Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et Gentium menyatakan bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal dan perang sebagai alat hanya dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-1660), penganut aliran positivisme, lebih memberikan perhatian pada hukum internasional dalam keadaan damai dari pada hukum perang. (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; op. cit: 39).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)