Sabtu, 24 Desember 2016

ETIKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun. Namun, sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilai-nilai tersebut memberikan ciri khusus pada ke-Indonesia-an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat pendidikan dari Barat, namun causa materialis Pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.


1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah kegunaan pancasila dalam sistem etika ?
2. Apa-apa penjabaran/pembagian pancasila dalam sistem etika ?
3. Apakah itu Etika ?
1.3 TUJUAN
Tujuan Penulis Dalam pembuatan makalah ini adalah ingin menjelasakan sistem Etika dalam kaedah Pancasila. Yang mana Pancasila kita memiliki berbagai macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila secara normatif dapat di jadikan suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya Negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika yang di gunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penjelasan apa itu Etika
Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti  suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1)    Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap  tindakan manusia.
2)    Etika Khusus, terbagi menjadi dua bagian etika individual dan etika sosial. Yang mana individual membahas sendiri tentang manusia itu sendiri, sedangkan sosial membahas tentang kewajiban dan norma-norma hukum yang berlaku bagi manusia itu tersebut.
Meskipun etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralttas digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada. Dalam perbincangan sehari-hari dan dalam berbagai tulisan sangat sering seseorang menyebut istilah etika, meskipun sangat sering seseorang menggunakannya secara tidak tepat. Sebagai ontoh penggunaan istilah etika pergaulan, etika jurnalistik, etika kedokteran, etika guru, etika perawat, dan masih banyak yang lainnya. Padahal yang dimaksud dengan etika adalah etiket, bukan etika. Etika harus dibedakan dengan etiket. Etika adalah kajian ilmiah terkait dengan etiket atau moralitas. Dengan demikian, maka istilah yang tepat adalah etiket pergaulan, etiketetket jurnalistik, etiket kedokteran, etiket guru, etiket perawat, dan lain-lain. Etiket secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan kesusilaan/sopan santun.[1]
2.2 Aliran Besar dalam Etika
Dalam kajian etika di kenal tiga teori/alian besar yaitu deontologi, teloologi, dan keutamaan. Setiap aliran mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan itu akan dikatakan baik atau buruk. Yang mana penjelasan aliran besar dalam etika sebagai berikut.
2.a Etika Deontologi
Etika deontologi ini memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah immanuel kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karen akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan.
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat ( Imperatif  kategoris). Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adannya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih dan akan di capai., namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa orupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. [2]
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan atau tindakan harus di dasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri seseorang, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan. Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu tersebut. Tindakan tiu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan perbuatan itu tersebut, dan tindakan yang baik adalah tidakan yang didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar dan dalam.

2.b Etika Teleologi
Pandangan Etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit, ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban menggunakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan seperti ini etika teleologi perlu dipertiimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak di penuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat baik, baik menurut pendapat siapa? Apakah baik untuk pelaku atau orang lain? Dari pertanyaan tersebut, etika teleologi di golongkan menjadi dua aspek bagian yaitu, egoisme etis dan utilitariannisme.

