BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Maha suci Allah SWT.
Tuhan yang menciptakan manusia dengan melengkapinya dengan hati dan akal yang
berfungsi mengenal dan memberi argumentasi-argumentasi tentang adanya Allah
SWT. kemudian peranan hati sebagai instrumen untuk menemukan dan mencapainya sehingga
manusia menyebabkan diberi kemuliaan khusus oleh Allah swt.
Awalnya manusia tidak
mempunyai pengetahuan ketika baru lahir. Interaksinya dengan alam sekitar
membuatnya ingin tahu sehingga mengajukan pertanyaan apa, mengapa dan
bagaimana? Jawaban dari pertanyaan tersebut menghasilkan pengetahuan. Tetapi
kadang manusia mengalami banyak ketidakpuasan dengan pengetahuan yang ia
terima. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenaknya semakin kompleks sehingga
manusia terus berfikir mencari pengetahuan.
Nabi Muhammad
saw.sebelum menerima wahyu beliau berdiam diri dan bertafakkur ketika berada di
gua hira dalam kesendiriannya itu berakhir ketika dirinya menerima wahyu yang
disampaikan oleh malaikat Jibril pada tahun 610 M. Hampir sama dengan Muhammad,
Ibrahim menemukan pengetahuan, ketika ia berfikir mencari Tuhan. Begitu juga
dengan beberapa nabi lainnya, menemukan pengetahuannya melalui prosesi yang
hampir sama. Pengetahuan yang ditemukan menjadi tonggak awal pengetahuan
spiritual
Sedangkan di
Yunani, Plato (428-348 S.M) tidak menyendiri di dalam Gua atau di atas bukit,
tetapi berfikir dan menyebarkan pemikirannya di sebuah Akademia (lembaga
pendidikan). Salah satu pendapat Plato yang sangat popular adalah konsep
tentang kebenaran“idea” yaitu kebenaran yang bersifat tetap,
tidak berubah-ubah dan kekal. Kebenaran idea adalah kebenaran diluar wilayah
pengamatan inderawi, Pendapat tersebut
mendapat kritikan dari muridnya Aristoteles (382-322 S.M). Ia tidak mengetahui
adanya dunia“idea” yang berada di luar benda-benda yang konkret.
Menurutnya, pengetahuan manusia diperoleh lewat proses panjang melalui
pengamatan empirik pada benda-benda konkret yang diabstrakkan ke dalam “idea”.[1]Plato
dan Aristoteles lebih dikenal dengan para filosof (bukan nabi) dan sebelumnya
telah ada filosof Yunani, antara lain: Thales (640-546 S.M), Phytagoras
(572-497 S.M), Socrates (470- 399 S.M).
Proses pencarian
kebenaran yang dilakukan oleh beberapa tokoh di atas telah mengahasilkan
kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran filsafat (akal). Dalam perkembangannya
kedua pengetahuan tersebut saling bersitegang sebagai kebenaran yang paling
esensi, paling tinggi. Perbedaan tersebut disebabkan karena sumber dari kedua
pengetahuan itu yang berbeda. Dominasi antara agama dan filsafat silih
berganti. Apalagi ketika filsafat telah menghasilkan ilmu pengetahuan. Agama
berada dibawah baying-bayang kebenaran filsafat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut diatas, penulis membatasi pokok pembahasan makalah ini dengan
mengangkat permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengertian ilmu pengetahuan
2.
Dari mana sumber ilmu pengetahuan
3.
Bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Secara etimologi,
ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam
bahas Arab, berasal dari kata Alamaartinya mengecap atau memberi tanda.
Sedangkan ilmu berarti pengetahuan. [2]Sedangkan
dalam bahasa Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa
latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire, dan
mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to
learn).[3]Dalam
Webster’s Dictionary disebutkan bahwa;
(1) Pengetahuan yang membedakan dari ketidak
tahuan atau kesalahpahaman; penetahuan yang diperoleh melalui belajar atau
praktek, (2) suatu bagian dari pengetahuan yang disusun secara
sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), (3) pengetahuan
yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan
diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan
gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), (4) suatu sistem atau metode atau
pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
(1) kenyataan atau
keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau
kebenaran secara umum, (2) kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari
sesuatu, (3) kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari,
(4) sejumlah pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip
yang diperoleh manusia.
Konklusi dari
pernyataan tersebut diatas, Ilmu diinterpretasikan sebagai salah
satu dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis.
Sedangkan pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari.
Dengan demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan.
Pengertian tersebut
tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli –terminologi-.
Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan.
