Sabtu, 24 Desember 2016

ETIKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun. Namun, sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilai-nilai tersebut memberikan ciri khusus pada ke-Indonesia-an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat pendidikan dari Barat, namun causa materialis Pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.


1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah kegunaan pancasila dalam sistem etika ?
2. Apa-apa penjabaran/pembagian pancasila dalam sistem etika ?
3. Apakah itu Etika ?
1.3 TUJUAN
Tujuan Penulis Dalam pembuatan makalah ini adalah ingin menjelasakan sistem Etika dalam kaedah Pancasila. Yang mana Pancasila kita memiliki berbagai macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila secara normatif dapat di jadikan suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya Negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika yang di gunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penjelasan apa itu Etika
Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti  suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1)    Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap  tindakan manusia.
2)    Etika Khusus, terbagi menjadi dua bagian etika individual dan etika sosial. Yang mana individual membahas sendiri tentang manusia itu sendiri, sedangkan sosial membahas tentang kewajiban dan norma-norma hukum yang berlaku bagi manusia itu tersebut.
Meskipun etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralttas digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Dalam perbincangan sehari-hari dan dalam berbagai tulisan sangat sering seseorang menyebut istilah etika, meskipun sangat sering seseorang menggunakannya secara tidak tepat. Sebagai ontoh penggunaan istilah etika pergaulan, etika jurnalistik, etika kedokteran, etika guru, etika perawat, dan masih banyak yang lainnya. Padahal yang dimaksud dengan etika adalah etiket, bukan etika. Etika harus dibedakan dengan etiket. Etika adalah kajian ilmiah terkait dengan etiket atau moralitas. Dengan demikian, maka istilah yang tepat adalah etiket pergaulan, etiketetket jurnalistik, etiket kedokteran, etiket guru, etiket perawat, dan lain-lain. Etiket secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan kesusilaan/sopan santun.[1]
2.2 Aliran Besar dalam Etika
Dalam kajian etika di kenal tiga teori/alian besar yaitu deontologi, teloologi, dan keutamaan. Setiap aliran mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan itu akan dikatakan baik atau buruk. Yang mana penjelasan aliran besar dalam etika sebagai berikut.
2.a Etika Deontologi
Etika deontologi ini memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah immanuel kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karen akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan.
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat ( Imperatif  kategoris). Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adannya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih dan akan di capai., namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa orupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. [2]
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan atau tindakan harus di dasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri seseorang, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan. Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu tersebut. Tindakan tiu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan perbuatan itu tersebut, dan tindakan yang baik adalah tidakan yang didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar dan dalam.

2.b Etika Teleologi
Pandangan Etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit, ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban menggunakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan seperti ini etika teleologi perlu dipertiimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak di penuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat baik, baik menurut pendapat siapa? Apakah baik untuk pelaku atau orang lain? Dari pertanyaan tersebut, etika teleologi di golongkan menjadi dua aspek bagian yaitu, egoisme etis dan utilitariannisme.

a.       Egoisme etika
Memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang beakibat baik untuk pelakuya secara mental setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
b.      Utilitariannisme
Melihat bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar  dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkn orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja.
Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang.
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang lah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarisme, meskipun demikian juga memiliki kekurangan.[3] Sonny keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
1.      Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidak adilan terutama terhadap minoritas.
2.      Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitas materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non material seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
3.      Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka atas nama ekonomi tersebut hal-hal ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor asing aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas namaa meningkatakan devisa negara pengiriman TKW ditingkatakan. Hal yang menimbukan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
4.      Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme serta dilihat dalam jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang, padahal, misal dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan membeikan  dampak negatif pada masa yang akan datang.
5.      Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
6.      Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingakatan, yaitu utilitarianisme aturan atau tindakan, atas dasar ini, maka pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus di cek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak kalau bertentangan maka kebijkan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki keemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan hahrus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dsb. Ketiga terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
2.c Etika keutamaan
Etika ini mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik. Melainkan menjadi orang yang baik. Karekter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.Selanjutnya akan dibahas tentang etika pancasila sebagai suatu aliran etika alternatif, baik dalam konteks ke indonesia-an maupun keilmuan secara lebih luas.[4]
2.3 Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarakan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum aliran-aliran besar tersebut. Etika pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai pancasila tersebut. Nilai-nilai pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa indonesia. Namun sebenarnya nilai-nilai pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sengat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dann hukum tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk. Misalnya pelanggaran akan kaidah tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antarsesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain.
Nilai yang kedua adalah ilai kemanusaian. Suatu perbuatan yang dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusian. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani, dan rohani, individu dan sosial. Makhluk bebas senddiri dan makhluk tuhan yang terkait dengan hukum-hukum tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda takhidup. Karena itu  perbuatan ini dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan, sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke 1). Namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
Nilai keempat adalah kerakyatan, dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan, kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yan sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka padangan minoritas dimenangkan atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, makakata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selalu individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut kohlberg (1995:37), keadilan merupakan kebijakan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandalkan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan.[5]
Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonogoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan dimanapun kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai lain. Sebagi contoh, nilai ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai kemanusiaan, mengahasilkan  nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengrobanan dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dll. Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll.
                                                               

















BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Pancasila memiliki berbagai macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan keperibadian bangsa. Pancasila juga sangat erat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan juga keadilan. Oleh karena itu Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atau tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kejian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain.
Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dapat di temukan dimanapun dan kapanpun. Namun sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh nilai-nilai tersebut memberikan ciri khusus pada Indonesia karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers medapat pendidikan barat, namun causa material Pancasila digali dari sumber agama, adat, dan kebudayaan yang hidup di indonesia. Oleh karena itu Pancasila awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia. Berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sabagai sistem etika yang mengkaji moralitas bangsa dan negara. Dan tiap sistem etika memeiliki beberapa aliran-aliran besar yang mana tiap aliran memiliki berbagai cara pemahaman dan penerapannya.Dan Penanaman Nilai Etika sudah harus pada masa dini/anak-anak agar kedepan anak tersebut bisa memiliki etika yang baik dilingkungan masyarakatnya, dan juga penanaman nilai etika harus yang paling utama pada keluarganya(formal) dan dilanjutkan pada sekolahnya (non-formal)
1.2  Saran
Di mohon jika terdapat kesalahan mohon di maafkan dikarenakan penulis jauh dari kata sempurna untuk menulis makalah ini dengan benar dan tepat, seperti haknya ulama dalam menyikapi permasalahan yang ada, dan mohon jika terdapat kesalahan penulis siap menerima kritik dan saran yang membangun agar kedepannya lebih baik dan lebih bagus Aamiin.










DAFTAR PUSTAKA
Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG.
Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG hal 117-118
 Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG. hal 118-120



















[1]Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG hal 116-117
[2]Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG hal 117-118
[3]Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG. hal 118-120
[4]  ” hal 122-123.
[5] ‘hal 123-125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih komentarnya :)