a.       Egoisme etika
Memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang beakibat baik untuk pelakuya secara mental setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
b.      Utilitariannisme
Melihat bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar  dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkn orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja.
Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang.
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang lah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarisme, meskipun demikian juga memiliki kekurangan.[3] Sonny keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
1.      Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidak adilan terutama terhadap minoritas.
2.      Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitas materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non material seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
3.      Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka atas nama ekonomi tersebut hal-hal ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor asing aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas namaa meningkatakan devisa negara pengiriman TKW ditingkatakan. Hal yang menimbukan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
4.      Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme serta dilihat dalam jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang, padahal, misal dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan membeikan  dampak negatif pada masa yang akan datang.
5.      Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
6.      Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingakatan, yaitu utilitarianisme aturan atau tindakan, atas dasar ini, maka pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus di cek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak kalau bertentangan maka kebijkan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki keemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan hahrus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dsb. Ketiga terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
2.c Etika keutamaan
Etika ini mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik. Melainkan menjadi orang yang baik. Karekter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.Selanjutnya akan dibahas tentang etika pancasila sebagai suatu aliran etika alternatif, baik dalam konteks ke indonesia-an maupun keilmuan secara lebih luas.[4]
2.3 Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarakan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum aliran-aliran besar tersebut. Etika pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai pancasila tersebut. Nilai-nilai pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa indonesia. Namun sebenarnya nilai-nilai pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sengat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dann hukum tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk. Misalnya pelanggaran akan kaidah tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antarsesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain.
Nilai yang kedua adalah ilai kemanusaian. Suatu perbuatan yang dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusian. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani, dan rohani, individu dan sosial. Makhluk bebas senddiri dan makhluk tuhan yang terkait dengan hukum-hukum tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda takhidup. Karena itu  perbuatan ini dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan, sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke 1). Namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
Nilai keempat adalah kerakyatan, dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan, kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yan sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka padangan minoritas dimenangkan atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, makakata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selalu individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut kohlberg (1995:37), keadilan merupakan kebijakan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandalkan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan.[5]
Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonogoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan dimanapun kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai lain. Sebagi contoh, nilai ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai kemanusiaan, mengahasilkan  nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengrobanan dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dll. Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll.
                                                               

















BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Pancasila memiliki berbagai macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan keperibadian bangsa. Pancasila juga sangat erat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan juga keadilan. Oleh karena itu Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atau tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kejian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain.
Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dapat di temukan dimanapun dan kapanpun. Namun sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh nilai-nilai tersebut memberikan ciri khusus pada Indonesia karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers medapat pendidikan barat, namun causa material Pancasila digali dari sumber agama, adat, dan kebudayaan yang hidup di indonesia. Oleh karena itu Pancasila awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia. Berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sabagai sistem etika yang mengkaji moralitas bangsa dan negara. Dan tiap sistem etika memeiliki beberapa aliran-aliran besar yang mana tiap aliran memiliki berbagai cara pemahaman dan penerapannya.Dan Penanaman Nilai Etika sudah harus pada masa dini/anak-anak agar kedepan anak tersebut bisa memiliki etika yang baik dilingkungan masyarakatnya, dan juga penanaman nilai etika harus yang paling utama pada keluarganya(formal) dan dilanjutkan pada sekolahnya (non-formal)
1.2  Saran
Di mohon jika terdapat kesalahan mohon di maafkan dikarenakan penulis jauh dari kata sempurna untuk menulis makalah ini dengan benar dan tepat, seperti haknya ulama dalam menyikapi permasalahan yang ada, dan mohon jika terdapat kesalahan penulis siap menerima kritik dan saran yang membangun agar kedepannya lebih baik dan lebih bagus Aamiin.










DAFTAR PUSTAKA
Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG.
Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG hal 117-118
 Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG. hal 118-120



















[1]Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG hal 116-117
[2]Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG hal 117-118
[3]Boizardi, 2015, PENDIDIKAN PANCASILA, PADANG. hal 118-120
[4]  ” hal 122-123.
[5] ‘hal 123-125.