Definisi yang hampir sama dikemukakan John Warfield yang
mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penyelidikan. Sedangkan pengetahuan menurut Zidi Gazalba
merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang merupakan hasil dari kenal, sadar,
insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan menurutnya adalah milik atau isi
fikiran.[4]Sedangkan
pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science, seperti
dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah;
Usaha pemahaman manusia
yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian,
bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia,
dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan
itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.[5]
Dari definisi tersebut
diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas
(keumuman),rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas.
Sistematis, ilmu pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki
fakta-fakta penting yang saling berkaitan.Generalitas, kualitas ilmu
pengetahuan untuk merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan
penentuan konsep yang makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas,
bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas,
dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap
anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara
umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan
Sedangkan yang menjadi
objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi (material objek)
dan objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa
materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya
terkandung benda-benda materi ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal,
masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.
Objek formal yang
berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek formal
menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu
pengetahuan. Sebagai contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam
diri manusia terdapat beberapa aspek, seperti: kejiwaan, keragaan,
keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek inilah yang menjadi objek forma ilmu
pengetahuan. Manusia dengan objek formalnya akan menghasilkan beberapa macam
ilmu pengetahuan, misalnya biologi, fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode
ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.
1. Sumber Pengetahuan
Sumber dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagaia asal. Sebagai contoh
sumber mata air, berarti asal dari air yang berada di mata air itu. Dengan
demikian sumber ilmu pengetahuan adalah asal dari ilmu pengetahuan yang
diperoleh manusia. Jika membicarakan masalah asal, maka pengetahuan dan ilmu
pengetahuan tidak dibedakan, karena dalam sumber pengetahuan juga terdapat
sumber ilmu pengetahuan.[6]
Dr. Mulyadi Kartanegara
mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat atau sesuatu darimana manusia
bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasarnya.
Karena sumber pengetahuan adalah alat, maka Ia menyebut indera, akal dan hati
sebagai sumber pengetahuan.
Amsal Bakhtiar
berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya sumber pengetahuan merupakan alat
untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda ia menyebutkan
empat macam sumber pengetahuan, yaitu: emperisme, rasionalisme, intuisi dan
wahyu. Begitu juga dengan Jujun Surya Sumantri, ia menyebutkan empat sumber
pengetahuan tersebut.
Sedangkan John Hospers
dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical Analysis,
sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat untuk
memperoleh pengetahuan, antara lain: pengalaman indera, nalar, otoritas,
intuisi, wahyu dan keyakinan. Sedangkan Amin Abdullah menyebutkan dua aliran
besar, idealisme dan imperisme.
Dari pemaparan di atas,
penulis lebih condong kepada pendapat Mulyadi Kertanegara yang menyebutkan
indra, akal dan hati sebagai sumber pengetahuan. Hanya saja ketiga sumber
tersebut perlu ditambah dengan intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang diperoleh
intuisi berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh hati. Intiusi bagi para
filsofi barat lebih dipahami sebagai pengembangan insting yang dapat memperoleh
pengetahuan secara langsung dan bersifat mutlak.[7]
uraian, sumber
pengetahuan terdiri dari empirisme (indera),rasionalisme (akal), intuisionisme
(intuisi),ilmunasionalisme (hati), dan wahyu.
a.
Empirisme (indera)
John Locke (1632-1704),
mengemukakan teori tabula rasa yang menyatakan bahwa pada awalnya manusia tidak
tahu apa-apa. Seperti kertas putih yang belum ternoda. Pengalaman inderawinya
mengisi catatan harian jiwanya hingga menjadi pengetahuan yang sederhana sampai
begitu kompleks dan menjadi pengetahuan yang cukup berarti.
Selain John Locke, ada
juga David Hume (1711-1776) yang mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya belum
membawa pengetahuan apa-apa. Manusia mendapatkan pengetahuan melalui
pengamatannya yang memberikan dua hal, kesan (impression) dan pengertian
atau ide (idea). Kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari
pengalaman. Seperti merasakan sakitnya tangan yang terbakar. Sedangkan ide
adalah gambaran tentang pengamatan yang dihasilkan dengan merenungkan kembali
atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Gejala alam, menurut
aliran ini bersifat konkret, dapat dinyatakan dengan panca indera dan mempunyai
karakteristik dengan pola keteraturan mengenai suatu kejadian.seperti langit
yang mendung yang biasanya diikuti oleh hujan, logam yang dipanaskan akan
memanjang. Berdasarkan teori ini akal hanya berfungsi sebagai pengelola konsep
gagasan inderawi dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya. Akal
juga sebagai tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan
peristiwa tersebut.