Sumber Dan Cara Memperoleh Ilmu Yang Benar

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Maha suci Allah SWT. Tuhan yang menciptakan manusia dengan melengkapinya dengan hati dan akal yang berfungsi mengenal dan memberi argumentasi-argumentasi tentang adanya Allah SWT. kemudian peranan hati sebagai instrumen untuk menemukan dan mencapainya sehingga manusia menyebabkan diberi kemuliaan khusus oleh Allah swt.
Awalnya manusia tidak mempunyai pengetahuan ketika baru lahir. Interaksinya dengan alam sekitar membuatnya ingin tahu sehingga mengajukan pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana? Jawaban dari pertanyaan tersebut menghasilkan pengetahuan. Tetapi kadang manusia mengalami banyak ketidakpuasan dengan pengetahuan yang ia terima. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenaknya semakin kompleks sehingga manusia terus berfikir mencari pengetahuan.
Nabi Muhammad saw.sebelum menerima wahyu beliau berdiam diri dan bertafakkur ketika berada di gua hira dalam kesendiriannya itu berakhir ketika dirinya menerima wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril pada tahun 610 M. Hampir sama dengan Muhammad, Ibrahim menemukan pengetahuan, ketika ia berfikir mencari Tuhan. Begitu juga dengan beberapa nabi lainnya, menemukan pengetahuannya melalui prosesi yang hampir sama. Pengetahuan yang ditemukan menjadi tonggak awal pengetahuan spiritual
Sedangkan  di Yunani, Plato (428-348 S.M) tidak menyendiri di dalam Gua atau di atas bukit, tetapi berfikir dan menyebarkan pemikirannya di sebuah Akademia (lembaga pendidikan). Salah satu pendapat Plato yang sangat popular adalah konsep tentang kebenaranidea yaitu kebenaran yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah dan kekal. Kebenaran idea adalah kebenaran diluar wilayah pengamatan inderawi, Pendapat tersebut mendapat kritikan dari muridnya Aristoteles (382-322 S.M). Ia tidak mengetahui adanya duniaidea yang berada di luar benda-benda yang konkret. Menurutnya, pengetahuan manusia diperoleh lewat proses panjang melalui pengamatan empirik pada benda-benda konkret yang diabstrakkan ke dalam idea”.[1]Plato dan Aristoteles lebih dikenal dengan para filosof (bukan nabi) dan sebelumnya telah ada filosof Yunani, antara lain: Thales (640-546 S.M), Phytagoras (572-497 S.M), Socrates (470- 399 S.M).
Proses pencarian kebenaran yang dilakukan oleh beberapa tokoh di atas telah mengahasilkan kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran filsafat (akal). Dalam perkembangannya kedua pengetahuan tersebut saling bersitegang sebagai kebenaran yang paling esensi, paling tinggi. Perbedaan tersebut disebabkan karena sumber dari kedua pengetahuan itu yang berbeda. Dominasi antara agama dan filsafat silih berganti. Apalagi ketika filsafat telah menghasilkan ilmu pengetahuan. Agama berada dibawah baying-bayang kebenaran filsafat.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis membatasi pokok pembahasan makalah ini dengan mengangkat permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian ilmu pengetahuan
2.      Dari mana sumber ilmu pengetahuan
3.      Bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi, ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata, yakni ilmu dan pengetahuan. Ilmu dalam bahas Arab, berasal dari kata Alamaartinya mengecap atau memberi tanda. Sedangkan ilmu berarti pengetahuan. [2]Sedangkan dalam bahasa Inggris ilmu berarti science, yang berasal dari bahasa latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire, dan mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to learn).[3]Dalam Webster’s Dictionary disebutkan bahwa;
 (1) Pengetahuan yang membedakan dari ketidak tahuan atau kesalahpahaman; penetahuan yang diperoleh melalui belajar atau praktek, (2) suatu bagian dari pengetahuan yang  disusun secara sistematis  sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), (3) pengetahuan yang mencakup kebenaran umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan yang memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), (4) suatu sistem atau metode atau pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
(1) kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman atau kebenaran secara umum, (2) kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari sesuatu, (3) kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari, (4) sejumlah pengetahuan; susunan kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia.
Konklusi dari pernyataan tersebut diatas, Ilmu diinterpretasikan sebagai   salah satu dari pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis. Sedangkan pengetahuan diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian ilmu lebih sempit dari pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian dari pengetahuan.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan  oleh para ahli –terminologi-. Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan John  Warfield  yang mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas penyelidikan. Sedangkan pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu yang merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan menurutnya adalah milik atau isi fikiran.[4]Sedangkan pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science, seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah;
Usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.[5]
Dari definisi tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas (keumuman),rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu pengetahuan disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang saling berkaitan.Generalitas, kualitas ilmu pengetahuan untuk merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep yang makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas, dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan
Sedangkan yang menjadi objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi (material objek) dan objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa materi yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya terkandung benda-benda materi ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.
Objek formal yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek formal menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu pengetahuan. Sebagai contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat beberapa aspek, seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek inilah yang menjadi objek forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek formalnya akan menghasilkan beberapa macam ilmu pengetahuan, misalnya biologi, fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.
1.      Sumber Pengetahuan
Sumber dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagaia asal. Sebagai contoh sumber mata air, berarti asal dari air yang berada di mata air itu. Dengan demikian sumber ilmu pengetahuan adalah asal dari ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia. Jika membicarakan masalah asal, maka pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak dibedakan, karena dalam sumber pengetahuan juga terdapat sumber ilmu pengetahuan.[6]
Dr. Mulyadi Kartanegara mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat atau sesuatu darimana manusia bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasarnya. Karena sumber pengetahuan adalah alat, maka Ia menyebut indera, akal  dan hati sebagai sumber pengetahuan.
Amsal Bakhtiar berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya sumber pengetahuan merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda ia menyebutkan empat macam sumber pengetahuan, yaitu: emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu. Begitu juga dengan Jujun Surya Sumantri, ia menyebutkan empat sumber pengetahuan tersebut.
Sedangkan John Hospers dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical Analysis, sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat untuk memperoleh pengetahuan, antara lain: pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan. Sedangkan Amin Abdullah menyebutkan dua aliran besar, idealisme dan imperisme.
Dari pemaparan di atas, penulis lebih condong kepada pendapat Mulyadi Kertanegara yang menyebutkan indra, akal dan hati sebagai sumber pengetahuan. Hanya saja ketiga sumber tersebut perlu ditambah dengan intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang diperoleh intuisi berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh hati. Intiusi bagi para filsofi barat lebih dipahami sebagai pengembangan insting yang dapat memperoleh pengetahuan secara langsung dan bersifat mutlak.[7]
uraian, sumber pengetahuan terdiri dari empirisme (indera),rasionalisme (akal), intuisionisme (intuisi),ilmunasionalisme (hati), dan wahyu.
a.       Empirisme (indera)
John Locke (1632-1704), mengemukakan teori tabula rasa yang menyatakan bahwa pada awalnya manusia tidak tahu apa-apa. Seperti kertas putih yang belum ternoda. Pengalaman inderawinya mengisi catatan harian jiwanya hingga menjadi pengetahuan yang sederhana sampai begitu kompleks dan menjadi pengetahuan yang cukup berarti.
Selain John Locke, ada juga David Hume (1711-1776) yang mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya belum membawa pengetahuan apa-apa. Manusia mendapatkan pengetahuan melalui pengamatannya yang memberikan dua hal, kesan (impression) dan pengertian atau ide (idea). Kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman. Seperti merasakan sakitnya tangan yang terbakar. Sedangkan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Gejala alam, menurut aliran ini bersifat konkret, dapat dinyatakan dengan panca indera dan mempunyai karakteristik dengan pola keteraturan mengenai suatu kejadian.seperti langit yang mendung yang biasanya diikuti oleh hujan, logam yang dipanaskan akan memanjang. Berdasarkan teori ini akal hanya berfungsi sebagai pengelola konsep gagasan inderawi dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya. Akal juga sebagai tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa  tersebut.
Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Walaupun demikian, ternyata indera mempunyai beberapa kelemahan, antara lain; pertama, keterbatasan indera. Seperti kasus semakin jauh objek semakin kecil ia penampakannya. Kasus tersebut tidak menunjukkan bahwa objek tersebut mengecil, atau kecil. Kedua, indera menipu. Penipuan indera terdapat pada orang yang sakit. Misalnya. Penderita malaria merasakan gula yang manis, terasa pahit dan udara yang panas dirasakan dingin.Ketiga, objek yang menipu, seperti pada ilusi dan fatamorgana. Keempat,objek dan indera yang menipu. Penglihatan kita kepada kerbau, atau gajah. Jika kita memandang keduanya dari depan, yang kita lihat adalah kepalanya, sedangkan ekornya tidak  kelihatan. dan kedua binatang itu sendiri tidak bisa menunjukkan seluruh tubuhnya. Kelemahan-kelemahan pengalaman indera sebagai sumber pengetahuan, maka lahirlah sumber kedua, yaitu Rasionalisme.
b.      Rasionalisme (akal)
Rene Descartes (1596-1650), dipandang sebagai bapak rasionalisme. Rasionalisme tidak menganggap pengalaman indera (empiris) sebagai sumberpengetahuan, tetapi akal (rasio). Kelemahan-kelemahan pada pengalaman empiris dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari penggunaan indera dalam memperoleh pengetahuan, tetapi indera hanyalah sebagai perangsang agar akal berfikir dan menemukan kebenaran/ pengetahuan.
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk. Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris.
Meski rasionalisme mengkritik emprisme dengan pengalaman inderanya,  rasionalisme dengan akalnya pun tak lepas dari kritik. Kelemahan yang terdapat pada akal. Akal tidak dapat mengetahui secara menyeluruh (universal) objek yang dihadapinya. Pengetahuan akal adalah pengetahuan parsial, sebab akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia memikirkannya dan akal hanya memahami bagian-bagian tertentu dari objek tersebut.
Kelemahan yang dimiliki oleh empirisme dan rasionalisme disempurnakan sehingga melahirkan teori positivisme yang dipelopori oleh August Comte (1798-1857) dan Iammanuel Kant (1724-1804), Ia telah melahirkan metode ilmiah yang menjadi dasar kegiatan ilmiah dan telah menyumbangkan jasanya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut pahan ini indera sangat penting untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi indera harus dipertajam dengan eksperimen yang menggunakan ukuran pasti. Misalnya panas diukur dengan derajat panas, berat diukur dengan timbangan dan jauh dengan meteran.
c.       Intusionisme (intuisi)
Kritik paling tajam terhadap empirisme dan rasionalisme di lontarkan oleh Hendry Bergson (1859-1941). Menurutnya bukan hanya indera yang terbatas, akalpun mempunyai keterbatasan juga. Objek yang ditangkap oleh indera dan akal hanya dapat memahami suatu objek bila mengonsentrasikan akalnya pada objek tersebut. Dengan memahami keterbatasan indera, akal serta objeknya, Bergson mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dinamakannya intuisi. Kemampuan inilah yang dapat memahami suatu objek secara utuh, tetap dan menyeluruh. Untuk memperoleh intuisi yang tinggi, manusia pun harus berusaha melalui pemikiran dan perenungan yang konsisten terhadap suatu objek.
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa pengetahuan intuisi bersifat mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis.  Intuisi dan analisa bisa bekerja sama dan saling membantu dalam menemukan kebenaran. Namun intuisi sendiri tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan.
Salah satu contohnya adalah pembahasan tentang keadilan. Apa adil itu? Pengertian adil akan berbeda tergantung akal manusia yang memahami. Adil bisa muncul dari si terhukum, keluarga terhukum, hakim dan dari jaksa. Adil mempunyai banyak definisi. Disinilah intuisi berperan. Menurut aliran ini intuisilah yang dapat mengetahui kebenaran secara utuh dan tetap.
d.      Illuminasionisme (hati)
Paham ini mirip dengan intuisi tetapi mempunyai perbedaan dalam metodologinya. Intuisi diperoleh melalui perenungan dan pemikiran yang mendalam, tetapi dalam illuminasi diperoleh melalui hati. Secara lebih umum illiminasi banyak berkembang dikalangan agamawan dan dalam Islam dikenal dengan teori kasyfyaitu teori yang mengatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih mampu menerima pengetahuan dari Tuhan. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung ini, diperoleh melalui latihan spiritual yang dikenal dengansuluk atau riyadhah. Lebih khusus lagi, metode ini diajarkan dalamthariqat. Pengetahuan yang diperoleh melalui illuminasi melampaui pengetahuan indera dan akal. Bahkan sampai pada kemampuan melihat Tuhan, syurga, neraka dan alam ghaib lainnya
Di dalam ajaran Tasawuf, diperoleh pemahaman bahwa unsurIlahiyah yang terdapat pada manusia ditutupi (hijab) oleh hal-hal material dan hawa nafsunya. Jika kedua hal ini dapat dilepaskan, maka kemampuanIlahiyah itu akan berkembang sehingga mampu menangkap objek-objek ghaib.