Dengan kata lain,
empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu
yang tidak diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Walaupun
demikian, ternyata indera mempunyai beberapa kelemahan, antara lain; pertama,
keterbatasan indera. Seperti kasus semakin jauh objek semakin kecil ia
penampakannya. Kasus tersebut tidak menunjukkan bahwa objek tersebut mengecil,
atau kecil. Kedua, indera menipu. Penipuan indera terdapat pada orang
yang sakit. Misalnya. Penderita malaria merasakan gula yang manis, terasa pahit
dan udara yang panas dirasakan dingin.Ketiga, objek yang menipu, seperti
pada ilusi dan fatamorgana. Keempat,objek dan indera yang menipu.
Penglihatan kita kepada kerbau, atau gajah. Jika kita memandang keduanya dari
depan, yang kita lihat adalah kepalanya, sedangkan ekornya tidak
kelihatan. dan kedua binatang itu sendiri tidak bisa menunjukkan seluruh
tubuhnya. Kelemahan-kelemahan pengalaman indera sebagai sumber pengetahuan,
maka lahirlah sumber kedua, yaitu Rasionalisme.
b.
Rasionalisme (akal)
Rene Descartes
(1596-1650), dipandang sebagai bapak rasionalisme. Rasionalisme tidak
menganggap pengalaman indera (empiris) sebagai sumberpengetahuan, tetapi akal
(rasio). Kelemahan-kelemahan pada pengalaman empiris dapat dikoreksi seandainya
akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari penggunaan indera dalam
memperoleh pengetahuan, tetapi indera hanyalah sebagai perangsang agar akal
berfikir dan menemukan kebenaran/ pengetahuan.
Akal mengatur data-data
yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi
pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional
atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan
bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain
menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indera, akal juga mampu
menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang bersifat
abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu
berbuah jeruk. Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris.
Meski rasionalisme
mengkritik emprisme dengan pengalaman inderanya, rasionalisme dengan
akalnya pun tak lepas dari kritik. Kelemahan yang terdapat pada akal. Akal
tidak dapat mengetahui secara menyeluruh (universal) objek yang dihadapinya.
Pengetahuan akal adalah pengetahuan parsial, sebab akal hanya dapat memahami
suatu objek bila ia memikirkannya dan akal hanya memahami bagian-bagian
tertentu dari objek tersebut.
Kelemahan yang dimiliki
oleh empirisme dan rasionalisme disempurnakan sehingga melahirkan teori
positivisme yang dipelopori oleh August Comte (1798-1857) dan Iammanuel Kant
(1724-1804), Ia telah melahirkan metode ilmiah yang menjadi dasar kegiatan
ilmiah dan telah menyumbangkan jasanya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Menurut pahan ini indera sangat penting untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, tetapi indera harus dipertajam dengan eksperimen yang menggunakan
ukuran pasti. Misalnya panas diukur dengan derajat panas, berat diukur dengan
timbangan dan jauh dengan meteran.
c.
Intusionisme (intuisi)
Kritik paling tajam
terhadap empirisme dan rasionalisme di lontarkan oleh Hendry Bergson
(1859-1941). Menurutnya bukan hanya indera yang terbatas, akalpun mempunyai
keterbatasan juga. Objek yang ditangkap oleh indera dan akal hanya dapat
memahami suatu objek bila mengonsentrasikan akalnya pada objek tersebut. Dengan
memahami keterbatasan indera, akal serta objeknya, Bergson mengembangkan suatu
kemampuan tingkat tinggi yang dinamakannya intuisi. Kemampuan inilah yang dapat
memahami suatu objek secara utuh, tetap dan menyeluruh. Untuk memperoleh
intuisi yang tinggi, manusia pun harus berusaha melalui pemikiran dan
perenungan yang konsisten terhadap suatu objek.
Lebih lanjut Bergson
menyatakan bahwa pengetahuan intuisi bersifat mutlak dan bukan pengetahuan yang
nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis. Intuisi dan analisa bisa bekerja sama dan
saling membantu dalam menemukan kebenaran. Namun intuisi sendiri tidak dapat
digunakan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan.
Salah satu contohnya
adalah pembahasan tentang keadilan. Apa adil itu? Pengertian adil akan berbeda
tergantung akal manusia yang memahami. Adil bisa muncul dari si terhukum,
keluarga terhukum, hakim dan dari jaksa. Adil mempunyai banyak definisi.
Disinilah intuisi berperan. Menurut aliran ini intuisilah yang dapat mengetahui
kebenaran secara utuh dan tetap.
d.