e.       Wahyu (agama)
Wahyu sebagai sumber pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu adalah pengetahuan agama disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi yang memperoleh pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini terjadi karena kehendak Tuhan. Hanya para nabilah yang mendapat wahyu.
Wahyu Allah berisikan pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri, alam semesta dan juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti.  Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankan pada kepercayaan yang merupakan sifat dasar dari agama.
B.     Cara Memperolah Ilmu Pengetahuan
Lima sumber pengetahuan yang telah kami sebutkan diatas, menitikberatkan pada akal dalam rangka   memperoleh atau mendapatkan pengetahuan. Empiris menggunakan akal untuk membentuk ide/konsep dari objek. Apalagi dalam aliran rasionalisme yang menekankan pada akal. Intuisi, illuminasi dan wahyu pun diperoleh dari akal yang berfikir. Meskipun demikian pengetahuan yang dihasilkan dari sumber tersebut berbeda-beda.
Dr. Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama; ilmu yang bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu pertama; ilmu Qadim dan kedua; ilmu Hadits. Ilmu Qadim adalah ilmu Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.
Menurut Al-Gazali sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu ilmusyar’iyah dan ilmu aqliyyah. Ilmu syar’iyyah adalah ilmu religiuskarena ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang memilikisyar’iyyah (hukum wahyu) sedangkan ilmu aqliyyahadalah ilmu yang diluar dari ilmu syar’iyyah. Seperti ilmu alam, matematika, metafisika, ilmu politik dll.  Adapun klasifikasi Al-Gazali tentang ilmu syar’iyahdan ilmu akliah:
1.      Ilmu Syar’iyyah
2.      Ilmu tentang prinsip-rinsip dasar (al-ushul)
a.       Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
b.      Ilmu tentang kenabian
c.       Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
d.      Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu Alquran dan al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori:
1)      Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
2)      Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari: ilmu Quran, ilmu riwayat al-hadits, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh.
3)      Ilmu tentang cabang-cabang (furu’)
Pengetahuan menurut Al-Kindi dibagi kedalam dua macam yaitu,pertama pengetahuan  Ilahi atau devine science, yaitu ilmu yang tercantum dalam Qur’an sebagai pengetahuan yang diperoleh nabi dari Tuhan yang didasarkan pada keyakinan. Kedua, pengetahuanmanusiawi, atau human science, yang disebut juga filsafat yang mendasarkan pada pemikiran (ratio-reation).[8]
Adapun cara mendapatkan ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pemikiran, pola kerja tata langkah dan cara teknis untuk memperolah pengetahuan yang lama.
Metode ilmiah muncul dari kombinasi antara empirisme dengan rasionalisme yang ditambah dengan eksperimen sehingga melahirkan positivisme dengan bidannya Augus Comte. Metode ilmiah merupakan alat operasional dari positivisme yang terperinci dalam langkah-langkahlogico-hypothico-verivicartif.  Maksudnya yaitu dengan pembuktian bahwa objek itu logis, kemudian mengajukan hipotesa yang mendasarkan pada logika, setelah itu lakukanlah pembuktian hipotesa dengan eksperimen untuk memverifikasi hipotesa yang diajukan. Dalam praktisnya metode ilmiah menjadi metode penelitian (research) untuk menemukan pengetahuan. Secara garis besar langkah-langkah metode ilmiah disebutkan yang menurut Jujun adalah sebagai berikut;
1.      Perumusan masalah, merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta data diidentifikasikan dengan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2.      Penyususnan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan.
3.      Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan.
4.      Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hiptesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila fakta mendukung hipotesis maka hipotesis diterima. Dan apabila fakta tidak mendukung hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sebab telah memenuhi persyaratan pengetahuan ilmiah.
Hipotesis yang ditolak,  menjadikan teori baru apabila langkah-langkah ilmiah yang dilakukan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hasil dari penelitian tercermin pada kesimpulan yang disusun. Kesimpulan penelitian adalah penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan.  Kesimpulan merupakan jawaban dari permasalahan yang diajukan. Pengujian hipotesis berusaha membandingkan proposisi yang diajukan dengan data empirik ini yang telah ditentukan variable dan indikatornya dalam bentuk data atau informasi. Seringkali data tersebut berupa data statistik dengan rancangan uji hipotesa yang telah tersedia.
Pembahasan dilakukan dengan menginterpretsi data yang ditemukan dalam penelitan. Dalam pembahasan kita mencocokkan dan mengacu dengan kerangka berfikir dan hipotesa yang telah disusun. Apabila terdapat kesesuaian maka hipotesa benar dan apabila terjadi perbedaan/ bertentangan maka perlu dijelaskan letak perbedaan tersebut dan apa penyebabnya.
Langkah-langkah metode ilmiah yang dipaparkan Jujun telah ditambah dengan pengumpulan data/informasi, atau dilakukan penelitian dan pembahasan dari data/ informasi yang terkumpul.












BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
          Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
  1. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh dengan metode ilmiah dengan mengikuti prinsip-prinsip ilmiah dan disusun secara sistematis sebagai sebuah kebenaran.
  2. Sumber ilmu pengetahuan terdiri dari empirisme, rasonalisme, intuisionisme, illuminasionisme dan wahyu.
  3. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui metode ilmiah yang terdiri dari perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikir, perumusan hipotesis, pengumpulan data/ informasi dan penarikan kesimpulan melalui pengujian hipotesis.
  4. Rekomendasi
          Disadari bahwa dari  penyajian makalah di atas, baik aspek penulisan maupun pembahasannya masih jauh dari harapan dan kesempurnaan. Dengan rasa  hormat dan prinsip keterbukaan kami harapkan kepada peserta diskusi untuk memberikan saran dan inputyang konstruktif demi kesempurnaan penulisan dan pembahasan tehadap makalah berikutnya.












DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar Amsal , Filsafat Ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004
Jalaluddin,Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013
            Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, Prenada  Media Group, Jakarta: 20174
Abdullah, Amin. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, (cet. Iii, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Anshari, Endang Saifuddin.  Ilmu, Filsafat dan Agama,  (cet. Vii, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1987).
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra 1989
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu,   (cet. V., Yogyakarta: Penerbit Libery, 2000).
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989)
Kattsoft, Louis O. Pengantar Filsafat  (cet.vii, Yogyakarta: Tiara Wicana Yogaya, 1996).
Mulyadhi Kertanegara. Integrasi Ilmu Sebuah Rekontruksi Holistik,  (Jakarta: UIN Jakarta Press).
Munawar, A.W. Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.




[1] Harun Hadjiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1989), h 52
[2] A.W. Munawar, Kamus Al-Munawwar Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah oleh KH.Ali Ma’sum, KH. Zaenal Abidin,cet. Xiv, (Surabaya Pustaka Progressif, 1997), h.966.
[3] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, cet.v., (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000), h. 87
[4] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Perss, 2009), h. 85
[5] Endang Saifuddin Anshari. Ilmu, Filsafat dan Agama. (Cet. Vii, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1987), h. 50.

[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II, (Jakarta; Balai Pustaka, 1991), h.867
[7] Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (cet. Vii, Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1996), h.146
[8] Harun Nasution, Falsafatdan Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 8