Illuminasionisme (hati)
Paham ini mirip dengan
intuisi tetapi mempunyai perbedaan dalam metodologinya. Intuisi diperoleh melalui
perenungan dan pemikiran yang mendalam, tetapi dalam illuminasi
diperoleh melalui hati. Secara lebih umum illiminasi banyak berkembang
dikalangan agamawan dan dalam Islam dikenal dengan teori kasyfyaitu
teori yang mengatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih mampu menerima
pengetahuan dari Tuhan. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung ini,
diperoleh melalui latihan spiritual yang dikenal dengansuluk atau riyadhah.
Lebih khusus lagi, metode ini diajarkan dalamthariqat. Pengetahuan yang
diperoleh melalui illuminasi melampaui pengetahuan indera dan akal. Bahkan
sampai pada kemampuan melihat Tuhan, syurga, neraka dan alam ghaib lainnya
Di dalam ajaran Tasawuf,
diperoleh pemahaman bahwa unsurIlahiyah yang terdapat pada manusia
ditutupi (hijab) oleh hal-hal material dan hawa nafsunya. Jika kedua hal
ini dapat dilepaskan, maka kemampuanIlahiyah itu akan berkembang
sehingga mampu menangkap objek-objek ghaib.
e.
Wahyu (agama)
Wahyu sebagai sumber
pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu adalah pengetahuan agama
disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi yang memperoleh
pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini terjadi karena kehendak
Tuhan. Hanya para nabilah yang mendapat wahyu.
Wahyu Allah berisikan
pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri, alam semesta dan
juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan
manusia, alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti. Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankan pada
kepercayaan yang merupakan sifat dasar dari agama.
B.
Cara Memperolah Ilmu
Pengetahuan
Lima sumber pengetahuan
yang telah kami sebutkan diatas, menitikberatkan pada akal dalam rangka
memperoleh atau mendapatkan pengetahuan. Empiris menggunakan akal
untuk membentuk ide/konsep dari objek. Apalagi dalam aliran rasionalisme yang
menekankan pada akal. Intuisi, illuminasi dan wahyu pun diperoleh dari akal
yang berfikir. Meskipun demikian pengetahuan yang dihasilkan dari sumber
tersebut berbeda-beda.
Dr. Muhamad Al-Bahi
membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama; ilmu yang
bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari manusia.
Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu pertama; ilmu Qadim dan
kedua; ilmu Hadits. Ilmu Qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda
dari ilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.
Menurut Al-Gazali
sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa ilmu dibagi
menjadi dua macam yaitu ilmusyar’iyah dan ilmu aqliyyah. Ilmu syar’iyyah
adalah ilmu religiuskarena ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban
yang memilikisyar’iyyah (hukum wahyu) sedangkan ilmu aqliyyahadalah
ilmu yang diluar dari ilmu syar’iyyah. Seperti ilmu alam, matematika,
metafisika, ilmu politik dll. Adapun
klasifikasi Al-Gazali tentang ilmu syar’iyahdan ilmu akliah:
1.
Ilmu Syar’iyyah
2.
Ilmu tentang prinsip-rinsip dasar (al-ushul)
a.
Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
b.
Ilmu tentang kenabian
c.
Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
d.
Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu
Alquran dan al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu
ini terbagi menjadi dua kategori:
1) Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
2)
Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari: ilmu Quran, ilmu
riwayat al-hadits, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh.
3)
Ilmu tentang cabang-cabang (furu’)
Pengetahuan menurut
Al-Kindi dibagi kedalam dua macam yaitu,pertama pengetahuan Ilahi
atau devine science, yaitu ilmu yang tercantum dalam Qur’an sebagai
pengetahuan yang diperoleh nabi dari Tuhan yang didasarkan pada keyakinan. Kedua,
pengetahuanmanusiawi, atau human science, yang disebut juga
filsafat yang mendasarkan pada pemikiran (ratio-reation).[8]
Adapun cara mendapatkan
ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method).
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pemikiran,
pola kerja tata langkah dan cara teknis untuk memperolah pengetahuan yang lama.
Metode ilmiah muncul
dari kombinasi antara empirisme dengan rasionalisme yang ditambah dengan eksperimen
sehingga melahirkan positivisme dengan bidannya Augus Comte. Metode ilmiah
merupakan alat operasional dari positivisme yang terperinci dalam
langkah-langkahlogico-hypothico-verivicartif. Maksudnya yaitu dengan pembuktian bahwa objek
itu logis, kemudian mengajukan hipotesa yang mendasarkan pada logika, setelah
itu lakukanlah pembuktian hipotesa dengan eksperimen untuk memverifikasi
hipotesa yang diajukan. Dalam praktisnya metode ilmiah menjadi metode
penelitian (research) untuk menemukan pengetahuan. Secara garis besar
langkah-langkah metode ilmiah disebutkan yang menurut Jujun adalah sebagai
berikut;
1.
Perumusan masalah, merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta data diidentifikasikan dengan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2.
Penyususnan kerangka berfikir dalam pengajuan
hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan.
3.
Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara
atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
4.
Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah
sebuah hiptesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila fakta
mendukung hipotesis maka hipotesis diterima. Dan apabila fakta tidak mendukung
hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima menjadi bagian dari ilmu pengetahuan
sebab telah memenuhi persyaratan pengetahuan ilmiah.
Hipotesis yang
ditolak, menjadikan teori baru apabila langkah-langkah ilmiah yang
dilakukan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hasil dari penelitian
tercermin pada kesimpulan yang disusun. Kesimpulan penelitian adalah
penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan. Kesimpulan
merupakan jawaban dari permasalahan yang diajukan. Pengujian hipotesis berusaha
membandingkan proposisi yang diajukan dengan data empirik ini yang telah
ditentukan variable dan indikatornya dalam bentuk data atau informasi.
Seringkali data tersebut berupa data statistik dengan rancangan uji hipotesa
yang telah tersedia.
Pembahasan dilakukan
dengan menginterpretsi data yang ditemukan dalam penelitan. Dalam pembahasan
kita mencocokkan dan mengacu dengan kerangka berfikir dan hipotesa yang telah
disusun. Apabila terdapat kesesuaian maka hipotesa benar dan apabila terjadi
perbedaan/ bertentangan maka perlu dijelaskan letak perbedaan tersebut dan apa
penyebabnya.
Langkah-langkah metode
ilmiah yang dipaparkan Jujun telah ditambah dengan pengumpulan data/informasi,
atau dilakukan penelitian dan pembahasan dari data/ informasi yang terkumpul.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari
pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
- Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh
dengan metode ilmiah dengan mengikuti prinsip-prinsip ilmiah dan disusun
secara sistematis sebagai sebuah kebenaran.
- Sumber ilmu pengetahuan terdiri dari empirisme, rasonalisme, intuisionisme,
illuminasionisme dan wahyu.
- Ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah yang terdiri dari
perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikir, perumusan hipotesis,
pengumpulan data/ informasi dan penarikan kesimpulan melalui pengujian
hipotesis.
- Rekomendasi
Disadari bahwa
dari penyajian makalah di atas, baik aspek penulisan maupun pembahasannya
masih jauh dari harapan dan kesempurnaan. Dengan rasa hormat dan prinsip
keterbukaan kami harapkan kepada peserta diskusi untuk memberikan saran dan inputyang
konstruktif demi kesempurnaan penulisan dan pembahasan tehadap makalah
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Amsal , Filsafat
Ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004
Jalaluddin,Filsafat
Ilmu Pengetahuan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013
Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, Prenada Media Group, Jakarta: 20174
Abdullah, Amin. Studi
Agama, Normativitas atau Historisitas?, (cet. Iii, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002).
Anshari, Endang
Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama, (cet. Vii, Surabaya:
Bina Ilmu Offset, 1987).
Departemen Agama. Al-Qur’an
dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra 1989
Gie, The Liang. Pengantar
Filsafat Ilmu, (cet. V., Yogyakarta: Penerbit Libery, 2000).
Hadiwijoyo, Harun. Sari
Sejarah Filsafat Barat I. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989)
Kattsoft, Louis O. Pengantar
Filsafat (cet.vii, Yogyakarta: Tiara Wicana Yogaya, 1996).
Mulyadhi Kertanegara. Integrasi
Ilmu Sebuah Rekontruksi Holistik, (Jakarta: UIN Jakarta Press).
Munawar, A.W. Kamus
Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.
[1]
Harun Hadjiwijoyo, Sari
Sejarah Filsafat Barat I. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1989), h 52
[2]
A.W. Munawar, Kamus
Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.Ali Ma’sum, KH.
Zaenal Abidin,cet. Xiv, (Surabaya Pustaka Progressif, 1997), h.966.
[3]
The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), h.
87
[4]
Amsal, Bakhtiar, Filsafat
Ilmu (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), h. 85
[5] Endang Saifuddin Anshari. Ilmu, Filsafat dan Agama.
(Cet. Vii, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1987), h. 50.
[6]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cet. II, (Jakarta; Balai Pustaka, 1991), h.867
[7]
Louis O. Kattsoft,
Pengantar Filsafat, (cet. Vii, Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1996), h.146
[8]
Harun Nasution, Falsafatdan Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1999), h. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih komentarnya :)